Rhea harus lembur lagi malam ini. Ia baru saja hendak pulang namun, langit sudah tampak mendung dengan angin malam menderu, dinginnya begitu menusuk. Rhea hendak bersiap untuk menerobos hujan, dia mengeluarkan payung dalam tasnya. Namun, saat sedang membuka payungnya dia melihat seorang pria duduk di sebuah pohon yang tak jauh darinya. Pria itu tampak waspada dan gemetaran.Ketika hujan mulai deras, pria itu tidak juga beranjak. Rhea pun melangkah, dan berhenti tepat di sebelah pria itu.“Hei, Tuan, kena—Oh, ya ampun!” Rhea kemudian menutup mulutnya terkejut kala melihat tubuh pria itu yang penuh darah. Rhea, lantas memayungi pria itu. "Aku akan segera mencari bantuan.” Rhea menjadi panik. Sebelum pergi mencari bantuan tangan Rhea merogoh tasnya dan mengeluarkan tisu yang selalu dia bawa. “Aku hanya punya ini. Jadi ambillah,”Rhea memberikan beberapa lembar tisu pada pria itu. “Aku tak butuh,” jawab pria itu, sembari menarik tali tudung jaketnya hingga hampir menutupi wajahnya. Me
Cahaya mentari masuk dari jendela dengan gorden yang dibuka lebar. Rhea mengernyit, merasa terganggu. Dia menggeliat, lalu merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Matanya mengerjap. Kemudian dia tersadar berapa di tempat asing. Matanya membelalak, penggalan ingatan semalam muncul memenuhi dirinya, kejadian panas dia dan seorang pria asing tak terelakkan. "Tidak!" "Ini hanya khayalan. Ya! ini hanya mimpi." elaknya.Rhea tertunduk dengan kedua tangan yang menarik kuat rambutnya. Tatapannya kosong, "Ini tidak mungkin! ini tak mungkin terjadi padaku!" dia bergumam, bersikeras menolaknya. Rhea terdiam, kala menyadari sekarang dia bangun tanpa mengenakan seutas benang pun, dengan baju tercecer sembarang di lantai. Kemudian air matanya menetes begitu saja.Bulir keringat bermunculan didahinya dengan butiranya yang perlahan bergulir. "Argh!!" Rhea berteriak dalam benak. Ekspresinya sangat kacau."Bagaimana bisa? bagaimana bisa ini terjadi padaku?!" gumamnya berkali-kali dengan putus asa. Rhe
Di sisi lain seorang pria berdiri didekat jendela dengan mantel mandi yang masih melekat di tubuhnya. Air terus-menerus menetes dari ujung-ujung rambutnya. Dia menatap gelas yang ada di genggamannya, menggoyangkannya beberapa kali. Kemudian perhatian pria itu teralih keluar jendela. Gedung-gedung tinggi tampak menjulang, beberapa kali tampak pesawat yang lepas landas. Lalu, dia melemparkan gelas kaca di genggamannya. Pecahan gelas itu berserak. Dua orang lainnya saling menatap sembari menelan ludah. “Bodoh!” umpatnya. “Sebagai bawahanku, kalian sangat tidak becus! Seorang wanita lemah bahkan dengan mudah melarikan diri. Apakah kalian pantas masih disebut bagian Oleander?!” ucapnya terdengar menekan. “Kami tak menduga dia akan melarikan diri-“ jawab salah satu bawahannya dengan terbata. “Aku tak ingin mendengar alasan apapun, temukan wanita itu sekarang juga!” ucapnya lantang. “Jika dia tak ditemukan, maka hari ini akan menjadi akhir dari hidup kalian!” Sorot matanya tajam rasan
Rhea membuka matanya kala menyadari seseorang menatap ke arahnya tajam. Belum tersadar penuh, tanpa aba-aba Ayahnya langsung menarik lengannya kasar, menyeretnya bangun dari kasurnya. "Kau sangat hina!" cerca Ayahnya. Rhea tidak mengerti dengan kondisi tiba-tiba ini. Saat menuruni anak tangga semua telah berkumpul di ruang tamu. Kala Rhea menatap neneknya, wanita tua itu hanya memalingkan wajah. Ayahnya melemparnya kasar, membuat Rhea tersungkur ke lantai. "Lagi dan lagi kau bertingkah!" bentak Ayahnya dengan amarah mendidih. Rhea bergegas berdiri, bahkan rasa sakit dari lututnya yang lecet tak terasa. Dia menatap sekeliling meminta penjelasan. Satupun tak ada yang berniat menjawab kebingungannya.Lalu Lili menunjukan sebuah foto USG yang didapatkan dari tas Rhea, sembari terbesit senyum penghinaan dibibirnya. Deg.Keringat Rhea bermunculan, menyebar dari telapak tangan hingga ke lehernya. Kepalanya berdenyut dengan ketakutan yang menyeruak. "Kau... bagaimana bisa?" "Kau kira,
"Benjamin, siapa dia Ayah?" tanya Lili yang terheran dengan reaksi Ayahnya. "Dia.. dia Pemimpin Mafia Oleander." jawab Hendra masih tak percaya. Pemimpin Oleander tak pernah sekalipun menunjukan wajahnya pada orang lain dan mereka sangat rapi dalam menangani masalah __ "Masuklah." pria itu membukakan pintu mobil dan meminta agar Rhea segera masuk kedalamnya. Namun, Rhea tengah kacau dengan pikirannya. "Apalagi sekarang?!" dari kehilangan Ibu, cinta Ayah yang lama mati, dan sekarang neneknya. Rasanya kepalanya hendak pecah. Mengapa rasa sakit tak pernah berhenti dia dapatkan? “Hei!” Pria itu menyentuh pundak Rhea. Rhea tersadar dari lamunanya. Ah! Benar dia sempat lupa bahwa sekarang dia tengah bersama pria asing. Dari banyaknya orang, mengapa harus pria itu?! pria yang tak ingin dia temui, pria yang sangat dia benci, pria yang membuatnya berada dititik ini. Rhea tengah berusaha melawan air mata yang hampir terjatuh dengan menahan teriakan yang tertahan di tenggorokan. Rhea me
Rhea terperanjat bangun dari posisi tidurnya. Dia sadar dia berada dikasur yang jelas bukan miliknya. "Dimana aku?”Matanya mengamati sekitar, tempat yang tak di kenali. Tampak Interior kamar yang elegan didominasi dengan warna hitam abu-abu.“Ah! Aku ingat. Semalam tanpa sadar aku tertidur dalam pelukan pria itu,” Rhea menyesali tindakan yang tak pikir panjang itu. “Apa ini kamar pria itu? ini kediamannya?!” “Akh! au…” Rhea menyentuh pipinya yang terasa nyeri, pipi yang ditampar kuat Ayahnya semalam. Namun, tampaknya itu telah diobati. Karena terdapat plester dipipinya. Rhea mengigit bibirnya kuat. “Benjamin ya?!” Dia tak mengerti perlakuan baik pria itu. Pria yang tak mampu dia tebak dengan mudah. Seketika pikirannya kalut, dia yakin akan sulit menghindari pria itu. Dia menenangkan diri sejenak, setelah merasa lebih tenang dia turun dari kasurnya dengan hati-hati. Rhea menuju pintu, tentu saja dia ingin pergi dari tempat ini, tangannya menyentuh pelan gagang pintu. Namun, tiba-
Ceklek!Pintu dibuka. Seorang pelayan laki-laki dengan menggunakan pakaian polos, sederhana, dan tampak tak menarik perhatian. Pelayan itu kemudian masuk, ekspresinya tampak terkejut kala melihat Tuannya dan seorang wanita cantik yang tengah berada di situasi tak baik. Pelayan itu menebak dalam benak. "Mungkin mereka tengah bertengkar." Rasanya dia tahu bahwa kedatangannya tidak diwaktu yang tepat. Benjamin lantas meraih nampan berisi sarapan dan segelas susu yang dibawa pelayan itu. Pelayan itu menelan ludah kala tatapan menusuk tuannya terarah padanya. Dia tertunduk takut. "Apa lagi yang kau tunggu. Keluar sekarang!" suruhnya terdengar tegas. Pelayan itu bergegas keluar dengan menutup pintu rapat-rapat. “Tidak! Tunggu,” Rhea ingin memanggil kembali pelayan itu, dia ingin meminta bantuannya. Jika hanya dia dan Benjamin disini, situasi tak akan berubah baik untuknya. Dia ingin menghindari pria sialan ini.Benjamin yang tengah meletakan nampan diatas meja meliriknya dengan tajam.
Tapi Rhea tak senang atas pujian itu. Dia memandang Benjamin tanpa gentar lagi. "Aku tak akan tersanjung atau berterimakasih," jawabnya ketus. Benjamin balik menatapnya dari cermin kaca lekat-lekat, "Aku mengatakan sesuai dengan apa yang ku lihat. Senang atau tidaknya itu pilihanmu." Rhea menjadi geram, selalu saja pria ini tak mau kalah darinya dan terus membalas kalimatnya. "Mendandani ku dengan rapi kau akan membawaku kemana?" tanya Rhea yang jauh tampak stabil. "Mm, kau ingin bermain menebak?! jika kau benar aku akan mengabulkan satu permintaanmu dan jika salah kau tak bisa menolak kemanapun ku bawa?" Benjamin menawarkan sesuatu. "Lucu sekali! Kau pikir aku akan percaya. Benar atau salah bukankah itu menjadi keputusanmu." Dahi Benjamin berkerut, sedetik kemudian dia tertawa. “Rupanya kau tidak bodoh. Aku suka.” Lalu perhatian Benjamin tertuju ke perut datar Rhea, dia menyentuh lembut perut Rhea. Rhea mencengkeram erat tangan yang lebih besar darinya itu. Berhasil membuat Be