Rhea terperanjat bangun dari posisi tidurnya. Dia sadar dia berada dikasur yang jelas bukan miliknya. "Dimana aku?”
Matanya mengamati sekitar, tempat yang tak di kenali. Tampak Interior kamar yang elegan didominasi dengan warna hitam abu-abu.“Ah! Aku ingat. Semalam tanpa sadar aku tertidur dalam pelukan pria itu,” Rhea menyesali tindakan yang tak pikir panjang itu.“Apa ini kamar pria itu? ini kediamannya?!”“Akh! au…” Rhea menyentuh pipinya yang terasa nyeri, pipi yang ditampar kuat Ayahnya semalam. Namun, tampaknya itu telah diobati. Karena terdapat plester dipipinya.Rhea mengigit bibirnya kuat. “Benjamin ya?!” Dia tak mengerti perlakuan baik pria itu. Pria yang tak mampu dia tebak dengan mudah.Seketika pikirannya kalut, dia yakin akan sulit menghindari pria itu. Dia menenangkan diri sejenak, setelah merasa lebih tenang dia turun dari kasurnya dengan hati-hati.Rhea menuju pintu, tentu saja dia ingin pergi dari tempat ini, tangannya menyentuh pelan gagang pintu.Namun, tiba-tiba saja seseorang mengebrakan pintu membuat Rhea terkunci diantara tubuh pria itu.Tindakan tiba-tiba itu membuatnya mematung tanpa berani berbalik, terlebih tangannya dicengkeram kuat.“Kau mau kemana?!”Suara berat yang dia kenali, sudah jelas bahwa itu Benjamin.“Tentu ingin pergi dari tempat sialan ini!” dia ingin mengatakan itu dengan lantang, namun mulutnya tiba-tiba kalut. Ketakutan besar masih saja terus menjalar di sekujur tubuhnya kala berhadapan dengan pria ini.Suasana menjadi hening, lalu tetesan-tetesan air mengenai Rhea. Tampaknya Benjamin baru saja selesai mandi. Seketika suasana malam itu memenuhi kepalanya. Napasnya menderu dengan degupan jantung yang kian cepat. Dia takut kejadian itu kembali terulang, mendadak isi kepalanya kosong tanpa rencana."Kau tak mendengarnya?!" cengkeraman Benjamin kian kuat."Ini sakit!" rintih Rhea tersadar dari lamunan, berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman kuat.Benjamin melonggarkan cengkeramannya kala melihat Rhea kesakitan. Dia lantas mendekatkan tubuhnya pada Rhea, hingga membuatnya nyaris menempel.“Jangan mengira kau bisa pergi dari tempat ini!” bisik Benjamin terdengar menakuti.“Sekali saja digegamanku kau tak akan ku lepas.” Tangan Benjamin sibuk memainkan rambut wanita yang tampak membeku dengan mulut kalut.Benjamin lantas memaksa Rhea berbalik dan menatap matanya. Tangannya mencengkeram paksa rahang Rhea agar tak berpaling darinya.Mata hitam legam yang tampak tajam itu rasanya tengah memperingatinya. Rhea mengeratkan gigi kuat, dengan berani menatap tajam Benjamin. "Kau menunjukan wajah aslimu!""Wanita akan lemah kala terdesak. Kau sendiri yang jatuh dalam perangkap."Rhea mengalihkan pandangannya, dia tak bisa membalas kalimat itu. Sedikit kalimat penenang yang dibutuhkan malam itu, membuatnya jatuh dalam jurang."Pria manipulatif yang menyulitkan." benaknya. Rhea mengusap lengannya, dia bergidik tak bisa membayangkan berurusan dengan pria yang sulit dihadapi.“Jangan takut." suara Benjamin terdengar lembut. "Aku tak akan berbuat apapun. Ya! Setidaknya untuk saat ini.” senyum nakal tampak dibibir seksinya.Kalimat itu membuat Rhea marah. Apa yang akan dia lakukan sekarang?Dia kembali memberanikan diri menatap pria itu. Dia membelalak kala menyadari pria itu hanya menggenakan mantel mandi dengan bagian dada yang sedikit terbuka."Wajahmu memerah. Kau malu atau tengah terpesona!" goda Benjamin.Rhea mendorong dada bidang Benjamin, hanya saja tenaganya bahkan tak mampu mengerakkan tubuh Benjamin yang jauh lebih kuat darinya.Dia tak tampak sedang terpesona dengan pria ini, melainkan lemas ketakutan. "Aku benci! Ini menakutkan," air mata Rhea menetes begitu saja dengan tubuh yang kian bergidik. Benjamin yang bertelanjang dada memunculkan sikap siaga didirinya. Sikap awas untuk menyelamatkan diri dari predator yang kapan saja bisa menyerang."Aku tak bermaksud menakuti." raut wajahnya tampak kesal, Benjamin berbalik dan segera menggenakan bajunya.Rhea yang melihat Benjamin menjauh tampak lega. Dia masih mematung dengan menyender didekat pintu. Dia tak berani bergerak barang selangkah pun.Benjamin melirik Rhea, dia dengan kasar menyibak rambutnya. “Aku pikir ini akan mudah. Tapi dia masih saja ketakutan.” Benjamin tak mengerti mengapa Rhea sulit menerimanya. Dia memiliki segalanya, harusnya saat dia sadar dan mengetahui dia orang terpandang harusnya dia senang. Bukankah kebanyakan wanita berlomba untuk bersanding disebelah pria kaya?!“Aku tak mengerti wanita! Wanita sangat sulit dipahami.”Setelah berpakain dengan pikiran yang dipenuhi kebingungan akan Rhea, Benjamin kembali mendekati Rhea. Kali ini dia tak berniat mengoda atau membuat Rhea ketakutan. Wajahnya tampak teduh dan hangat. “Dengar aku dan tempat ini tak berbahaya. Kau aman disini, selama bersamaku.”Dahi Rhea mengernyit, kemudian dia tertawa dengan kencang, namun berisi kesedihan pahit didalamnya. “Orang yang menghancurkan ku berkata aman disini! Dan kau meminta agar aku kembali percaya…”“Ha! ini gila.” Rhea mendongak menatap Benjamin penuh kebencian. “Kalimat yang tak pantas kau ucapkan pada korban.”Benjamin mengengam erat tangan wanita yang tampak kacau itu. Rhea memberontak marah.“Kau menahanku sejauh ini, untuk apa?! Apa karena kau tahu aku mengandung?!” teriak lantang Rhea.“Kita tak saling mengenal. Dan tidak mungkin cinta diantara kita. Perasaan bersalah atau ingin bertanggung jawab? Itu hanya akan melukai dua hati. Aku tidak sudi hidup seperti itu!”“Kenapa tidak mungkin?” Benjamin menatap Rhea lekat.Kalimat itu membuat Rhea terdiam, tanpa kata lagi yang keluar dari mulutnya.Benjamin menyentuh wajah Rhea lembut, dia menatapnya dengan pupil mata membulat. “Tidak mengenal bukan berarti tak mungkin. Tidak ada cinta diantara kita? Apa kau percaya cinta pandangan pertama itu nyata adanya?”Rhea menekankan diri bahwa tak akan mempercayai kalimat hangat yang dilontarkan pria bermuka dua ini. Dia hanya berusaha menahannya dengan kata-kata manis juga perlakuannya.“Hal semacam itu hanya selingan kata tak berarti. Bahkan mereka yang telah lama menikah mampu menghianati kesuciaan pernikahan! Lalu kau meminta aku percaya kalimat mu!” emosi Rhea kian tak terkendali, dia menjadi emosional kala seorang pria berkata mengenai perasaan cinta.Bagi Rhea yang tak mempercayai cinta dari seorang pria, dia tak bisa menerima hal itu mudah. Ibunya mengalami hal pahit dari sosok Ayah yang dia percaya, dan hal itu kapanpun mungkin saja menimpanya.Percaya dengan pria yang baru dia temui? itu hal tergila.“Jangan membodohiku berulang!” Rhea mendorong dada bidang Benjamin.“Kau lebih keras kepala rupanya, namun itulah dirimu.” Benjamin tersenyum kecil.“Ya, ini lebih baik dari pada kau berdiam dengan terpuruk.” seringai yang menakutkan terselip dibibirnya. Tangannya lantas menyentuh leher Rhea.Rhea membelalak, rasanya dia akan memukul pria didepannya jika berani sembarang padanya.Tok… Tok…Sontak perhatian mereka tertuju kearah pintu.“Tuan, saya datang membawakan sarapan yang anda minta.” ucap seseorang terdengar sopan dari luar pintu.“Cih! Masuklah.” suruh Benjamin dengan nada yang terdengar kesal. Dia melepaskan Rhea dari gengamannya.Rhea bernapas lega, dan dalam benak berterimakasih atas pertolongan tak terduga ini.Ceklek!Pintu dibuka. Seorang pelayan laki-laki dengan menggunakan pakaian polos, sederhana, dan tampak tak menarik perhatian. Pelayan itu kemudian masuk, ekspresinya tampak terkejut kala melihat Tuannya dan seorang wanita cantik yang tengah berada di situasi tak baik. Pelayan itu menebak dalam benak. "Mungkin mereka tengah bertengkar." Rasanya dia tahu bahwa kedatangannya tidak diwaktu yang tepat. Benjamin lantas meraih nampan berisi sarapan dan segelas susu yang dibawa pelayan itu. Pelayan itu menelan ludah kala tatapan menusuk tuannya terarah padanya. Dia tertunduk takut. "Apa lagi yang kau tunggu. Keluar sekarang!" suruhnya terdengar tegas. Pelayan itu bergegas keluar dengan menutup pintu rapat-rapat. “Tidak! Tunggu,” Rhea ingin memanggil kembali pelayan itu, dia ingin meminta bantuannya. Jika hanya dia dan Benjamin disini, situasi tak akan berubah baik untuknya. Dia ingin menghindari pria sialan ini.Benjamin yang tengah meletakan nampan diatas meja meliriknya dengan tajam.
Tapi Rhea tak senang atas pujian itu. Dia memandang Benjamin tanpa gentar lagi. "Aku tak akan tersanjung atau berterimakasih," jawabnya ketus. Benjamin balik menatapnya dari cermin kaca lekat-lekat, "Aku mengatakan sesuai dengan apa yang ku lihat. Senang atau tidaknya itu pilihanmu." Rhea menjadi geram, selalu saja pria ini tak mau kalah darinya dan terus membalas kalimatnya. "Mendandani ku dengan rapi kau akan membawaku kemana?" tanya Rhea yang jauh tampak stabil. "Mm, kau ingin bermain menebak?! jika kau benar aku akan mengabulkan satu permintaanmu dan jika salah kau tak bisa menolak kemanapun ku bawa?" Benjamin menawarkan sesuatu. "Lucu sekali! Kau pikir aku akan percaya. Benar atau salah bukankah itu menjadi keputusanmu." Dahi Benjamin berkerut, sedetik kemudian dia tertawa. “Rupanya kau tidak bodoh. Aku suka.” Lalu perhatian Benjamin tertuju ke perut datar Rhea, dia menyentuh lembut perut Rhea. Rhea mencengkeram erat tangan yang lebih besar darinya itu. Berhasil membuat Be
Rhea yang tampak mengabaikannya membuat Benjamin sedikit kesal. Apa yang dipikirkan oleh wanita didepannya ditengah dia yang sedang mencumbunya? Lantas Benjamin mengigit bibir Rhea.“Ah! au…” rintih Rhea, menatap Benjamin yang kian melumat bibirnya.Benjamin mengusap lembut bibir Rhea dengan jemarinya, tangannya menyentuh dagunya. Dia mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka saling bersentuhan. “Ya, harusnya kau menatapku seperti ini bukan malah mengalihkan pikiran dan pandanganmu.”“Yaampun mereka tampak membara.” ucap seseorang yang berpapasan dengan pasangan yang penuh gairah, mereka tampak terkejut.“Stt! itu tanda cinta, karena baru mendaftarkan pernikahan.” timpal yang lainnya dengan terkekeh.Rhea tersadar mereka masih berada didepan gedung kantor catatan sipil dan banyak orang berlalu lalang dan melihat mereka bercumbu. Bagaimana bisa Benjamin melakukan hal memalukan itu disini.Bergegas Rhea menjauh dari Benjamin. Tangannya mengusap kasar bibir yang baru dicumbu Benjamin. Rh
“Tentu saja penikahan. Ada pengantin pria juga wanitanya.” jelas Charles, dia lantas melanjutkan. “Sebagai bentuk menghargai wanitanya, Tuanku ini sampai mendesak kami agar mempersiapkan tempat ini dalam waktu setengah hari. Ya! Kami tidak heran lagi karena tuanku memang sedikit gila. Tapi aku tak menyangka dia melakukan ini untuk seorang wanita.” dia berbicara dengan sopan namun penuh cercaan dan sindiran didalamnya. “Tidakkah kau merasa bicaramu terlalu banyak.” ucap tegas Benjamin, dia menatap Charles tajam. “Haha… ini hanya sedikit protes.” jawab Charles. Rhea mengepal jemarinya. Benar! Agar status sah sebagai istri, tentu harus melewati pernikahan. “Aku tak pernah membayangkan prosesinya akan secepat ini.” gumamnya. Rhea berusaha mengatur diri agar amarah tak menguasai dirinya. “Lagi dan lagi kau bertindak semau mu. Kau tak menanyakan atau berdiskusi pada ku lebih dulu. Kau berkata untuk mempercayai dirimu, namun semua tindakan mu lebih terlihat agar aku tak memepercayaimu!” l
Setelah kejadian mendebarkan itu mereka kembali kekediamanya.Tepatnya dikamar Benjamin.Seorang pelayan datang membawakan kotak obat. “Letakkan dimeja.” suruh Benjamin dengan penuh penekanan.“Baik.” jawab sopan pelayan itu seraya bergegas keluar.Rhea tengah sibuk menggulung lengan baju Benjamin, kemudian dia membantu membersihkan darah dan mengaplikasikan obat padanya.Rhea pikir peluru menancap dilengan Benjamin, rupanya hanya tergores. Entah mengapa Rhea menjadi lega. “Mungkin karena aku mengandung anaknya, perasaan menghawatirkannya muncul begitu saja.” benak Rhea.“Orang yang terluka harus dibantu, terlepas dengan masalah antar kita.” ucap Rhea memecah keheningan.“Dan jangan berpikir aku akan menerima semua perlakuan sebelum mu.” Rhea menekan sedikit kuat luka Benjamin.Benjamin yang sudah terbiasa dengan pengalaman luka tak terlalu merasakan sakit akibat penekanan luka dari Rhea. Namun, melihat wajah Rhea yang marah dia menjadi ingin menggodanya.“Ah! Au… pelan-pelan.” ucap
Tiga hari berlalu setelah hari itu.Rhea hampir tak bertemu dengan Benjamin. Katanya dia tengah sibuk dengan urusannya dan lebih sering pulang ketika malam larut. Tentu saja saat itu Rhea sudah tertidur dan tak ada alasan untuk menunggu Benjamin.Rhea tahu bahwa Benjamin tengah sibuk mengurus masalah penyerangan tempo hari. Hanya saja hatinya terasa sakit Benjamin pergi tanpa memberi penjelasan.“Aku berpikir keras, namun tetap tak mendapat jawaban.” Rhea tampak lesu.Semangatnya kian memudar, dirumah besar yang asing bersama dengan orang-orang yang bertingkah profeksionis, ini menganggunya.Harusnya Rhea merasa lega tak bertemu dengan pria yang berbicara tajam itu. Tapi ditempat ini dia rupanya membutuhkan keberadaan pria itu.Rhea pikir memiliki lebih banyak waktu sendiri akan menenangkan, nyatanya dia lebih gusar, dan membuatnya lebih hanyut dalam kesedihan. Rasanya dia telah berhasil di jerat pria sialan itu. Dia merasa sekarang membutuhkan sosok pria yang satu-satunya dia kenal d
Rhea bangkit dari duduknya. Belum selesai dengan masalahnya sekarang dia dihadapkan dengan pria yang sangat berisik. Rasanya dia lelah menghadapi kenalan-kenalan Benjamin yang bersikap tak biasa. “Harusnya aku tak heran lagi Benjamin saja sulit ditebak tentu saja orang-orang dan lingkungannya akan begitu.” benak Rhea. “Kau tunggu saja temanmu pulang, aku tak memiliki hal sampai harus duduk dengan mu.” ucap Rhea hendak berlalu. Rhea merasa tak memiliki urusan dan tak berkewajiban menjamu nya, dia pula merasa tak nyaman dengan keberadaan pria bernama Daniel ini. Lagipula pelayan akan mengurus pria ini sampai tuan mereka datang. “Tidakkah kau penasaran mengenai siapa suamimu?! Aku bisa menceritakannya.” ucap Daniel merayu. Rhea menoleh cepat, dia tertarik dengan kalimat yang baru diucapkan Daniel itu. Daniel bak tahu bahwa jelas Rhea ingin mendengarnya lebih lanjut. “Ha! tebakanku benar.” Daniel mengedipkan matanya. Pada akhirnya Rhea menjamu pria itu. Dia tak percaya dengan diriny
“Jawaban jujur bukan elakkan!” tekan Benjamin menatap tajam Daniel. Benjamin sampai buru-buru pulang saat mendengar bahwa Daniel memaksa berkunjung. Daniel orang yang banyak bicara. Bicaranya sembrono membuat Benjamin waspada, bisa saja dia mengatakan hal-hal aneh. Benjamin menghawatirkan istrinya. “Aku serius. Tak ada pembicaraan aneh, kurasa!” Daniel mengangkat kedua tangannya, namun jawabannya seakan meragukan. Lalu tangan Benjamin menjalar keleher Daniel, dia mencengkeramnya erat. Dia menatap temannya tanpa belas kasih. “it-u ja-wa-ban ju-jur.” Jawab Daniel terbata, napasnya terasa sesak. Benjamin menyelidik, kemudian setelah yakin bahwa Daniel tak berbicara sembarang pada Rhea dia melepaskan cengkeramannya. Daniel menarik napas panjang. “Kau memang gila, tak memiliki timbang rasa pada temanmu ini. Huhu… hatiku pedih.” Daniel menyentuh dadanya, dia mulai berakting. Aktingnya sangat buruk. Dia tak pandai dalam hal itu. Daniel melirik Benjamin yang bahkan tak bergeming. B