Dita pun menoleh ke luar dengan agak bingung. “Buat apa tabib itu datang kemari?”“Kemarin Nona mimisan. Pangeran suruh tabib untuk datang memeriksa Nona,” jawab Santika dengan lembut.Angga menyuruh tabib untuk datang memeriksanya? Sejak ibunya meninggal, tidak ada seorang tabib pun yang pernah memeriksa Dita, bahkan ketika lengannya dipukul sampai patah. Dia hanya bisa bergantung pada Sekar untuk pergi membeli obat, lalu mengobatinya. Sisanya tergantung pada nasibnya sendiri. Tabib itu berusia sekitar 50 atau 60 tahun. Rambutnya sudah beruban, sedangkan tampangnya terlihat bijaksana dan ramah. Dia terlebih dahulu memeriksa denyut nadi Dita, lalu mengamati wajah Dita dengan saksama sebelum bertanya, “Kamu sering mimisan?”“Itu sudah penyakit lama. Dulu, tulang hidungku pernah patah. Jadi, aku akan mimisan dari waktu ke waktu. Tapi, aku sudah lama nggak mimisan,” jawab Dita sambil mengangguk.“Apa ada obat yang kamu minum akhir-akhir ini?” tanya Ganjar lagi.Setelah datang ke tempat i
Dita buru-buru kembali ke Taman Bambu dan langsung melihat Angga yang sedang duduk di kursi malas sambil membaca puisi salinannya.“Pangeran.” Dita menyapa sambil membungkuk pada Angga sesuai aturan, lalu berjalan melewatinya menuju sumur. Kemudian, dia menyingsing lengan bajunya dan mengambil air sumur untuk berkumur.Ada banyak orang kaya terhormat yang tidak menyukai orang sakit karena takut tertular. Meskipun yang Dita minum adalah obat untuk mengatur hormon tubuh wanita, itu tetap adalah obat. Mungkin saja Angga tidak menyukai aroma obat.“Pangeran, apa Pangeran akan makan malam di sini?” tanya Santika sambil membungkuk pada Angga.“Nggak. Aku mau temani Ibu makan malam ini.” Angga meletakkan kertas itu, lalu menoleh ke arah Dita.Pengawal sudah melaporkan semua yang terjadi hari ini kepada Angga. Seperti kemarin, Dita tetap tidak mengeluh padanya. Dia pun merasa agak penasaran. Bukankah Dita ingin menarik perhatiannya? Kenapa Dita sama sekali tidak berniat untuk mendapatkan rasa
Sebuah sosok tiba-tiba melintas di hadapan semua orang. Sebelum ada yang sempat bereaksi, Joko sudah dibawa keluar dari tempat duduknya dan ditekan ke lantai dengan kuat.“Bersujud!” Darya menekan kepala Joko ke lantai marmer putih.Duk! Duk! Duk! Setelah kepalanya dibenturkan ke lantai tiga kali, Joko pun merasa pusing dan dahinya sudah berdarah.“Ka ... kamu ....” Joko menutupi dahinya dan jatuh terduduk di lantai sambil meratap, “Beraninya kamu bersikap begini terhadapku!”“Angga ....” Putri Agung juga merasa terkejut setelah merasakan amarah Angga yang datang secara tiba-tiba. Namun, sebelum dia sempat berbicara lebih lanjut, Angga sudah berdiri.Angga masih mengenakan jubah resmi. Dia berjalan menuruni tangga dengan penuh wibawa, lalu berjalan ke hadapan Joko dengan ekspresi dingin.“Memangnya kamu itu siapa? Aku yang memberimu gelar ini. Dulu, aku bisa memberikan gelar itu padamu. Sekarang, aku juga bisa menariknya kembali! Memangnya kamu berhak buat keributan di hadapanku?” Angg
Dita memejamkan matanya dengan patuh. Pada detik berikutnya, jari Angga menyentuh bibir Dita dan mengelusnya beberapa kali. Setelah itu, Angga baru menempelkan bibirnya. Gadis ini sudah minum arak. Bibirnya terasa halus, lembut, juga memabukkan.Dita melingkarkan tangannya ke leher Angga, lalu mendongak untuk menyambut ciuman itu. Tidak peduli Angga menganggapnya sebagai apa, Angga telah menyelamatkannya lagi hari ini. Dia tidak akan melupakan pemandangan Joko yang bersujud seumur hidupnya.Sejak ibunya meninggal, Angga merupakan orang kedua yang melindunginya. Orang pertama adalah Wira. Namun, Wira terlalu kaku dan sangat patuh. Dia tidak pernah melawan senior, juga tidak akan melakukan hal seperti menendang seorang senior.Sementara itu, Angga berbeda. Dia berani melakukan apa saja. Hanya orang yang memiliki latar belakang dan kemampuan baru berani bersikap semena-mena seperti ini.Jika dapat berada di sisi Angga untuk waktu yang lebih lama, apakah Dita bisa belajar lebih banyak hal
“Jenderal Wira.” Kasim muda itu menjelaskan, “Jenderal Wira kebetulan sedang ada di Restoran Sajana untuk mentraktir tamunya. Pemilik restoran kasih tahu dia ada orang dari Kediaman Putri Agung yang menjual teh daun bambu. Jadi, dia langsung kasih 20 tael perak ke pemilik restoran.”Dita langsung paham. Setelah mendengar teh daun bambu, Wira pasti bisa menebak bahwa Dita yang menjualnya. Oleh karena itu, Wira pun ingin membantunya.Dulu, Wira juga pernah diam-diam memberikan uang kepada Dita dan Dita pernah menerimanya dua kali. Namun, entah kenapa, ibunya Wira selalu bisa langsung tahu Dita menerima uang dari Wira. Setiap kali, ibunya Wira akan selalu datang memakinya. Suatu kali, makian ibunya Wira benar-benar keterlaluan. Jadi, dia tidak berani menerima uang dari Wira lagi.“Nona, sepertinya tehmu itu benar-benar enak!” Santika tidak mengetahui hubungan Wira dengan Dita. Dia pun menyerahkan uangnya kepada Dita sambil tersenyum.Dita menerima dompet itu dengan kening berkerut. Jika d
Angga melempar petisi yang dipegangnya ke samping, lalu mengamati Dita sejenak sebelum melambaikan tangannya. “Kemari.”Dita berjalan menghampiri Angga, lalu menaruh cawan teh itu ke hadapannya sambil berkata, “Hari ini, aku buat teh herbal. Aku nggak tahu apa ini sesuai selera Pangeran atau nggak. Apa Pangeran mau coba?”Dita menggunakan cawan teh porselen putih. Begitu membuka tutup cawan, terlihat beberapa daun bambu indah mengapung di sana. Ada yang berbentuk kapal kecil, ada yang berbentuk ikan. Saat digoyang, ikan-ikan kecil yang terbuat dari daun bambu itu akan terlihat seperti berenang. Teh ini terlihat cukup menarik.Setelah mencium aroma bambu dari dalam cawan, Angga meletakkannya kembali. Berhubung tubuhnya terkena racun sencaka, dia tidak asal minum teh. Teh yang diminumnya harus yang diracik secara khusus.Dita sama sekali tidak terkejut melihat tindakan Angga. Orang dengan status setinggi Angga mana mungkin bersedia minum teh semurah ini.“Kalau begitu, aku nggak ganggu P
“Kenapa? Kamu mau menjualnya lagi?” Angga melirik beberapa mainan itu tanpa semangat, lalu menarik kembali tangannya.“Bukan untuk dijual. Aku membuatnya khusus untuk Pangeran! Waktu Pangeran baca petisi setiap malam, mereka bisa temani Pangeran.”Dita buru-buru mengambil sebuah mainan itu, lalu menaruhnya ke tangan Angga.“Aku bukan anak berusia tiga tahun.” Angga mengamati belalang kecil itu sesaat, lalu hendak melemparnya kembali ke meja. Meskipun saat berusia tiga tahun, Angga juga tidak bermain mainan seperti ini. Pada usia tiga tahun, dia sudah mulai berlatih bela diri. Mainannya adalah panah dan pedang. Begitu matahari terbit, dia sudah harus mulai berlatih dan baru bisa beristirahat setelah matahari tenggelam. Tidak peduli di musim dingin maupun musim panas, dia tetap harus berlatih.“Ini mainan yang tulus aku buat untuk Pangeran.” Dita buru-buru menggenggam tangan Angga, lalu mendongak dan berkata dengan ekspresi serius, “Aku nggak mampu beli hadiah lain, cuma bisa buat maina
Dita tidak dapat lanjut berbicara .... Dia melengkungkan punggungnya, lalu menatap Angga dengan tatapan memelas. Tangan Angga terlalu bertenaga.“Nggak mau lanjut bicara lagi?” Angga menarik kembali tangannya sambil menahan senyum, lalu berbalik dan menindih Dita.Ketika berusia 15 tahun, Angga sudah terbiasa menghadapi trik-trik kecil seperti yang dilakukan Dita. Para wanita yang dikirim orang-orang berkuasa ke sisinya selalu bisa memikirkan berbagai macam cara untuk memenangkan hatinya. Ada yang berpura-pura tulus, ada juga yang sengaja menunjukkan kehidupan yang berbeda untuk menarik perhatiannya ....Angga mengakui bahwa Dita memang sedikit berbeda. Namun, dia membiarkan Dita tinggal di sini bukan untuk menyaksikan Dita mengerahkan triknya, melainkan karena Dita bisa membuatnya gembira.“Dita, malam ini, aku akan menunjukkan padamu apa namanya trik yang sebenarnya,” bisik Angga sambil mencubit pipi Dita.Di bawah cahaya lilin yang berkedip-kedip, Dita melihat wajah Angga yang makin
“Dasar wanita jalang! Beraninya kamu menampar Ibu!” seru Dian. Kemudian, dia bergegas menghampiri Dita.Dita dengan cepat meraih tangan Dian dan mendorongnya ke depan. Setelah Dian terjatuh, Dita langsung menendangnya. Dia telah melatih setiap gerakan ini dalam pikirannya berkali-kali!“Bu, dia menendangku!” Dian menyilangkan tangannya dan pergi mengadu pada Puspa.Namun, Dian pernah menendang Dita seperti ini sebelumnya. Dian bahkan sengaja menendang dada Dian. Dian berkata bahwa dia memiliki dada yang besar dan terlihat genit. Jadi, dia menghancurkan dadanya.Pada saat itu, Dita berusia 13 tahun dan tubuhnya baru mulai berkembang. Dia pun berguling-guling di lantai karena kesakitan. Seluruh dadanya memar-memar akibat tendangan Dian. Ibu dan anak itu sangat kejam. Mereka menyiksa Dita seperti menyiksa binatang peliharaan.“Dasar anak wanita jalang! Beraninya kamu tendang Dian!” Puspa tiba-tiba menggila dan menerkam ke arah Dita.Melihat hal ini, Santika dan Winda bergegas untuk menghe
Santika melangkah maju, lalu menatap Puspa dan Dian dengan dingin sambil berkata dengan lantang, “Nyonya Puspa, Nona Dian, apa kalian lupa bahwa Nona Dita sudah jadi wanita Pangeran Angga?”“Waktu itu, orang dari Kediaman Suyatno yang secara langsung mengantar Nona Dita naik ke tandu. Kalau kalian berubah pikiran, silakan bersujud dan minta maaf pada Pangeran Angga. Bilang saja kalian menipu Pangeran dan ingin menjemput Nona Dita pulang.”Ekspresi Puspa dan Dian sontak berubah.“Nona, siapa namamu?” Dian melirik Santika dan memaksakan seulas senyum.“Santika.” Santika menjawab dengan lugas.“Nona Santika, Dita sendiri yang mau menjilat Pangeran Angga ....”Sebelum Dian menyelesaikan ucapannya, Santika langsung menyela tanpa ragu.“Aku sudah bilang, Nona Dita itu wanitanya Pangeran Angga. Nyonya Puspa dan Nona Dian nggak punya hak untuk mengatakan apa pun di sini. Kalian seharusnya sudah tahu tentang Tuan Joko yang datang minta orang, ‘kan? Apa kalian ingin berakhir sepertinya?”Wajah P
“Kenapa mereka bisa masuk?” bisik Santika pada Winda.“Mereka langsung mengirimkan undangan. Putri Agung bilang mereka itu keluarga Nona. Jadi, dia langsung mengizinkannya,” jawab Winda.Santika menatap Dita dengan kening berkerut. Kehidupan Dita di Kediaman Suyatno jauh lebih buruk dari pembantu. Namun, orang-orang itu masih berani datang mencarinya?“Apa mereka datang untuk memeras Nona? Kamu kembali saja dulu. Jangan biarkan mereka menyentuh barang apa pun!” perintah Santika dengan wajah dingin.“Aku sudah beri tahu Wisnu sebelum keluar. Dia tahu harus berbuat apa,” jawab Winda.“Ayo kita jalan lebih cepat. Kedua orang itu lebih berengsek dari binatang. Coba saja kalau mereka berani mencuri barangku!” Dita mendesak Santika dan Winda untuk berjalan lebih cepat.Seusai berbicara, Dita mencibir lagi, “Sekarang, mereka nggak bisa mengendalikanku. Nanti, kalian harus lebih waspada. Kalau mereka berani menyentuh barang-barangku, aku akan buat mereka ganti rugi! Jangan harap mereka bisa ke
“Benar.” Dita mengangguk. Dia tidak peduli siapa sebenarnya yang memuji. Yang terpenting adalah, ada yang memuji.“Enak! Nona Dita bersedia mengajarkan cara pembuatannya kepadaku?”Orang yang berbicara adalah Siska Winata. Dia terlihat sangat ceria dan juga merupakan gadis yang sangat cantik.“Tentu saja,” jawab Dita sambil mengangguk.“Nona Dita benar-benar baik. Jangan khawatir, aku nggak akan minta Nona mengajariku secara cuma-cuma.” Siska melepas sebuah gelang emas dari pergelangan tangannya, lalu menarik tangan Dita dan memakaikan gelang itu.“Apa maksudnya ini? Kamu mau menjilatnya?” Gadis yang dari tadi tidak bersuara bernama Nuri Maryadi. Dia menatap Siska dengan kesal. Dinilai dari penampilannya, keadaan keluarga Nuri seharusnya masih kalah dari Siska dan Maya.“Aku nggak bisa menerimanya. Barang ini terlalu berharga.” Dita mengembalikan gelang emas itu, lalu berkata sambil tersenyum, “Kalau kalian mau belajar, aku akan tuliskan resepnya untuk kalian.”“Dengar-dengar, ada dapu
Angga sangat mengagumi keoptimisan Dita. Setelah keluar dari halaman, Darya sudah menunggunya.“Indra sudah memeriksa Kediaman Suyatno. Di sana, memang ada beberapa tanaman herbal. Sepertinya, tanaman-tanaman itu bukan sengaja ditanam dan jumlahnya cuma sedikit. Indra juga menyusuri dinding di mana tanaman itu tumbuh sampai ke rumah sebelah. Dia menemukan beberapa tanaman herbal liar di sana,” bisik Darya sambil mengikuti Angga.“Itu rumah siapa?” tanya Angga.“Rumah Jenderal Wira,” jawab Darya.Angga memperlambat langkahnya, lalu menoleh ke arah Darya. “Kamu yakin itu benar-benar cuma tanaman herbal liar?”“Tanaman herbal di sana juga tumbuh menyusuri dinding dan nggak ada di tempat lain. Selain itu, Indra juga menemukan seekor ular berkepala hitam,” jawab Darya dengan ekspresi serius.“Kenapa bisa ada ular berkepala hitam di ibu kota?” gumam Angga dengan ekspresi dingin.“Menurut Indra, kalau ditemukan seekor ular jenis itu, itu berarti ada sarangnya di sekitar. Acara pacuan kuda aka
“Sudah mendingan?” Angga menopang kepalanya dengan satu tangan dan mencondongkan tubuh ke depan untuk menatap Dita.Dita memiliki kulit yang sangat putih. Dengan matanya yang ditutupi pita sutra merah, dia pun terlihat makin memesona. Dia mengernyitkan, lalu menjawab dengan lembut, “Emm, sudah mendingan.”“Hmm, kamu memang perlu mencerna makan dengan olahraga.” Angga mengelus wajah Dita sambil bertanya dengan pelan, “Bagaimana kalau berkuda?”“Pangeran masih mau keluar berkuda malam-malam begini?” Dita berbaring malas di atas ranjang dan tidak ingin bergerak.“Nggak perlu keluar.” Angga meraih tangan Dita, lalu meletakkannya ke pinggangnya.Wajah Dita langsung memerah. Dia menjawab “nggak mau” dengan malu, tetapi Angga tetap menggendongnya.Di dalam kegelapan malam, entah sudah berapa lama waktu berlalu. Setelah pita sutra merah yang menutupi mata Dita dibasahi keringat, Angga akhirnya baru berhenti.Dita terbaring lemas di tengah tempat tidur kecil, bagaikan seekor ikan tanpa tulang.
“Ayo kita pulang.” Dita menegakkan tubuhnya, lalu berjalan kembali dengan langkah ringan.Santika menatap Dita dengan khawatir dan takut dia merasa sedih. Namun, Dita sama sekali tidak bersedih. Dia malas berurusan dengan orang-orang berstatus tinggi itu. Mereka semua berasal dari kalangan bangsawan, juga bisa berbincang sambil menikmati pemandangan indah. Sementara itu, dia hanya bisa berdiri di samping dengan penuh hormat. Hanya orang bodoh yang akan mengikuti mereka.Setelah kembali ke tempat tinggalnya, Dita segera memerintahkan Santika untuk membawa semua barang yang ditinggalkannya di Taman Bambu, termasuk belalang rumput yang dibuatnya.Sementara itu, Winda menyiapkan makan malam. Dia sangat jago memasak dan Dita sangat puas dengan masakannya. Tanpa disadari, Dita menghabiskan tiga mangkuk nasi. Pada akhirnya, dia berjalan mengelilingi halaman sambil mengusap perutnya yang membuncit.Santika menata ulang ranjang kamar Dita. Angga hanya bisa tidur di atas kain sutra yang dikirim
“Dia benar-benar bilang begitu?” Putri Agung langsung duduk tegak. Setelah ragu sejenak, dia akhirnya mencicipi kue beras kuning itu. Angga sangat jarang makan makanan manis, juga jarang memuji sesuatu enak. Kue beras kuning ini memiliki tekstur yang lembut dan rasa manis kurma merah. Rasanya memang lumayan enak. “Kalian juga cobalah. Kelak, kalian boleh buatkan kue seperti ini untuk Angga.” Setelah manghabiskan sepotong kue beras kuning, Putri Agung menyuruh para dayang dan pengasuh yang melayaninya untuk mencicipi kue tersebut.Aroma kue beras kuning menyerbak di seluruh aula. Semua orang diam-diam terkejut karena Angga memuji kue beras kuning yang sederhana ini.“Dita, kamu memang cukup hebat sampai Angga bisa begitu menyukaimu. Kalau kamu bisa membuatnya bahagia, itu adalah suatu jasa. Pelayan, beri dia hadiah!” Setelah membilas mulutnya, Putri Agung menatap Dita lagi.Seorang dayang senior segera mengeluarkan satu set hiasan kepala mutiara. Mutiara-mutiara itu bahkan lebih bes
Dita menerima surat kepemilikan rumah itu dan membacanya berulang kali. Nama pemilik rumah itu benar-benar adalah Dita Suyatno.“Apa aku bisa langsung tagih sewa sekarang juga?” tanya Dita dengan penuh semangat. Dia akhirnya bisa merasakan sensasi menagih uang sewa, juga menghasilkan uang tanpa perlu melakukan apa pun.“Berdiri. Masih ada beberapa petisi yang mau aku baca. Catat resep itu beserta kegunaan dan dosisnya dengan jelas.” Angga mendorong Dita untuk bangkit, lalu mengusap wajahnya dan berkata, “Aku akan bermalam di sini. Siapkan ranjangnya dengan baik.”“Siap!” Dita tidak berhenti mengangguk hingga kepalanya terasa hampir copot dari lehernya.Jangankan membiarkan Angga bermalam, Dita bahkan bersedia mengubah dirinya menjadi pilar kayu dan menopangnya sepanjang malam dengan senang hati. Ini namanya kekuatan uang!Setelah tiba di halaman, Angga menoleh dan melihat Dita yang tidak berhenti mencium surat kepemilikan rumah dengan kuat. Kemudian, dia baru melangkah keluar dengan su