Tapi Rhea tak senang atas pujian itu. Dia memandang Benjamin tanpa gentar lagi. "Aku tak akan tersanjung atau berterimakasih," jawabnya ketus.
Benjamin balik menatapnya dari cermin kaca lekat-lekat, "Aku mengatakan sesuai dengan apa yang ku lihat. Senang atau tidaknya itu pilihanmu."Rhea menjadi geram, selalu saja pria ini tak mau kalah darinya dan terus membalas kalimatnya.
"Mendandani ku dengan rapi kau akan membawaku kemana?" tanya Rhea yang jauh tampak stabil."Mm, kau ingin bermain menebak?! jika kau benar aku akan mengabulkan satu permintaanmu dan jika salah kau tak bisa menolak kemanapun ku bawa?" Benjamin menawarkan sesuatu."Lucu sekali! Kau pikir aku akan percaya. Benar atau salah bukankah itu menjadi keputusanmu."Dahi Benjamin berkerut, sedetik kemudian dia tertawa. “Rupanya kau tidak bodoh. Aku suka.”
Lalu perhatian Benjamin tertuju ke perut datar Rhea, dia menyentuh lembut perut Rhea.
Rhea mencengkeram erat tangan yang lebih besar darinya itu. Berhasil membuat Benjamin berhenti mengelus perut Rhea.
"Aku tak mengizinkanmu menyentuhku sembarang!!” ucap Rhea marah.
Benjamin tampak tenang menghadapi kemarahan dan kebencian yang ditunjukan secara terang-terangan. Dia menjawab, “Aku sudah menyentuh dan melihat semuanya.”
Rhea menepis kesal tangan pria yang tak sopan menyentuhnya itu. Dan kalimatnya itu membuat Rhea kian membencinya. “Berhenti mengingatkan kejadian itu!”
“Aku sangat membenci itu.” Rhea bangkit dari duduknya, dia memperotes. “Itu terjadi karena ulahmu. Menculikku dan menjamahku dengan paksa. Apa yang bisa dibanggakan dari tindakan pengecut tak terpuji itu huh?!”
“Aku hanya ingin pergi dari tempat ini. Jika kau berpikir aku tak berterimakasih padamu yang membantuku sejauh ini! Kau salah besar, karena kau yang membuatku berada dititik ini.” ucap lantang Rhea sembari menunjuk tepat wajah Benjamin dengan amarah menggebu.
Tapi pria yang berdiri dengan tegap ini hanya menatap kearahnya dengan mata hitam legamnya. Kemudian dia sedikit menunduk, tangannya meraih pinggang Rhea membuat tubuh mereka menempel.
Rhea mendongak menatap wajah Benjamin yang sangat dekat dengannya. Matanya tak menunjukan ketakutan lagi, sebaliknya rasanya dia tengah menunjukan bahwa dia tak akan kalah darinya.
Situasi yang tampak serius, Rhea bahkan kebingungan untuk memperotes lagi. Kepalanya menjadi membeku. Meski dia membenci pria ini, namun secara sadar dia mengakui pesona yang luar biasa dari pria ini.
Lalu Benjamin tiba-tiba saja memeluknya erat-erat, dia berkata dengan lirih. “Tidakkah kau lelah terus menerus berusaha melarikan diri dariku?! Tidakkah kau bisa tenang dan tetap berada disisiku saja. Ya, aku tahu perbuatanku hari kemarin padamu tak terpuji dan pegecut, jadi biarkan aku menebusnya.”
Rhea sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, dia pula tak tahu harus menjawab apa.
Terlepas pria ini bersungguh dengan kalimatnya atau hanya permainan kata untuk menahannya. Namun, perkataanya terasa menyentuh hati dan terdengar tulus.
“Aku tidak mempercayaimu!” kalimat itu spontan keluar dari mulut Rhea, mungkin karena dia merasa masih waspada pada pria ini.
“Aku akan membuatmu mempercayaiku, namun perlahan.” ucap Benjamin berusaha menyakinkan.
Rhea tak menjawab. Entahlah, dia tak yakin mengenai kepercayaan. Bahkan untuk sedikit berharap dia tak berani lagi. Dia selalu dipatahkan dengan ekspetasi bahwa suatu hari kesedihannya akan lenyap dengan didekap oleh kebahagiaan tak terputus.
Terngiang kalimat mendiang Ibunya didetik akhir hidupnya. Kala air mata tak henti menetes disela mata Rhea, Ibunya menghibur dengan berkata. “Kesalahan seorang jangan membuatmu membenci semuanya. Tidak semua pria jahat, kebetulan Ibu salah memilih. Ibu selalu yakin putri Ibu akan menemukan pria yang cintanya lebih besar dan tak ada tangis menyesakkan yang menghantui dimalam hari.” bahkan dipenghujung hidupnya dia tak menyalahkan penuh suaminya. Bukankah hati Ibunya begitu lapang?
Tapi Rhea berbeda, dia tak selapang hati Ibunya. Dia pula tak percaya bahwa seorang pria akan memberikan hati dan cinta lebih besar untuk wanitanya. Dia tak ingin hal sama menimpanya karena seorang pria. Tapi sungguh sial, dia berakhir terperangkap bahkan dengan pria yang tidak dia kenal.
“Apa kau sudah memutuskan mengenai bayinya?” tanya Benjamin.
Rhea terperanjat, “Ah! Aku akan melahirkannya.” jawabnya.
Seketika Benjamin memeluknya lebih erat, rasanya dia sangat senang mendengar itu.
Sedikit perdebatan tadi dan Rhea tak bisa memilih, mau tak mau mengikuti kemana dia akan dibawa. Jikapun dia menolak, pria ini tak akan mendengarkannya.
Bukan rumah sakit, bukan juga kediaman Dominic, melainkan Kantor Catatan Sipil. Tentu saja Rhea bertanya-tanya dalam benak mengapa mereka kemari?
Seperti kata Benjamin sebelumnya. “Bukankah dia ingin melihat janin dalam perutnya? harusnya mereka menemui dokter.” Rhea tak mengerti.
“Nyonya silahkan tanda tangan.”
Ucap petugas wanita itu memecahkan lamunan Rhea. Ya, sekarang dia sudah berhadapan tepat dengan petugas yang tampak mengurus berkas-berkas dan sesekali menekan-nekan keyboard komputernya.
Rhea menatap Benjamin meminta penjelasan, namun Benjamin hanya menaikkan alisnya dan meminta agar Rhea segera menandatangani kertas berisi namanya itu.
Seketika Rhea membelalak, sekarang dia mengerti Benjamin berniat mendaftarkan pernikahan.
“Aku menolak!”
“Kau bahkan tak mendiskusikannya pada ku dulu. Apa kau pikir aku sudah pasti menyetujuinya?!” Rhea tampak naik pitam. Benjamin selalu bersikap seenaknya padanya.
“Kau mengira aku akan memohon agar kau tanggung jawab? Aku tak butuh itu! Aku memang memutuskan melahirkan anak ini tapi sedikitpun tak terbesit keinginan untuk menikah dan hidup denganmu!!” ucap Rhea pelan namun penuh penekanan dan amarah.
Seklibat Rhea melihat sorot mata tajam Benjamin yang rasanya siap menekan siapapun yang berani menolaknya. Sedetik kemudian tatapannya berubah sedikit lebih tenang. Rasanya dia berupaya menekan diri agar tak menunjukan sikap mengendalikan seseorang.
“Ah! Aku lupa berada diranah pria itu.” Rhea mengepal kuat jemarinya.
Benjamin tersenyum kecil, Dia berbisik. “Pencatatan pernikahan akan membawa akibat untuk anak kita dan pemenuhan hak-hak dasarnya dengan jelas. Maka kita mulai dari mendaftarkan pernikahan. Kau memang tak menginginkannya, namun tindakan egois itu akan merugikan. Lalu, tidakkah kau berpikir akan dipandang buruk berada satu atap dirumah pria tanpa status jelas.” bisiknya.
Benjamin memang tampak memberikan solusi. Tapi, itu tindakan liciknya untuk menahan Rhea dan membuat Rhea merasa bahwa dia telah terikat lebih erat dengan Benjamin. Baik pemikiran Rhea karena anaknya atau nanti selepas mereka sah berstatus suami-istri. Dia akan sulit lepas darinya.
Rhea tampak berpikir sejenak. “Itu benar.” gumamnya.
Terlebih jika Ayah dan Lili tahu bahwa dia dibawa oleh pria asing tanpa status jelas. Maka mereka akan terus mencemoohnya. Lalu ketika dia memutuskan melahirkan anaknya maka dia harus siap terus berurusan dengan Benjamin yang merupakan Ayah dari anak yang dikandungnya.
Rhea mengusap wajahnya kasar. Dia benci situasi Dimana tak memiliki pilihan.
Petugas wanita tampak binggung dengan dua pasangan yang tampak belum siap. Terlebih wanitanya tampak tak menyetujui rencana ini.
“Tuan dan Nyonya, maaf menyela. Jika salah satu pihak berkeberatan maka kalian bisa datang dihari lain sampai kalian berdua sudah memantapkan hati. Pernikahan bukanlah perkara mudah. Perlu keyakinan dan persetujuan keduanya.” ucapnya dengan penuh kehati-hatian agar tak menyinggung.
“Ah! Itu sedikit kesalahpahaman dan sayangku ini telah menyetujuinya, bukankah begitu?” Benjamin memandang Rhea lekat.
Kata ‘sayang’ yang diucapkan Benjamin membuat Rhea bergidik.
Rhea menghela napas, rasanya sangat berat untuk menyetujui ucapan Benjamin. Lalu dia mengangguk sebagai jawaban setujunya.
Pada akhirnya Rhea menandatangani surat pendaftaran pernikahan itu.
Rhea menoleh kearah Benjamin. “Mendaftarkan pernikahan bukankah memerlukan informasi kedua belah pihak. Bagaimana kau dengan cepat mendapatkan informasi tentang ku? Dan tidak mungkin kau membawaku tanpa tau identitasku? Jadi siapa kau sebenarnya?!”
Benjamin menutup mulut Rhea pelan. Tentu saja berbicara dihadapan petugas seperti ini akan menimbulakan kecurigaan. “Stt! Jangan berbicara seperti itu disini.”
Benjamin lantas membawa Rhea menjauh dari tempat itu. Meski sedikit merasa aneh, namun petugas itu memilih tak memikirkannya lagi. Pertengkaran adalah hal wajar bagi pasangan yang akan menikah.
Rhea melepas cepat tangan Benjamin yang mendekap mulutnya. Dia menatapnya lekat meminta jawaban.
Senyum seringai menakutkan khas Benjamin terukir dibibirnya. “Kau pikir aku hanya membawa wanita kerumahku tanpa tau siapa wanitaku?"
"Aku tidak sembarang menyentuh wanita dan bahkan aku memilihnya dengan hati-hati." Benjamin menarik lengan Rhea, menariknya kedalam pelukannya. Lalu tangannya menyentuh dagu lancip wanitanya, perlahan dia mengecupnya dengan lembut.
Mata Rhea membulat, dia terkejut dengan tindakan berani Benjamin.
Jantungnya berdegup lebih kencang.
Rhea sadar ini bukanlah hal baik. Berlama-lama berurusan dengan pria ini akan membuatnya terseret kejurang curam.
Rhea yang tampak mengabaikannya membuat Benjamin sedikit kesal. Apa yang dipikirkan oleh wanita didepannya ditengah dia yang sedang mencumbunya? Lantas Benjamin mengigit bibir Rhea.“Ah! au…” rintih Rhea, menatap Benjamin yang kian melumat bibirnya.Benjamin mengusap lembut bibir Rhea dengan jemarinya, tangannya menyentuh dagunya. Dia mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka saling bersentuhan. “Ya, harusnya kau menatapku seperti ini bukan malah mengalihkan pikiran dan pandanganmu.”“Yaampun mereka tampak membara.” ucap seseorang yang berpapasan dengan pasangan yang penuh gairah, mereka tampak terkejut.“Stt! itu tanda cinta, karena baru mendaftarkan pernikahan.” timpal yang lainnya dengan terkekeh.Rhea tersadar mereka masih berada didepan gedung kantor catatan sipil dan banyak orang berlalu lalang dan melihat mereka bercumbu. Bagaimana bisa Benjamin melakukan hal memalukan itu disini.Bergegas Rhea menjauh dari Benjamin. Tangannya mengusap kasar bibir yang baru dicumbu Benjamin. Rh
“Tentu saja penikahan. Ada pengantin pria juga wanitanya.” jelas Charles, dia lantas melanjutkan. “Sebagai bentuk menghargai wanitanya, Tuanku ini sampai mendesak kami agar mempersiapkan tempat ini dalam waktu setengah hari. Ya! Kami tidak heran lagi karena tuanku memang sedikit gila. Tapi aku tak menyangka dia melakukan ini untuk seorang wanita.” dia berbicara dengan sopan namun penuh cercaan dan sindiran didalamnya. “Tidakkah kau merasa bicaramu terlalu banyak.” ucap tegas Benjamin, dia menatap Charles tajam. “Haha… ini hanya sedikit protes.” jawab Charles. Rhea mengepal jemarinya. Benar! Agar status sah sebagai istri, tentu harus melewati pernikahan. “Aku tak pernah membayangkan prosesinya akan secepat ini.” gumamnya. Rhea berusaha mengatur diri agar amarah tak menguasai dirinya. “Lagi dan lagi kau bertindak semau mu. Kau tak menanyakan atau berdiskusi pada ku lebih dulu. Kau berkata untuk mempercayai dirimu, namun semua tindakan mu lebih terlihat agar aku tak memepercayaimu!” l
Setelah kejadian mendebarkan itu mereka kembali kekediamanya.Tepatnya dikamar Benjamin.Seorang pelayan datang membawakan kotak obat. “Letakkan dimeja.” suruh Benjamin dengan penuh penekanan.“Baik.” jawab sopan pelayan itu seraya bergegas keluar.Rhea tengah sibuk menggulung lengan baju Benjamin, kemudian dia membantu membersihkan darah dan mengaplikasikan obat padanya.Rhea pikir peluru menancap dilengan Benjamin, rupanya hanya tergores. Entah mengapa Rhea menjadi lega. “Mungkin karena aku mengandung anaknya, perasaan menghawatirkannya muncul begitu saja.” benak Rhea.“Orang yang terluka harus dibantu, terlepas dengan masalah antar kita.” ucap Rhea memecah keheningan.“Dan jangan berpikir aku akan menerima semua perlakuan sebelum mu.” Rhea menekan sedikit kuat luka Benjamin.Benjamin yang sudah terbiasa dengan pengalaman luka tak terlalu merasakan sakit akibat penekanan luka dari Rhea. Namun, melihat wajah Rhea yang marah dia menjadi ingin menggodanya.“Ah! Au… pelan-pelan.” ucap
Tiga hari berlalu setelah hari itu.Rhea hampir tak bertemu dengan Benjamin. Katanya dia tengah sibuk dengan urusannya dan lebih sering pulang ketika malam larut. Tentu saja saat itu Rhea sudah tertidur dan tak ada alasan untuk menunggu Benjamin.Rhea tahu bahwa Benjamin tengah sibuk mengurus masalah penyerangan tempo hari. Hanya saja hatinya terasa sakit Benjamin pergi tanpa memberi penjelasan.“Aku berpikir keras, namun tetap tak mendapat jawaban.” Rhea tampak lesu.Semangatnya kian memudar, dirumah besar yang asing bersama dengan orang-orang yang bertingkah profeksionis, ini menganggunya.Harusnya Rhea merasa lega tak bertemu dengan pria yang berbicara tajam itu. Tapi ditempat ini dia rupanya membutuhkan keberadaan pria itu.Rhea pikir memiliki lebih banyak waktu sendiri akan menenangkan, nyatanya dia lebih gusar, dan membuatnya lebih hanyut dalam kesedihan. Rasanya dia telah berhasil di jerat pria sialan itu. Dia merasa sekarang membutuhkan sosok pria yang satu-satunya dia kenal d
Rhea bangkit dari duduknya. Belum selesai dengan masalahnya sekarang dia dihadapkan dengan pria yang sangat berisik. Rasanya dia lelah menghadapi kenalan-kenalan Benjamin yang bersikap tak biasa. “Harusnya aku tak heran lagi Benjamin saja sulit ditebak tentu saja orang-orang dan lingkungannya akan begitu.” benak Rhea. “Kau tunggu saja temanmu pulang, aku tak memiliki hal sampai harus duduk dengan mu.” ucap Rhea hendak berlalu. Rhea merasa tak memiliki urusan dan tak berkewajiban menjamu nya, dia pula merasa tak nyaman dengan keberadaan pria bernama Daniel ini. Lagipula pelayan akan mengurus pria ini sampai tuan mereka datang. “Tidakkah kau penasaran mengenai siapa suamimu?! Aku bisa menceritakannya.” ucap Daniel merayu. Rhea menoleh cepat, dia tertarik dengan kalimat yang baru diucapkan Daniel itu. Daniel bak tahu bahwa jelas Rhea ingin mendengarnya lebih lanjut. “Ha! tebakanku benar.” Daniel mengedipkan matanya. Pada akhirnya Rhea menjamu pria itu. Dia tak percaya dengan diriny
“Jawaban jujur bukan elakkan!” tekan Benjamin menatap tajam Daniel. Benjamin sampai buru-buru pulang saat mendengar bahwa Daniel memaksa berkunjung. Daniel orang yang banyak bicara. Bicaranya sembrono membuat Benjamin waspada, bisa saja dia mengatakan hal-hal aneh. Benjamin menghawatirkan istrinya. “Aku serius. Tak ada pembicaraan aneh, kurasa!” Daniel mengangkat kedua tangannya, namun jawabannya seakan meragukan. Lalu tangan Benjamin menjalar keleher Daniel, dia mencengkeramnya erat. Dia menatap temannya tanpa belas kasih. “it-u ja-wa-ban ju-jur.” Jawab Daniel terbata, napasnya terasa sesak. Benjamin menyelidik, kemudian setelah yakin bahwa Daniel tak berbicara sembarang pada Rhea dia melepaskan cengkeramannya. Daniel menarik napas panjang. “Kau memang gila, tak memiliki timbang rasa pada temanmu ini. Huhu… hatiku pedih.” Daniel menyentuh dadanya, dia mulai berakting. Aktingnya sangat buruk. Dia tak pandai dalam hal itu. Daniel melirik Benjamin yang bahkan tak bergeming. B
Rhea menggeliat, lalu matanya perlahan terbuka. Dia merasa tubuhnya sangat nyaman diranjang yang empuk, seingatnya dia tertidur diatas meja. “Apa aku berjalan saat tidur?” pikirnya. Rhea lalu menoleh kesebelah kananya. Dia terdiam sejenak kala melihat dihadapannya dada bidang yang kekar. Terlebih dia baru menyadari tidur diatas lengan seseorang. Rhea membelalak kemudian mendonggak, memastikan siapa pria disebelahnya, rupanya itu Benjamin yang sedari tadi sudah memperhatikannya. Rhea terperanjat, lantas bergegas bangun sedikit menjauh dari Benjamin. Rhea pikir Benjamin akan terus sibuk, pulang larut, dan di pagi hari dia menghilang dengan beralasan tengah mengurus masalah penting. “Ka-u kenapa disini?” tanya Rhea gelagapan. Senyum kecil terukir dibibir Benjamin. Dia bangkit dari posisinya, kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Rhea. Tangannya menyelipkan rambut Rhea kebelakang telinganya. “Mengapa terkejut?! Kau harus mulai terbiasa dengan pemandangan ini.” Benjamin me
Terbangun Rhea sudah ada dirumah sakit, dia melihat Benjamin yang tertunduk dengan terus mengengam tangannya. Tubuhnya masih terasa lemas namun mulai terasa lebih baik. Entah mengapa sekarang dia yakin dengan apa yang dikatakan oleh Daniel. “Benjamin tampak lemah.” “Setidaknya selama aku disini perlakuannya cukup baik padaku, meski bicaranya tajam.” gumam Rhea. Rhea bangun dari posisi tidurnya, tangannya menyentuh wajah Benjamin. Dia ingin menunjukan bahwa dia baik-baik saja, dan meminta Benjamin untuk berhenti khawatir dengan wajah pilu yang tak cocok dengannya itu. Ya! Rhea tergerak begitu saja. Mungkinkah dia iba pada pria ini, atau tersentuh dengan perlakuannya selama ini? Benjamin yang tampak kacau lantas terkejut. Kala sadar, Rhea sudah terbangun, dia bangkit dari duduk dan langsung memeluk Rhea. “Ah!” rintih Rhea, menoleh kearah Benjamin. Benjamin memeluknya erat, namun bibirnya sibuk mencumbu lehernya. Kali ini Rhea tak berniat mendorong Benjamin atau memberikan pemba
Rhea termenung di atas kasur nya. Sampai pagi menyapa, Benjamin benar-benar tak menemuinya. Ya! ketenangan yang dia inginkan sejak kemarin. "Namun, mengapa aku sedikit kecewa?" Entah mengapa hatinya terasa resah sejak semalam. Keseharian yang tak biasa Rhea lewati tanpa adanya kehadiran Benjamin. Rhea ingat bahwa setidaknya setiap Benjamin pergi untuk mengurus pekerjaannya. Dia tak pernah pergi tanpa menemuinya lebih dulu. Dia akan datang dengan kata manis yang di rangkai indah, lalu bersikap manja padanya. Marah sekalipun pada akhirnya Benjamin akan menemuinya bak tak terjadi hal apapun, dan hari-hari akan berjalan seperti biasa. "Untuk apa aku memikirkannya." Rhea tak akan ambil pusing tentang Benjamin lagi. Lagipula pria yang membawa wanita yang katanya di cintai namun tak berniat menjadikannya rumah. Rasanya sia-sia. Rhea menghabiskan waktu nya seperti biasa. Dia sibuk dengan kegiatan barunya merajut baju. Hingga malam tiba, Benjamin benar-benar tak terlihat.
“Wajah tertekuk dengan dahi mengkerut tak cocok dengan mu!” tukas Benjamin. “Ha! Memang siapa yang membuatku begini?” gumam Rhea. Rhea berusaha keras terlepas dari genggaman tangan Benjamin, namun apa daya genggamannya sangat kuat.Kesal! jelas itu tergambar di wajah Rhea. Dia ingin mencaci, memarahinya, dan memukul kuat pria yang mengekangnya dengan perhatian yang membuatnya kebingungan dan sulit berkutik.Pada akhirnya dia mengurungkan niatnya, sudah jelas pria besar ini tak akan pernah berniat kalah darinya hal sekecil apapun itu. Dia menatap datar wajah Benjamin yang bahkan tampak santai dengan senyum yang terukir indah dibibirnya. Bak tak menyadari kekesalan diwajah istrinya atau dia pura-pura tak tahu bahwa istrinya tengah menahan amarahnya? Kesabaran ada ambang batasnya dan diperlakukan seperti orang bodoh, memilih tetap diam juga melelahkan.Rhea menghela napas, dia lelah dan tak ingin berdebat lagi. Berdebat dengan Benjamin hanya membuat tensinya naik. Senyum terpaksa Rh
Bayangan bahwa semua perkataan Benjamin akan di tepati, nyatanya janji-janjinya hanya angin lalu yang terhembus begitu saja. Bertemu dengan keluarga Benjamin? Tak pernah sekalipun itu terjadi. Ketika Rhea menanyakan perihal tersebut. Selalu saja Benjamin mengalihkan pembicaraan. Semua berlalu hingga lima bulan, dan kehamilan Rhea telah memasuki delapan bulan. Tak sekalipun kalimat Benjamin terealisasikan. Hingga Rhea lelah untuk menanyakan hal itu lagi dan memilih diam. Kehamilan 8 bulan membuat Rhea kesulitan berjalan, terlebih pergerakan bayinya menjadi lebih aktif. Rhea lebih banyak menghabiskan harinya berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Meski dia bosan, namun dia merasa jauh lebih aman untuknya tetap berada di sekitar rumah. Rhea duduk di kursi taman belakang rumah. Dia menghela napas pelan sembari mengelus-elus perutnya yang membesar, sesekali terasa pergerakan bayinya yang menendang-nendang. “Sebentar lagi kau akan lahir. Itu tak terasa sekali.” Rhea tersenyum ma
“Bagaimana, aku sudah wangi bukan?!” Benjamin tersenyum nakal. Rhea menarik dirinya sedikit menjauh. “Ya, kau sudah wangi.” jawabnya. “Tak perlu sampai mencumbu ku, dari jauh aku bisa mencium bau sabun dari mu.” uap Rhea sembari mendorong pelan Benjamin menjauh darinya. “Ah! Kau perlu merasakan langsung diriku yang sudah wangi ini.” goda Benjamin, dia menunduk menatap Rhea yang terlihat kesal padanya. Rhea bangkit dari duduknya. Dia tampak menghindari situasi yang jelas akan terarah kemana. “Ben sangat berbahaya jika menuruti godaan nya. Mengapa dia bertelanjang dada dan hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk kecil. Otot-otot dadanya sangat menarik perhatianku.” benak Rhea. Dia berdiri didekat jendela, menghindari Benjamin dengan wajah merona merah. Meski Rhea terkesan menolak dan menghindar, nyatanya pikirannya tengah kacau dan tertuju pada dada bidang Benjamin. “Pikiran mesum apa ini.” Rhea berusaha memblokir pikirannya yang terus tertuju pada Ben. Dia bahkan memukul
Sepanjang hari Rhea termenung dikursi dengan menatap kearah luar jendela, menatap langit, cuaca yang berubah-ubah, lalu lalang burung yang berterbangan, dan pesawat yang melintas beberapa kali.Semua itu adalah upayanya mengalihkan pikirannya.“Apa yang tengah kau lakukan?!” Rhea tersentak lantas menoleh, disebelahnya dia mendapati Benjamin. Dia bahkan tak menyadari kapan tepatnya kedatangannya. “Ini untukmu.” Benjamin memberikan buket bunga pada Rhea. Benjamin memberikannya begitu saja dengan wajah datarnya. Dia terlihat kaku.Mata Rhea membulat dengan ragu-ragu dia menyentuh buket bunga itu. “Kebetulan sekali aku menyukai mawar merah.” benak Rhea. “Ini sangat indah.” puji Rhea. “Aku senang kau menyukainya.” tukas Benjamin lantas menatap lekat wajah istrinya. “Mengapa tiba-tiba bunga?!” tanya Rhea penasaran. “Tak ada alasan.” jawab Benjamin.“Mm, biasanya bunga di berikan pada hari spesial. Mungkin ulang tahun, anniversary, Valentine, ya hari semacam itu. Aku tak tengah beru
Setengah hari berlalu dan Rhea lebih banyak berdiam dikamarnya. Setelah mengetahui bahwa yang kakek itu katakana bohong. Rhea merasa bodoh, percaya dengan ucapan dari orang asing. Rhea lebih banyak merebahkan diri diatas kasur dengan mata terpejam, namun tak mampu tertidur. Itu adalah bentuk kekhawatiran dan stres berlebihan tanpa dia sadari. Kemudian Rhea bangkit dari kasurnya, dia duduk di kursi dan mulai membaca buku yang sebelumnya telah dia minta ambilkan pada pelayan Ina. Rhea ingin mengalihkan pikiran-pikiran yang membuatnya frustasi, terlebih tentang Benjamin. Sedetik kemudian air mata Rhea menetes begitu saja. “Bohong jika aku tak khawatir, bohong jika aku tak takut.” Rhea menyeka air matanya dan berusaha menenangkan diri. Lalu pembahasan mengenai Vantoni yang masih belum menemukan titik temu membuat kekesalan dalam diri Benjamin kian memuncak. Ditambah dengan Rhea yang semakin penasaran dan bergerak untuk mencari tau tentangnya. "Saat ini aku masih bisa menyembunyi
Rhea mendorong dada Benjamin. “Tidak. Aku tak ingin kau menyentuhku malam ini.” “Apa yang kau pikirkan itu hanya kecupan selamat malam.” Jelas Benjamin sembari tertawa. “Aku tak akan tertipu.” Rhea tak percaya, sering kali Benjamin berkata demikian, namun berbeda dengan tindakannya. “Sungguh?!” goda Benjamin. Rhea menjauh dari Benjamin. Dia bahkan membelakangginya. Keresahan memenuhinya dan engan menyambut sentuhan-sentuhan Benjamin. Tak ada protes atau kata-kata tajam dari Benjamin. Benjamin malah memeluk Rhea dari belakang, lantas memejamkan matanya, beberapa menit dia telah tertidur dengan pulas. Rhea tak menduga bahwa malam ini Benjamin sungguh tak melakukan hal-hal mesum seperti yang di pikirannya. Wajah Rhea merona malu, rupanya sungguh hanya dia yang memikirkan itu. Kemudian dia ikut tertidur dengan pulas. Dia akan memastikan ruangan itu esok harinya. Pagi harinya Benjamin telah bersiap. Dia menatap Rhea yang masih tertidur pulas. Dia mendekati Rhea, lantas berkat
"Jangan malu dengan panggilan Sayang dariku!" goda Benjamin. Rhea meluruskan tangannya tepat ke arah Benjamin, dia bak meminta Benjamin untuk berhenti menggoda nya. Rhea tak ingin berakhir lagi dengan panas yang menggelora. Rhea berusaha memblokir pikiran-pikiran mesumnya. Kemudian dia berjalan lebih dulu menaiki tangga, mendahului Benjamin. Rhea tak ingin terjebak dengan situasi yang akan sulit dia hadapi nantinya. Terlebih Benjamin sangat suka menyentuh bagian-bagian sensitif nya. Rhea terus melangkah, namun dalam benaknya dia sungguh penasaran dengan ruangan itu. Dia ingin memastikan sendiri kalimat dari kakek itu. Rhea menoleh kearah ruangan itu sepintas dengan kaki yang terus melangkah menaiki anak tangga. Benjamin yang berada tepat dibelakang mengamati gerik Rhea, tatapannya tajam. Lantas Benjamin mempercepat langkahnya, dia merangkul pinggang Rhea. Dengan cepat ekspresi nya berubah lebih hangat. “Jalanmu sungguh lambat.” Ucap Benjamin menoleh kearah Rhea. “Mm, aku sedi
Kekhawatiran dan rasa cemas memenuhinya. Rhea terus memikirkan kalimat kakek itu hingga malam tiba. Rhea tak tenang hingga sulit memejamkan matanya. Rhea sampai tak menyadari. Detik, dan menit terus berjalan. Hingga suara langkah kaki terdengar mendekat. Rhea berpura memejamkan matanya. "Benjamin sudah pulang." benak Rhea menebak. Karena tak mungkin orang lain masuk ke kamarnya di tengah malam. Kemudian langkah kaki Benjamin mengarah ke kamar mandi, suara air mulai terdengar. Rhea semakin gelisah. “Sebaiknya ku katakan saja mengenai perkataan kakek tadi?!” “Tidak! Aku akan memeriksa dan memastikan lebih dulu mengenai perkataan kakek itu.” benaknya. Ceklek!! Suara pintu kamar mandi terbuka. Terdengar langkah kaki Benjamin yang mengarah padanya. Rhea kembali memejamkan mata. Rhea merasa risih, dia merasakan tatapan tajam terarah padanya. “Hm! Kelopak matamu bergerak-gerak. Kau tak pandai berbohong.” tukas Benjamin. Kala mendengar kalimat Benjamin, tanpa sadar Rhea mengerutka