Di sisi lain seorang pria berdiri didekat jendela dengan mantel mandi yang masih melekat di tubuhnya. Air terus-menerus menetes dari ujung-ujung rambutnya.
Dia menatap gelas yang ada di genggamannya, menggoyangkannya beberapa kali. Kemudian perhatian pria itu teralih keluar jendela. Gedung-gedung tinggi tampak menjulang, beberapa kali tampak pesawat yang lepas landas.Lalu, dia melemparkan gelas kaca di genggamannya. Pecahan gelas itu berserak. Dua orang lainnya saling menatap sembari menelan ludah.“Bodoh!” umpatnya.“Sebagai bawahanku, kalian sangat tidak becus! Seorang wanita lemah bahkan dengan mudah melarikan diri. Apakah kalian pantas masih disebut bagian Oleander?!” ucapnya terdengar menekan.“Kami tak menduga dia akan melarikan diri-“ jawab salah satu bawahannya dengan terbata.“Aku tak ingin mendengar alasan apapun, temukan wanita itu sekarang juga!” ucapnya lantang. “Jika dia tak ditemukan, maka hari ini akan menjadi akhir dari hidup kalian!”Sorot matanya tajam rasanya bersiap membunuh jika keinginannya tak terpenuhi. “Sekali digenggam ku maka dia tak akan ku lepas. Aku tak pernah bermain-main dengan wanita!”“Kami mengerti.” Ucap dua orang itu bersamaan lantas bergegas keluar.__Tepat satu bulan dari kejadian panas itu. Rhea berusaha keras melupakannya bak tak pernah terjadi apapun. Harinya berlalu seperti biasa.Rhea juga lega hari itu neneknya percaya bahwa tanda merah di lehernya adalah memar akibat terkena benda tumpul. Meski Rhea merasa bersalah membohongi neneknya.Sedikit sulit berada di titik ini, namun dengan perlahan hatinya menjadi tenang. Meski sesekali selibat ingatan itu muncul lagi dan membuat hatinya berdenyut. Dia menekan diri untuk berpura tak merasakannya. Itu mulai berhasil, namun....“Selamat anda positif hamil,” ucap dokter itu dengan senyum senang terukir di bibirnya.Seketika Rhea menjadi lemas kala mendengarnya, dia tak membayangkan akan hal ini. Awalnya dia memeriksakan diri karena merasa tak enak badan, perut terasa mual dan napsu makannya menurun.Dengan ragu-ragu dia mendatangi dokter berisi harapan penuh bahwa yang di pikirkan tak terjadi. Tetapi dokter berkata bahwa dia tengah hamil sekarang.Perasaan takut menyeruak, lalu bagaimana? Dia pikir setelah kejadian itu dia bisa berupaya melupakannya.Sekarang ada bayi di perutnya, bagaimana dia berpura-pura tak ada apa-apa?“Apa ini candaan?” Rhea menatap nanar dokter yang menanganinya.“Tentu tidak, ini sungguhan. Apa anda tidak senang?” tanya dokter itu, ya tampaknya dokter menyadari bahwa reaksi pasiennya tak seperti Ibu yang menantikan kabar kehamilannya. Itu terlihat jelas.Rhea hanya tersenyum kecut.“Saya tidak tau keputusan apa yang akan anda ambil, namun saya harap itu bukan hal yang membuat anda menyesalinya di kemudian hari.”Dokter wanita itu menatap pasiennya dengan ramah namun terbesit harapan. Lantas sang dokter memberikan vitamin kehamilan untuk dikonsumsi. Sudah jelas Dokter itu berharap agar pasiennya memilih untuk melahirkan anaknya.Selepas dari dokter itu, Rhea berjalan menyusuri jalan dengan pikiran kalut, sesekali dia memandang USG berisi janin.Menjadi orang tua tunggal, apa akan mudah, mungkinkah dia bisa melakukannya? Terlebih seorang anak yang sama sekali tak di harapkannya, anak dari pria asing. Itu tidak bisa, dia tak mampu.Rhea menggenggam erat tali tas, dia memasukan foto USG ke dalam tasnya, perasaan resah amat mencekiknya.“Bagaimana ini? Mengapa selalu kacau.”Dia mengacak kasar rambutnya. Tatapannya kosong tanpa arah, dia bingung. Anak dalam perutnya dia tak mengenal jelas siapa Ayahnya, haruskah dia mencari pria itu hanya dengan sedikit ciri yang dia ingat.“Sialan! Mana mungkin pria bajingan itu akan bertanggung jawab.”“Huh! Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang.”Rasanya kepelikan tanpa henti menimpanya. Dia ingin menangis, berteriak kencang, namun dia juga tak bertenaga untuk melakukan hal itu.Di kediamannya Rhea semakin tak bersemangat. Dia bimbang melahirkan anak ini dengan konsekuensi yang akan diterimanya nanti atau memilih menggugurkannya.Rhea duduk di kursi kamarnya sembari menatap diri di cermin dengan mata memerah, lalu air mata meniti dari sela-sela matanya. Kedua tangannya menutupi wajah, tangisnya pecah.“Kau bodoh Rhea mengapa bisa terjebak di situasi ini,”“Rhea turunlah, mari makan malam!”Rhea tersentak kala mendengar nenek memanggilnya.Rhea bergegas menyeka wajahnya cepat, mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Beberapa kali dia tersenyum dengan menatap diri di cermin, dia berusaha menghilangkan kesan wajah sembab selepas menangis.Beberapa menit setelah yakin dia terlihat lebih baik, Rhea turun dari tangga. Tak lupa senyum indah merekah di bibirnya kala nenek menatapnya hangat.Keluarga Dominic memiliki orang-orang yang sibuk dengan dunia mereka. Entah karena kerja, bermain bersama teman-teman, sekedar bersenang-senang atau karena tak suka saling bertemu satu sama lain.Semua perilaku itu dibenci oleh sang nenek, maka dari itu beliau mengusung makan malam bersama tentu agar kondisi menjadi lebih akrab dan tak ada satupun yang boleh menolak perintahnya. Dan itu berlaku sampai detik ini.Makan malam berjalan dengan tenang. Namun, beberapa menit kemudian perhatian mereka tertuju pada Rhea yang terdiam tanpa menyentuh makanannya.“Kau hanya menatap makananmu. Bukankah itu tindakan tak terpuji?” ucap ketus Lili, sembari melirik neneknya berharap Rhea akan dimarahi.Lili Dominic usianya baru 17 tahun, dia tak jauh berbeda dari Ibunya. Lili sangat haus akan validasi, dia selalu ingin menjadi pusat perhatian. Dengan begitu tak akan ada yang memperhatikan kakaknya.“Tak biasanya kamu hanya menatap makananmu” ucap sang nenek.Sebenarnya Rhea ingin cepat makan dan pergi dari tempat ini, hanya saja ketika melihat meja makan yang penuh makanan berlemak napsu makannya menghilang.“Aku tidak bisa makan, nenek bolehkah aku naik ke kamarku lebih dulu? Aku merasa tak enak badan,” ucap Rhea lirih.Rhea sungguh tak tahan jika berlama-lama disini, bau menyengat dari daging sapi membuatnya kian tak tahan.Melihat Rhea yang tampak lesu neneknya memberi izin dengan mudahnya. Ayah dan Ibu tirinya sama sekali tak berkomentar apapun tentang kondisi anehnya.Bergegas Rhea ke kamarnya, dia dengan cepat merebahkan tubuh ke kasur.Tubuhnya terasa lemas dia tak ingin melakukan hal apapun, rasanya dia amat lelah. Beberapa kali dia membenahi posisi tidurnya, hingga dia terlelap tanpa sadar.Brak!Pintu di dobrak kasar. Lili masuk ke dalam kamar Rhea tanpa permisi. Wajahnya tampak masam dengan semangkuk bubur yang dia bawa.“Ini buburmu.”“Mm, letakan saja di meja,” jawab Rhea yang setengah sadar. Dia bahkan tak bertenaga untuk berurusan lebih dengan Lili.Lili tampak geram, dia mengomel kesal. “Enak-enakan tidur, gara-gara kau aku disuruh nenek membawa ini. Emangnya kau tuan putri dan aku pembantumu apa. Nenek sialan selalu membela cucu tak berguna seperti mu, aku kan cucunya juga. Kenapa aku di nomor duakan!!”Rhea memilih mengabaikan omelan Lili. Pada dasarnya hubungan mereka memang tak seperti adik kakak pada umumnya.Jika membalas omelan Lili hanya akan membuat masalah kian runyam. Itu melelahkan untuk sekarang.Lili melirik Rhea yang masih tidur pulas tanpa mendengarkan omelannya. Dia mendengus kian kesal, meski begitu dia meletakan semangkuk bubur di atas meja. Salah-salah dia bisa diomeli neneknya. Namun tangannya tak sengaja menyenggol tas yang ada di atas meja membuat tas itu terjatuh.Tas yang terbuka membuat selembaran foto USG ikut terjatuh ke lantai. Lili tak percaya dengan apa yang dia lihat. Buru-buru dia meraih foto USG itu.Matanya membelalak masih tak percaya. Dia lantas bergegas merogoh tas Rhea dan menemukan vitamin untuk Ibu hamil didalamnya.Lili tak percaya dengan apa yang ditemukannya, dia menutup mulutnya yang menganga sesekali melirik Rhea yang masih tertidur lesu.“Ah, itu sebabnya dia tiba-tiba mual dan tak napsu makan....” tebak Lili yang mulai mengerti kondisi tak biasa Rhea.“Ini sungguhan. Kakak yang abai dengan asmara, tiba-tiba hamil? Gila! Siapa pria yang bermain dengannya?” benak Lili bersemangat sekaligus masih terkejut.Bagi Lili, Rhea cukup aneh. Dia cantik, namun tak mampu memanfaatkannya. Dia bisa dengan mudah terkenal dengan parasnya dan harusnya Rhea mampu mengait 3-5 pria.Namun, sekalipun dia tak pernah berkencan. Terlebih, dia bisa menggoda pria-pria kaya yang jelas tak akan menolaknya.Senyum jahat terukir di bibir Lili, dia menyembunyikan foto USG itu. Ketika keluarganya tahu, maka sudah jelas apa yang akan dialami oleh kakaknya.Lili merasa puas, pertunjukan menyenangkan akan didapatkan. Melihat sang kakak kian terpuruk menjadi hal menyenangkan, sekaligus untuk pertama kalinya dia melihat kakaknya akan hancur karena ulahnya sendiri.Kakak yang cantik dan terkesan angkuh hanya karena dia anak tertua. Dia akan terhempas dan itu akhir dirinya di keluarga Dominic. Lili yakin, Ayah akan kian murka dan neneknya tak akan mentolerirnya.“Ini akan menyenangkan.” Lili sudah tak sabar.Rhea membuka matanya kala menyadari seseorang menatap ke arahnya tajam. Belum tersadar penuh, tanpa aba-aba Ayahnya langsung menarik lengannya kasar, menyeretnya bangun dari kasurnya. "Kau sangat hina!" cerca Ayahnya. Rhea tidak mengerti dengan kondisi tiba-tiba ini. Saat menuruni anak tangga semua telah berkumpul di ruang tamu. Kala Rhea menatap neneknya, wanita tua itu hanya memalingkan wajah. Ayahnya melemparnya kasar, membuat Rhea tersungkur ke lantai. "Lagi dan lagi kau bertingkah!" bentak Ayahnya dengan amarah mendidih. Rhea bergegas berdiri, bahkan rasa sakit dari lututnya yang lecet tak terasa. Dia menatap sekeliling meminta penjelasan. Satupun tak ada yang berniat menjawab kebingungannya.Lalu Lili menunjukan sebuah foto USG yang didapatkan dari tas Rhea, sembari terbesit senyum penghinaan dibibirnya. Deg.Keringat Rhea bermunculan, menyebar dari telapak tangan hingga ke lehernya. Kepalanya berdenyut dengan ketakutan yang menyeruak. "Kau... bagaimana bisa?" "Kau kira,
"Benjamin, siapa dia Ayah?" tanya Lili yang terheran dengan reaksi Ayahnya. "Dia.. dia Pemimpin Mafia Oleander." jawab Hendra masih tak percaya. Pemimpin Oleander tak pernah sekalipun menunjukan wajahnya pada orang lain dan mereka sangat rapi dalam menangani masalah __ "Masuklah." pria itu membukakan pintu mobil dan meminta agar Rhea segera masuk kedalamnya. Namun, Rhea tengah kacau dengan pikirannya. "Apalagi sekarang?!" dari kehilangan Ibu, cinta Ayah yang lama mati, dan sekarang neneknya. Rasanya kepalanya hendak pecah. Mengapa rasa sakit tak pernah berhenti dia dapatkan? “Hei!” Pria itu menyentuh pundak Rhea. Rhea tersadar dari lamunanya. Ah! Benar dia sempat lupa bahwa sekarang dia tengah bersama pria asing. Dari banyaknya orang, mengapa harus pria itu?! pria yang tak ingin dia temui, pria yang sangat dia benci, pria yang membuatnya berada dititik ini. Rhea tengah berusaha melawan air mata yang hampir terjatuh dengan menahan teriakan yang tertahan di tenggorokan. Rhea me
Rhea terperanjat bangun dari posisi tidurnya. Dia sadar dia berada dikasur yang jelas bukan miliknya. "Dimana aku?”Matanya mengamati sekitar, tempat yang tak di kenali. Tampak Interior kamar yang elegan didominasi dengan warna hitam abu-abu.“Ah! Aku ingat. Semalam tanpa sadar aku tertidur dalam pelukan pria itu,” Rhea menyesali tindakan yang tak pikir panjang itu. “Apa ini kamar pria itu? ini kediamannya?!” “Akh! au…” Rhea menyentuh pipinya yang terasa nyeri, pipi yang ditampar kuat Ayahnya semalam. Namun, tampaknya itu telah diobati. Karena terdapat plester dipipinya. Rhea mengigit bibirnya kuat. “Benjamin ya?!” Dia tak mengerti perlakuan baik pria itu. Pria yang tak mampu dia tebak dengan mudah. Seketika pikirannya kalut, dia yakin akan sulit menghindari pria itu. Dia menenangkan diri sejenak, setelah merasa lebih tenang dia turun dari kasurnya dengan hati-hati. Rhea menuju pintu, tentu saja dia ingin pergi dari tempat ini, tangannya menyentuh pelan gagang pintu. Namun, tiba-
Ceklek!Pintu dibuka. Seorang pelayan laki-laki dengan menggunakan pakaian polos, sederhana, dan tampak tak menarik perhatian. Pelayan itu kemudian masuk, ekspresinya tampak terkejut kala melihat Tuannya dan seorang wanita cantik yang tengah berada di situasi tak baik. Pelayan itu menebak dalam benak. "Mungkin mereka tengah bertengkar." Rasanya dia tahu bahwa kedatangannya tidak diwaktu yang tepat. Benjamin lantas meraih nampan berisi sarapan dan segelas susu yang dibawa pelayan itu. Pelayan itu menelan ludah kala tatapan menusuk tuannya terarah padanya. Dia tertunduk takut. "Apa lagi yang kau tunggu. Keluar sekarang!" suruhnya terdengar tegas. Pelayan itu bergegas keluar dengan menutup pintu rapat-rapat. “Tidak! Tunggu,” Rhea ingin memanggil kembali pelayan itu, dia ingin meminta bantuannya. Jika hanya dia dan Benjamin disini, situasi tak akan berubah baik untuknya. Dia ingin menghindari pria sialan ini.Benjamin yang tengah meletakan nampan diatas meja meliriknya dengan tajam.
Tapi Rhea tak senang atas pujian itu. Dia memandang Benjamin tanpa gentar lagi. "Aku tak akan tersanjung atau berterimakasih," jawabnya ketus. Benjamin balik menatapnya dari cermin kaca lekat-lekat, "Aku mengatakan sesuai dengan apa yang ku lihat. Senang atau tidaknya itu pilihanmu." Rhea menjadi geram, selalu saja pria ini tak mau kalah darinya dan terus membalas kalimatnya. "Mendandani ku dengan rapi kau akan membawaku kemana?" tanya Rhea yang jauh tampak stabil. "Mm, kau ingin bermain menebak?! jika kau benar aku akan mengabulkan satu permintaanmu dan jika salah kau tak bisa menolak kemanapun ku bawa?" Benjamin menawarkan sesuatu. "Lucu sekali! Kau pikir aku akan percaya. Benar atau salah bukankah itu menjadi keputusanmu." Dahi Benjamin berkerut, sedetik kemudian dia tertawa. “Rupanya kau tidak bodoh. Aku suka.” Lalu perhatian Benjamin tertuju ke perut datar Rhea, dia menyentuh lembut perut Rhea. Rhea mencengkeram erat tangan yang lebih besar darinya itu. Berhasil membuat Be
Rhea yang tampak mengabaikannya membuat Benjamin sedikit kesal. Apa yang dipikirkan oleh wanita didepannya ditengah dia yang sedang mencumbunya? Lantas Benjamin mengigit bibir Rhea.“Ah! au…” rintih Rhea, menatap Benjamin yang kian melumat bibirnya.Benjamin mengusap lembut bibir Rhea dengan jemarinya, tangannya menyentuh dagunya. Dia mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka saling bersentuhan. “Ya, harusnya kau menatapku seperti ini bukan malah mengalihkan pikiran dan pandanganmu.”“Yaampun mereka tampak membara.” ucap seseorang yang berpapasan dengan pasangan yang penuh gairah, mereka tampak terkejut.“Stt! itu tanda cinta, karena baru mendaftarkan pernikahan.” timpal yang lainnya dengan terkekeh.Rhea tersadar mereka masih berada didepan gedung kantor catatan sipil dan banyak orang berlalu lalang dan melihat mereka bercumbu. Bagaimana bisa Benjamin melakukan hal memalukan itu disini.Bergegas Rhea menjauh dari Benjamin. Tangannya mengusap kasar bibir yang baru dicumbu Benjamin. Rh
“Tentu saja penikahan. Ada pengantin pria juga wanitanya.” jelas Charles, dia lantas melanjutkan. “Sebagai bentuk menghargai wanitanya, Tuanku ini sampai mendesak kami agar mempersiapkan tempat ini dalam waktu setengah hari. Ya! Kami tidak heran lagi karena tuanku memang sedikit gila. Tapi aku tak menyangka dia melakukan ini untuk seorang wanita.” dia berbicara dengan sopan namun penuh cercaan dan sindiran didalamnya. “Tidakkah kau merasa bicaramu terlalu banyak.” ucap tegas Benjamin, dia menatap Charles tajam. “Haha… ini hanya sedikit protes.” jawab Charles. Rhea mengepal jemarinya. Benar! Agar status sah sebagai istri, tentu harus melewati pernikahan. “Aku tak pernah membayangkan prosesinya akan secepat ini.” gumamnya. Rhea berusaha mengatur diri agar amarah tak menguasai dirinya. “Lagi dan lagi kau bertindak semau mu. Kau tak menanyakan atau berdiskusi pada ku lebih dulu. Kau berkata untuk mempercayai dirimu, namun semua tindakan mu lebih terlihat agar aku tak memepercayaimu!” l
Setelah kejadian mendebarkan itu mereka kembali kekediamanya.Tepatnya dikamar Benjamin.Seorang pelayan datang membawakan kotak obat. “Letakkan dimeja.” suruh Benjamin dengan penuh penekanan.“Baik.” jawab sopan pelayan itu seraya bergegas keluar.Rhea tengah sibuk menggulung lengan baju Benjamin, kemudian dia membantu membersihkan darah dan mengaplikasikan obat padanya.Rhea pikir peluru menancap dilengan Benjamin, rupanya hanya tergores. Entah mengapa Rhea menjadi lega. “Mungkin karena aku mengandung anaknya, perasaan menghawatirkannya muncul begitu saja.” benak Rhea.“Orang yang terluka harus dibantu, terlepas dengan masalah antar kita.” ucap Rhea memecah keheningan.“Dan jangan berpikir aku akan menerima semua perlakuan sebelum mu.” Rhea menekan sedikit kuat luka Benjamin.Benjamin yang sudah terbiasa dengan pengalaman luka tak terlalu merasakan sakit akibat penekanan luka dari Rhea. Namun, melihat wajah Rhea yang marah dia menjadi ingin menggodanya.“Ah! Au… pelan-pelan.” ucap
Rhea termenung di atas kasur nya. Sampai pagi menyapa, Benjamin benar-benar tak menemuinya. Ya! ketenangan yang dia inginkan sejak kemarin. "Namun, mengapa aku sedikit kecewa?" Entah mengapa hatinya terasa resah sejak semalam. Keseharian yang tak biasa Rhea lewati tanpa adanya kehadiran Benjamin. Rhea ingat bahwa setidaknya setiap Benjamin pergi untuk mengurus pekerjaannya. Dia tak pernah pergi tanpa menemuinya lebih dulu. Dia akan datang dengan kata manis yang di rangkai indah, lalu bersikap manja padanya. Marah sekalipun pada akhirnya Benjamin akan menemuinya bak tak terjadi hal apapun, dan hari-hari akan berjalan seperti biasa. "Untuk apa aku memikirkannya." Rhea tak akan ambil pusing tentang Benjamin lagi. Lagipula pria yang membawa wanita yang katanya di cintai namun tak berniat menjadikannya rumah. Rasanya sia-sia. Rhea menghabiskan waktu nya seperti biasa. Dia sibuk dengan kegiatan barunya merajut baju. Hingga malam tiba, Benjamin benar-benar tak terlihat.
“Wajah tertekuk dengan dahi mengkerut tak cocok dengan mu!” tukas Benjamin. “Ha! Memang siapa yang membuatku begini?” gumam Rhea. Rhea berusaha keras terlepas dari genggaman tangan Benjamin, namun apa daya genggamannya sangat kuat.Kesal! jelas itu tergambar di wajah Rhea. Dia ingin mencaci, memarahinya, dan memukul kuat pria yang mengekangnya dengan perhatian yang membuatnya kebingungan dan sulit berkutik.Pada akhirnya dia mengurungkan niatnya, sudah jelas pria besar ini tak akan pernah berniat kalah darinya hal sekecil apapun itu. Dia menatap datar wajah Benjamin yang bahkan tampak santai dengan senyum yang terukir indah dibibirnya. Bak tak menyadari kekesalan diwajah istrinya atau dia pura-pura tak tahu bahwa istrinya tengah menahan amarahnya? Kesabaran ada ambang batasnya dan diperlakukan seperti orang bodoh, memilih tetap diam juga melelahkan.Rhea menghela napas, dia lelah dan tak ingin berdebat lagi. Berdebat dengan Benjamin hanya membuat tensinya naik. Senyum terpaksa Rh
Bayangan bahwa semua perkataan Benjamin akan di tepati, nyatanya janji-janjinya hanya angin lalu yang terhembus begitu saja. Bertemu dengan keluarga Benjamin? Tak pernah sekalipun itu terjadi. Ketika Rhea menanyakan perihal tersebut. Selalu saja Benjamin mengalihkan pembicaraan. Semua berlalu hingga lima bulan, dan kehamilan Rhea telah memasuki delapan bulan. Tak sekalipun kalimat Benjamin terealisasikan. Hingga Rhea lelah untuk menanyakan hal itu lagi dan memilih diam. Kehamilan 8 bulan membuat Rhea kesulitan berjalan, terlebih pergerakan bayinya menjadi lebih aktif. Rhea lebih banyak menghabiskan harinya berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Meski dia bosan, namun dia merasa jauh lebih aman untuknya tetap berada di sekitar rumah. Rhea duduk di kursi taman belakang rumah. Dia menghela napas pelan sembari mengelus-elus perutnya yang membesar, sesekali terasa pergerakan bayinya yang menendang-nendang. “Sebentar lagi kau akan lahir. Itu tak terasa sekali.” Rhea tersenyum ma
“Bagaimana, aku sudah wangi bukan?!” Benjamin tersenyum nakal. Rhea menarik dirinya sedikit menjauh. “Ya, kau sudah wangi.” jawabnya. “Tak perlu sampai mencumbu ku, dari jauh aku bisa mencium bau sabun dari mu.” uap Rhea sembari mendorong pelan Benjamin menjauh darinya. “Ah! Kau perlu merasakan langsung diriku yang sudah wangi ini.” goda Benjamin, dia menunduk menatap Rhea yang terlihat kesal padanya. Rhea bangkit dari duduknya. Dia tampak menghindari situasi yang jelas akan terarah kemana. “Ben sangat berbahaya jika menuruti godaan nya. Mengapa dia bertelanjang dada dan hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk kecil. Otot-otot dadanya sangat menarik perhatianku.” benak Rhea. Dia berdiri didekat jendela, menghindari Benjamin dengan wajah merona merah. Meski Rhea terkesan menolak dan menghindar, nyatanya pikirannya tengah kacau dan tertuju pada dada bidang Benjamin. “Pikiran mesum apa ini.” Rhea berusaha memblokir pikirannya yang terus tertuju pada Ben. Dia bahkan memukul
Sepanjang hari Rhea termenung dikursi dengan menatap kearah luar jendela, menatap langit, cuaca yang berubah-ubah, lalu lalang burung yang berterbangan, dan pesawat yang melintas beberapa kali.Semua itu adalah upayanya mengalihkan pikirannya.“Apa yang tengah kau lakukan?!” Rhea tersentak lantas menoleh, disebelahnya dia mendapati Benjamin. Dia bahkan tak menyadari kapan tepatnya kedatangannya. “Ini untukmu.” Benjamin memberikan buket bunga pada Rhea. Benjamin memberikannya begitu saja dengan wajah datarnya. Dia terlihat kaku.Mata Rhea membulat dengan ragu-ragu dia menyentuh buket bunga itu. “Kebetulan sekali aku menyukai mawar merah.” benak Rhea. “Ini sangat indah.” puji Rhea. “Aku senang kau menyukainya.” tukas Benjamin lantas menatap lekat wajah istrinya. “Mengapa tiba-tiba bunga?!” tanya Rhea penasaran. “Tak ada alasan.” jawab Benjamin.“Mm, biasanya bunga di berikan pada hari spesial. Mungkin ulang tahun, anniversary, Valentine, ya hari semacam itu. Aku tak tengah beru
Setengah hari berlalu dan Rhea lebih banyak berdiam dikamarnya. Setelah mengetahui bahwa yang kakek itu katakana bohong. Rhea merasa bodoh, percaya dengan ucapan dari orang asing. Rhea lebih banyak merebahkan diri diatas kasur dengan mata terpejam, namun tak mampu tertidur. Itu adalah bentuk kekhawatiran dan stres berlebihan tanpa dia sadari. Kemudian Rhea bangkit dari kasurnya, dia duduk di kursi dan mulai membaca buku yang sebelumnya telah dia minta ambilkan pada pelayan Ina. Rhea ingin mengalihkan pikiran-pikiran yang membuatnya frustasi, terlebih tentang Benjamin. Sedetik kemudian air mata Rhea menetes begitu saja. “Bohong jika aku tak khawatir, bohong jika aku tak takut.” Rhea menyeka air matanya dan berusaha menenangkan diri. Lalu pembahasan mengenai Vantoni yang masih belum menemukan titik temu membuat kekesalan dalam diri Benjamin kian memuncak. Ditambah dengan Rhea yang semakin penasaran dan bergerak untuk mencari tau tentangnya. "Saat ini aku masih bisa menyembunyi
Rhea mendorong dada Benjamin. “Tidak. Aku tak ingin kau menyentuhku malam ini.” “Apa yang kau pikirkan itu hanya kecupan selamat malam.” Jelas Benjamin sembari tertawa. “Aku tak akan tertipu.” Rhea tak percaya, sering kali Benjamin berkata demikian, namun berbeda dengan tindakannya. “Sungguh?!” goda Benjamin. Rhea menjauh dari Benjamin. Dia bahkan membelakangginya. Keresahan memenuhinya dan engan menyambut sentuhan-sentuhan Benjamin. Tak ada protes atau kata-kata tajam dari Benjamin. Benjamin malah memeluk Rhea dari belakang, lantas memejamkan matanya, beberapa menit dia telah tertidur dengan pulas. Rhea tak menduga bahwa malam ini Benjamin sungguh tak melakukan hal-hal mesum seperti yang di pikirannya. Wajah Rhea merona malu, rupanya sungguh hanya dia yang memikirkan itu. Kemudian dia ikut tertidur dengan pulas. Dia akan memastikan ruangan itu esok harinya. Pagi harinya Benjamin telah bersiap. Dia menatap Rhea yang masih tertidur pulas. Dia mendekati Rhea, lantas berkat
"Jangan malu dengan panggilan Sayang dariku!" goda Benjamin. Rhea meluruskan tangannya tepat ke arah Benjamin, dia bak meminta Benjamin untuk berhenti menggoda nya. Rhea tak ingin berakhir lagi dengan panas yang menggelora. Rhea berusaha memblokir pikiran-pikiran mesumnya. Kemudian dia berjalan lebih dulu menaiki tangga, mendahului Benjamin. Rhea tak ingin terjebak dengan situasi yang akan sulit dia hadapi nantinya. Terlebih Benjamin sangat suka menyentuh bagian-bagian sensitif nya. Rhea terus melangkah, namun dalam benaknya dia sungguh penasaran dengan ruangan itu. Dia ingin memastikan sendiri kalimat dari kakek itu. Rhea menoleh kearah ruangan itu sepintas dengan kaki yang terus melangkah menaiki anak tangga. Benjamin yang berada tepat dibelakang mengamati gerik Rhea, tatapannya tajam. Lantas Benjamin mempercepat langkahnya, dia merangkul pinggang Rhea. Dengan cepat ekspresi nya berubah lebih hangat. “Jalanmu sungguh lambat.” Ucap Benjamin menoleh kearah Rhea. “Mm, aku sedi
Kekhawatiran dan rasa cemas memenuhinya. Rhea terus memikirkan kalimat kakek itu hingga malam tiba. Rhea tak tenang hingga sulit memejamkan matanya. Rhea sampai tak menyadari. Detik, dan menit terus berjalan. Hingga suara langkah kaki terdengar mendekat. Rhea berpura memejamkan matanya. "Benjamin sudah pulang." benak Rhea menebak. Karena tak mungkin orang lain masuk ke kamarnya di tengah malam. Kemudian langkah kaki Benjamin mengarah ke kamar mandi, suara air mulai terdengar. Rhea semakin gelisah. “Sebaiknya ku katakan saja mengenai perkataan kakek tadi?!” “Tidak! Aku akan memeriksa dan memastikan lebih dulu mengenai perkataan kakek itu.” benaknya. Ceklek!! Suara pintu kamar mandi terbuka. Terdengar langkah kaki Benjamin yang mengarah padanya. Rhea kembali memejamkan mata. Rhea merasa risih, dia merasakan tatapan tajam terarah padanya. “Hm! Kelopak matamu bergerak-gerak. Kau tak pandai berbohong.” tukas Benjamin. Kala mendengar kalimat Benjamin, tanpa sadar Rhea mengerutka