Bab 5

“Lagi ngapain kalian?” Tiba-tiba, terdengar seruan dingin Angga.

Irma pun terkejut dan buru-buru menoleh ke arah Angga. Dalam sekejap, aura intimidasi Angga langsung membuat seluruh dayang berlutut dengan ketakutan.

Tepat pada saat ini, Dita menerima obat pencegah hamil itu dan meminumnya.

“Apa itu?” Angga berjalan mendekat dan mengamati bibir Dita lekat-lekat. Bibir indah itu terlihat mengkilap dan sangat memesona setelah dibasahi cairan obat hitam.

Irma menunduk dan menjawab dengan hormat, “Itu obat pemberian Putri Agung.”

Dita menyodorkan mangkuk itu, lalu berkata dengan santai, “Pahit. Pangeran, aku mau makan yang manis-manis untuk hilangkan rasa pahitnya.”

“Nggak ada makanan manis.” Angga meletakkan kembali mangkuk itu ke atas nampan dengan kasar, lalu memberi perintah dengan dingin, “Keluar.”

Irma buru-buru memberi hormat kepada Angga, lalu membawa sekelompok dayang itu keluar dari halaman.

“Pangeran ke mana?” tanya Dita dengan nada manja sambil merangkul leher Angga dan tersenyum manis.

“Ke istana.” Angga mencubit pipi tembam Dita, lalu bertanya dengan suara rendah, “Kamu suka pakaian-pakaian itu?”

“Suka.” Dita mengangguk sambil tersenyum lebar. “Ternyata kehidupan wanita penggoda sebagus ini. Aku suka sekali!”

Angga mencubit hidung Dita lagi. “Jujur juga kamu.”

“Aku akan berusaha yang terbaik untuk buat Pangeran makin menyukaiku, juga menyukaiku sedikit lebih lama.” Dita membenamkan kepalanya ke pelukan Angga, lalu menyentuh dada Angga dengan jarinya.

Dita tidak menyangka Angga begitu royal. Jika menjual barang-barang ini kelak, dia bisa mendapatkan uang yang cukup banyak.

“Dengan kemampuanmu saat ini, kamu masih nggak bisa melakukannya.” Angga menurunkan tangan Dita dari dadanya, lalu berjalan ke arah ruang baca.

Dita memilih pakaian dari dalam kotak kayu, lalu masuk ke rumah untuk bertukar pakaian. Seusai berdandan, dia baru pergi mencari Angga.

Angga lagi-lagi sedang membaca petisi. Di atas meja, terdapat paling tidak belasan petisi, tempat tinta, dan beberapa kuas.

Dita tidak pernah menggiling tinta, apalagi memegang kuas. Saat belajar menulis, dia menggunakan ranting untuk menulis di atas tanah.

“Pangeran.” Dita berjalan ke depan meja, lalu melirik kuas yang terletak di sana sambil bertanya, “Pangeran, aku boleh sentuh kuasnya sebentar?”

Angga masih menunduk dan menjawab, “Emm.”

Dita sontak merasa gembira. Dia menggunakan ujung jarinya untuk menyentuh kuas-kuas itu. Setelah sesaat, dia bertanya lagi dengan ekspresi iri, “Pangeran, aku boleh pegang kuasnya?”

Angga menoleh dan melirik beberapa kuas itu. Itu hanyalah kuas biasa. Kenapa Dita begitu tertarik pada kuas-kuas itu?

“Peganglah,” jawab Angga masih dengan nada yang santai. Namun, alisnya sedikit terangkat.

Dita mengulurkan tangannya untuk mengambil kuas itu. Setelah berpikir sejenak, dia menarik kembali tangannya dan menyeka kedua tangannya di bajunya beberapa kali. Kemudian, dia baru mengambil sebatang kuas dan mengamatinya dengan serius.

“Bisa menulis?” tanya Angga tanpa mendongak.

“Bisa,” jawab Dita dengan riang. Setelah terdiam sejenak, dia menambahkan, “Tapi, aku nggak pernah pegang kuas.”

Angga meletakkan petisi yang dibacanya, lalu mengulurkan tangan pada Dita, “Ayo duduk di sini.”

Dita menoleh ke arah Angga. Tidak ada kursi di sisinya. Apa maksud Angga adalah duduk di pangkuannya? Dita pun duduk di pangkuan Angga, lalu berbisik padanya, “Pangeran, aku boleh menulis pakai kuas?”

Angga mendorong semua petisi ke samping meja, lalu membentangkan selembar kertas dan menunjuk ke atas kertas itu.

“Tulislah,” katanya dengan nada berat.

Dita tahu cara memegang kuas. Sebelumnya, dia pernah mengintip bagaimana cara Dian dan yang lainnya menulis, lalu berlatih dengan menggunakan ranting. Setelahnya, dia pernah mencuri sebatang kuas. Namun, sebelum sempat menggunakannya untuk menulis, ada orang yang melihatnya.

Hari itu, Dita juga dipukul habis-habisan. Dian bahkan menyuruh orang untuk menarik kelopak matanya dengan kuat dan memakinya tidak tahu malu.

Setelahnya, Dita pernah berpikiran untuk membeli sebatang kuas. Namun, setelah menanyakan harganya, dia merasa tidak rela untuk membelinya. Pada akhirnya, dia lanjut menggunakan ranting pohon untuk belajar menulis di atas tanah.

Dita menunduk, lalu dengan hati-hati mencelupkan ujung kuas ke dalam sedikit tinta. Selanjutnya, dia menggesek-gesekkan ujung kuas yang keras pada batu tinta untuk melembutkannya. Dia melakukan setiap langkah sesuai dengan urutannya berlatih dulu. Selain tangan yang gemetar karena terlalu bersemangat, setiap langkahnya benar.

Namun, baru saja Dita menyentuhkan kuasnya ke kertas yang tipis, tintanya sudah merembes membentuk lingkaran hitam yang besar sebelum dia mulai menulis.

“Ah!” Dita menatap tinta yang merembes itu dengan terkejut dan bertanya dengan bingung, “Kenapa tintanya merembes?”

Angga menepuk-nepuk pinggang Dita, lalu menjawab dengan tenang, “Jangan tekan terlalu kuat. Ayo coba lagi.”

Dita menggigit bibirnya, lalu bertanya dengan pelan, “Pangeran nggak akan suruh aku ganti rugi kertasnya, ‘kan?”

“Mau ganti rugi juga boleh.” Angga tersenyum, lalu bertanya dengan bersemangat, “Kamu mau ganti rugi pakai cara apa?”

“Aku akan bantu Pangeran bersihkan ruang baca, menggiling tinta, dan membereskan buku-buku.” Dita menatap Angga dengan mata berbinar. Di ruangan ini, terdapat banyak buku, kuas, dan kertas. Dia ingin duduk di ruangan ini setiap hari.

“Kamu nggak pernah sekolah?” Angga menggenggam tangan Dita, lalu menuntun tangannya untuk mencelupkan ujung kuas ke tinta, menggesekkan ujung kuas ke batu tinta untuk membuang tinta berlebihan, dan menuliskan goresan pertama.

“Nggak pernah.” Dita menatap kata “D” yang muncul di kertas, lalu berbisik, “Pangeran bisa eja namaku?”

Angga melepaskan tangan Dita, lalu menjawab, “Coba kamu tulis sendiri.”

Dita pun menunduk, lalu mulai menulis namanya dengan hati-hati. Tulisannya sangat jelek. Bagaimanapun juga, ini adalah pertama kalinya dia menuliskan sesuatu menggunakan kuas. Perasaannya sangat berbeda dengan menulis di tanah menggunakan ranting. Selain itu, dia masih belum bisa mengontrol kekuatan menulis sehingga tintanya masih merembes.

“Seru sekali bisa menulis!” Dita meletakkan kuas, lalu mengangkat kertas itu dan tidak berhenti meniup tintanya.

“Mau pakaian atau peralatan menulis?” tanya Angga.

“Pakaian!” jawab Dita tanpa ragu. Meskipun ada juga peralatan menulis yang harganya mahal, dia merasa tidak ada banyak orang yang bersedia menawarkan harga tinggi untuk membeli peralatan menulis. Pakaian lebih mudah untuk dijual.

Angga pun tertawa. “Kamu benar-benar jujur.”

“Pangeran suka sama aku yang begini?” tanya Dita sambil menoleh ke arahnya dengan mata berbinar.

Angga mencubit pipinya, lalu menjawab dengan santai, “Lumayan.”

Dita juga tidak terburu-buru. Malah lebih bagus apabila Angga tidak menyukaiku. Dengan begitu, Angga akan mencampakkannya setelah bosan dan dia sudah sepenuhnya bebas. Pada saat itu, dia akan menjual semua hadiah yang diberikan Angga, lalu menebus Sekar dari tangan Keluarga Suyatno, dan melewati kehidupan sederhana.

“Pangeran, Jenderal Wira sudah datang,” kata Darya dari luar pintu.

Dita menoleh keluar dan langsung melihat Wira yang berdiri di luar. Hari ini, dia mengenakan jubah putih yang dipadukan dengan ikat pinggang berwarna hijau. Penampilan ini membuatnya terlihat makin ceria.

Senyuman di wajah Dita langsung sirna. Dia buru-buru menunduk dan tidak berani melihat ke luar lagi.

“Ada apa?” tanya Angga dengan nada datar setelah menyadari ketegangan gadis dalam pelukannya.

“Ada orang yang datang menemui Pangeran. Aku kembali ke kamar dulu,” jawab Dita sambil menggunakan rambutnya untuk menyembunyikan wajahnya.

“Kenal sama dia?” Angga menaruh kembali rambut Dita ke belakang, lalu mencubit dagunya dan membuatnya menatap dirinya.

“Kenal,” jawab Dita dengan patuh. Tidak ada gunanya dia berbohong. Begitu menyelidiki hal ini, Angga akan langsung tahu bahwa Kediaman Suyatno dan Kediaman Rusmini hanya terpisahkan oleh sebuah tembok.

“Berhubung kenal, kamu nggak usah kembali ke kamar. Yang mau kubicarakan dengannya bukan masalah kerajaan, melainkan masalah perjodohannya,” ujar Angga dengan santai.

Terdengar langkah kaki yang berangsur-angsur mendekat dari luar pintu. Kemudian, Wira pun berjalan masuk.