Tiga hari berlalu setelah hari itu.Rhea hampir tak bertemu dengan Benjamin. Katanya dia tengah sibuk dengan urusannya dan lebih sering pulang ketika malam larut. Tentu saja saat itu Rhea sudah tertidur dan tak ada alasan untuk menunggu Benjamin.Rhea tahu bahwa Benjamin tengah sibuk mengurus masalah penyerangan tempo hari. Hanya saja hatinya terasa sakit Benjamin pergi tanpa memberi penjelasan.“Aku berpikir keras, namun tetap tak mendapat jawaban.” Rhea tampak lesu.Semangatnya kian memudar, dirumah besar yang asing bersama dengan orang-orang yang bertingkah profeksionis, ini menganggunya.Harusnya Rhea merasa lega tak bertemu dengan pria yang berbicara tajam itu. Tapi ditempat ini dia rupanya membutuhkan keberadaan pria itu.Rhea pikir memiliki lebih banyak waktu sendiri akan menenangkan, nyatanya dia lebih gusar, dan membuatnya lebih hanyut dalam kesedihan. Rasanya dia telah berhasil di jerat pria sialan itu. Dia merasa sekarang membutuhkan sosok pria yang satu-satunya dia kenal d
Rhea bangkit dari duduknya. Belum selesai dengan masalahnya sekarang dia dihadapkan dengan pria yang sangat berisik. Rasanya dia lelah menghadapi kenalan-kenalan Benjamin yang bersikap tak biasa. “Harusnya aku tak heran lagi Benjamin saja sulit ditebak tentu saja orang-orang dan lingkungannya akan begitu.” benak Rhea. “Kau tunggu saja temanmu pulang, aku tak memiliki hal sampai harus duduk dengan mu.” ucap Rhea hendak berlalu. Rhea merasa tak memiliki urusan dan tak berkewajiban menjamu nya, dia pula merasa tak nyaman dengan keberadaan pria bernama Daniel ini. Lagipula pelayan akan mengurus pria ini sampai tuan mereka datang. “Tidakkah kau penasaran mengenai siapa suamimu?! Aku bisa menceritakannya.” ucap Daniel merayu. Rhea menoleh cepat, dia tertarik dengan kalimat yang baru diucapkan Daniel itu. Daniel bak tahu bahwa jelas Rhea ingin mendengarnya lebih lanjut. “Ha! tebakanku benar.” Daniel mengedipkan matanya. Pada akhirnya Rhea menjamu pria itu. Dia tak percaya dengan diriny
“Jawaban jujur bukan elakkan!” tekan Benjamin menatap tajam Daniel. Benjamin sampai buru-buru pulang saat mendengar bahwa Daniel memaksa berkunjung. Daniel orang yang banyak bicara. Bicaranya sembrono membuat Benjamin waspada, bisa saja dia mengatakan hal-hal aneh. Benjamin menghawatirkan istrinya. “Aku serius. Tak ada pembicaraan aneh, kurasa!” Daniel mengangkat kedua tangannya, namun jawabannya seakan meragukan. Lalu tangan Benjamin menjalar keleher Daniel, dia mencengkeramnya erat. Dia menatap temannya tanpa belas kasih. “it-u ja-wa-ban ju-jur.” Jawab Daniel terbata, napasnya terasa sesak. Benjamin menyelidik, kemudian setelah yakin bahwa Daniel tak berbicara sembarang pada Rhea dia melepaskan cengkeramannya. Daniel menarik napas panjang. “Kau memang gila, tak memiliki timbang rasa pada temanmu ini. Huhu… hatiku pedih.” Daniel menyentuh dadanya, dia mulai berakting. Aktingnya sangat buruk. Dia tak pandai dalam hal itu. Daniel melirik Benjamin yang bahkan tak bergeming. B
Rhea menggeliat, lalu matanya perlahan terbuka. Dia merasa tubuhnya sangat nyaman diranjang yang empuk, seingatnya dia tertidur diatas meja. “Apa aku berjalan saat tidur?” pikirnya. Rhea lalu menoleh kesebelah kananya. Dia terdiam sejenak kala melihat dihadapannya dada bidang yang kekar. Terlebih dia baru menyadari tidur diatas lengan seseorang. Rhea membelalak kemudian mendonggak, memastikan siapa pria disebelahnya, rupanya itu Benjamin yang sedari tadi sudah memperhatikannya. Rhea terperanjat, lantas bergegas bangun sedikit menjauh dari Benjamin. Rhea pikir Benjamin akan terus sibuk, pulang larut, dan di pagi hari dia menghilang dengan beralasan tengah mengurus masalah penting. “Ka-u kenapa disini?” tanya Rhea gelagapan. Senyum kecil terukir dibibir Benjamin. Dia bangkit dari posisinya, kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Rhea. Tangannya menyelipkan rambut Rhea kebelakang telinganya. “Mengapa terkejut?! Kau harus mulai terbiasa dengan pemandangan ini.” Benjamin me
Terbangun Rhea sudah ada dirumah sakit, dia melihat Benjamin yang tertunduk dengan terus mengengam tangannya. Tubuhnya masih terasa lemas namun mulai terasa lebih baik. Entah mengapa sekarang dia yakin dengan apa yang dikatakan oleh Daniel. “Benjamin tampak lemah.” “Setidaknya selama aku disini perlakuannya cukup baik padaku, meski bicaranya tajam.” gumam Rhea. Rhea bangun dari posisi tidurnya, tangannya menyentuh wajah Benjamin. Dia ingin menunjukan bahwa dia baik-baik saja, dan meminta Benjamin untuk berhenti khawatir dengan wajah pilu yang tak cocok dengannya itu. Ya! Rhea tergerak begitu saja. Mungkinkah dia iba pada pria ini, atau tersentuh dengan perlakuannya selama ini? Benjamin yang tampak kacau lantas terkejut. Kala sadar, Rhea sudah terbangun, dia bangkit dari duduk dan langsung memeluk Rhea. “Ah!” rintih Rhea, menoleh kearah Benjamin. Benjamin memeluknya erat, namun bibirnya sibuk mencumbu lehernya. Kali ini Rhea tak berniat mendorong Benjamin atau memberikan pemba
“Jangan panggil Tuan. Ben, panggil aku dengan nama itu.” suruh Benjamin.Rhea menutup wajahnya, entah mengapa dia merasa sangat malu sekarang. Mengapa dia melakukan ini dengan pria sialan ini?“Mh!! Hh!!”Desis Rhea.“Panggil aku dengan nama.” suruhnya lagi. “Jangan menutupi wajahmu dan lihat aku.” Benjamin menyentuh wajah Rhea melarangnya memalingkan wajah.“Ben, Ya! Ben…”“Aku tak bisa berpikir jernih.” benak Rhea, dia melingkarkan tangan dibelakang leher Benjamin, mengikuti permainannya.“Benar seperti itu.” Benjamin kembali mencumbu bibir manis Rhea.Lantas Benjamin perlahan merebahkan tubuh Rhea kekasur, sembari terus menjamahnya.Serangkaian adegan-adegan panas terjadi antar keduanya.Selesai bercengkerama dengan gelora gairah. Benjamin memandangi wanitanya yang tertidur kelelahan.“Aku tak menyangka akan melakukannya lagi denganmu dan kau tak menolak ku. Matamu yang indah tak lagi terlihat menatapku dengan keji.” terbesit senyum puas dibibir Benjamin, dia mencium kening istriny
Rhea mengenakan kembali piyamanya dan terus memastikan bahwa Benjamin tak mengintip.Setelah selesai, Rhea merasa tubuhnya lengket, dan perlu membersihkannya. Dia ingin bangun dan menuju kamar mandi. Namun, dia bahkan tak bisa bangun dari ranjangnya.Hari ini Benjamin melakukannya dengan lembut, namun mengapa dia sampai kesulitan seperti ini?Rhea menatap Benjamin kesal, mengapa hanya dia yang terlihat biasa saja.Setelah yakin Rhea selesai mengenakan bajunya, Benjamin menatap Rhea kembali. “Kau tampak kesulitan.” ucapnya.“Ini karena ulahmu.” jawabnya ketus.Benjamin tertawa kecil sembari menatap Rhea dengan intens. “Aku terlalu bersemangat.”Benjamin menyentuh lembut punggung tangan Rhea. “Jika kau merasa tak nyaman maka katakan saja.”Rhea menghela napas pelan.“Baiklah!” Rhea menatap Benjamin yang bahkan tak berniat beranjak dari kamar. “Kau masih disini? Tidakkah kau pergi untuk urusan kerja?”“Ku rasa kau membutuhkanku disini.” jawab Benjamin.“Kau tak perlu menungguku, kau bis
Setelah Benjamin pergi entah mengapa Rhea merasa kosong dan kesepian. Meski ada pelayan Marie dan juga Ina yang menemaninya bak teman. Namun, kebosanan terus menyerang. “Hei, Ina. Aku ingin keluar. Bisakah tolong katakana pada Ray untuk memberi tahu pada Benjamin agar memberiku izin.” pinta Rhea. Ya! Dia ingin mencoba apakah Benjamin akan memberinya keleluasaan untuk keluar? Rhea tau situasinya dan Benjamin telah membaik maka tak ada alasan menahannya terus didalam kamar yang menyesakkan. “Berdiam dikamar tentu membosankan. Aku akan meminta Ray menghubungi Tuan dan meminta izin.” Ina bergegas berlari keluar menemui Ray. Ray rupanya pelayan kepercayaan Benjamin. Dan memiliki otoritas dalam bertindak selama Benjamin tak ada dikediamannya. Dan dia pria yang bersenjata yang selalu disembunyikan dibagian tak tertebak. Rhea juga pelayan-pelayan wanita tak pernah menyadari itu, yang mereka tau Ray pria yang tak banyak bicara, namun sangat cepat dalam bertindak. “Anda berniat pergi kema
Rhea termenung di atas kasur nya. Sampai pagi menyapa, Benjamin benar-benar tak menemuinya. Ya! ketenangan yang dia inginkan sejak kemarin. "Namun, mengapa aku sedikit kecewa?" Entah mengapa hatinya terasa resah sejak semalam. Keseharian yang tak biasa Rhea lewati tanpa adanya kehadiran Benjamin. Rhea ingat bahwa setidaknya setiap Benjamin pergi untuk mengurus pekerjaannya. Dia tak pernah pergi tanpa menemuinya lebih dulu. Dia akan datang dengan kata manis yang di rangkai indah, lalu bersikap manja padanya. Marah sekalipun pada akhirnya Benjamin akan menemuinya bak tak terjadi hal apapun, dan hari-hari akan berjalan seperti biasa. "Untuk apa aku memikirkannya." Rhea tak akan ambil pusing tentang Benjamin lagi. Lagipula pria yang membawa wanita yang katanya di cintai namun tak berniat menjadikannya rumah. Rasanya sia-sia. Rhea menghabiskan waktu nya seperti biasa. Dia sibuk dengan kegiatan barunya merajut baju. Hingga malam tiba, Benjamin benar-benar tak terlihat.
“Wajah tertekuk dengan dahi mengkerut tak cocok dengan mu!” tukas Benjamin. “Ha! Memang siapa yang membuatku begini?” gumam Rhea. Rhea berusaha keras terlepas dari genggaman tangan Benjamin, namun apa daya genggamannya sangat kuat.Kesal! jelas itu tergambar di wajah Rhea. Dia ingin mencaci, memarahinya, dan memukul kuat pria yang mengekangnya dengan perhatian yang membuatnya kebingungan dan sulit berkutik.Pada akhirnya dia mengurungkan niatnya, sudah jelas pria besar ini tak akan pernah berniat kalah darinya hal sekecil apapun itu. Dia menatap datar wajah Benjamin yang bahkan tampak santai dengan senyum yang terukir indah dibibirnya. Bak tak menyadari kekesalan diwajah istrinya atau dia pura-pura tak tahu bahwa istrinya tengah menahan amarahnya? Kesabaran ada ambang batasnya dan diperlakukan seperti orang bodoh, memilih tetap diam juga melelahkan.Rhea menghela napas, dia lelah dan tak ingin berdebat lagi. Berdebat dengan Benjamin hanya membuat tensinya naik. Senyum terpaksa Rh
Bayangan bahwa semua perkataan Benjamin akan di tepati, nyatanya janji-janjinya hanya angin lalu yang terhembus begitu saja. Bertemu dengan keluarga Benjamin? Tak pernah sekalipun itu terjadi. Ketika Rhea menanyakan perihal tersebut. Selalu saja Benjamin mengalihkan pembicaraan. Semua berlalu hingga lima bulan, dan kehamilan Rhea telah memasuki delapan bulan. Tak sekalipun kalimat Benjamin terealisasikan. Hingga Rhea lelah untuk menanyakan hal itu lagi dan memilih diam. Kehamilan 8 bulan membuat Rhea kesulitan berjalan, terlebih pergerakan bayinya menjadi lebih aktif. Rhea lebih banyak menghabiskan harinya berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Meski dia bosan, namun dia merasa jauh lebih aman untuknya tetap berada di sekitar rumah. Rhea duduk di kursi taman belakang rumah. Dia menghela napas pelan sembari mengelus-elus perutnya yang membesar, sesekali terasa pergerakan bayinya yang menendang-nendang. “Sebentar lagi kau akan lahir. Itu tak terasa sekali.” Rhea tersenyum ma
“Bagaimana, aku sudah wangi bukan?!” Benjamin tersenyum nakal. Rhea menarik dirinya sedikit menjauh. “Ya, kau sudah wangi.” jawabnya. “Tak perlu sampai mencumbu ku, dari jauh aku bisa mencium bau sabun dari mu.” uap Rhea sembari mendorong pelan Benjamin menjauh darinya. “Ah! Kau perlu merasakan langsung diriku yang sudah wangi ini.” goda Benjamin, dia menunduk menatap Rhea yang terlihat kesal padanya. Rhea bangkit dari duduknya. Dia tampak menghindari situasi yang jelas akan terarah kemana. “Ben sangat berbahaya jika menuruti godaan nya. Mengapa dia bertelanjang dada dan hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk kecil. Otot-otot dadanya sangat menarik perhatianku.” benak Rhea. Dia berdiri didekat jendela, menghindari Benjamin dengan wajah merona merah. Meski Rhea terkesan menolak dan menghindar, nyatanya pikirannya tengah kacau dan tertuju pada dada bidang Benjamin. “Pikiran mesum apa ini.” Rhea berusaha memblokir pikirannya yang terus tertuju pada Ben. Dia bahkan memukul
Sepanjang hari Rhea termenung dikursi dengan menatap kearah luar jendela, menatap langit, cuaca yang berubah-ubah, lalu lalang burung yang berterbangan, dan pesawat yang melintas beberapa kali.Semua itu adalah upayanya mengalihkan pikirannya.“Apa yang tengah kau lakukan?!” Rhea tersentak lantas menoleh, disebelahnya dia mendapati Benjamin. Dia bahkan tak menyadari kapan tepatnya kedatangannya. “Ini untukmu.” Benjamin memberikan buket bunga pada Rhea. Benjamin memberikannya begitu saja dengan wajah datarnya. Dia terlihat kaku.Mata Rhea membulat dengan ragu-ragu dia menyentuh buket bunga itu. “Kebetulan sekali aku menyukai mawar merah.” benak Rhea. “Ini sangat indah.” puji Rhea. “Aku senang kau menyukainya.” tukas Benjamin lantas menatap lekat wajah istrinya. “Mengapa tiba-tiba bunga?!” tanya Rhea penasaran. “Tak ada alasan.” jawab Benjamin.“Mm, biasanya bunga di berikan pada hari spesial. Mungkin ulang tahun, anniversary, Valentine, ya hari semacam itu. Aku tak tengah beru
Setengah hari berlalu dan Rhea lebih banyak berdiam dikamarnya. Setelah mengetahui bahwa yang kakek itu katakana bohong. Rhea merasa bodoh, percaya dengan ucapan dari orang asing. Rhea lebih banyak merebahkan diri diatas kasur dengan mata terpejam, namun tak mampu tertidur. Itu adalah bentuk kekhawatiran dan stres berlebihan tanpa dia sadari. Kemudian Rhea bangkit dari kasurnya, dia duduk di kursi dan mulai membaca buku yang sebelumnya telah dia minta ambilkan pada pelayan Ina. Rhea ingin mengalihkan pikiran-pikiran yang membuatnya frustasi, terlebih tentang Benjamin. Sedetik kemudian air mata Rhea menetes begitu saja. “Bohong jika aku tak khawatir, bohong jika aku tak takut.” Rhea menyeka air matanya dan berusaha menenangkan diri. Lalu pembahasan mengenai Vantoni yang masih belum menemukan titik temu membuat kekesalan dalam diri Benjamin kian memuncak. Ditambah dengan Rhea yang semakin penasaran dan bergerak untuk mencari tau tentangnya. "Saat ini aku masih bisa menyembunyi
Rhea mendorong dada Benjamin. “Tidak. Aku tak ingin kau menyentuhku malam ini.” “Apa yang kau pikirkan itu hanya kecupan selamat malam.” Jelas Benjamin sembari tertawa. “Aku tak akan tertipu.” Rhea tak percaya, sering kali Benjamin berkata demikian, namun berbeda dengan tindakannya. “Sungguh?!” goda Benjamin. Rhea menjauh dari Benjamin. Dia bahkan membelakangginya. Keresahan memenuhinya dan engan menyambut sentuhan-sentuhan Benjamin. Tak ada protes atau kata-kata tajam dari Benjamin. Benjamin malah memeluk Rhea dari belakang, lantas memejamkan matanya, beberapa menit dia telah tertidur dengan pulas. Rhea tak menduga bahwa malam ini Benjamin sungguh tak melakukan hal-hal mesum seperti yang di pikirannya. Wajah Rhea merona malu, rupanya sungguh hanya dia yang memikirkan itu. Kemudian dia ikut tertidur dengan pulas. Dia akan memastikan ruangan itu esok harinya. Pagi harinya Benjamin telah bersiap. Dia menatap Rhea yang masih tertidur pulas. Dia mendekati Rhea, lantas berkat
"Jangan malu dengan panggilan Sayang dariku!" goda Benjamin. Rhea meluruskan tangannya tepat ke arah Benjamin, dia bak meminta Benjamin untuk berhenti menggoda nya. Rhea tak ingin berakhir lagi dengan panas yang menggelora. Rhea berusaha memblokir pikiran-pikiran mesumnya. Kemudian dia berjalan lebih dulu menaiki tangga, mendahului Benjamin. Rhea tak ingin terjebak dengan situasi yang akan sulit dia hadapi nantinya. Terlebih Benjamin sangat suka menyentuh bagian-bagian sensitif nya. Rhea terus melangkah, namun dalam benaknya dia sungguh penasaran dengan ruangan itu. Dia ingin memastikan sendiri kalimat dari kakek itu. Rhea menoleh kearah ruangan itu sepintas dengan kaki yang terus melangkah menaiki anak tangga. Benjamin yang berada tepat dibelakang mengamati gerik Rhea, tatapannya tajam. Lantas Benjamin mempercepat langkahnya, dia merangkul pinggang Rhea. Dengan cepat ekspresi nya berubah lebih hangat. “Jalanmu sungguh lambat.” Ucap Benjamin menoleh kearah Rhea. “Mm, aku sedi
Kekhawatiran dan rasa cemas memenuhinya. Rhea terus memikirkan kalimat kakek itu hingga malam tiba. Rhea tak tenang hingga sulit memejamkan matanya. Rhea sampai tak menyadari. Detik, dan menit terus berjalan. Hingga suara langkah kaki terdengar mendekat. Rhea berpura memejamkan matanya. "Benjamin sudah pulang." benak Rhea menebak. Karena tak mungkin orang lain masuk ke kamarnya di tengah malam. Kemudian langkah kaki Benjamin mengarah ke kamar mandi, suara air mulai terdengar. Rhea semakin gelisah. “Sebaiknya ku katakan saja mengenai perkataan kakek tadi?!” “Tidak! Aku akan memeriksa dan memastikan lebih dulu mengenai perkataan kakek itu.” benaknya. Ceklek!! Suara pintu kamar mandi terbuka. Terdengar langkah kaki Benjamin yang mengarah padanya. Rhea kembali memejamkan mata. Rhea merasa risih, dia merasakan tatapan tajam terarah padanya. “Hm! Kelopak matamu bergerak-gerak. Kau tak pandai berbohong.” tukas Benjamin. Kala mendengar kalimat Benjamin, tanpa sadar Rhea mengerutka