Share

Bab 2

Penulis: Ivana
Beberapa pembantu berjalan mendekat, lalu menekan Dita secara paksa supaya Dita bersujud pada Puspa.

“Cepat ucapkan terima kasih pada Nyonya!” ejek pembantu-pembantu itu.

“Cih! Dasar wanita jalang!” Dita memaki sambil tersenyum sinis, “Setelah pergi ke sana, aku akan suruh Tuan Joko untuk kurung putramu ke penjara!”

Ekspresi Puspa langsung tenggelam. Dia berjalan cepat ke arah Dita dan menamparnya dengan kuat.

Dita juga tidak diam saja. Dia menjulurkan kepalanya dan menyundul perut Puspa dengan kuat. Rumah Joko setara dengan neraka. Begitu dibawa pergi ke sana, dia pasti mati. Berhubung memang harus mati, dia ingin terlebih dahulu menghabisi wanita jahat di hadapannya.

Puspa pun terjatuh ke lantai dan langsung berteriak kesakitan.

“Cepat panggil Ayah datang untuk hukum dia! Kalau dia nggak dididik dengan baik, dia akan permalukan Keluarga Suyatno setelah menikah nanti!” Dian berjalan keluar dari rumah, lalu menatap Dita dengan tidak senang dan berseru, “Dasar jahat! Sifatmu benar-benar buruk dan kamu juga nggak hormat sama orang tua! Kamu bahkan berani pukul Ibu! Pelayan, tangkap dia!”

Dita mencibir, “Aku jahat? Kalau begitu, kalian berdua nggak manusiawi!”

“Kamu mau membangkang?” Puspa bangkit dari lantai dengan ekspresi muram, lalu merebut tongkat kayu dari tangan pembantu dan hendak memukul wajah Dita.

“Ibu, jangan pukul wajahnya! Tuan Joko masih menginginkannya!” seru Dian dengan terburu-buru untuk menghentikan Puspa.

Puspa menenangkan diri, lalu memberi perintah dengan marah, “Telungkupkan dia, lalu buka pakaiannya!”

Para pembantu menekan Dita ke atas batu yang runcing dan panas, lalu membuka pakaiannya dan mencoba menanggalkan celana dalamnya. Namun, Dita meronta sekuat tenaga.

Tongkat kayu itu sangat istimewa. Meskipun dipakai untuk memukul orang, tongkat itu tidak akan meninggalkan bekas yang terlalu jelas di permukaan kulit, tetapi akan melukai tulang dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.

“Pukul dia yang kuat biar dia jera!” Puspa memaki, “Anak yang dilahirkan wanita jalang memang nggak berpendidikan!”

Dita mendongak, lalu memelototi Puspa. “Nyonya Puspa, kamu selalu maki ibuku wanita jalang, tapi jangan lupa .... Dulu, Tuan Laksana yang menipu ibuku kemari! Tuan Laksana dan kamu barulah orang yang paling jalang!”

“Kurang ajar! Pukul! Pukul dia sampai mati!” seru Puspa dengan marah. Kemudian, dia langsung mengayunkan tongkat kayu yang dipegangnya ke tubuh Dita.

Dita lebih rela dipukul mati daripada menikah dengan Joko. Joko adalah seorang maniak. Entah ada berapa banyak gadis yang tewas di tangannya setiap tahun. Konon, ketika mayat mereka diangkat keluar, tidak ada satu pun bagian tubuh mereka yang masih mulus.

“Dita, status ibumu sangat rendah. Dia seharusnya bersyukur karena bisa menikah dengan Ayah. Kenapa kamu malah berani memaki Ayah!” seru Dian dengan nada sarkastis.

“Semoga kamu juga seberuntung itu kelak,” ejek Dita.

Ibunya Dita bernama Laras. Dia merupakan putri pedagang kecil dari Janari. Laksana membohongi Laras dengan mengatakan bahwa dirinya belum menikah dan membawa Laras ke ibu kota. Setelah tiba di Kediaman Suyatno, Laras baru tahu bahwa Laksana sudah memiliki istri dan anak. Istrinya bahkan lebih dari satu.

Hanya saja, berhubung Dita sudah hampir lahir, Laras yang tidak ingin Dita dimaki anak haram pun akhirnya bersabar dan tinggal di Kediaman Suyatno.

Awalnya, Laksana masih suka menghabiskan waktu dengan Laras. Namun, Laras segera dilupakan karena Laksana terpikat oleh istri barunya. Hal ini menyebabkan Laras harus berjuang keras sendiri dalam menghadapi istri-istri Laksana yang lain.

Pada akhirnya, Laras meninggal dengan sangat tragis.

Dita teringat hari di mana Laras mengalami persalinan yang sulit. Lantai kamar dipenuhi dengan darah yang sangat menusuk mata.

Hari itu kebetulan adalah hari ulang tahun kelima Dita. Namun, sejak hari itu, tidak ada lagi yang mengingat hari ulang tahunnya. Dia bagaikan rumput liar yang tumbuh besar sendiri dalam rumah ini.

“Pukul! Pukul dia sampai mati!” seru Puspa dengan. marah.

Kaki Dita menerima satu demi satu pukulan. Tulangnya terasa sangat sakit.

“Jangan pukul lagi! Aku mohon, Nyonya dan Nona. Jangan pukul lagi!” seru Sekar sambil berlari mendekat, lalu bersujud di hadapan Puspa

Sekar merupakan pembantu yang dibawa Laras dari Janari. Setelah menyadari dirinya tertipu, Laras pun mengembalikan surat perjanjian kerja Sekar supaya Sekar bisa pergi. Namun, Sekar mengkhawatirkan Laras dan bersikeras untuk lanjut menemaninya.

Setelah Laras meninggal, surat perjanjian kerja Sekar dirampas oleh Puspa. Sejak saat itu, Sekar pun menjadi budak Puspa. Demi Dita, Sekar bersabar dan lanjut tinggal di tempat ini.

“Sekar, Dita jadi begini karena dimanjakan kamu! Kamu juga harus dipukul!” ujar Puspa sambil tersenyum sinis.

Sekar sudah berusia lebih dari 50 tahun. Dia mana mungkin tahan dipukul seperti ini?

Dita pun tertawa. “Pukul saja. Tapi, kalau aku nggak mati hari ini, aku pasti aka hasut Tuan Joko untuk menikahi Kakak! Aku dan Kakak akan melayaninya bersama!”

Mendengar ucapan Dita, Dian merasa sangat marah dan langsung menendang kakinya. “Kamu sama nggak tahu malunya dengan ibumu! Dasar wanita jalang!”

“Kamu sangat mulia. Kamu bukan anak yang dilahirkan ibumu karena tidur dengan pria, tapi digali dari batu!” ejek Dita sambil meludah dengan penuh emosi.

Baru saja Dian hendak menendang Dita lagi, ekspresinya tiba-tiba berubah. Dia menatap ke arah pintu halaman, lalu segera menarik kembali kakinya.

“Ibu, Wira sudah datang!” Dian segera menarik tangan Puspa dan memberinya isyarat.

Puspa melirik ke arah pintu dan melihat sosok seorang pria yang sedang berjalan mendekat. Pria itu mengenakan baju zirah berwarna perak, berperawakan tinggi dan tegap. Siapa lagi itu jika bukan Wira Rusmini.

Dita menoleh ke arah pintu halaman dengan susah payah. Wira sudah melewati pintu dan sedang berjalan ke arahnya.

Bukankah Wira sedang berada di perbatasan? Sejak kapan dia kembali?

“Berhenti!” Wira mendorong para pembantu yang sedang memukul Dita, lalu berseru marah, “Kalian mau pukul dia sampai mati!”

Dita menatap Wira tanpa mengatakan apa-apa. Dia amat teramat menyukai Wira. Wira bagaikan bulan di langitnya yang sudah menyinari dunianya selama 15 tahun. Sejak bertemu dengan Wira ketika berusia dua tahun, dia sudah menyukai Wira.

Sayangnya, Wira merupakan seseorang yang sangat berbakat dan hebat. Kelak, dia harus menikah dengan putri Kaisar. Wira bukanlah orang yang bisa didambakan oleh Dita.

“Orang di luar sudah desak lagi.” Pengurus rumah berlari masuk lagi. Ketika melihat Dita masih tergeletak di atas lantai berbatu runcing, dia pun mendesak Puspa.

“Mau ke mana?” tanya Wira dengan kening berkerut.

“Mau pergi tangani sedikit masalah.” Puspa memaksakan seulas senyum, lalu berkata dengan lembut, “Jenderal Wira, suamiku sudah menunggumu di ruang baca. Cepat pergilah ke sana.”

“Jangan pukul dia lagi.” Wira memapah Dita untuk berdiri, lalu berkata padanya dengan kening berkerut, “Kamu juga jangan terlalu keras kepala.”

“Memangnya mereka akan ampuni aku kalau aku mengalah?” tanya Dita sambil menyunggingkan seulas senyum dengan susah payah.

Dita tidak ingin meminta bantuan Wira. Dulu, Wira pernah membantunya. Namun, setiap kali Wira membantunya, ibunya Wira akan mempersulitnya. Lama-kelamaan, dia pun tidak lagi meminta bantuan Wira.

“Cepat ganti pakaianmu dan oles obat ini ke lukamu.” Wira mengeluarkan obat luka yang senantiasa dibawanya, lalu menaruhnya ke tangan Dita sambil berkata dengan lembut, “Aku akan tunggu kamu di sini.”

“Buat apa kamu tunggu aku?” tanya Dita sambil berusaha menahan air mata.

“Aku bawakan makanan enak untukmu. Kamu ganti baju saja dulu. Aku akan bawa kamu pergi mengambilnya nanti,” bisik Wira sambil melepaskan tangan Dita.

Dita menatap Wira yang melangkah pergi dengan perasaan getir.

“Yang Mulia Kaisar menyuruhnya kembali ke ibu kota untuk menjodohkannya. Coba tebak putri bangsawan mana yang akan dinikahinya,” ujar Dian dengan sengaja setelah melihat tampang sedih Dita.

Ternyata Wira kembali ke ibu kota untuk dijodohkan. Dita kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya dengan perasaan sedih. Setelah itu, dia menyimpan botol obat yang diberikan Wira ke saku bajunya. Dia juga mengeluarkan sebuah tusuk konde yang sudah diasah sampai tajam dari laci dan menyematkannya ke rambut.

Di luar, sebuah tandu dengan tirai biru sedang menunggu di depan. Beberapa pengawal berpakaian baju zirah hitam berdiri di sekitar tandu itu. Setelah memberi hormat pada Dita, mereka pun membuka tirai tandu dan mempersilakannya naik.

Bab terkait

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 3

    Selama perjalanan, Dita memejamkan matanya. Dia tidak berhenti berpikir bagaimana dirinya bisa langsung membunuh bajingan tua itu dengan satu serangan mematikan.Joko sudah tua, tetapi nafsunya masih begitu besar. Setiap tahun, ada puluhan sampai ratusan gadis tak berdosa yang dicelakainya. Maniak tua itu juga selalu membanggakan diri dan mengatakan bahwa staminanya masih sekuat dulu.Setelah melakukan perjalanan sekitar setengah jam, tandu Dita akhirnya memasuki sebuah tempat dan berhenti.“Tuan sedang menunggu di dalam. Nona, silakan masuk,” ucap seorang pengawal sambil membuka tirai tandu dan mempersilakan Dita untuk turun.Dita bersikap sangat tenang. Dia turun dari tandu dengan menahan rasa sakit kedua kakinya. Di hadapan Dita, terbentang hutan bambu yang tenang. Jauh di dalam hutan, terdapat sebuah rumah kecil yang halamannya memiliki sumur dan kincir air yang sedang berputar pelan sambil mengeluarkan bunyi berderit. Seluruh halaman terasa segar dan sejuk.Setelah menaruh kotak

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 4

    Mata Angga yang cemerlang perlahan-lahan mengamati wajah Dita yang bersemu merah, lalu bergerak turun ke kakinya. Pakaian luar Dita sudah melorot sampai ke pergelangan kakinya. Saat ini, tubuhnya hanya dibalut oleh pakaian dalam yang tipis dan celana pendek putih selutut. Sepasang kaki yang jenjang dan ramping itu terlihat bersinar di bawah cahaya bulan.“Kemari.” Angga menegakkan tubuhnya. Ekspresinya sudah tidak semasam tadi.Dita langsung melangkahi pakaiannya dan berjalan ke arah Angga tanpa ragu. Pakaiannya sudah terkena air dan debu. Dia tidak menginginkannya lagi. Kelak, dia juga akan melangkahi semua orang di Kediaman Suyatno seperti ini. Dia tidak akan membiarkan mereka melukainya lagi.“Kenapa kamu nggak pakai kembali pakaianmu?” tanya Angga sambil tersenyum.Dita menjawab dengan tampang cemberut, “Memangnya Pangeran tega menyuruhku pakai pakaian yang sudah usang?”Setelah terdiam sejenak, Dita menambahkan, “Aku juga tetap cantik meski nggak pakai baju.”“Kamu percaya diri j

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 5

    “Lagi ngapain kalian?” Tiba-tiba, terdengar seruan dingin Angga.Irma pun terkejut dan buru-buru menoleh ke arah Angga. Dalam sekejap, aura intimidasi Angga langsung membuat seluruh dayang berlutut dengan ketakutan.Tepat pada saat ini, Dita menerima obat pencegah hamil itu dan meminumnya.“Apa itu?” Angga berjalan mendekat dan mengamati bibir Dita lekat-lekat. Bibir indah itu terlihat mengkilap dan sangat memesona setelah dibasahi cairan obat hitam.Irma menunduk dan menjawab dengan hormat, “Itu obat pemberian Putri Agung.”Dita menyodorkan mangkuk itu, lalu berkata dengan santai, “Pahit. Pangeran, aku mau makan yang manis-manis untuk hilangkan rasa pahitnya.”“Nggak ada makanan manis.” Angga meletakkan kembali mangkuk itu ke atas nampan dengan kasar, lalu memberi perintah dengan dingin, “Keluar.”Irma buru-buru memberi hormat kepada Angga, lalu membawa sekelompok dayang itu keluar dari halaman.“Pangeran ke mana?” tanya Dita dengan nada manja sambil merangkul leher Angga dan tersenyu

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 6

    “Hormat, Pangeran Angga ....” Wira berjalan masuk, lalu menangkupkan tangannya dan memberi hormat pada Angga. Namun, saat pandangannya jatuh pada wajah Dita, kata-katanya pun terhenti.“Dita?” Wira menatap Dita yang berada dalam pelukan Angga dengan ekspresi tidak percaya, lalu bertanya dengan terkejut, “Kenapa kamu ada di sini ....”Dita merasa panik untuk sejenak, lalu perlahan-lahan menenangkan diri. Dia bersandar dalam pelukan Angga, lalu menjawab sambil tersenyum, “Kak Wira, sekarang aku sudah jadi gundik Pangeran Angga.”“Gundik?” Wira mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya pada Angga. Ekspresi Angga saat ini terlihat agak dingin setelah mendengar Dita memanggil Wira kakak.Suasana dalam ruang baca pun menjadi sangat hening.“Jenderal Wira, duduklah.” Setelah sesaat, Angga baru meletakkan kuas dan menepuk-nepuk pinggang Dita sambil berkata, “Pergi seduh teh sana.”“Aku nggak bisa.” Dita menoleh dan menjawab tanpa ragu, “Sejak kecil, aku cuma minum air sumur. Aku ngg

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 7

    Wira mengerutkan keningnya, lalu menoleh ke arah Dita lagi. Dita sedang memusatkan perhatiannya pada baskom tembaga di hadapannya sambil menaruh sehelai demi sehelai daun ke dalam.“Jenderal Wira, silakan.” Darya memimpin beberapa orang melangkah maju untuk menghalangi pandangan Wira.Wira melirik para putri bangsawan yang menunggu di luar. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya menelan kembali kata-katanya dengan tidak senang.Setelah Angga keluar dari halaman, beberapa putri bangsawan itu baru berani mendongak dan menoleh ke arah Dita. Tatapan mereka dipenuhi dengan ejekan. Seorang gundik yang tidak bisa dibawa untuk menghadiri jamuan hanyalah mainan belaka.Meskipun tidak mendongak, Dita bisa merasakan tatapan-tatapan penuh ejekan itu. Dia hanya memfokuskan perhatiannya pada daun di baskom, lalu berlagak seolah-olah sedang bermain dengan gembira.Setelah suara langkah kaki menjauh, Dita baru merasa lega. Senyuman di wajahnya juga langsung sirna. Dia menatap daun bambu yang t

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 8

    Setelah sesaat, Dita menggunakan daun untuk menyumbat hidungnya, lalu mengoleskan sari bunga ke seluruh tubuhnya. Setelah membersihkan tubuh dan wajahnya dari darah, juga memastikan tidak tertinggal bau darah di tubuhnya, dia baru menyisir rambut, berdandan, dan mengenakan pakaian baru.Dita juga telah mencuci bersih pakaiannya yang ternodai darah dan menjemurnya di halaman. Itu adalah pakaian bagus pertama yang dikenakannya. Dia akan menghargai pakaian itu selamanya.Ketika Dita selesai melakukan segalanya, matahari sudah tenggelam. Darya memimpin beberapa orang untuk menghidangkan makanan ke atas meja batu, lalu langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Kak Darya, apa malam ini Pangeran Angga akan pulang?” tanya Dita dengan ragu.“Nggak tahu,” jawab Darya sambil menoleh ke arah Dita. Kemudian, dia langsung melangkah keluar.Dita merasa agak kewalahan. Apakah Angga marah karena masalah Wira, lalu ingin mengusirnya? Apa dia perlu mengenakan lebih banyak pakaian supaya dia tidak keluar

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 9

    “Pangeran ....” Dita segera merasa ada yang tidak beres. Angga sudah membuatnya kesakitan. Dia pun mencengkeram bahu Angga sambil memohon ampun.“Diam. Jangan panggil aku.” Angga berdiri sambil menggendong Dita, lalu berjalan ke arah kamar.Dita diam-diam mengeluh dalam hati. Ternyata Angga memang marah.“Pangeran, lembut dikit ...,” mohon Dita sambil meringkuk dalam pelukan Angga.“Nggak bisa lembut-lembut.” Angga menunduk untuk menatap Dita. Matanya yang dingin sedikit memicing. Kemudian, dia langsung membungkuk dan mencium bibir Dita.Bibir gadis ini juga sangat lembut. Begitu mencium bibirnya, Angga sama sekali tidak bisa berhenti lagi.Dita masih tidak berhenti memohon pada Angga untuk melakukannya dengan lebih lembut, tetapi Angga sama sekali tidak mengalah. Pria itu bahkan melakukannya dengan makin ganas.Dita tahu bahwa dia tetap harus mengorbankan beberapa hal untuk mendapatkan keuntungan dari orang seperti Angga. Berhubung dia berharap Angga bisa menyelamatkannya dari tangan

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 10

    Dita pun menoleh ke luar dengan agak bingung. “Buat apa tabib itu datang kemari?”“Kemarin Nona mimisan. Pangeran suruh tabib untuk datang memeriksa Nona,” jawab Santika dengan lembut.Angga menyuruh tabib untuk datang memeriksanya? Sejak ibunya meninggal, tidak ada seorang tabib pun yang pernah memeriksa Dita, bahkan ketika lengannya dipukul sampai patah. Dia hanya bisa bergantung pada Sekar untuk pergi membeli obat, lalu mengobatinya. Sisanya tergantung pada nasibnya sendiri. Tabib itu berusia sekitar 50 atau 60 tahun. Rambutnya sudah beruban, sedangkan tampangnya terlihat bijaksana dan ramah. Dia terlebih dahulu memeriksa denyut nadi Dita, lalu mengamati wajah Dita dengan saksama sebelum bertanya, “Kamu sering mimisan?”“Itu sudah penyakit lama. Dulu, tulang hidungku pernah patah. Jadi, aku akan mimisan dari waktu ke waktu. Tapi, aku sudah lama nggak mimisan,” jawab Dita sambil mengangguk.“Apa ada obat yang kamu minum akhir-akhir ini?” tanya Ganjar lagi.Setelah datang ke tempat i

Bab terbaru

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 50

    “Dasar wanita jalang! Beraninya kamu menampar Ibu!” seru Dian. Kemudian, dia bergegas menghampiri Dita.Dita dengan cepat meraih tangan Dian dan mendorongnya ke depan. Setelah Dian terjatuh, Dita langsung menendangnya. Dia telah melatih setiap gerakan ini dalam pikirannya berkali-kali!“Bu, dia menendangku!” Dian menyilangkan tangannya dan pergi mengadu pada Puspa.Namun, Dian pernah menendang Dita seperti ini sebelumnya. Dian bahkan sengaja menendang dada Dian. Dian berkata bahwa dia memiliki dada yang besar dan terlihat genit. Jadi, dia menghancurkan dadanya.Pada saat itu, Dita berusia 13 tahun dan tubuhnya baru mulai berkembang. Dia pun berguling-guling di lantai karena kesakitan. Seluruh dadanya memar-memar akibat tendangan Dian. Ibu dan anak itu sangat kejam. Mereka menyiksa Dita seperti menyiksa binatang peliharaan.“Dasar anak wanita jalang! Beraninya kamu tendang Dian!” Puspa tiba-tiba menggila dan menerkam ke arah Dita.Melihat hal ini, Santika dan Winda bergegas untuk menghe

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 49

    Santika melangkah maju, lalu menatap Puspa dan Dian dengan dingin sambil berkata dengan lantang, “Nyonya Puspa, Nona Dian, apa kalian lupa bahwa Nona Dita sudah jadi wanita Pangeran Angga?”“Waktu itu, orang dari Kediaman Suyatno yang secara langsung mengantar Nona Dita naik ke tandu. Kalau kalian berubah pikiran, silakan bersujud dan minta maaf pada Pangeran Angga. Bilang saja kalian menipu Pangeran dan ingin menjemput Nona Dita pulang.”Ekspresi Puspa dan Dian sontak berubah.“Nona, siapa namamu?” Dian melirik Santika dan memaksakan seulas senyum.“Santika.” Santika menjawab dengan lugas.“Nona Santika, Dita sendiri yang mau menjilat Pangeran Angga ....”Sebelum Dian menyelesaikan ucapannya, Santika langsung menyela tanpa ragu.“Aku sudah bilang, Nona Dita itu wanitanya Pangeran Angga. Nyonya Puspa dan Nona Dian nggak punya hak untuk mengatakan apa pun di sini. Kalian seharusnya sudah tahu tentang Tuan Joko yang datang minta orang, ‘kan? Apa kalian ingin berakhir sepertinya?”Wajah P

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 48

    “Kenapa mereka bisa masuk?” bisik Santika pada Winda.“Mereka langsung mengirimkan undangan. Putri Agung bilang mereka itu keluarga Nona. Jadi, dia langsung mengizinkannya,” jawab Winda.Santika menatap Dita dengan kening berkerut. Kehidupan Dita di Kediaman Suyatno jauh lebih buruk dari pembantu. Namun, orang-orang itu masih berani datang mencarinya?“Apa mereka datang untuk memeras Nona? Kamu kembali saja dulu. Jangan biarkan mereka menyentuh barang apa pun!” perintah Santika dengan wajah dingin.“Aku sudah beri tahu Wisnu sebelum keluar. Dia tahu harus berbuat apa,” jawab Winda.“Ayo kita jalan lebih cepat. Kedua orang itu lebih berengsek dari binatang. Coba saja kalau mereka berani mencuri barangku!” Dita mendesak Santika dan Winda untuk berjalan lebih cepat.Seusai berbicara, Dita mencibir lagi, “Sekarang, mereka nggak bisa mengendalikanku. Nanti, kalian harus lebih waspada. Kalau mereka berani menyentuh barang-barangku, aku akan buat mereka ganti rugi! Jangan harap mereka bisa ke

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 47

    “Benar.” Dita mengangguk. Dia tidak peduli siapa sebenarnya yang memuji. Yang terpenting adalah, ada yang memuji.“Enak! Nona Dita bersedia mengajarkan cara pembuatannya kepadaku?”Orang yang berbicara adalah Siska Winata. Dia terlihat sangat ceria dan juga merupakan gadis yang sangat cantik.“Tentu saja,” jawab Dita sambil mengangguk.“Nona Dita benar-benar baik. Jangan khawatir, aku nggak akan minta Nona mengajariku secara cuma-cuma.” Siska melepas sebuah gelang emas dari pergelangan tangannya, lalu menarik tangan Dita dan memakaikan gelang itu.“Apa maksudnya ini? Kamu mau menjilatnya?” Gadis yang dari tadi tidak bersuara bernama Nuri Maryadi. Dia menatap Siska dengan kesal. Dinilai dari penampilannya, keadaan keluarga Nuri seharusnya masih kalah dari Siska dan Maya.“Aku nggak bisa menerimanya. Barang ini terlalu berharga.” Dita mengembalikan gelang emas itu, lalu berkata sambil tersenyum, “Kalau kalian mau belajar, aku akan tuliskan resepnya untuk kalian.”“Dengar-dengar, ada dapu

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 46

    Angga sangat mengagumi keoptimisan Dita. Setelah keluar dari halaman, Darya sudah menunggunya.“Indra sudah memeriksa Kediaman Suyatno. Di sana, memang ada beberapa tanaman herbal. Sepertinya, tanaman-tanaman itu bukan sengaja ditanam dan jumlahnya cuma sedikit. Indra juga menyusuri dinding di mana tanaman itu tumbuh sampai ke rumah sebelah. Dia menemukan beberapa tanaman herbal liar di sana,” bisik Darya sambil mengikuti Angga.“Itu rumah siapa?” tanya Angga.“Rumah Jenderal Wira,” jawab Darya.Angga memperlambat langkahnya, lalu menoleh ke arah Darya. “Kamu yakin itu benar-benar cuma tanaman herbal liar?”“Tanaman herbal di sana juga tumbuh menyusuri dinding dan nggak ada di tempat lain. Selain itu, Indra juga menemukan seekor ular berkepala hitam,” jawab Darya dengan ekspresi serius.“Kenapa bisa ada ular berkepala hitam di ibu kota?” gumam Angga dengan ekspresi dingin.“Menurut Indra, kalau ditemukan seekor ular jenis itu, itu berarti ada sarangnya di sekitar. Acara pacuan kuda aka

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 45

    “Sudah mendingan?” Angga menopang kepalanya dengan satu tangan dan mencondongkan tubuh ke depan untuk menatap Dita.Dita memiliki kulit yang sangat putih. Dengan matanya yang ditutupi pita sutra merah, dia pun terlihat makin memesona. Dia mengernyitkan, lalu menjawab dengan lembut, “Emm, sudah mendingan.”“Hmm, kamu memang perlu mencerna makan dengan olahraga.” Angga mengelus wajah Dita sambil bertanya dengan pelan, “Bagaimana kalau berkuda?”“Pangeran masih mau keluar berkuda malam-malam begini?” Dita berbaring malas di atas ranjang dan tidak ingin bergerak.“Nggak perlu keluar.” Angga meraih tangan Dita, lalu meletakkannya ke pinggangnya.Wajah Dita langsung memerah. Dia menjawab “nggak mau” dengan malu, tetapi Angga tetap menggendongnya.Di dalam kegelapan malam, entah sudah berapa lama waktu berlalu. Setelah pita sutra merah yang menutupi mata Dita dibasahi keringat, Angga akhirnya baru berhenti.Dita terbaring lemas di tengah tempat tidur kecil, bagaikan seekor ikan tanpa tulang.

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 44

    “Ayo kita pulang.” Dita menegakkan tubuhnya, lalu berjalan kembali dengan langkah ringan.Santika menatap Dita dengan khawatir dan takut dia merasa sedih. Namun, Dita sama sekali tidak bersedih. Dia malas berurusan dengan orang-orang berstatus tinggi itu. Mereka semua berasal dari kalangan bangsawan, juga bisa berbincang sambil menikmati pemandangan indah. Sementara itu, dia hanya bisa berdiri di samping dengan penuh hormat. Hanya orang bodoh yang akan mengikuti mereka.Setelah kembali ke tempat tinggalnya, Dita segera memerintahkan Santika untuk membawa semua barang yang ditinggalkannya di Taman Bambu, termasuk belalang rumput yang dibuatnya.Sementara itu, Winda menyiapkan makan malam. Dia sangat jago memasak dan Dita sangat puas dengan masakannya. Tanpa disadari, Dita menghabiskan tiga mangkuk nasi. Pada akhirnya, dia berjalan mengelilingi halaman sambil mengusap perutnya yang membuncit.Santika menata ulang ranjang kamar Dita. Angga hanya bisa tidur di atas kain sutra yang dikirim

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 43

    “Dia benar-benar bilang begitu?” Putri Agung langsung duduk tegak. Setelah ragu sejenak, dia akhirnya mencicipi kue beras kuning itu. Angga sangat jarang makan makanan manis, juga jarang memuji sesuatu enak. Kue beras kuning ini memiliki tekstur yang lembut dan rasa manis kurma merah. Rasanya memang lumayan enak. “Kalian juga cobalah. Kelak, kalian boleh buatkan kue seperti ini untuk Angga.” Setelah manghabiskan sepotong kue beras kuning, Putri Agung menyuruh para dayang dan pengasuh yang melayaninya untuk mencicipi kue tersebut.Aroma kue beras kuning menyerbak di seluruh aula. Semua orang diam-diam terkejut karena Angga memuji kue beras kuning yang sederhana ini.“Dita, kamu memang cukup hebat sampai Angga bisa begitu menyukaimu. Kalau kamu bisa membuatnya bahagia, itu adalah suatu jasa. Pelayan, beri dia hadiah!” Setelah membilas mulutnya, Putri Agung menatap Dita lagi.Seorang dayang senior segera mengeluarkan satu set hiasan kepala mutiara. Mutiara-mutiara itu bahkan lebih bes

  • Takdir Membawaku Padamu Malam Ini   Bab 42

    Dita menerima surat kepemilikan rumah itu dan membacanya berulang kali. Nama pemilik rumah itu benar-benar adalah Dita Suyatno.“Apa aku bisa langsung tagih sewa sekarang juga?” tanya Dita dengan penuh semangat. Dia akhirnya bisa merasakan sensasi menagih uang sewa, juga menghasilkan uang tanpa perlu melakukan apa pun.“Berdiri. Masih ada beberapa petisi yang mau aku baca. Catat resep itu beserta kegunaan dan dosisnya dengan jelas.” Angga mendorong Dita untuk bangkit, lalu mengusap wajahnya dan berkata, “Aku akan bermalam di sini. Siapkan ranjangnya dengan baik.”“Siap!” Dita tidak berhenti mengangguk hingga kepalanya terasa hampir copot dari lehernya.Jangankan membiarkan Angga bermalam, Dita bahkan bersedia mengubah dirinya menjadi pilar kayu dan menopangnya sepanjang malam dengan senang hati. Ini namanya kekuatan uang!Setelah tiba di halaman, Angga menoleh dan melihat Dita yang tidak berhenti mencium surat kepemilikan rumah dengan kuat. Kemudian, dia baru melangkah keluar dengan su

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status