"Benjamin, siapa dia Ayah?" tanya Lili yang terheran dengan reaksi Ayahnya.
"Dia.. dia Pemimpin Mafia Oleander." jawab Hendra masih tak percaya.Pemimpin Oleander tak pernah sekalipun menunjukan wajahnya pada orang lain dan mereka sangat rapi dalam menangani masalah__"Masuklah." pria itu membukakan pintu mobil dan meminta agar Rhea segera masuk kedalamnya.Namun, Rhea tengah kacau dengan pikirannya. "Apalagi sekarang?!" dari kehilangan Ibu, cinta Ayah yang lama mati, dan sekarang neneknya. Rasanya kepalanya hendak pecah. Mengapa rasa sakit tak pernah berhenti dia dapatkan?“Hei!” Pria itu menyentuh pundak Rhea.Rhea tersadar dari lamunanya. Ah! Benar dia sempat lupa bahwa sekarang dia tengah bersama pria asing.Dari banyaknya orang, mengapa harus pria itu?! pria yang tak ingin dia temui, pria yang sangat dia benci, pria yang membuatnya berada dititik ini.Rhea tengah berusaha melawan air mata yang hampir terjatuh dengan menahan teriakan yang tertahan di tenggorokan. Rhea menatap balik pria yang menyiksanya sejauh ini.Kala melihat wajah pria itu. Selingan ingatan malam yang menjijikan kembali muncul. Rhea berusaha memblokir ingatan itu dan menekan ketakutannya. Dia mati-matian berusaha tampak tenang."Sialan!! Bajingan!! kau tak puas menghancurkanku dan sekarang kau dengan berani muncul didepanku huh!!" emosi Rhea menggebu. Rupanya dia tak bisa menahan amarahnya lebih lama.Pria itu mengangkat kedua alisnya. Senyum kecil terselip dibibirnya. "Ah! sudah ku duga dia akan bereaksi seperti ini. Itu tampak menarik, saat dia berusaha keras menunjukan bahwa dia tidak lemah dengan situasinya." benaknya mengagumi wanita didepannya.Pria itu memasangkan jaket pada Rhea yang baru dia ambil didalam mobil. Seketika dia tampak seperti pria hangat. “Kita bahas nanti. Angin malam sangat tidak baik untukmu.”Rhea menepis tangan pria itu, kesabarannya sudah diambang batas. “Jangan mengalihkan pembicaraan!! Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya?! Setelah merusak hidupku kau datang bak pahlawan!!” meski berusaha kuat, namun suaranya terdengar bergetar.Pria itu memiringkan wajahnya, dengan jemari yang menutupi seringainya. Alih-alih membentak atau marah, dia tampak sangat tenang. Bak membiarkan Rhea meluapkan emosinya. Tidak! nyatanya dia tengah berusaha menjinakan Rhea agar dia bisa mendapatkan kepercayaannya.“Mengapa kau diam saja?!” teriak Rhea lantang, dia menjadi emosional. “Katakan sesuatu! Kau sialan!”Sedetik kemudian Rhea tertunduk dengan air mata menetes. Kemudian dia mengusap kasar air matanya. Dia menghela napas pelan, berusaha mengatur suaranya selepas dipenuhi emosi tak stabil. Sekarang dia perlu berpikir jernih.Rhea mengepalkan jemarinya kuat. Dia dengan berani berkata. “Kau membantuku hari ini, anggap kita tak pernah bertemu dan mari kita lupakan kejadian malam itu.”Setelah mengatakan kalimat itu Rhea berbalik hendak meninggalkan pria itu. "Pria itu tak akan mempertanggungjawabkan tindakannya. Rasanya pia itu hanya ingin bersenang-senang dengan mengacau ku. Hidup dengan pria yang tak senonoh? Terlebih pria yang tampak tak bersalah atas tindakannya. Apa yang bisa ku harapkan pada pria seperti itu?" memikirkannya membuat kepala Rhea kian berdenyut hebat.Rhea mengeratkan giginya kuat. Dia berani mengambil keputusan besar. Lalu masalah bayi diperutnya, dia akan memikirkan setelahnya.Rhea pikir pria itu akan menerima begitu saja. Namun pria itu menarik lengannya erat, menahannya agar tak pergi.Rhea menepis kasar tangan pria itu, menatapnya marah. “Tidakkah kau mengerti dengan kalimatku?!”Pria itu menatapnya tajam. Sorot mata hitam legamnya terpancar, begitu mengintrupsi bak meminta agar Rhea tak berlebihan. Tampaknya pria itu sangat marah, terlihat dari rahangnya yang mengeras. "Kau pikir aku akan membiarkan wanita ku pergi?!"Meski bergidik, dia tak akan kalah dengan ketakutannya. Rhea berteriak lantang. "Aku bukan wanitamu!!"Tangan pria itu melayang.Rhea menutup matanya cepat. Tangan sebesar itu jika menampar pipinya rasa sakitnya akan terasa lama dan pedih. Namun…Bukan tamparan yang dia dapatkan, tetapi sentuhan lembut dengan tatapan hangatnya. Rhea tak bisa percaya dengan situasi ini."Benjamin Carrillo Fuentes. Itu namaku. Aku terlambat mengenalkan diri." ucap pria itu.“Aku datang tiba-tiba seperti ini, tentu kau terkejut.” pria itu menarik Rhea ke dalam pelukannya.Rhea terdiam sejenak, kemudian tangis Rhea kian pecah. Dia terisak dalam pelukan pria bernama Benjamin itu."Sekarang kau berpura menjadi pria baik..." lirihnya terdengar pilu. Namun nyatanya dia merasa tenang dalam pelukan pria ini, dia membutuhkan sandaran. Pada akhirnya dia tak berdaya dan berakhir dipelukan pria yang dibenci ini."Itu tak sepenuhnya salah," jawab Benjamin.
Sangat melelahkan. Kejadian demi kejadian tak mengenakan terus menimpanya. Entahlah, Rhea tak berniat berontak lagi. Rasanya dia hanya ingin beristrihat dengan tenang tanpa memikirkan apapun.Air mata yang tak henti menetes, perasaan tertekan, dan hati yang kacau. Berpura-pura kuat dan pada akhirnya Rhea tak mampu lagi menahan diri yang lemah. Rhea tertidur dalam pelukan Benjamin.Benjamin memeluk Rhea erat, dia mengelus lembut wajah wanita yang tampak kacau. Dengan hati-hati dia mengecup pipi di dekat bibir Rhea. Lantas dia menggendongnya masuk ke dalam mobil.Benjamin menatap Rhea yang tertidur lelah dikursi sebelahnya. "Wanita keras kepala yang mati-matian berusaha tegar. Aku selalu ingin dekat denganmu setelah hari itu," Benjamin tersenyum kecil.“Tak kusangka pada akhirnya kau ada bersamaku.” Dia mengamati lama wajah Rhea.Kemudian Benjamin menginjak pedal gas, mobil melaju dengan pelan meninggalkan kediaman Dominic yang menyesakkan.Benjamin Carrillo Fuentes, pria berusia 29 tahun. Pria berperangai keras dan seorang pemimpin mafia Oleander. Meski sifatnya kasar, tapi dia bukan pria yang suka bermain dengan para wanita. Benjamin percaya perasaan kasih sayang dan rasa cinta pada wanita akan merusak seorang pria.Namun, suatu ketika dia bertemu dengan Rhea yang membantunya di hujan lebat saat terluka. Rhea yang keras kepala, berhasil menarik perhatiannya.Meski tertarik, Benjamin tak mencari keberadaan atau menyelidiki tentang Rhea lebih dalam. Dia hanya tau namanya Rhea dan hanya sesekali mengamatinya dari kejauhan. Bagi Benjamin itu sudah cukup.Benjamin memiliki banyak musuh yang kapan saja bisa membuat Rhea terluka.Dia tidak mau Rhea terseret masalahnya.Usahanya menahan diri sia-sia. Saat di club temannya Daniel memberikannya bir yang biasa dia minum. Saat itu Benjamin tak menyangka Daniel akan memberikan obat perangsang kedalam minumannya.Benjamin merasa terangsang, gerah dan bergairah. Dia tak bisa menahannya lagi dan meminta dua bawahannya untuk mencari Rhea. Dia tak bisa berpikir jernih kala itu.Pada akhirnya, dia tak bisa menghindar. Sudah sejauh ini, maka dia memilih untuk memilikinya sepenuhnya dan tentu akan melindunginya.__Selama perjalanan Benjamin sibuk dengan pikirannya. Saat berhasil mengetahui identitas Rhea sebenarnya dia tak menduga bahwa Rhea putri dari keluarga terpandang dan naasnya di diperlakukan dengan tak baik.Setelah mengemudi selama 30 menit, Benjamin menghentikan mobilnya didepan rumah mewah bak istana. Dia lantas menggendong Rhea dengan hati-hati agar dia tak terbangun.Sontak beberapa pelayan terkejut melihat tuannya membawa seorang wanita dalam pelukannya .“Tuan…” seorang pelayan hendak bertanya. Namun, seketika dia membungkam mulutnya cepat kala Benjamin menatapnya tajam.Benjamin tak ingin satupun mengeluarkan bising dan membuat Rhea terbangun.Sontak semua mengerti. Mereka hanya menatap penasaran siapa wanita yang berhasil menggaet hati kaku tuannya.Rhea terperanjat bangun dari posisi tidurnya. Dia sadar dia berada dikasur yang jelas bukan miliknya. "Dimana aku?”Matanya mengamati sekitar, tempat yang tak di kenali. Tampak Interior kamar yang elegan didominasi dengan warna hitam abu-abu.“Ah! Aku ingat. Semalam tanpa sadar aku tertidur dalam pelukan pria itu,” Rhea menyesali tindakan yang tak pikir panjang itu. “Apa ini kamar pria itu? ini kediamannya?!” “Akh! au…” Rhea menyentuh pipinya yang terasa nyeri, pipi yang ditampar kuat Ayahnya semalam. Namun, tampaknya itu telah diobati. Karena terdapat plester dipipinya. Rhea mengigit bibirnya kuat. “Benjamin ya?!” Dia tak mengerti perlakuan baik pria itu. Pria yang tak mampu dia tebak dengan mudah. Seketika pikirannya kalut, dia yakin akan sulit menghindari pria itu. Dia menenangkan diri sejenak, setelah merasa lebih tenang dia turun dari kasurnya dengan hati-hati. Rhea menuju pintu, tentu saja dia ingin pergi dari tempat ini, tangannya menyentuh pelan gagang pintu. Namun, tiba-
Ceklek!Pintu dibuka. Seorang pelayan laki-laki dengan menggunakan pakaian polos, sederhana, dan tampak tak menarik perhatian. Pelayan itu kemudian masuk, ekspresinya tampak terkejut kala melihat Tuannya dan seorang wanita cantik yang tengah berada di situasi tak baik. Pelayan itu menebak dalam benak. "Mungkin mereka tengah bertengkar." Rasanya dia tahu bahwa kedatangannya tidak diwaktu yang tepat. Benjamin lantas meraih nampan berisi sarapan dan segelas susu yang dibawa pelayan itu. Pelayan itu menelan ludah kala tatapan menusuk tuannya terarah padanya. Dia tertunduk takut. "Apa lagi yang kau tunggu. Keluar sekarang!" suruhnya terdengar tegas. Pelayan itu bergegas keluar dengan menutup pintu rapat-rapat. “Tidak! Tunggu,” Rhea ingin memanggil kembali pelayan itu, dia ingin meminta bantuannya. Jika hanya dia dan Benjamin disini, situasi tak akan berubah baik untuknya. Dia ingin menghindari pria sialan ini.Benjamin yang tengah meletakan nampan diatas meja meliriknya dengan tajam.
Tapi Rhea tak senang atas pujian itu. Dia memandang Benjamin tanpa gentar lagi. "Aku tak akan tersanjung atau berterimakasih," jawabnya ketus. Benjamin balik menatapnya dari cermin kaca lekat-lekat, "Aku mengatakan sesuai dengan apa yang ku lihat. Senang atau tidaknya itu pilihanmu." Rhea menjadi geram, selalu saja pria ini tak mau kalah darinya dan terus membalas kalimatnya. "Mendandani ku dengan rapi kau akan membawaku kemana?" tanya Rhea yang jauh tampak stabil. "Mm, kau ingin bermain menebak?! jika kau benar aku akan mengabulkan satu permintaanmu dan jika salah kau tak bisa menolak kemanapun ku bawa?" Benjamin menawarkan sesuatu. "Lucu sekali! Kau pikir aku akan percaya. Benar atau salah bukankah itu menjadi keputusanmu." Dahi Benjamin berkerut, sedetik kemudian dia tertawa. “Rupanya kau tidak bodoh. Aku suka.” Lalu perhatian Benjamin tertuju ke perut datar Rhea, dia menyentuh lembut perut Rhea. Rhea mencengkeram erat tangan yang lebih besar darinya itu. Berhasil membuat Be
Rhea yang tampak mengabaikannya membuat Benjamin sedikit kesal. Apa yang dipikirkan oleh wanita didepannya ditengah dia yang sedang mencumbunya? Lantas Benjamin mengigit bibir Rhea.“Ah! au…” rintih Rhea, menatap Benjamin yang kian melumat bibirnya.Benjamin mengusap lembut bibir Rhea dengan jemarinya, tangannya menyentuh dagunya. Dia mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka saling bersentuhan. “Ya, harusnya kau menatapku seperti ini bukan malah mengalihkan pikiran dan pandanganmu.”“Yaampun mereka tampak membara.” ucap seseorang yang berpapasan dengan pasangan yang penuh gairah, mereka tampak terkejut.“Stt! itu tanda cinta, karena baru mendaftarkan pernikahan.” timpal yang lainnya dengan terkekeh.Rhea tersadar mereka masih berada didepan gedung kantor catatan sipil dan banyak orang berlalu lalang dan melihat mereka bercumbu. Bagaimana bisa Benjamin melakukan hal memalukan itu disini.Bergegas Rhea menjauh dari Benjamin. Tangannya mengusap kasar bibir yang baru dicumbu Benjamin. Rh
“Tentu saja penikahan. Ada pengantin pria juga wanitanya.” jelas Charles, dia lantas melanjutkan. “Sebagai bentuk menghargai wanitanya, Tuanku ini sampai mendesak kami agar mempersiapkan tempat ini dalam waktu setengah hari. Ya! Kami tidak heran lagi karena tuanku memang sedikit gila. Tapi aku tak menyangka dia melakukan ini untuk seorang wanita.” dia berbicara dengan sopan namun penuh cercaan dan sindiran didalamnya. “Tidakkah kau merasa bicaramu terlalu banyak.” ucap tegas Benjamin, dia menatap Charles tajam. “Haha… ini hanya sedikit protes.” jawab Charles. Rhea mengepal jemarinya. Benar! Agar status sah sebagai istri, tentu harus melewati pernikahan. “Aku tak pernah membayangkan prosesinya akan secepat ini.” gumamnya. Rhea berusaha mengatur diri agar amarah tak menguasai dirinya. “Lagi dan lagi kau bertindak semau mu. Kau tak menanyakan atau berdiskusi pada ku lebih dulu. Kau berkata untuk mempercayai dirimu, namun semua tindakan mu lebih terlihat agar aku tak memepercayaimu!” l
Setelah kejadian mendebarkan itu mereka kembali kekediamanya.Tepatnya dikamar Benjamin.Seorang pelayan datang membawakan kotak obat. “Letakkan dimeja.” suruh Benjamin dengan penuh penekanan.“Baik.” jawab sopan pelayan itu seraya bergegas keluar.Rhea tengah sibuk menggulung lengan baju Benjamin, kemudian dia membantu membersihkan darah dan mengaplikasikan obat padanya.Rhea pikir peluru menancap dilengan Benjamin, rupanya hanya tergores. Entah mengapa Rhea menjadi lega. “Mungkin karena aku mengandung anaknya, perasaan menghawatirkannya muncul begitu saja.” benak Rhea.“Orang yang terluka harus dibantu, terlepas dengan masalah antar kita.” ucap Rhea memecah keheningan.“Dan jangan berpikir aku akan menerima semua perlakuan sebelum mu.” Rhea menekan sedikit kuat luka Benjamin.Benjamin yang sudah terbiasa dengan pengalaman luka tak terlalu merasakan sakit akibat penekanan luka dari Rhea. Namun, melihat wajah Rhea yang marah dia menjadi ingin menggodanya.“Ah! Au… pelan-pelan.” ucap
Tiga hari berlalu setelah hari itu.Rhea hampir tak bertemu dengan Benjamin. Katanya dia tengah sibuk dengan urusannya dan lebih sering pulang ketika malam larut. Tentu saja saat itu Rhea sudah tertidur dan tak ada alasan untuk menunggu Benjamin.Rhea tahu bahwa Benjamin tengah sibuk mengurus masalah penyerangan tempo hari. Hanya saja hatinya terasa sakit Benjamin pergi tanpa memberi penjelasan.“Aku berpikir keras, namun tetap tak mendapat jawaban.” Rhea tampak lesu.Semangatnya kian memudar, dirumah besar yang asing bersama dengan orang-orang yang bertingkah profeksionis, ini menganggunya.Harusnya Rhea merasa lega tak bertemu dengan pria yang berbicara tajam itu. Tapi ditempat ini dia rupanya membutuhkan keberadaan pria itu.Rhea pikir memiliki lebih banyak waktu sendiri akan menenangkan, nyatanya dia lebih gusar, dan membuatnya lebih hanyut dalam kesedihan. Rasanya dia telah berhasil di jerat pria sialan itu. Dia merasa sekarang membutuhkan sosok pria yang satu-satunya dia kenal d
Rhea bangkit dari duduknya. Belum selesai dengan masalahnya sekarang dia dihadapkan dengan pria yang sangat berisik. Rasanya dia lelah menghadapi kenalan-kenalan Benjamin yang bersikap tak biasa. “Harusnya aku tak heran lagi Benjamin saja sulit ditebak tentu saja orang-orang dan lingkungannya akan begitu.” benak Rhea. “Kau tunggu saja temanmu pulang, aku tak memiliki hal sampai harus duduk dengan mu.” ucap Rhea hendak berlalu. Rhea merasa tak memiliki urusan dan tak berkewajiban menjamu nya, dia pula merasa tak nyaman dengan keberadaan pria bernama Daniel ini. Lagipula pelayan akan mengurus pria ini sampai tuan mereka datang. “Tidakkah kau penasaran mengenai siapa suamimu?! Aku bisa menceritakannya.” ucap Daniel merayu. Rhea menoleh cepat, dia tertarik dengan kalimat yang baru diucapkan Daniel itu. Daniel bak tahu bahwa jelas Rhea ingin mendengarnya lebih lanjut. “Ha! tebakanku benar.” Daniel mengedipkan matanya. Pada akhirnya Rhea menjamu pria itu. Dia tak percaya dengan diriny