Cahaya mentari masuk dari jendela dengan gorden yang dibuka lebar. Rhea mengernyit, merasa terganggu. Dia menggeliat, lalu merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Matanya mengerjap. Kemudian dia tersadar berapa di tempat asing.
Matanya membelalak, penggalan ingatan semalam muncul memenuhi dirinya, kejadian panas dia dan seorang pria asing tak terelakkan."Tidak!""Ini hanya khayalan. Ya! ini hanya mimpi." elaknya.Rhea tertunduk dengan kedua tangan yang menarik kuat rambutnya. Tatapannya kosong, "Ini tidak mungkin! ini tak mungkin terjadi padaku!" dia bergumam, bersikeras menolaknya.Rhea terdiam, kala menyadari sekarang dia bangun tanpa mengenakan seutas benang pun, dengan baju tercecer sembarang di lantai. Kemudian air matanya menetes begitu saja.Bulir keringat bermunculan didahinya dengan butiranya yang perlahan bergulir. "Argh!!" Rhea berteriak dalam benak. Ekspresinya sangat kacau."Bagaimana bisa? bagaimana bisa ini terjadi padaku?!" gumamnya berkali-kali dengan putus asa. Rhea menyeka wajahnya dengan tubuh gemetar.Lalu terdengar suara seseorang memutar keran air, tampaknya pria semalam tengah mandi.Jantung Rhea berdegub kencang, dengan perasaan ketakuan yang kian mencekik. Dia buru-buru mengenakan bajunya, dia tak ingin pria itu mendapatinya yang telah terbangun. Lalu dia dengan hati-hati keluar dari kamar itu. Tak lupa meraih ponselnya yang ada di meja.Setelah berhasil keluar dari kamar itu. Rhea tak meminta bantuan pada orang-orang hotel, dia takut jika orang-orang di sana bekerja sama dengan pria itu. Rhea berlarian kencang meninggalkan tempat itu.Syok dan takut. Tentu saja bagi seorang Rhea De Dominic yang usianya 25 tahun, dia sangat menjaga kesuciannya. Dia tak pernah berharap akan direnggut mudah dengan cara keji. Rhea duduk di trotoar jalanan dengan perasaan pedih, air matanya menetes deras.__Sampai di kediamannya, Rhea bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Keran wastafel dia putar, membiarkan air membersihkan tubuhnya. Dia memeluk diri erat. Kali ini dia tak mampu menahan air mata yang terbendung. "Kotor!! menjijikan!!"dia menangis terisak.Rhea menyender pada tembok, tertunduk pelan, tangannya menarik kasar rambutnya. Tatapannya kosong, seakan dia membenci dirinya sekarang. Rasanya lelah, beberapa kali dihadapkan dengan banyak kesialan.Setelah terisak dan menyalahkan diri. Rhea memberanikan menatap diri di cermin. Banyak bekas kecupan di bagian tubuhnya. "Tanda sialan ini!! aku membenci ini!!" teriaknya dengan air mata berderai. Dia berusaha keras menghilangkan tanda kecupan dengan mengusap kasar tubuhnya, namun itu sia-sia kulitnya menjadi tergores.Lama meratapi diri didalam kamar mandi, sekarang Rhea sedikit lebih tenang. Toh, dia tak bisa mengembalikan hal yang telah terjadi. Dia hanya perlu sedikit lebih kuat, lagi pula dia sudah terbiasa berpura baik-baik saja.Rhea memilih menenangkan diri dengan merebahkan tubuh ke kasur. Dia ingin istirahat dengan tidur tenang. Dengan harapan segala kesedihan akan sirna."RHEA DE DOMINIC!!"Terdengar lengkingan suara Ayah memanggil namanya lantang. Berisi emosi menggebu yang siap mengamuk.Rhea terperanjat kaget, dia menjadi cemas. Dalam benaknya dia menebak-nebak alasan apa yang membuat Ayahnya marah. "Mungkinkah Ayah tahu sesuatu?"Rhea beranjak dari kasurnya, hendak keluar dan menemui sang Ayah.Brak!!Pintu didorong paksa. Rhea yang tak kunjung keluar membuat Ayahnya yang sudah tak sabaran menemuinya dengan amarah kian tersulut. Wajah tegas itu tampak merah penuh emosi yang meledak-ledak.Prak!Lalu beberapa foto dilemparkan tepat di wajahnya, sembari tatapan menusuk terarah padanya."Itu yang kau katakan bekerja lembur? Apa ini pekerjaanmu sebenarnya?!""Bermain-main seperti wanita murahan?! tindakan hinamu menjatuhkan martabat keluargamu!!""Dimana kewarasanmu huh!!" pekik Ayahnya lantang.Rhea memunguti beberapa selembaran foto dengan perasaan resah. Kala melihat foto itu, dia tak terkejut.Seperti yang diduga, dengan cepat seseorang telah mengambil fotonya semalam.Dalam industri film ataupun sutradara sekali pun tentu ada persaingan, atau beberapa oknum yang menggunakan sedikit kelemahan untuk keuntungan mereka. Berhasil merusak nama Hendra De Dominic akan menjadi kesenangan pesaingnya.Setidaknya itu bukan foto adegan panasnya. Hanya fotonya yang masuk ke hotel dengan dibopong dua orang pria."Benar! Dua pria bajingan yang menyeretku dalam masalah ini." benak Rhea, dia amat membenci dua pria sialan itu.
Pikiran Rhea yang melayang membuatnya mengabaikan segala ucapan yang di lontarkan padanya, sampai...Plak!Tamparan keras mendarat di pipi kananya. Rhea membelalak kaget, jemarinya spontan mengelus pipi yang di tampar Ayahnya. Rasa sakitnya sangat pedih bertambah dan terus saja bertambah."Itu akibat kau seolah mengabaikan Ayahmu yang tengah berbicara serius!" Ayahnya melotot menatapnya tajam.Rhea mengeratkan rahangnya, matanya berkaca-kaca. Dia berusaha keras menahan diri dari emosi yang kian memenuhi.Dia memang salah, namun siapa yang tahu hal ini akan terjadi. Hanya saja hal yang menyakitkan ketika Ayah adalah orang yang diharapkan lebih memperhatikannya, sama sekali abai padanya dan sekarang tangan besar itu berani menamparnya. Kesakitan apa yang belum di rasakan dari pria bernama 'Ayah' ini."Ayah tak habis pikir, mengapa kau terus menerus mencemari nama keluarga?! Dari hanya karyawan biasa dan sekarang kau berusaha membuat skandal lain, huh!""Apa kau tak tau, Ayah harus mengeluarkan banyak uang untuk menutup mulut mereka. Dari identitasmu yang karyawan biasa, dan sekarang kau malah membuat skandal baru. Mereka memerasku lebih banyak sekarang! Semua semata agar kelakuanmu tak bocor!"Ayah menunjuk-nunjuk kearah Rhea kesal.Rhea menarik napas pelan, mengatur diri agar tangisnya tak pecah "Tidak. Ayah hanya menyelamatkan citra Ayah! Juga citra Lili yang sebentar lagi akan bermain peran, itu bukan semata untukku!""Kenapa kau seperti ini? Sekarang kau jauh keras kepala!"Rhea menggigit kuat bibirnya, apa yang di ketahui Ayah tentangnya. Hanya marah dan menyudutkannya.Rhea mengepal jemarinya kuat dengan gumaman pelan. "Pernahkah Ayah bertanya apa aku baik-baik saja? Aku tak mengerti mengapa Ayah begitu keras menyembunyikan identitasku. Itu bukan hal yang memalukan, aku masuk di perusahaan besar atas usahaku sendiri."
Jika masalah skandal, itu di luar kendalinya. Dia pun tak berkeinginan melakukan hal hina semacam itu. Ayahnya sendiri yang mempersulit dirinya tanpa merasa puas atas pilihannya.
Kemudian Rhea menatap Ayahnya tajam. "Aku kacau karena Ayah, segalanya karena Ayah! Andai Ayah tak membawa wanita itu, maka hidupku akan lebih baik dengan Ibu yang masih di sisiku!" ucap Rhea lantang dengan air mata berderai, dia tak mampu menahannya lagi.Rhea mengusap kasar air matanya. "Sedikit uang bukan masalah. Lakukan seperti sebelumnya, skandal Ayah dan wanitamu kala itu. Ah, Ayah perlu mengeluarkan sedikit uang lagi untuk putrimu ini."Rhea tersenyum pahit.Itu berhasil memprovokasi Ayahnya, tangan yang besar itu melayang ke arahnya lagi. Namun, Nenek datang menengahi keduanya."Ada apa ini? Apa tadi tak cukup, dan sekarang kau meluapkan kekesalan pada cucuku di sini?!"Nenek menatap Hendra marah. Dia sangat tak suka cucunya diperlakukan buruk oleh anaknya yang bergelar sebagai Ayah.Rhea bergegas menyembunyikan fotonya, dia tak ingin nenek melihatnya dan membuat kesehatan nenek memburuk.Ayahnya juga sama tak ingin kesehatan Ibunya kian memburuk maka dari itu dia memilih melepaskan Rhea kali ini. Selagi bukan hal fatal mungkin masih bisa ditolerir."Jika sampai hal-hal seperti ini terjadi lagi, maka Ayah tak akan membiarkanmu. Rupanya kau tak berbeda dengan Ibumu sangat keras kepala!!"Rhea mengepal kuat jemarinya menatap punggung Ayahnya yang kian menjauh. Lalu, sentuhan lembut Nenek berhasil menenangkannya."Pipimu merah. Ah, anak itu dia memperlakukanmu dengan kasar." Nenek meminta Rhea sedikit menunduk.Rhea menurut, nenek mengelus pelan pipinya "Maafkan Ayahmu itu. Nenek tak tau mengapa sikapnya sangat buruk."Rhea menatap neneknya lekat. Rahina De Dominic, ketika muda adalah wanita cantik yang tak kalah pamor dari sang Ayah sebagai sutradara. Sekarang meski sudah berumur, beberapa wajahnya berkerut dengan rambut putih memenuhi, neneknya tetap cantik.Terlebih dalam rumah ini neneknya selalu mendukung mendiang Ibunya. Namun tetap saja dia kalah dari ego anaknya sendiri yang lebih memilih wanita barunya.Nenek yang sama sekali tak mengharuskannya mengikuti jejak keluarga. Memberikannya kasih sayang dan dukungan penuh. Tapi apa yang dia lakukan?Rhea mencengkeram erat roknya, dia tertunduk dengan air mata menetes. Dia merasa sangat bersalah pada neneknya, dia menyembunyikan rahasia besar.Jika neneknya tahu, bagaimana? Rhea sedikit gelisah, mungkinkah neneknya akan tetap lembut atau sikapnya akan berubah karena kecewa?Beruntung lagi Ibu dan adik tiri Rhea tak ada di rumah jika mereka disini maka keributan besar tak bisa terelakan. Dia sangat lelah dihadapkan dengan banyak hal.Nenek menariknya dalam pelukannya membiarkannya menangis lebih lama lagi. "Tidak apa-apa."Kalimat itu berhasil menenangkan hati Rhea.Lalu neneknya sadar mengenai pakaian Rhea sekarang "Jarang sekali kau mengenakan baju dengan bagian leher tertutup begini?"Rhea membuang muka, lalu menjawab "Ah, aku hanya ingin."Nenek bahkan tak bertanya apapun, mengapa Ayahnya begitu marah. Karena hal itu bukan sekali dua kali terjadi."Hey, mengapa lehermu tampak memar kemerahan?" tanya neneknya yang melihat ada yang aneh di leher Rhea.Di sisi lain seorang pria berdiri didekat jendela dengan mantel mandi yang masih melekat di tubuhnya. Air terus-menerus menetes dari ujung-ujung rambutnya. Dia menatap gelas yang ada di genggamannya, menggoyangkannya beberapa kali. Kemudian perhatian pria itu teralih keluar jendela. Gedung-gedung tinggi tampak menjulang, beberapa kali tampak pesawat yang lepas landas. Lalu, dia melemparkan gelas kaca di genggamannya. Pecahan gelas itu berserak. Dua orang lainnya saling menatap sembari menelan ludah. “Bodoh!” umpatnya. “Sebagai bawahanku, kalian sangat tidak becus! Seorang wanita lemah bahkan dengan mudah melarikan diri. Apakah kalian pantas masih disebut bagian Oleander?!” ucapnya terdengar menekan. “Kami tak menduga dia akan melarikan diri-“ jawab salah satu bawahannya dengan terbata. “Aku tak ingin mendengar alasan apapun, temukan wanita itu sekarang juga!” ucapnya lantang. “Jika dia tak ditemukan, maka hari ini akan menjadi akhir dari hidup kalian!” Sorot matanya tajam rasan
Rhea membuka matanya kala menyadari seseorang menatap ke arahnya tajam. Belum tersadar penuh, tanpa aba-aba Ayahnya langsung menarik lengannya kasar, menyeretnya bangun dari kasurnya. "Kau sangat hina!" cerca Ayahnya. Rhea tidak mengerti dengan kondisi tiba-tiba ini. Saat menuruni anak tangga semua telah berkumpul di ruang tamu. Kala Rhea menatap neneknya, wanita tua itu hanya memalingkan wajah. Ayahnya melemparnya kasar, membuat Rhea tersungkur ke lantai. "Lagi dan lagi kau bertingkah!" bentak Ayahnya dengan amarah mendidih. Rhea bergegas berdiri, bahkan rasa sakit dari lututnya yang lecet tak terasa. Dia menatap sekeliling meminta penjelasan. Satupun tak ada yang berniat menjawab kebingungannya.Lalu Lili menunjukan sebuah foto USG yang didapatkan dari tas Rhea, sembari terbesit senyum penghinaan dibibirnya. Deg.Keringat Rhea bermunculan, menyebar dari telapak tangan hingga ke lehernya. Kepalanya berdenyut dengan ketakutan yang menyeruak. "Kau... bagaimana bisa?" "Kau kira,
"Benjamin, siapa dia Ayah?" tanya Lili yang terheran dengan reaksi Ayahnya. "Dia.. dia Pemimpin Mafia Oleander." jawab Hendra masih tak percaya. Pemimpin Oleander tak pernah sekalipun menunjukan wajahnya pada orang lain dan mereka sangat rapi dalam menangani masalah __ "Masuklah." pria itu membukakan pintu mobil dan meminta agar Rhea segera masuk kedalamnya. Namun, Rhea tengah kacau dengan pikirannya. "Apalagi sekarang?!" dari kehilangan Ibu, cinta Ayah yang lama mati, dan sekarang neneknya. Rasanya kepalanya hendak pecah. Mengapa rasa sakit tak pernah berhenti dia dapatkan? “Hei!” Pria itu menyentuh pundak Rhea. Rhea tersadar dari lamunanya. Ah! Benar dia sempat lupa bahwa sekarang dia tengah bersama pria asing. Dari banyaknya orang, mengapa harus pria itu?! pria yang tak ingin dia temui, pria yang sangat dia benci, pria yang membuatnya berada dititik ini. Rhea tengah berusaha melawan air mata yang hampir terjatuh dengan menahan teriakan yang tertahan di tenggorokan. Rhea me
Rhea terperanjat bangun dari posisi tidurnya. Dia sadar dia berada dikasur yang jelas bukan miliknya. "Dimana aku?”Matanya mengamati sekitar, tempat yang tak di kenali. Tampak Interior kamar yang elegan didominasi dengan warna hitam abu-abu.“Ah! Aku ingat. Semalam tanpa sadar aku tertidur dalam pelukan pria itu,” Rhea menyesali tindakan yang tak pikir panjang itu. “Apa ini kamar pria itu? ini kediamannya?!” “Akh! au…” Rhea menyentuh pipinya yang terasa nyeri, pipi yang ditampar kuat Ayahnya semalam. Namun, tampaknya itu telah diobati. Karena terdapat plester dipipinya. Rhea mengigit bibirnya kuat. “Benjamin ya?!” Dia tak mengerti perlakuan baik pria itu. Pria yang tak mampu dia tebak dengan mudah. Seketika pikirannya kalut, dia yakin akan sulit menghindari pria itu. Dia menenangkan diri sejenak, setelah merasa lebih tenang dia turun dari kasurnya dengan hati-hati. Rhea menuju pintu, tentu saja dia ingin pergi dari tempat ini, tangannya menyentuh pelan gagang pintu. Namun, tiba-
Ceklek!Pintu dibuka. Seorang pelayan laki-laki dengan menggunakan pakaian polos, sederhana, dan tampak tak menarik perhatian. Pelayan itu kemudian masuk, ekspresinya tampak terkejut kala melihat Tuannya dan seorang wanita cantik yang tengah berada di situasi tak baik. Pelayan itu menebak dalam benak. "Mungkin mereka tengah bertengkar." Rasanya dia tahu bahwa kedatangannya tidak diwaktu yang tepat. Benjamin lantas meraih nampan berisi sarapan dan segelas susu yang dibawa pelayan itu. Pelayan itu menelan ludah kala tatapan menusuk tuannya terarah padanya. Dia tertunduk takut. "Apa lagi yang kau tunggu. Keluar sekarang!" suruhnya terdengar tegas. Pelayan itu bergegas keluar dengan menutup pintu rapat-rapat. “Tidak! Tunggu,” Rhea ingin memanggil kembali pelayan itu, dia ingin meminta bantuannya. Jika hanya dia dan Benjamin disini, situasi tak akan berubah baik untuknya. Dia ingin menghindari pria sialan ini.Benjamin yang tengah meletakan nampan diatas meja meliriknya dengan tajam.
Tapi Rhea tak senang atas pujian itu. Dia memandang Benjamin tanpa gentar lagi. "Aku tak akan tersanjung atau berterimakasih," jawabnya ketus. Benjamin balik menatapnya dari cermin kaca lekat-lekat, "Aku mengatakan sesuai dengan apa yang ku lihat. Senang atau tidaknya itu pilihanmu." Rhea menjadi geram, selalu saja pria ini tak mau kalah darinya dan terus membalas kalimatnya. "Mendandani ku dengan rapi kau akan membawaku kemana?" tanya Rhea yang jauh tampak stabil. "Mm, kau ingin bermain menebak?! jika kau benar aku akan mengabulkan satu permintaanmu dan jika salah kau tak bisa menolak kemanapun ku bawa?" Benjamin menawarkan sesuatu. "Lucu sekali! Kau pikir aku akan percaya. Benar atau salah bukankah itu menjadi keputusanmu." Dahi Benjamin berkerut, sedetik kemudian dia tertawa. “Rupanya kau tidak bodoh. Aku suka.” Lalu perhatian Benjamin tertuju ke perut datar Rhea, dia menyentuh lembut perut Rhea. Rhea mencengkeram erat tangan yang lebih besar darinya itu. Berhasil membuat Be
Rhea yang tampak mengabaikannya membuat Benjamin sedikit kesal. Apa yang dipikirkan oleh wanita didepannya ditengah dia yang sedang mencumbunya? Lantas Benjamin mengigit bibir Rhea.“Ah! au…” rintih Rhea, menatap Benjamin yang kian melumat bibirnya.Benjamin mengusap lembut bibir Rhea dengan jemarinya, tangannya menyentuh dagunya. Dia mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka saling bersentuhan. “Ya, harusnya kau menatapku seperti ini bukan malah mengalihkan pikiran dan pandanganmu.”“Yaampun mereka tampak membara.” ucap seseorang yang berpapasan dengan pasangan yang penuh gairah, mereka tampak terkejut.“Stt! itu tanda cinta, karena baru mendaftarkan pernikahan.” timpal yang lainnya dengan terkekeh.Rhea tersadar mereka masih berada didepan gedung kantor catatan sipil dan banyak orang berlalu lalang dan melihat mereka bercumbu. Bagaimana bisa Benjamin melakukan hal memalukan itu disini.Bergegas Rhea menjauh dari Benjamin. Tangannya mengusap kasar bibir yang baru dicumbu Benjamin. Rh
“Tentu saja penikahan. Ada pengantin pria juga wanitanya.” jelas Charles, dia lantas melanjutkan. “Sebagai bentuk menghargai wanitanya, Tuanku ini sampai mendesak kami agar mempersiapkan tempat ini dalam waktu setengah hari. Ya! Kami tidak heran lagi karena tuanku memang sedikit gila. Tapi aku tak menyangka dia melakukan ini untuk seorang wanita.” dia berbicara dengan sopan namun penuh cercaan dan sindiran didalamnya. “Tidakkah kau merasa bicaramu terlalu banyak.” ucap tegas Benjamin, dia menatap Charles tajam. “Haha… ini hanya sedikit protes.” jawab Charles. Rhea mengepal jemarinya. Benar! Agar status sah sebagai istri, tentu harus melewati pernikahan. “Aku tak pernah membayangkan prosesinya akan secepat ini.” gumamnya. Rhea berusaha mengatur diri agar amarah tak menguasai dirinya. “Lagi dan lagi kau bertindak semau mu. Kau tak menanyakan atau berdiskusi pada ku lebih dulu. Kau berkata untuk mempercayai dirimu, namun semua tindakan mu lebih terlihat agar aku tak memepercayaimu!” l