Rhea membuka matanya kala menyadari seseorang menatap ke arahnya tajam. Belum tersadar penuh, tanpa aba-aba Ayahnya langsung menarik lengannya kasar, menyeretnya bangun dari kasurnya.
"Kau sangat hina!" cerca Ayahnya.Rhea tidak mengerti dengan kondisi tiba-tiba ini.Saat menuruni anak tangga semua telah berkumpul di ruang tamu. Kala Rhea menatap neneknya, wanita tua itu hanya memalingkan wajah.Ayahnya melemparnya kasar, membuat Rhea tersungkur ke lantai."Lagi dan lagi kau bertingkah!" bentak Ayahnya dengan amarah mendidih.Rhea bergegas berdiri, bahkan rasa sakit dari lututnya yang lecet tak terasa. Dia menatap sekeliling meminta penjelasan. Satupun tak ada yang berniat menjawab kebingungannya.Lalu Lili menunjukan sebuah foto USG yang didapatkan dari tas Rhea, sembari terbesit senyum penghinaan dibibirnya.Deg.Keringat Rhea bermunculan, menyebar dari telapak tangan hingga ke lehernya. Kepalanya berdenyut dengan ketakutan yang menyeruak. "Kau... bagaimana bisa?""Kau kira, bisa merahasiakan hal gila ini sampai kapan?" Lili meremehkannya dengan perasaan kemenangan telak."Oh! kakakku sangat tak terduga." ucapnya lagi, memprovokasi."Aku tak bisa mendidik Rhea dengan baik maafkan aku," timpal Ibu tirinya bersedih, namun senyum terselip di bibirnya.Rhea menggenggam erat jemarinya yang berpeluh. Dia tak tahu harus berbuat apa. Berkelit pun semuanya sudah ketahuan."Jadi itu benar milikmu?!" tanya neneknya lirih, tatapan teduhnya seakan ingin percaya bahwa Rhea tak akan melakukan tindakan keji semacam itu.Rhea tak mampu menjawab, dia tertunduk dengan air mata berkaca-kaca. Dari mana dia mulai menceritakannya?Kemudian Rhea mendongak, menatap nanar neneknya.Diamnya Rhea, meyakinkan nenek bahwa benar itu miliknya. Nenek memalingkan wajahnya. Dia terlihat kecewa.Nenek melirik Rhea sekejap, dengan ekspersi yang mengungkapkan kekecewaan besar. Tentu saja beliau tak menyangka cucunya akan bertindak hina. Lantas nenek berbalik meninggalkan semua orang.Perasaan bersalah kian memenuhi. "Tidak. Dengar dulu.. nenek..." Rhea terbata-bata sembari hendak mengejar neneknya.Namun, dihadang cepat oleh Lili."Jangan halangi aku!" ucap Rhea menatap tajam Lili.Ibu tirinya tiba-tiba saja menjambak rambut Rhea kuat.Rhea bahkan tak meringis kesakitan, keinginan untuk mengejar neneknya lebih besar hingga dia mengabaikan rasa sakitnya. Hanya saja bagi Vareli tindakan Rhea adalah berontak yang kian membuatnya marah.Plak!
Ibu tirinya menampar keras pipi kiri Rhea."Sekarang tidak akan ada lagi yang membelamu!!" ucap Ibu tirinya dengan angkuh. "Bahkan nenek!""Rhea!!" bentak Ayahnya yang tiba-tiba menarik lengannya kasar. "Siapa bajingan yang bermain denganmu itu?!" Ayahnya mencengkeram erat pundak Rhea.Rhea memalingkan wajahnya. Bagaimana dia bisa menjawab sedangkan dia tak tahu jelas siapa dan seperti apa wajah pria itu."Aku bertanya, siapa bajingan itu?!" pekik Ayahnya lantang.Rhea tertunduk kian bungkam. Dia mengepal kuat jemarinya berusaha agar tak menitikan air matanya.Ayahnya yang tersulut, menatap Rhea tajam. Kemudian...Plak!Pipi kanannya di tampar kuat Ayahnya. Hingga mengeluarkan darah.Lili menutup mulutnya, tersembunyi senyum puas. Dia sungguh menantikan saat-saat kakaknya terpuruk. Dan akhirnya dia bisa melihat hal yang dinantikannya."Sekarang kau bukan lagi bagian dari Dominic!! Ini penghinaan yang besar!!" teriak lantang Ayahnya.Tatapan Rhea kosong. Kalimat itu bak petir menyambar di tengah malam.Air matanya tak terbendung lagi, dia menetes deras. Bagaimana lagi? harusnya tak seperti ini, dia bahkan belum memutuskan melahirkan anak ini namun semuanya telah runyam.Rhea mendongak menatap keluarga nya dan tatapan tajam mengintimidasi penuh hinaan di dapatkan. Rhea tak berani membela diri lagi. Jantung nya berdetak cepat dengan perasaan yang kian terasa sakit."Kau tak bisa diharapkan!!" lantas sang Ayah menarik paksa Rhea keluar dari rumah.Rhea tak bertenaga untuk berontak.Nenek orang yang menjadi tempat yang di pikir akan mendengar setiap masalahnya kini memilih tak menoleh padanya lagi. Sekarang dia tak memiliki alasan berada di tempat ini lagi.Omelan dan hinaan keluar dari mulut Ayahnya. Pikiran Rhea tertuju pada neneknya, hingga cercaan Ayahnya terabaikan. Bagaimana hidupnya ke depan tanpa dukungan neneknya.Rhea yang tenggelam dengan pikirannya tak menyadari Ayahnya mendorong dirinya kasar keluar dari rumah.Rhea terkejut. Beruntung seseorang menangkapnya.Rhea terdiam sejenak. Lalu terdengar suara berat yang tak asing. "Aku menemukanmu."Sontak Rhea mendongak.Pria tinggi, dengan tubuh bak atletis, wajah yang tegas namun tampan. Terkesan angkuh dan menakutkan. Terlebih bibir seksinya sangat menarik.Rhea membelalak tersadar. Buru-buru berdiri dengan cepat hendak menjauh dari pria yang menangkapnya.Namun, pria itu tak melepaskannya. Dia memeluknya kian erat. Pria itu bahkan menyentuh pipi Rhea lembut.Rhea tak mengerti mengapa pria ini bersikap aneh.Perhatian pria itu kemudian teralih, dia menatap tajam Hendra yang berdiri di depannya yang juga menatapnya dengan tajam. Pria itu tampak murka."Kau yang membuat pipinya terluka?!" teriak pria itu begitu menggelegar."Kau jangan ikut campur urusan keluarga Dominic!!" jawab Hendra tegas, berisi kemarahan yang lebih besar.Pria itu tertawa menakutkan, sembari menyibak kasar rambutnya."Jelas ini urusanku. Kau berani menyentuh wanitaku. Sialan!!""Pantas saja aku kesulitan menemukannya. Selain keluarga kalian pandai menyembunyikan identitas putri tertua Dominic!! Kalian juga pandai menyiksanya!!" teriak lantang pria itu, rasanya dia mulai tak terkendali.Ya, Ayahnya selalu melarang Rhea menggunakan nama keluarga saat di luar. Jika media tau bahwa Dominic memiliki putri tertua yang gagal itu sangat memalukan.Jikapun beberapa orang berhasil menemukan keberadaan Rhea sebagai karyawan biasa maka dia akan menutup mulut mereka dengan memberikan sejumlah uang."Apa-apaan dengan pria gila ini kenapa kau muncul kediamanku, dan sok menjadi pahlawan? Anak itu tak berguna, sudah lama aku menahan diri!! dan sekarang dia menunjukkan bahwa dia sangat tak layak!!"Sorot mata pria itu begitu tajam membuat siapapun melihatnya bergidik.Rhea menarik baju pria itu. Dia ingin menyudahinya. Dia terlalu lelah menghadapi situasi menyakitkan yang tak ada habisnya. Rasanya dia ingin cepat menghilang sekarang.Pria itu menghela napas. Perhatian pria itu kembali tertuju pada Rhea. Dia merangkul pinggang Rhea menariknya mendekat ke arahnya."Aku terlalu lama, " bisiknya sembari mencium kening Rhea.Rhea membelalak, dia sadar. Sentuhan, postur tubuh, dan suara pria ini. Semuanya sama dengan pria malam itu.Rhea membeku, bergidik."Kau tak memiliki telinga?! huh!" teriak Hendra marah."Oh! apa pria itu. Lelaki yang menghamilimu?" ucap Ibu tirinya yang tiba-tiba saja ikut bergabung."Ah, jadi pria seperti itu pantas saja! Sama-sama tampak liar." timpal Lili."Sialan! Jadi itu kau!" amarah Hendra semakin tersulut mendengarnya.Pria itu terkejut, dia sedikit menunduk menatap Rhea lekat-lekat. "Kau hamil?"Cemas, gelisah, dan ketakutan semuanya menyeruak memenuhinya. Apa yang akan pria ini lakukan setelah tau dia hamil?Rhea yang kacau tanpa sadar menggigit bibirnya kuat, hingga darah keluar dari bibir mungilnya.Pria itu menyentuh Bibir Rhea, lantas mengelapnya dengan bibirnya.Rhea membelalak, tak bisa mempercayai tindakan pria itu."Jangan menggigit bibirmu lagi, jika tak ingin aku mengelapnya dengan bibirku." pria itu menyeringai, dia tengah menggoda.Pria itu sadar bahwa Rhea ketakutan karena dirinya. Namun dia sama sekali tak berniat melepaskan wanita yang susah payah dia temukan."Ikutlah denganku. Di sini, mereka memperlakukanmu tanpa kasih sayang layaknya bukan keluarga." bisik pria itu.Tiba-tiba Hendra mencengkeram erat kerah pria itu. Dia marah pria itu mengabaikannya dan bersikap seenaknya. Mereka saling menatap tajam. Situasi kian menegang.Sorot mata hitam legam pria itu amat mengintimidasi. Lalu pria itu memelintir lengan Hendra kuat."Argh!! Argh..." teriak Hendra merintih sakit."Pria tidak sopan!! Berani sekali bersikap kasar pada suamiku!!" teriak Vareli marah, dia bergegas berusaha membantu suaminya.Dahi pria itu mengernyit, dia kemudian melempar Hendra.Hendra terjatuh dan menimpa Vareli. Seringai puas terbesit di bibir pria itu.Lili bergegas menghampiri kedua orang tuanya dengan panik. Ia menatap marah pria itu "Bajingan!! kau pikir ini di mana. Ini kediaman Dominic dan kau berani bersikap kurang ajar!!"Pria itu menyentuh lembut wajah Rhea tanpa mempedulkan Lili. "Nah! Bagaimana kau mau ikut bersamaku?" tanyanya lagi.Rhea menatap Ayahnya yang tengah merintih kesakitan. Tatapan tajam dari Ayahnya bak siap menyiksanya. Juga tatapan kebencian Lili dan Ibu tirinya.Di keluarga ini dia tak memiliki tempat.Rhea tertunduk, kemudian mengangguk pelan. Pada akhirnya dia memilih mengikuti pria yang tak ingin dia temui lagi.Lantas pria itu menyeringai puas atas jawaban Rhea. Sebelum pergi, pria itu menatap Hendra bak memberi ultimatum."Benjamin Carrillo Fuentes. Ingat nama itu."Kemudian dia membawa Rhea pergi bersamanya.Hendra terdiam sejenak. "Be-Benjamin Carrillo Fuentes?!" dia sungguh tak mempercayai itu."Benjamin, siapa dia Ayah?" tanya Lili yang terheran dengan reaksi Ayahnya. "Dia.. dia Pemimpin Mafia Oleander." jawab Hendra masih tak percaya. Pemimpin Oleander tak pernah sekalipun menunjukan wajahnya pada orang lain dan mereka sangat rapi dalam menangani masalah __ "Masuklah." pria itu membukakan pintu mobil dan meminta agar Rhea segera masuk kedalamnya. Namun, Rhea tengah kacau dengan pikirannya. "Apalagi sekarang?!" dari kehilangan Ibu, cinta Ayah yang lama mati, dan sekarang neneknya. Rasanya kepalanya hendak pecah. Mengapa rasa sakit tak pernah berhenti dia dapatkan? “Hei!” Pria itu menyentuh pundak Rhea. Rhea tersadar dari lamunanya. Ah! Benar dia sempat lupa bahwa sekarang dia tengah bersama pria asing. Dari banyaknya orang, mengapa harus pria itu?! pria yang tak ingin dia temui, pria yang sangat dia benci, pria yang membuatnya berada dititik ini. Rhea tengah berusaha melawan air mata yang hampir terjatuh dengan menahan teriakan yang tertahan di tenggorokan. Rhea me
Rhea terperanjat bangun dari posisi tidurnya. Dia sadar dia berada dikasur yang jelas bukan miliknya. "Dimana aku?”Matanya mengamati sekitar, tempat yang tak di kenali. Tampak Interior kamar yang elegan didominasi dengan warna hitam abu-abu.“Ah! Aku ingat. Semalam tanpa sadar aku tertidur dalam pelukan pria itu,” Rhea menyesali tindakan yang tak pikir panjang itu. “Apa ini kamar pria itu? ini kediamannya?!” “Akh! au…” Rhea menyentuh pipinya yang terasa nyeri, pipi yang ditampar kuat Ayahnya semalam. Namun, tampaknya itu telah diobati. Karena terdapat plester dipipinya. Rhea mengigit bibirnya kuat. “Benjamin ya?!” Dia tak mengerti perlakuan baik pria itu. Pria yang tak mampu dia tebak dengan mudah. Seketika pikirannya kalut, dia yakin akan sulit menghindari pria itu. Dia menenangkan diri sejenak, setelah merasa lebih tenang dia turun dari kasurnya dengan hati-hati. Rhea menuju pintu, tentu saja dia ingin pergi dari tempat ini, tangannya menyentuh pelan gagang pintu. Namun, tiba-
Ceklek!Pintu dibuka. Seorang pelayan laki-laki dengan menggunakan pakaian polos, sederhana, dan tampak tak menarik perhatian. Pelayan itu kemudian masuk, ekspresinya tampak terkejut kala melihat Tuannya dan seorang wanita cantik yang tengah berada di situasi tak baik. Pelayan itu menebak dalam benak. "Mungkin mereka tengah bertengkar." Rasanya dia tahu bahwa kedatangannya tidak diwaktu yang tepat. Benjamin lantas meraih nampan berisi sarapan dan segelas susu yang dibawa pelayan itu. Pelayan itu menelan ludah kala tatapan menusuk tuannya terarah padanya. Dia tertunduk takut. "Apa lagi yang kau tunggu. Keluar sekarang!" suruhnya terdengar tegas. Pelayan itu bergegas keluar dengan menutup pintu rapat-rapat. “Tidak! Tunggu,” Rhea ingin memanggil kembali pelayan itu, dia ingin meminta bantuannya. Jika hanya dia dan Benjamin disini, situasi tak akan berubah baik untuknya. Dia ingin menghindari pria sialan ini.Benjamin yang tengah meletakan nampan diatas meja meliriknya dengan tajam.
Tapi Rhea tak senang atas pujian itu. Dia memandang Benjamin tanpa gentar lagi. "Aku tak akan tersanjung atau berterimakasih," jawabnya ketus. Benjamin balik menatapnya dari cermin kaca lekat-lekat, "Aku mengatakan sesuai dengan apa yang ku lihat. Senang atau tidaknya itu pilihanmu." Rhea menjadi geram, selalu saja pria ini tak mau kalah darinya dan terus membalas kalimatnya. "Mendandani ku dengan rapi kau akan membawaku kemana?" tanya Rhea yang jauh tampak stabil. "Mm, kau ingin bermain menebak?! jika kau benar aku akan mengabulkan satu permintaanmu dan jika salah kau tak bisa menolak kemanapun ku bawa?" Benjamin menawarkan sesuatu. "Lucu sekali! Kau pikir aku akan percaya. Benar atau salah bukankah itu menjadi keputusanmu." Dahi Benjamin berkerut, sedetik kemudian dia tertawa. “Rupanya kau tidak bodoh. Aku suka.” Lalu perhatian Benjamin tertuju ke perut datar Rhea, dia menyentuh lembut perut Rhea. Rhea mencengkeram erat tangan yang lebih besar darinya itu. Berhasil membuat Be
Rhea yang tampak mengabaikannya membuat Benjamin sedikit kesal. Apa yang dipikirkan oleh wanita didepannya ditengah dia yang sedang mencumbunya? Lantas Benjamin mengigit bibir Rhea.“Ah! au…” rintih Rhea, menatap Benjamin yang kian melumat bibirnya.Benjamin mengusap lembut bibir Rhea dengan jemarinya, tangannya menyentuh dagunya. Dia mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka saling bersentuhan. “Ya, harusnya kau menatapku seperti ini bukan malah mengalihkan pikiran dan pandanganmu.”“Yaampun mereka tampak membara.” ucap seseorang yang berpapasan dengan pasangan yang penuh gairah, mereka tampak terkejut.“Stt! itu tanda cinta, karena baru mendaftarkan pernikahan.” timpal yang lainnya dengan terkekeh.Rhea tersadar mereka masih berada didepan gedung kantor catatan sipil dan banyak orang berlalu lalang dan melihat mereka bercumbu. Bagaimana bisa Benjamin melakukan hal memalukan itu disini.Bergegas Rhea menjauh dari Benjamin. Tangannya mengusap kasar bibir yang baru dicumbu Benjamin. Rh
“Tentu saja penikahan. Ada pengantin pria juga wanitanya.” jelas Charles, dia lantas melanjutkan. “Sebagai bentuk menghargai wanitanya, Tuanku ini sampai mendesak kami agar mempersiapkan tempat ini dalam waktu setengah hari. Ya! Kami tidak heran lagi karena tuanku memang sedikit gila. Tapi aku tak menyangka dia melakukan ini untuk seorang wanita.” dia berbicara dengan sopan namun penuh cercaan dan sindiran didalamnya. “Tidakkah kau merasa bicaramu terlalu banyak.” ucap tegas Benjamin, dia menatap Charles tajam. “Haha… ini hanya sedikit protes.” jawab Charles. Rhea mengepal jemarinya. Benar! Agar status sah sebagai istri, tentu harus melewati pernikahan. “Aku tak pernah membayangkan prosesinya akan secepat ini.” gumamnya. Rhea berusaha mengatur diri agar amarah tak menguasai dirinya. “Lagi dan lagi kau bertindak semau mu. Kau tak menanyakan atau berdiskusi pada ku lebih dulu. Kau berkata untuk mempercayai dirimu, namun semua tindakan mu lebih terlihat agar aku tak memepercayaimu!” l
Setelah kejadian mendebarkan itu mereka kembali kekediamanya.Tepatnya dikamar Benjamin.Seorang pelayan datang membawakan kotak obat. “Letakkan dimeja.” suruh Benjamin dengan penuh penekanan.“Baik.” jawab sopan pelayan itu seraya bergegas keluar.Rhea tengah sibuk menggulung lengan baju Benjamin, kemudian dia membantu membersihkan darah dan mengaplikasikan obat padanya.Rhea pikir peluru menancap dilengan Benjamin, rupanya hanya tergores. Entah mengapa Rhea menjadi lega. “Mungkin karena aku mengandung anaknya, perasaan menghawatirkannya muncul begitu saja.” benak Rhea.“Orang yang terluka harus dibantu, terlepas dengan masalah antar kita.” ucap Rhea memecah keheningan.“Dan jangan berpikir aku akan menerima semua perlakuan sebelum mu.” Rhea menekan sedikit kuat luka Benjamin.Benjamin yang sudah terbiasa dengan pengalaman luka tak terlalu merasakan sakit akibat penekanan luka dari Rhea. Namun, melihat wajah Rhea yang marah dia menjadi ingin menggodanya.“Ah! Au… pelan-pelan.” ucap
Tiga hari berlalu setelah hari itu.Rhea hampir tak bertemu dengan Benjamin. Katanya dia tengah sibuk dengan urusannya dan lebih sering pulang ketika malam larut. Tentu saja saat itu Rhea sudah tertidur dan tak ada alasan untuk menunggu Benjamin.Rhea tahu bahwa Benjamin tengah sibuk mengurus masalah penyerangan tempo hari. Hanya saja hatinya terasa sakit Benjamin pergi tanpa memberi penjelasan.“Aku berpikir keras, namun tetap tak mendapat jawaban.” Rhea tampak lesu.Semangatnya kian memudar, dirumah besar yang asing bersama dengan orang-orang yang bertingkah profeksionis, ini menganggunya.Harusnya Rhea merasa lega tak bertemu dengan pria yang berbicara tajam itu. Tapi ditempat ini dia rupanya membutuhkan keberadaan pria itu.Rhea pikir memiliki lebih banyak waktu sendiri akan menenangkan, nyatanya dia lebih gusar, dan membuatnya lebih hanyut dalam kesedihan. Rasanya dia telah berhasil di jerat pria sialan itu. Dia merasa sekarang membutuhkan sosok pria yang satu-satunya dia kenal d
Rhea termenung di atas kasur nya. Sampai pagi menyapa, Benjamin benar-benar tak menemuinya. Ya! ketenangan yang dia inginkan sejak kemarin. "Namun, mengapa aku sedikit kecewa?" Entah mengapa hatinya terasa resah sejak semalam. Keseharian yang tak biasa Rhea lewati tanpa adanya kehadiran Benjamin. Rhea ingat bahwa setidaknya setiap Benjamin pergi untuk mengurus pekerjaannya. Dia tak pernah pergi tanpa menemuinya lebih dulu. Dia akan datang dengan kata manis yang di rangkai indah, lalu bersikap manja padanya. Marah sekalipun pada akhirnya Benjamin akan menemuinya bak tak terjadi hal apapun, dan hari-hari akan berjalan seperti biasa. "Untuk apa aku memikirkannya." Rhea tak akan ambil pusing tentang Benjamin lagi. Lagipula pria yang membawa wanita yang katanya di cintai namun tak berniat menjadikannya rumah. Rasanya sia-sia. Rhea menghabiskan waktu nya seperti biasa. Dia sibuk dengan kegiatan barunya merajut baju. Hingga malam tiba, Benjamin benar-benar tak terlihat.
“Wajah tertekuk dengan dahi mengkerut tak cocok dengan mu!” tukas Benjamin. “Ha! Memang siapa yang membuatku begini?” gumam Rhea. Rhea berusaha keras terlepas dari genggaman tangan Benjamin, namun apa daya genggamannya sangat kuat.Kesal! jelas itu tergambar di wajah Rhea. Dia ingin mencaci, memarahinya, dan memukul kuat pria yang mengekangnya dengan perhatian yang membuatnya kebingungan dan sulit berkutik.Pada akhirnya dia mengurungkan niatnya, sudah jelas pria besar ini tak akan pernah berniat kalah darinya hal sekecil apapun itu. Dia menatap datar wajah Benjamin yang bahkan tampak santai dengan senyum yang terukir indah dibibirnya. Bak tak menyadari kekesalan diwajah istrinya atau dia pura-pura tak tahu bahwa istrinya tengah menahan amarahnya? Kesabaran ada ambang batasnya dan diperlakukan seperti orang bodoh, memilih tetap diam juga melelahkan.Rhea menghela napas, dia lelah dan tak ingin berdebat lagi. Berdebat dengan Benjamin hanya membuat tensinya naik. Senyum terpaksa Rh
Bayangan bahwa semua perkataan Benjamin akan di tepati, nyatanya janji-janjinya hanya angin lalu yang terhembus begitu saja. Bertemu dengan keluarga Benjamin? Tak pernah sekalipun itu terjadi. Ketika Rhea menanyakan perihal tersebut. Selalu saja Benjamin mengalihkan pembicaraan. Semua berlalu hingga lima bulan, dan kehamilan Rhea telah memasuki delapan bulan. Tak sekalipun kalimat Benjamin terealisasikan. Hingga Rhea lelah untuk menanyakan hal itu lagi dan memilih diam. Kehamilan 8 bulan membuat Rhea kesulitan berjalan, terlebih pergerakan bayinya menjadi lebih aktif. Rhea lebih banyak menghabiskan harinya berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Meski dia bosan, namun dia merasa jauh lebih aman untuknya tetap berada di sekitar rumah. Rhea duduk di kursi taman belakang rumah. Dia menghela napas pelan sembari mengelus-elus perutnya yang membesar, sesekali terasa pergerakan bayinya yang menendang-nendang. “Sebentar lagi kau akan lahir. Itu tak terasa sekali.” Rhea tersenyum ma
“Bagaimana, aku sudah wangi bukan?!” Benjamin tersenyum nakal. Rhea menarik dirinya sedikit menjauh. “Ya, kau sudah wangi.” jawabnya. “Tak perlu sampai mencumbu ku, dari jauh aku bisa mencium bau sabun dari mu.” uap Rhea sembari mendorong pelan Benjamin menjauh darinya. “Ah! Kau perlu merasakan langsung diriku yang sudah wangi ini.” goda Benjamin, dia menunduk menatap Rhea yang terlihat kesal padanya. Rhea bangkit dari duduknya. Dia tampak menghindari situasi yang jelas akan terarah kemana. “Ben sangat berbahaya jika menuruti godaan nya. Mengapa dia bertelanjang dada dan hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk kecil. Otot-otot dadanya sangat menarik perhatianku.” benak Rhea. Dia berdiri didekat jendela, menghindari Benjamin dengan wajah merona merah. Meski Rhea terkesan menolak dan menghindar, nyatanya pikirannya tengah kacau dan tertuju pada dada bidang Benjamin. “Pikiran mesum apa ini.” Rhea berusaha memblokir pikirannya yang terus tertuju pada Ben. Dia bahkan memukul
Sepanjang hari Rhea termenung dikursi dengan menatap kearah luar jendela, menatap langit, cuaca yang berubah-ubah, lalu lalang burung yang berterbangan, dan pesawat yang melintas beberapa kali.Semua itu adalah upayanya mengalihkan pikirannya.“Apa yang tengah kau lakukan?!” Rhea tersentak lantas menoleh, disebelahnya dia mendapati Benjamin. Dia bahkan tak menyadari kapan tepatnya kedatangannya. “Ini untukmu.” Benjamin memberikan buket bunga pada Rhea. Benjamin memberikannya begitu saja dengan wajah datarnya. Dia terlihat kaku.Mata Rhea membulat dengan ragu-ragu dia menyentuh buket bunga itu. “Kebetulan sekali aku menyukai mawar merah.” benak Rhea. “Ini sangat indah.” puji Rhea. “Aku senang kau menyukainya.” tukas Benjamin lantas menatap lekat wajah istrinya. “Mengapa tiba-tiba bunga?!” tanya Rhea penasaran. “Tak ada alasan.” jawab Benjamin.“Mm, biasanya bunga di berikan pada hari spesial. Mungkin ulang tahun, anniversary, Valentine, ya hari semacam itu. Aku tak tengah beru
Setengah hari berlalu dan Rhea lebih banyak berdiam dikamarnya. Setelah mengetahui bahwa yang kakek itu katakana bohong. Rhea merasa bodoh, percaya dengan ucapan dari orang asing. Rhea lebih banyak merebahkan diri diatas kasur dengan mata terpejam, namun tak mampu tertidur. Itu adalah bentuk kekhawatiran dan stres berlebihan tanpa dia sadari. Kemudian Rhea bangkit dari kasurnya, dia duduk di kursi dan mulai membaca buku yang sebelumnya telah dia minta ambilkan pada pelayan Ina. Rhea ingin mengalihkan pikiran-pikiran yang membuatnya frustasi, terlebih tentang Benjamin. Sedetik kemudian air mata Rhea menetes begitu saja. “Bohong jika aku tak khawatir, bohong jika aku tak takut.” Rhea menyeka air matanya dan berusaha menenangkan diri. Lalu pembahasan mengenai Vantoni yang masih belum menemukan titik temu membuat kekesalan dalam diri Benjamin kian memuncak. Ditambah dengan Rhea yang semakin penasaran dan bergerak untuk mencari tau tentangnya. "Saat ini aku masih bisa menyembunyi
Rhea mendorong dada Benjamin. “Tidak. Aku tak ingin kau menyentuhku malam ini.” “Apa yang kau pikirkan itu hanya kecupan selamat malam.” Jelas Benjamin sembari tertawa. “Aku tak akan tertipu.” Rhea tak percaya, sering kali Benjamin berkata demikian, namun berbeda dengan tindakannya. “Sungguh?!” goda Benjamin. Rhea menjauh dari Benjamin. Dia bahkan membelakangginya. Keresahan memenuhinya dan engan menyambut sentuhan-sentuhan Benjamin. Tak ada protes atau kata-kata tajam dari Benjamin. Benjamin malah memeluk Rhea dari belakang, lantas memejamkan matanya, beberapa menit dia telah tertidur dengan pulas. Rhea tak menduga bahwa malam ini Benjamin sungguh tak melakukan hal-hal mesum seperti yang di pikirannya. Wajah Rhea merona malu, rupanya sungguh hanya dia yang memikirkan itu. Kemudian dia ikut tertidur dengan pulas. Dia akan memastikan ruangan itu esok harinya. Pagi harinya Benjamin telah bersiap. Dia menatap Rhea yang masih tertidur pulas. Dia mendekati Rhea, lantas berkat
"Jangan malu dengan panggilan Sayang dariku!" goda Benjamin. Rhea meluruskan tangannya tepat ke arah Benjamin, dia bak meminta Benjamin untuk berhenti menggoda nya. Rhea tak ingin berakhir lagi dengan panas yang menggelora. Rhea berusaha memblokir pikiran-pikiran mesumnya. Kemudian dia berjalan lebih dulu menaiki tangga, mendahului Benjamin. Rhea tak ingin terjebak dengan situasi yang akan sulit dia hadapi nantinya. Terlebih Benjamin sangat suka menyentuh bagian-bagian sensitif nya. Rhea terus melangkah, namun dalam benaknya dia sungguh penasaran dengan ruangan itu. Dia ingin memastikan sendiri kalimat dari kakek itu. Rhea menoleh kearah ruangan itu sepintas dengan kaki yang terus melangkah menaiki anak tangga. Benjamin yang berada tepat dibelakang mengamati gerik Rhea, tatapannya tajam. Lantas Benjamin mempercepat langkahnya, dia merangkul pinggang Rhea. Dengan cepat ekspresi nya berubah lebih hangat. “Jalanmu sungguh lambat.” Ucap Benjamin menoleh kearah Rhea. “Mm, aku sedi
Kekhawatiran dan rasa cemas memenuhinya. Rhea terus memikirkan kalimat kakek itu hingga malam tiba. Rhea tak tenang hingga sulit memejamkan matanya. Rhea sampai tak menyadari. Detik, dan menit terus berjalan. Hingga suara langkah kaki terdengar mendekat. Rhea berpura memejamkan matanya. "Benjamin sudah pulang." benak Rhea menebak. Karena tak mungkin orang lain masuk ke kamarnya di tengah malam. Kemudian langkah kaki Benjamin mengarah ke kamar mandi, suara air mulai terdengar. Rhea semakin gelisah. “Sebaiknya ku katakan saja mengenai perkataan kakek tadi?!” “Tidak! Aku akan memeriksa dan memastikan lebih dulu mengenai perkataan kakek itu.” benaknya. Ceklek!! Suara pintu kamar mandi terbuka. Terdengar langkah kaki Benjamin yang mengarah padanya. Rhea kembali memejamkan mata. Rhea merasa risih, dia merasakan tatapan tajam terarah padanya. “Hm! Kelopak matamu bergerak-gerak. Kau tak pandai berbohong.” tukas Benjamin. Kala mendengar kalimat Benjamin, tanpa sadar Rhea mengerutka