Setengah hari berlalu dan Rhea lebih banyak berdiam dikamarnya. Setelah mengetahui bahwa yang kakek itu katakana bohong. Rhea merasa bodoh, percaya dengan ucapan dari orang asing. Rhea lebih banyak merebahkan diri diatas kasur dengan mata terpejam, namun tak mampu tertidur. Itu adalah bentuk kekhawatiran dan stres berlebihan tanpa dia sadari. Kemudian Rhea bangkit dari kasurnya, dia duduk di kursi dan mulai membaca buku yang sebelumnya telah dia minta ambilkan pada pelayan Ina. Rhea ingin mengalihkan pikiran-pikiran yang membuatnya frustasi, terlebih tentang Benjamin. Sedetik kemudian air mata Rhea menetes begitu saja. “Bohong jika aku tak khawatir, bohong jika aku tak takut.” Rhea menyeka air matanya dan berusaha menenangkan diri. Lalu pembahasan mengenai Vantoni yang masih belum menemukan titik temu membuat kekesalan dalam diri Benjamin kian memuncak. Ditambah dengan Rhea yang semakin penasaran dan bergerak untuk mencari tau tentangnya. "Saat ini aku masih bisa menyembunyi
Sepanjang hari Rhea termenung dikursi dengan menatap kearah luar jendela, menatap langit, cuaca yang berubah-ubah, lalu lalang burung yang berterbangan, dan pesawat yang melintas beberapa kali.Semua itu adalah upayanya mengalihkan pikirannya.“Apa yang tengah kau lakukan?!” Rhea tersentak lantas menoleh, disebelahnya dia mendapati Benjamin. Dia bahkan tak menyadari kapan tepatnya kedatangannya. “Ini untukmu.” Benjamin memberikan buket bunga pada Rhea. Benjamin memberikannya begitu saja dengan wajah datarnya. Dia terlihat kaku.Mata Rhea membulat dengan ragu-ragu dia menyentuh buket bunga itu. “Kebetulan sekali aku menyukai mawar merah.” benak Rhea. “Ini sangat indah.” puji Rhea. “Aku senang kau menyukainya.” tukas Benjamin lantas menatap lekat wajah istrinya. “Mengapa tiba-tiba bunga?!” tanya Rhea penasaran. “Tak ada alasan.” jawab Benjamin.“Mm, biasanya bunga di berikan pada hari spesial. Mungkin ulang tahun, anniversary, Valentine, ya hari semacam itu. Aku tak tengah beru
“Bagaimana, aku sudah wangi bukan?!” Benjamin tersenyum nakal. Rhea menarik dirinya sedikit menjauh. “Ya, kau sudah wangi.” jawabnya. “Tak perlu sampai mencumbu ku, dari jauh aku bisa mencium bau sabun dari mu.” uap Rhea sembari mendorong pelan Benjamin menjauh darinya. “Ah! Kau perlu merasakan langsung diriku yang sudah wangi ini.” goda Benjamin, dia menunduk menatap Rhea yang terlihat kesal padanya. Rhea bangkit dari duduknya. Dia tampak menghindari situasi yang jelas akan terarah kemana. “Ben sangat berbahaya jika menuruti godaan nya. Mengapa dia bertelanjang dada dan hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk kecil. Otot-otot dadanya sangat menarik perhatianku.” benak Rhea. Dia berdiri didekat jendela, menghindari Benjamin dengan wajah merona merah. Meski Rhea terkesan menolak dan menghindar, nyatanya pikirannya tengah kacau dan tertuju pada dada bidang Benjamin. “Pikiran mesum apa ini.” Rhea berusaha memblokir pikirannya yang terus tertuju pada Ben. Dia bahkan memukul
Bayangan bahwa semua perkataan Benjamin akan di tepati, nyatanya janji-janjinya hanya angin lalu yang terhembus begitu saja. Bertemu dengan keluarga Benjamin? Tak pernah sekalipun itu terjadi. Ketika Rhea menanyakan perihal tersebut. Selalu saja Benjamin mengalihkan pembicaraan. Semua berlalu hingga lima bulan, dan kehamilan Rhea telah memasuki delapan bulan. Tak sekalipun kalimat Benjamin terealisasikan. Hingga Rhea lelah untuk menanyakan hal itu lagi dan memilih diam. Kehamilan 8 bulan membuat Rhea kesulitan berjalan, terlebih pergerakan bayinya menjadi lebih aktif. Rhea lebih banyak menghabiskan harinya berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Meski dia bosan, namun dia merasa jauh lebih aman untuknya tetap berada di sekitar rumah. Rhea duduk di kursi taman belakang rumah. Dia menghela napas pelan sembari mengelus-elus perutnya yang membesar, sesekali terasa pergerakan bayinya yang menendang-nendang. “Sebentar lagi kau akan lahir. Itu tak terasa sekali.” Rhea tersenyum ma
“Wajah tertekuk dengan dahi mengkerut tak cocok dengan mu!” tukas Benjamin. “Ha! Memang siapa yang membuatku begini?” gumam Rhea. Rhea berusaha keras terlepas dari genggaman tangan Benjamin, namun apa daya genggamannya sangat kuat.Kesal! jelas itu tergambar di wajah Rhea. Dia ingin mencaci, memarahinya, dan memukul kuat pria yang mengekangnya dengan perhatian yang membuatnya kebingungan dan sulit berkutik.Pada akhirnya dia mengurungkan niatnya, sudah jelas pria besar ini tak akan pernah berniat kalah darinya hal sekecil apapun itu. Dia menatap datar wajah Benjamin yang bahkan tampak santai dengan senyum yang terukir indah dibibirnya. Bak tak menyadari kekesalan diwajah istrinya atau dia pura-pura tak tahu bahwa istrinya tengah menahan amarahnya? Kesabaran ada ambang batasnya dan diperlakukan seperti orang bodoh, memilih tetap diam juga melelahkan.Rhea menghela napas, dia lelah dan tak ingin berdebat lagi. Berdebat dengan Benjamin hanya membuat tensinya naik. Senyum terpaksa Rh
Rhea termenung di atas kasur nya. Sampai pagi menyapa, Benjamin benar-benar tak menemuinya. Ya! ketenangan yang dia inginkan sejak kemarin. "Namun, mengapa aku sedikit kecewa?" Entah mengapa hatinya terasa resah sejak semalam. Keseharian yang tak biasa Rhea lewati tanpa adanya kehadiran Benjamin. Rhea ingat bahwa setidaknya setiap Benjamin pergi untuk mengurus pekerjaannya. Dia tak pernah pergi tanpa menemuinya lebih dulu. Dia akan datang dengan kata manis yang di rangkai indah, lalu bersikap manja padanya. Marah sekalipun pada akhirnya Benjamin akan menemuinya bak tak terjadi hal apapun, dan hari-hari akan berjalan seperti biasa. "Untuk apa aku memikirkannya." Rhea tak akan ambil pusing tentang Benjamin lagi. Lagipula pria yang membawa wanita yang katanya di cintai namun tak berniat menjadikannya rumah. Rasanya sia-sia. Rhea menghabiskan waktu nya seperti biasa. Dia sibuk dengan kegiatan barunya merajut baju. Hingga malam tiba, Benjamin benar-benar tak terlihat.
Rhea harus lembur lagi malam ini. Ia baru saja hendak pulang namun, langit sudah tampak mendung dengan angin malam menderu, dinginnya begitu menusuk. Rhea hendak bersiap untuk menerobos hujan, dia mengeluarkan payung dalam tasnya. Namun, saat sedang membuka payungnya dia melihat seorang pria duduk di sebuah pohon yang tak jauh darinya. Pria itu tampak waspada dan gemetaran.Ketika hujan mulai deras, pria itu tidak juga beranjak. Rhea pun melangkah, dan berhenti tepat di sebelah pria itu.“Hei, Tuan, kena—Oh, ya ampun!” Rhea kemudian menutup mulutnya terkejut kala melihat tubuh pria itu yang penuh darah. Rhea, lantas memayungi pria itu. "Aku akan segera mencari bantuan.” Rhea menjadi panik. Sebelum pergi mencari bantuan tangan Rhea merogoh tasnya dan mengeluarkan tisu yang selalu dia bawa. “Aku hanya punya ini. Jadi ambillah,”Rhea memberikan beberapa lembar tisu pada pria itu. “Aku tak butuh,” jawab pria itu, sembari menarik tali tudung jaketnya hingga hampir menutupi wajahnya. Me
Cahaya mentari masuk dari jendela dengan gorden yang dibuka lebar. Rhea mengernyit, merasa terganggu. Dia menggeliat, lalu merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Matanya mengerjap. Kemudian dia tersadar berapa di tempat asing. Matanya membelalak, penggalan ingatan semalam muncul memenuhi dirinya, kejadian panas dia dan seorang pria asing tak terelakkan. "Tidak!" "Ini hanya khayalan. Ya! ini hanya mimpi." elaknya.Rhea tertunduk dengan kedua tangan yang menarik kuat rambutnya. Tatapannya kosong, "Ini tidak mungkin! ini tak mungkin terjadi padaku!" dia bergumam, bersikeras menolaknya. Rhea terdiam, kala menyadari sekarang dia bangun tanpa mengenakan seutas benang pun, dengan baju tercecer sembarang di lantai. Kemudian air matanya menetes begitu saja.Bulir keringat bermunculan didahinya dengan butiranya yang perlahan bergulir. "Argh!!" Rhea berteriak dalam benak. Ekspresinya sangat kacau."Bagaimana bisa? bagaimana bisa ini terjadi padaku?!" gumamnya berkali-kali dengan putus asa. Rhe