Bab 4

Mata Angga yang cemerlang perlahan-lahan mengamati wajah Dita yang bersemu merah, lalu bergerak turun ke kakinya.

Pakaian luar Dita sudah melorot sampai ke pergelangan kakinya. Saat ini, tubuhnya hanya dibalut oleh pakaian dalam yang tipis dan celana pendek putih selutut. Sepasang kaki yang jenjang dan ramping itu terlihat bersinar di bawah cahaya bulan.

“Kemari.” Angga menegakkan tubuhnya. Ekspresinya sudah tidak semasam tadi.

Dita langsung melangkahi pakaiannya dan berjalan ke arah Angga tanpa ragu. Pakaiannya sudah terkena air dan debu. Dia tidak menginginkannya lagi. Kelak, dia juga akan melangkahi semua orang di Kediaman Suyatno seperti ini. Dia tidak akan membiarkan mereka melukainya lagi.

“Kenapa kamu nggak pakai kembali pakaianmu?” tanya Angga sambil tersenyum.

Dita menjawab dengan tampang cemberut, “Memangnya Pangeran tega menyuruhku pakai pakaian yang sudah usang?”

Setelah terdiam sejenak, Dita menambahkan, “Aku juga tetap cantik meski nggak pakai baju.”

“Kamu percaya diri juga.” Mata Angga sudah dipenuhi nafsu. Dia langsung meraih pinggang Dita dan memangkunya.

“Karena aku mau menyenangkan Pangeran.” Dita menjawab dengan percaya diri, “Sekarang, yang bisa kuandalkan cuma tubuhku yang indah ini.”

“Memangnya seberapa indah tubuhmu itu?” Angga merasa terhibur setelah mendengar kata-kata Dita yang berani.

“Tentu saja 100 dari 100! Pangeran kan nggak buta,” jawab Dita dengan manja sambil melingkarkan kedua lengannya ke leher Angga.

Angga mencubit pipi Dita yang halus sambil bertanya, “Dari mana kamu pelajari semua ini?”

“Begitu bertemu Pangeran, aku langsung bisa tanpa belajar.” Dita mendekatkan wajahnya ke wajah Angga. Berhubung Angga tidak menghindar, dia pun mengambil inisiatif untuk mengecup bibir Angga.

“Sebaiknya kamu cuma bersikap begini terhadapku.” Angga mempererat genggamannya pada pinggang Dita, lalu menelungkupkan Dita ke atas pahanya. Setelah itu, dia memukul bokong Dita dengan kuat.

Dita pun terkesiap. Merayu orang benar-benar adalah hal yang sulit, terlebih lagi merayu orang seperti Angga.

“Baring yang baik, jangan bergerak.” Angga mengelus rambut Dita untuk sejenak, lalu mengambil sebuah botol dari meja dan membuka tutupnya.

Aroma obat langsung menyerbak ke hidung Dita. Dia pun menoleh untuk melihat apa yang ingin dilakukan Angga. Pada detik berikutnya, telapak tangan Angga memijat kakinya dengan lembut. Rasa sakit di tulang kakinya pun berkurang banyak setelah dipijat.

“Pangeran, dari mana kamu belajar melayani orang?” tanya Dita dengan sengaja.

Plak! Angga lagi-lagi memukul bokong Dita. Bokongnya yang putih itu sontak memerah.

Dita merasa sangat sakit hingga matanya berkaca-kaca. Kemudian, dia membenamkan kepalanya ke pelukan Angga dan tidak bergerak lagi.

“Pangeran, sakit. Kamu harus ganti rugi dengan belikan aku pakaian baru.” Setelah sesaat, Dita baru duduk menghadap Angga, lalu bersikap manja padanya.

Angga merasa sangat lucu. Gerak-gerik Dita terasa canggung dan kaku, tetapi juga memiliki pesona.

“Kalau kamu memuaskanku, aku akan belikan 100 potong pakaian baru untukmu,” jawab Angga dengan santai sambil menyentuh ujung hidung Dita.

Dita meringkuk dalam pelukannya, lalu berkata dengan suara menggoda, “Kasih aku dulu. Kalau nggak, Pangeran nggak akan bisa merasakan trikku.”

“Mau tawar-menawar sama aku?” Ada kilatan dingin yang melintasi mata Angga. Dia mencengkeram dagu Dita, lalu memaksanya mendongak. “Memangnya kamu sehebat apa? Hmm?”

Mata Dita kembali berkaca-kaca. Tiba-tiba, dia mencondongkan tubuhnya dan mencium bibir halus Angga. Angga sangat tampan, juga jago di ranjang. Meskipun merasa agak sakit di awal, dia sudah bisa menikmatinya setelahnya. Jadi, dia tidak rugi.

Ketika Dita menjilat bibir Angga seperti seekor kucing, gairah Angga langsung memuncak. Dia pun menggendong Dita, lalu meletakkannya ke atas meja dan langsung mendominasi tubuhnya ....

Malam sudah larut.

Angga berjalan keluar dari halaman bambu dengan ekspresi puas.

Darya, pengawal pribadi Angga sedang berjaga di depan gerbang halaman. Begitu melihat Angga keluar, dia langsung menghampiri Angga.

“Sudah selidiki dengan jelas?” tanya Angga sambil meletakkan kedua tangan di punggung.

“Dia itu putri kedua Laksana Suyatno. Ibunya adalah putri pedagang yang dibawa pulang Laksana dari Janari. Ibunya sudah meninggal ketika dia berumur 5 tahun. Di perjamuan kemarin, Dita sebenarnya akan dipersembahkan pada Tuan Joko. Tak disangka, dia malah mencari Pangeran.”

“Obat itu awalnya dipersiapkan untuk Dita. Aku sudah memeriksanya, itu hanyalah obat perangsang biasa. Jadi, aku selidiki lagi sisa obatnya dan menemukan tambahan sejenis obat ....”

Darya mengeluarkan sapu tangan, lalu membukanya. Ada sisa obat dalam sapu tangan itu.

“Aku sudah suruh Indra periksa. Obat ini disebut wujir dan bersifat sangat dingin sehingga bisa membuat wanita mandul. Kebetulan, obat ini bisa memicu racun tersembunyi dalam tubuh Pangeran. Makanya, Pangeran baru kehilangan kendali. Selain itu, racun ini butuh waktu sebulan untuk sepenuhnya hilang. Nona Dita harus tinggal di sini paling nggak sebulan.”

Angga menghentikan langkahnya. Dia menerima sapu tangan berisi sisa obat itu dan mengamatinya. Kemudian, ada kilatan dingin yang melintasi matanya.

“Sepertinya, anggota Keluarga Suyatno mau mencegahnya hamil. Sekarang, dia sudah dibawa kemari. Aku akan menampungnya untuk sementara.”

“Kalau dia mau tinggal di sini sebulan, apa hal ini perlu dilaporkan pada Putri Agung?” tanya Darya.

Angga menoleh ke arah Darya, lalu menjawab dengan acuh tak acuh, “Kamu sepertinya sudah terbiasa melakukan prosedur hal-hal seperti ini.”

Darya tertegun sejenak, lalu buru-buru menangkupkan tangannya dan mengaku salah. “Maaf, aku terlalu cerewet.”

Angga melempar sapu tangan itu kepada Darya, lalu berkata dengan santai, “Dia itu cuma gundik. Ibu nggak akan peduli.”

...

Keesokan pagi.

Dita masih tertidur pulas. Namun, derap langkah kaki di luar tiba-tiba membangunkannya. Entah sejak kapan, sudah berdiri beberapa dayang di halaman. Di hadapan mereka, ada juga beberapa kotak kayu besar.

“Nona Dita, kamu sudah bangun? Ini semua pemberian Pangeran untuk Nona,” ujar dayang yang berdiri di paling depan sambil melangkah maju dan memberi hormat pada Dita.

Dita berjalan ke arahnya, lalu membuka kain yang menutupi nampan yang dipegangnya. Di nampan itu, terletak perona pipi, bedak, perhiasan, dan tusuk konde.

“Ada juga 100 potong baju,” ujar dayang bernama Irma itu sambil mengamati Dita, lalu menunjuk ke arah kotak kayu besar.

Angga benar-benar membelikan 100 potong baju kepadanya? Dita terlihat terkejut dan segera membuka kotak kayu itu. Di dalam kotak kayu, terdapat banyak pakaian indah yang terbuat dari kain bagus yang tidak pernah ditemuinya.

Setelah dipikir-pikir, Dita tidak pernah mengenakan pakaian baru selama beberapa tahun terakhir. Seingatnya, pada salah satu perayaan ulang tahun Ibu Suri, istana memberikan hadiah berupa pakaian baru kepada keluarga pejabat senior.

Pada saat itu, seorang selir cantik yang sedang disukai Laksana sengaja menantang Puspa dan membawa Dita pergi meminta pakaian baru ke istana. Itu adalah pertama kalinya Dita melihat pakaian yang begitu indah. Pakaian itu terbuat dari kain sutra dan terlihat sangat mengkilap.

Ketika Dita memberanikan diri untuk menyentuh pakaian itu, tangannya langsung dipukul hingga patah ....

“Putri Agung berpesan, berhubung Pangeran menyukai Nona, Nona harus melayani Pangeran dengan baik ke depannya.” Melihat Dita yang terlihat kampungan, Irma mengerutkan kening dan lanjut berkata dengan nada merendahkan, “Tapi, Nona harus minum obat pencegah kehamilan setiap hari.”

Seusai berbicara, Irma langsung menyodorkan semangkuk obat pencegah kehamilan berwarna hitam kepada Dita.

Seingat Dita, senior Keluarga Purwanto mengatakan bahwa wanita mana yang bisa mengandung anak Angga akan diberikan 3.000 tael.

Dita tidak seperti putri-putri selir lainnya yang diberi kesempatan belajar membaca, menulis, bermain alat musik, bermain catur, melukis, menjahit, dan memasak sejak kecil. Dia belajar mengenali huruf dari memungut buku-buku dan kertas, lalu menyuruh dayang yang mengenali huruf untuk mengajarinya. Selain itu, dia juga diam-diam belajar menjahit dan membuat baju sendiri.

Suatu hari nanti, Dita akan meninggalkan Kediaman Suyatno dan membutuhkan uang untuk menghidupi diri. Namun, selain penampilan cantik yang diwarisinya dari Laras, dia tidak memiliki kemampuan lainnya.

“Cepat minum!” desak Irma dengan ekspresi kurang bersahabat.