Pelayan itu menelan ludah kala tatapan menusuk tuannya terarah padanya. Dia tertunduk takut.
"Apa lagi yang kau tunggu. Keluar sekarang!" suruhnya terdengar tegas.Pelayan itu bergegas keluar dengan menutup pintu rapat-rapat.“Tidak! Tunggu,” Rhea ingin memanggil kembali pelayan itu, dia ingin meminta bantuannya.Jika hanya dia dan Benjamin disini, situasi tak akan berubah baik untuknya. Dia ingin menghindari pria sialan ini.
Benjamin yang tengah meletakan nampan diatas meja meliriknya dengan tajam. Itu berhasil menghentikan niat Rhea.Rhea prustasi atas ketidakmampuannya melawan pria ini. Lalu dia menatap marah Benjamin. Dengan keyakinan bahwa mungkin pria ini menahannya karena anak dalam perutnya.“Aku tak akan melahirkan anak ini!!” ucapnya lantang, meski begitu matanya berkaca-kaca.Benjamin tampak tak terkejut. Dia duduk diatas kasur dengan tenang karena dia tau itu hanya kemarahan sesaat wanita yang sedang kacau.“Kemari. Ini dibuatkan untukmu.”Hati Rhea terasa pedih, Benjamin dengan mudah mengabaikan kalimatnya.“Anak yang ada karena kesalahan harusnya tidak lahir. Dia tak harusnya menanggung dosa. Jadi tak ada alasan kau menahan ku lama!!” lirihnya dengan mencengkeram erat roknya.
“Jadi kau memilih membunuhnya begitu?! Karena kau berpikir demikian atau karena itu anakku?!” suara Benjamin terdengar menekan.
Lalu Benjamin mengacak kasar rambutnya. Dia beranjak bangun dari duduknya dan mendekati Rhea. “Pikirkan dengan hati-hati. Anak kita juga berhak atas hidupnya selepas dari kesalahan yang kau katakan itu.”Rhea tertunduk dengan perasaan gusar. Dia tahu bahwa dia tampak seperti orang jahat yang dengan lantang berkata ingin mengugurkan anak dalam perutnya. Dia hanya ingin pergi dari pria ini. Sejujurnya dia belum memutuskan dengan benar.
Tiba-tiba tangannya ditarik oleh Benjamin.
“Jangan bersikap kekanakan.” Benjamin menarik kursi dan mendudukannya disana.
“Aku akan pergi hanya ketika kau menghabiskan makananmu.” paksanya dengan meletakan secangkir susu digengaman tangan Rhea.
“Kau menolak aku bersikap lembut, maka aku akan sedikit kasar.” ucap Benjamin tegas.
Rhea menatap Benjamin sekejap setelahnya perhatiannya tertuju pada secangkir susu digengamannya. Dia tak mempercayai pria ini. Tapi, perutnya juga terus berisik meminta segera diisi.
Tak ada pilihan, dan ada kehidupan lain diperutnya. Pria ini tak akan memberikan sesuatu yang berbahaya dalam makanannya, bagaimanapun dia tengah mengandung anaknya.
Kemudian Rhea menegak cepat susu itu. Dia lantas menikmati sup kacang merah yang telah disiapkan untuknya. Rasanya dia bisa menelannya dengan baik.
Benjamin puas Rhea menurut dan tampak menikmatinya. Dia menepati janjinya keluar dari kamar dan membiarkan Rhea beristirahat agar lebih tenang. Karena kehadiran dirinya masih belum diterima dan membuat Rhea terguncang.
Setelah yakin Benjamin sudah menjauh, tiba-tiba tangis Rhea pecah. Dan kebencian dengan situasinya kembali memenuhi. Hatinya terasa pedih.Meski berpikir Benjamin telah pergi jauh. Nyatanya Benjamin masih berdiri didepan pintu dengan mendengar tangisan wanitanya.“Hanya perlu waktu sampai dia beradaptasi.”“Bantu wanitaku bersiap.” Suruh Benjamin pada dua pelayan wanita yang sudah bersiap menjalankan tugasnya.Ditengah Rhea yang kacau, tiba-tiba dua pelayan wanita sudah berada disebelahnya.Satu pelayan dengan rambut pendek dan satunya dengan rambut sedikit panjang terikat. Dua pelayan dengan pakaian yang sama dengan pelayan sebelumnya.Rhea yang tenggelam dalam kesedihan bahkan tak menyadari kapan tepatnya pelayan itu masuk.“Pria itu menyuruhmu?” tanya Rhea sembari mengusap kasar air matanya.Dua pelayan itu memberikan anggukan sebagai jawaban.Kemudian salah satu pelayan berambut pendek berkata. “Kami akan membantu anda bersiap.”“Ya! Lagipula aku tidak akan bisa menolak meski aku ingin.” Rhea tampak muak.Pelayan itu bekerja secara profesional. Semua yang mereka lakukan sangat diperhitungkan dan penuh kehati-hatian. Tak satupun keluar pertanyaan tak penting dari mulut mereka. Siapa dia dan mengapa menitikkan air mata?Meski tak banyak bicara dengan ekspresi cenderung datar, namun sikap yang mereka tunjukan sangat hangat."Tempat ini kediaman Benjamin?" tanya Rhea memecah keheningan."Benar ini kediaman Tuan Benjamin." jawab pelayan berambut pendek, Ina."Tampaknya dia pria yang disegani. Siapa dia?" tanya Rhea lagi."Beliau orang hebat." balas pelayan berambut panjang, Marie."Kalian tak berniat memberitahuku, bukankah begitu?!"Kedua pelayan itu terdiam. Tebakan Rhea benar telak.Rhea tak mendapatkan jawaban yang diinginkan. Jelas orang-orang ini tak akan berpihak pada orang baru sepertinya.“Anda terlihat sangat indah.” sanjung Marie dengan senyum manisnya.
Rhea yang tengah sibuk dengan pikirannya dikejutkan dengan kalimat Marie. Kemudian Rhea menatap dirinya di cermin. Dress dengan warna Baby Pink dia kenakan.
Dress yang memberikan nuansa manis pada penampilannya. Warna yang cocok untuk tampilan yang feminism dan ceria. Ah! ceria apanya? Dia bahkan sangat kacau sekarang. Lalu rambutnya ditata dengan rapi dan dibiarkan terurai.Selesai mendandani, kedua pelayan saling memandang dengan senyum manis dibibir mereka, bak puas dengan apa yang mereka lakukan."Cantik sekali." puji Ina lagi."Itu benar, terlihat menawan." timpal marie.“Bukankah ini sedikit berlebihan? Setidaknya beritahu aku mengapa aku didandani seperti ini?” tanya Rhea, penasarannya sangat besar.
“Kami hanya menjalankan tugas. Kami tak mengetahui tepatnya alasan yang anda tanyakan. Tuanlah yang tahu dan memiliki hak memberitahu anda.” ucap Marie sopan.
Rhea mengepal kuat jemarinya. Pelayan-pelayan ini bahkan tak tergoyah untuk memberi tahunya. Sikap mereka seperti tuanya, bersikap hangat agar dipercaya lalu bersikap dengan misterius yang mengesalkan.
Setelah selesai dengan tugas mereka. Kedua pelayan dengan sopan undur diri. Tentu saja Rhea tak bisa menahan atau memaksa mereka menjawab penasarannya.Kedua pelayan itu tetap bungkam mengenai pertanyaan-pertanyaan tentang pria itu. Sedikitpun mereka tak berniat menjawab.
Rhea tak bersemangat, dia memandangi dirinya lekat-lekat. Entahlah, dia tak merasa puas atau senang.Rhea menunduk memandanggi perut datarnya. Dia mengelus perutnya lembut. “Dunia ini tak adil, namun lebih tak adil jika aku bertahan dengan keegoisanku. Kau berhak untuk melihat dunia. Ibu akan menjagamu.”
Setelah pikir Panjang. Rhea memutuskan melahirkan anaknya, seperti apa akhir hidup nantinya? Kesedihan, kemalangan, atau kebahagiaan? Dia akan memilih melewatinya dan tak akan melarikan diri setidaknya untuk dirinya dan anak yang tak bersalah.
Beberapa menit setelah Rhea selesai berdandan Benjamin masuk kedalam kamar. Dia berdiri tepat dibelakang Rhea yang tengah sibuk memandangi dirinya dicermin.Perhatian Rhea teralih, dia memandangi Benjamin dari pantulan cermin. Tampak Benjamin menggenakan celana hitam dengan ditimpali kemeja putih. Dengan gaya rambut yang disibak kesamping dengan rapi.
Dia tampak gagah. Wibawanya sangat terasa dengan ketenangan tegas yang selalu pria itu tunjukan.
Benjamin mendekat, dia sedikit membungkukkan badannya. “cantik.” pujinya didekat telinga Rhea.Tapi Rhea tak senang atas pujian itu. Dia memandang Benjamin tanpa gentar lagi. "Aku tak akan tersanjung atau berterimakasih," jawabnya ketus. Benjamin balik menatapnya dari cermin kaca lekat-lekat, "Aku mengatakan sesuai dengan apa yang ku lihat. Senang atau tidaknya itu pilihanmu." Rhea menjadi geram, selalu saja pria ini tak mau kalah darinya dan terus membalas kalimatnya. "Mendandani ku dengan rapi kau akan membawaku kemana?" tanya Rhea yang jauh tampak stabil. "Mm, kau ingin bermain menebak?! jika kau benar aku akan mengabulkan satu permintaanmu dan jika salah kau tak bisa menolak kemanapun ku bawa?" Benjamin menawarkan sesuatu. "Lucu sekali! Kau pikir aku akan percaya. Benar atau salah bukankah itu menjadi keputusanmu." Dahi Benjamin berkerut, sedetik kemudian dia tertawa. “Rupanya kau tidak bodoh. Aku suka.” Lalu perhatian Benjamin tertuju ke perut datar Rhea, dia menyentuh lembut perut Rhea. Rhea mencengkeram erat tangan yang lebih besar darinya itu. Berhasil membuat Be
Rhea yang tampak mengabaikannya membuat Benjamin sedikit kesal. Apa yang dipikirkan oleh wanita didepannya ditengah dia yang sedang mencumbunya? Lantas Benjamin mengigit bibir Rhea.“Ah! au…” rintih Rhea, menatap Benjamin yang kian melumat bibirnya.Benjamin mengusap lembut bibir Rhea dengan jemarinya, tangannya menyentuh dagunya. Dia mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka saling bersentuhan. “Ya, harusnya kau menatapku seperti ini bukan malah mengalihkan pikiran dan pandanganmu.”“Yaampun mereka tampak membara.” ucap seseorang yang berpapasan dengan pasangan yang penuh gairah, mereka tampak terkejut.“Stt! itu tanda cinta, karena baru mendaftarkan pernikahan.” timpal yang lainnya dengan terkekeh.Rhea tersadar mereka masih berada didepan gedung kantor catatan sipil dan banyak orang berlalu lalang dan melihat mereka bercumbu. Bagaimana bisa Benjamin melakukan hal memalukan itu disini.Bergegas Rhea menjauh dari Benjamin. Tangannya mengusap kasar bibir yang baru dicumbu Benjamin. Rh
“Tentu saja penikahan. Ada pengantin pria juga wanitanya.” jelas Charles, dia lantas melanjutkan. “Sebagai bentuk menghargai wanitanya, Tuanku ini sampai mendesak kami agar mempersiapkan tempat ini dalam waktu setengah hari. Ya! Kami tidak heran lagi karena tuanku memang sedikit gila. Tapi aku tak menyangka dia melakukan ini untuk seorang wanita.” dia berbicara dengan sopan namun penuh cercaan dan sindiran didalamnya. “Tidakkah kau merasa bicaramu terlalu banyak.” ucap tegas Benjamin, dia menatap Charles tajam. “Haha… ini hanya sedikit protes.” jawab Charles. Rhea mengepal jemarinya. Benar! Agar status sah sebagai istri, tentu harus melewati pernikahan. “Aku tak pernah membayangkan prosesinya akan secepat ini.” gumamnya. Rhea berusaha mengatur diri agar amarah tak menguasai dirinya. “Lagi dan lagi kau bertindak semau mu. Kau tak menanyakan atau berdiskusi pada ku lebih dulu. Kau berkata untuk mempercayai dirimu, namun semua tindakan mu lebih terlihat agar aku tak memepercayaimu!” l
Setelah kejadian mendebarkan itu mereka kembali kekediamanya.Tepatnya dikamar Benjamin.Seorang pelayan datang membawakan kotak obat. “Letakkan dimeja.” suruh Benjamin dengan penuh penekanan.“Baik.” jawab sopan pelayan itu seraya bergegas keluar.Rhea tengah sibuk menggulung lengan baju Benjamin, kemudian dia membantu membersihkan darah dan mengaplikasikan obat padanya.Rhea pikir peluru menancap dilengan Benjamin, rupanya hanya tergores. Entah mengapa Rhea menjadi lega. “Mungkin karena aku mengandung anaknya, perasaan menghawatirkannya muncul begitu saja.” benak Rhea.“Orang yang terluka harus dibantu, terlepas dengan masalah antar kita.” ucap Rhea memecah keheningan.“Dan jangan berpikir aku akan menerima semua perlakuan sebelum mu.” Rhea menekan sedikit kuat luka Benjamin.Benjamin yang sudah terbiasa dengan pengalaman luka tak terlalu merasakan sakit akibat penekanan luka dari Rhea. Namun, melihat wajah Rhea yang marah dia menjadi ingin menggodanya.“Ah! Au… pelan-pelan.” ucap
Tiga hari berlalu setelah hari itu.Rhea hampir tak bertemu dengan Benjamin. Katanya dia tengah sibuk dengan urusannya dan lebih sering pulang ketika malam larut. Tentu saja saat itu Rhea sudah tertidur dan tak ada alasan untuk menunggu Benjamin.Rhea tahu bahwa Benjamin tengah sibuk mengurus masalah penyerangan tempo hari. Hanya saja hatinya terasa sakit Benjamin pergi tanpa memberi penjelasan.“Aku berpikir keras, namun tetap tak mendapat jawaban.” Rhea tampak lesu.Semangatnya kian memudar, dirumah besar yang asing bersama dengan orang-orang yang bertingkah profeksionis, ini menganggunya.Harusnya Rhea merasa lega tak bertemu dengan pria yang berbicara tajam itu. Tapi ditempat ini dia rupanya membutuhkan keberadaan pria itu.Rhea pikir memiliki lebih banyak waktu sendiri akan menenangkan, nyatanya dia lebih gusar, dan membuatnya lebih hanyut dalam kesedihan. Rasanya dia telah berhasil di jerat pria sialan itu. Dia merasa sekarang membutuhkan sosok pria yang satu-satunya dia kenal d
Rhea bangkit dari duduknya. Belum selesai dengan masalahnya sekarang dia dihadapkan dengan pria yang sangat berisik. Rasanya dia lelah menghadapi kenalan-kenalan Benjamin yang bersikap tak biasa. “Harusnya aku tak heran lagi Benjamin saja sulit ditebak tentu saja orang-orang dan lingkungannya akan begitu.” benak Rhea. “Kau tunggu saja temanmu pulang, aku tak memiliki hal sampai harus duduk dengan mu.” ucap Rhea hendak berlalu. Rhea merasa tak memiliki urusan dan tak berkewajiban menjamu nya, dia pula merasa tak nyaman dengan keberadaan pria bernama Daniel ini. Lagipula pelayan akan mengurus pria ini sampai tuan mereka datang. “Tidakkah kau penasaran mengenai siapa suamimu?! Aku bisa menceritakannya.” ucap Daniel merayu. Rhea menoleh cepat, dia tertarik dengan kalimat yang baru diucapkan Daniel itu. Daniel bak tahu bahwa jelas Rhea ingin mendengarnya lebih lanjut. “Ha! tebakanku benar.” Daniel mengedipkan matanya. Pada akhirnya Rhea menjamu pria itu. Dia tak percaya dengan diriny
“Jawaban jujur bukan elakkan!” tekan Benjamin menatap tajam Daniel. Benjamin sampai buru-buru pulang saat mendengar bahwa Daniel memaksa berkunjung. Daniel orang yang banyak bicara. Bicaranya sembrono membuat Benjamin waspada, bisa saja dia mengatakan hal-hal aneh. Benjamin menghawatirkan istrinya. “Aku serius. Tak ada pembicaraan aneh, kurasa!” Daniel mengangkat kedua tangannya, namun jawabannya seakan meragukan. Lalu tangan Benjamin menjalar keleher Daniel, dia mencengkeramnya erat. Dia menatap temannya tanpa belas kasih. “it-u ja-wa-ban ju-jur.” Jawab Daniel terbata, napasnya terasa sesak. Benjamin menyelidik, kemudian setelah yakin bahwa Daniel tak berbicara sembarang pada Rhea dia melepaskan cengkeramannya. Daniel menarik napas panjang. “Kau memang gila, tak memiliki timbang rasa pada temanmu ini. Huhu… hatiku pedih.” Daniel menyentuh dadanya, dia mulai berakting. Aktingnya sangat buruk. Dia tak pandai dalam hal itu. Daniel melirik Benjamin yang bahkan tak bergeming. B
Rhea menggeliat, lalu matanya perlahan terbuka. Dia merasa tubuhnya sangat nyaman diranjang yang empuk, seingatnya dia tertidur diatas meja. “Apa aku berjalan saat tidur?” pikirnya. Rhea lalu menoleh kesebelah kananya. Dia terdiam sejenak kala melihat dihadapannya dada bidang yang kekar. Terlebih dia baru menyadari tidur diatas lengan seseorang. Rhea membelalak kemudian mendonggak, memastikan siapa pria disebelahnya, rupanya itu Benjamin yang sedari tadi sudah memperhatikannya. Rhea terperanjat, lantas bergegas bangun sedikit menjauh dari Benjamin. Rhea pikir Benjamin akan terus sibuk, pulang larut, dan di pagi hari dia menghilang dengan beralasan tengah mengurus masalah penting. “Ka-u kenapa disini?” tanya Rhea gelagapan. Senyum kecil terukir dibibir Benjamin. Dia bangkit dari posisinya, kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Rhea. Tangannya menyelipkan rambut Rhea kebelakang telinganya. “Mengapa terkejut?! Kau harus mulai terbiasa dengan pemandangan ini.” Benjamin me