Bab 10

Dita pun menoleh ke luar dengan agak bingung. “Buat apa tabib itu datang kemari?”

“Kemarin Nona mimisan. Pangeran suruh tabib untuk datang memeriksa Nona,” jawab Santika dengan lembut.

Angga menyuruh tabib untuk datang memeriksanya? Sejak ibunya meninggal, tidak ada seorang tabib pun yang pernah memeriksa Dita, bahkan ketika lengannya dipukul sampai patah. Dia hanya bisa bergantung pada Sekar untuk pergi membeli obat, lalu mengobatinya. Sisanya tergantung pada nasibnya sendiri.

Tabib itu berusia sekitar 50 atau 60 tahun. Rambutnya sudah beruban, sedangkan tampangnya terlihat bijaksana dan ramah. Dia terlebih dahulu memeriksa denyut nadi Dita, lalu mengamati wajah Dita dengan saksama sebelum bertanya, “Kamu sering mimisan?”

“Itu sudah penyakit lama. Dulu, tulang hidungku pernah patah. Jadi, aku akan mimisan dari waktu ke waktu. Tapi, aku sudah lama nggak mimisan,” jawab Dita sambil mengangguk.

“Apa ada obat yang kamu minum akhir-akhir ini?” tanya Ganjar lagi.

Setelah datang ke tempat ini, Dita pernah minum obat pencegah kehamilan sebanyak dua kali.

“Ini bukan cuma ditimbulkan oleh obat pencegah kehamilan.” Ganjar menggeleng dan berkata dengan serius, “Nona akan sangat sulit untuk hamil. Dinilai dari keadaan Nona saat ini, kondisimu bukan ditimbulkan dari minum sedikit obat pencegah kehamilan, melainkan karena sudah mengonsumsi terlalu banyak obat bersifat dingin selama bertahun-tahun.”

Senyuman di wajah Dita mulai sirna. Saat ini, hidupnya sangat sulit. Sebelum memiliki kemampuan, dia tidak akan memiliki anak dan membuat anaknya hidup menderita seperti dirinya. Namun, itu tidak berarti dia tidak menginginkan anak.

Dita terlalu kesepian, juga tidak memiliki keluarga. Jadi, dia pernah berpikir bahwa setelah kaya nanti, dia akan melahirkan beberapa anak yang cantik dan cakap. Anak-anaknya akan mencintai dan menghormatinya, lalu mereka sekeluarga akan hidup gembira. Pada saat itu, dia tidak akan merasa kesepian lagi. Namun, kenapa Ganjar mengatakan bahwa dia akan sulit memiliki anak?

Ganjar mengeluarkan peralatan menulis, lalu membukakan resep obat untuk Dita sambil berkata, “Kamu mimisan juga bukan karena luka lama, melainkan karena minum obat yang terlalu kuat akhir-akhir ini sehingga tubuhmu menjadi lemah. Kamu minum saja dulu obat ini untuk sementara. Nanti, kita baru buat rencana jangka panjang.”

“Obat apa itu sebenarnya?” tanya Santika.

Di sisi lain, Dita hanya menunduk dan terdiam untuk beberapa saat. Kemudian, dia baru tersenyum dan menjawab, “Aku mengerti. Terima kasih, Tabib.”

Setelahnya, Santika mengantar Ganjar keluar. Ketika kembali, dia melihat Dita yang berlinang air mata dan tidak berhenti menghabiskan secangkir demi secangkir teh hangat.

Saat masih tinggal di Kediaman Suyatno dulu, Dita bahkan harus meminta izin untuk minum teh hangat. Dia paling menyukai Festival Pertengahan Musim Gugur dan Tahun Baru Imlek. Sebab, Puspa akan memberi semangkuk tong sui kepada semua orang, termasuk dirinya.

Setiap mendapat tong sui, Dita akan merasa sangat gembira. Dia akan menyeruput dengan pelan dan menganggap tong sui sebagai makanan terlezat di dunia. Setelah dipikir-pikir sekarang, dua mangkuk sup yang didapatkannya setiap tahun itu sudah menghancurkan impiannya menjadi seorang ibu.

Kenapa Puspa begitu kejam? Dita dan ibunya juga bukan datang ke Kediaman Suyatno secara sukarela. Atas dasar apa Puspa melakukan hal sekejam ini terhadapnya?

“Nona, aku pergi masak obatnya dulu. Kamu nggak usah khawatir. Tabib Ganjar itu tabib kerajaan yang paling hebat,” hibur Santika. Dia merasa sangat kasihan pada Dita yang terlihat sedih. Setelah menghiburnya sesaat, dia baru keluar untuk membeli obat.

Air mata yang dari tadi ditahan Dita akhirnya menetes. Namun, dia buru-buru menyekanya dengan ujung pakaiannya. Kemudian, dia mengambil secangkir teh lagi dan meminumnya.

Daun teh ini sangat wangi dan memiliki rasa akhir yang sedikit pahit. Rasa pahit itu menyebar dari ujung lidah sampai ke tenggorokan, lalu akhirnya berakhir di perutnya.

Kapan sebenarnya Dita baru bisa terlepas dari hidup yang pahit ini? Kapan dia baru bisa menikmati makanan yang sebenarnya tanpa perlu peduli pada tanggapan orang lain? Dia sangat membenci anggota Keluarga Suyatno dan ingin langsung membakar seluruh Kediaman Suyatno!

Dita harus mempelajari berbagai keterampilan secepat mungkin. Dia ingin belajar menulis, berhitung, menyeduh teh, memasak, menyulam, dan sebagainya. Namun, dia tidak mungkin dapat mempelajari semua keterampilan itu hanya dalam waktu sebulan. Bagaimana dia baru bisa belajar sebanyak mungkin?

“Nona.” Santika sudah kembali. Sebelah tangannya memegang sebungkus obat, sedangkan tangan yang satu lagi memegang dua buah permen. Melihat Dita yang merah dan tidak berhenti menyeka air mata, hatinya juga terasa sedih.

“Nona, jangan nangis lagi. Kamu pasti bisa sembuh. Pangeran menyukaimu. Meski nggak punya anak ....”

Santika tiba-tiba berhenti berbicara. Wanita yang menjadi selir seorang pria memang bisa mengandalkan penampilannya untuk mendapat kasih sayang suaminya di awal. Namun, dia harus mengandalkan anak untuk lanjut mempertahankan kasih sayang itu. Selir yang tidak memiliki anak akan berakhir menyedihkan.

“Apa itu permen? Aku mencium aroma zaitun manis.” Dita menyeka air matanya, lalu mendongak dan menatap tangan Santika.

“Oh, benar. Ini permen zaitun manis.” Santika buru-buru menyodorkan permen itu kepada Dita, lalu berbisik, “Nona makan saja dulu. Aku pergi masak obatnya.”

“Kamu jangan masak dalam rumah. Tempat ini dipenuhi aroma bambu, jangan buat Pangeran merasa terganggu pada aromanya.” Dita mengisap hidung, lalu melanjutkan, “Masaklah di sudut yang agak jauh. Kalau obatnya sudah selesai dimasak, aku akan ke sana untuk meminumnya.”

“Baik.” Kemudian, Santika tenggelam dalam pikirannya. Angga pada dasarnya memang melarang wanita mana pun untuk masuk ke tempat ini. Dita merupakan wanita pertama yang diizinkan untuk tinggal di sini. Berkat Dita, dia baru terpilih untuk bertugas di sini. Jadi, dia memang juga tidak berani memasak obat di tempat ini.

“Kalau sudah selesai masak obatnya, suruhlah pelayan lain untuk datang memanggilku. Kamu jangan tinggalkan obat itu ya. Bagaimana kalau ada orang yang mau meracuniku,” kata Dita lagi.

Santika tertegun sejenak, lalu menjawab sambil tertawa, “Nggak akan ada orang yang berani melakukan hal seperti itu di wilayah kekuasaan Pangeran.”

“Siapa tahu,” tambah Dita dengan murung.

Setelah mencuci muka, Dita mengompres matanya dengan saputangan yang dibasahi air sumur. Setelah matanya tidak begitu bengkak lagi, dia baru mengambil kuas dan berlatih menulis di kamar.

Hari ini, Angga tidak memberi Dita daging panggang dan kepiting. Namun, di meja dalam kamar terdapat kuas dan Kitab Puisi. Ketika masih tinggal di Kediaman Suyatno, dia pernah mencuri dengar pelajaran yang diajarkan guru kepada anak-anak Keluarga Suyatno. Mereka pernah membaca puisi, tetapi dia tidak mengerti.

Dita pernah memberanikan diri dan bertanya pada guru mengenai arti puisi beberapa kali. Namun, guru itu tidak peduli padanya, apalagi dia hanyalah seorang anak perempuan. Tak disangka, dia akhirnya dapat buku berisi puisi hari ini.

Setelah Dita menyalin puisi-puisi itu selama dua jam penuh, Santika baru kembali.

“Eh, kok kamu datang kemari? Kamu nggak bawa obatnya kemari, ‘kan?” tanya Dita dengan terkejut.

“Ada pengawal yang menjaga obat itu. Mereka semua orang yang diaturkan Pangeran.” Santika memapah Dita untuk berdiri, lalu membawanya berjalan keluar.

Ini adalah pertama kalinya Dita berjalan melewati pintu itu sejak dibawa ke tempat ini. Di hari pertama dia tiba, dia langsung dibawa ke halaman ini. Waktu itu, dia juga merasa panik dan tidak memperhatikan pemandangan di luar. Setelah melangkah keluar, dia baru tahu betapa indah dan megah tempat ini.

Ada sebuah taman luas nan hijau yang terbentang sampai ujung pandangannya. Atap bangunan dan paviliun terbuat dari kaca berwarna hijau giok dan memantulkan cahaya yang menyilaukan di bawah sinar matahari.

Dulu, Dita merasa Kediaman Suyatno sudah cukup besar. Sekarang, dia baru tahu bahwa Kediaman Suyatno bahkan masih belum sebanding dengan hanya satu sudut Kediaman Purwanto.

“Minumlah yang pelan. Aku sudah bawakan beberapa buah permen lagi untuk Nona.” Santika membawa Dita duduk di paviliun untuk minum obat. Dia sendiri berdiri di hadapan Dita sambil mengipasinya.

Dita pun merasa tercengang. Santika sedang mengipasinya? Kenapa Santika begitu baik?

“Ini permennya.” Santika menyeka sisa obat yang tertinggal di sudut bibir Dita dengan saputangan, lalu membuka kertas permen dan menyodorkannya ke hadapan Dita.

Dita memakan permen itu, lalu berdiri dan berjalan menuruni tangga paviliun.  Dia berjalan ke arah taman dengan penasaran.

“Nona, kamu masih belum boleh masuk ke taman,” ujar Santika dengan penuh simpati setelah melihat ekspresi Dita yang penuh rasa ingin tahu.

Dita mengangguk. “Aku tahu. Aku nggak akan asal keluyuran, cuma mau melihatnya dari sini.”

“Pangeran sudah pulang.” Terdengar suara seorang pengawal dari sebuah sudut.