Makian Irma pun membuat Dita bingung. Untuk apa Irma memakinya? Memangnya Irma sehebat apa? Mereka semua sama-sama adalah pelayan yang bekerja di Kediaman Putri Agung. Untuk apa mereka saling menghina?Sudahlah. Dita mengingat pesan Santika dan tidak melawan Irma. Dia hanya menunduk dan bersikap patuh.“Dita, jangan sombong mentang-mentang Pangeran menyukaimu saat ini. Nggak lama lagi, Pangeran akan dijodohkan. Setelah Pangeran resmi menikah, kamu cuma bisa berlutut dan melayani para gadis bangsawan. Kamu bahkan nggak layak jadi pelayan putri sulung Keluarga Lukardi!”Putri sulung Keluarga Lukardi? Di ibu kota, ada delapan keluarga bangsawan. Keluarga Lukardi merupakan keluarga bangsawan yang paling terhormat. Dari keluarga mereka, pernah lahir dua permaisuri dan tiga selir kesayangan. Sekarang, wanita yang paling terkenal di ibu kota adalah Widia Lukardi, putri sulung Keluarga Lukardi. Dengan latar belakang keluarganya, dia memang layak mendampingi Angga.Melihat Dita yang termenung,
“Dia bukan cuma rendahan, tapi juga rakus, seperti orang yang nggak pernah makan,” ejek Irma tanpa sungkan.Beberapa gadis lainnya langsung menatap Dita dengan ekspresi aneh. Gadis ini makan begitu banyak tetapi tidak gemuk?“Kelak, kalian cuma boleh makan paling banyak setengah mangkuk nasi dan sepotong daging setiap kali makan.” Cahyati menatap Dita, lalu lanjut berkata dengan dingin, “Tentu saja, kalau kalian mau kehilangan kasih sayang Pangeran, kalian boleh makan sebanyak yang kalian mau.”Dita menggigit bibirnya dan mengumpat dalam hati. Mana mungkin dia bisa kenyang hanya makan setengah mangkuk nasi? Jika harus begitu, dia harus melarikan diri secepatnya.“Terutama kamu. Makan siang dan makan malammu hari ini nggak boleh ada lauk utama. Kamu cuma boleh makan dua potong tahu rebus dan tiga tangkai sayur hijau,” ujar Cahyati.Dita langsung terkesiap. Pipinya boleh dicubit, tetapi perutnya tidak boleh kelaparan!Namun, Santika segera menggeleng pelan ke arah Dita. Dia mengisyaratka
Angga seperti tidak mendengar godaan Taraka. Sepasang matanya menatap lekat-lekat wajah Dita. Dia berkata dengan nada yang makin tegas, “Aku lagi tanya sama kamu. Siapa yang lukai wajahmu?”Nada Angga terdengar sangat mengintimidasi. Semua orang di tempat ini pun ketakutan. Setelah teringat tentang Angga yang memaksa Joko untuk bersujud, Irma segera berlutut. “Pangeran, aku nggak sengaja. Aku cuma lagi bercanda sama Nona Dita ....”“Pukul balik.” Angga melepaskan dagu Dita, lalu menoleh ke arah Irma.Dita pun mengomel dalam hati. Apa bedanya memukul Irma dengan memukul Putri Agung? Hari ini, Angga dapat melindunginya. Bagaimana dengan kelak? Apa yang harus dilakukannya kelak?“Kami memang cuma bercanda,” ujar Dita untuk membela Irma.“Pukul balik!” Angga membentak dengan ekspresi muram, “Tanpa izinku, orang yang berani menyentuh orangku atau barangku harus mati!” Wajah Irma sontak menjadi pucat pasi. Dia sudah sepenuhnya ketakutan hingga jatuh terduduk ke lantai.“Pangeran, jangan ma
Di luar halaman, terdengar suara langkah kaki. Dita dan Santika langsung gemetar, lalu menoleh ke arah luar halaman. Terlihat Darya yang memimpin pengawal berjalan masuk dengan membawa setumpuk berkas.Santika merasa sedikit lebih tenang, lalu menghampiri Darya dan mencari tahu situasinya. “Kapan Pangeran akan pulang? Apa dia akan makan di sini? Apa yang sudah terjadi hari ini?”“Jangan tanya lagi.” Darya melirik Dita, lalu berbisik dengan kening berkerut, “Beberapa hari ini, Pangeran mau diskusi masalah perjodohannya. Jangan biarkan Nona Dita keluar.”“Dengan Widia Lukardi?” tanya Santika.Darya mengangguk. “Dekret Kaisar akan segera tiba. Pangeran nggak bersedia dan lagi berdebat dengan Putri Agung.”Dita dapat mendengar pembicaraan kedua orang itu dengan jelas. Apa Angga tidak berani melampiaskan amarahnya pada Putri Agung, makanya dia baru melampiaskan amarahnya pada Irma? Namun, ini juga salah Irma sendiri. Siapa suruh dia menyinggung Angga hari ini.Setelah bolak-balik dua kali u
Tadi, Angga baru saja bertanya untuk apa Dita berlutut. Sekarang, dia malah memerintahkan Dita untuk berlutut dengan ekspresi dingin ....Dita langsung memutar otak, lalu berkata dengan tampang tidak berdosa, “Pangeran, kamu nggak boleh persulit aku karena kamu kesal sama orang lain dong.”“Memangnya aku mempersulitmu?” tanya Angga dengan ekspresi muram.“Tadi, aku nggak balas karena aku lembut, baik hati, murah hati, nggak mau permasalahkan hal sepele sama orang nggak penting, menghormati senior, dan lapang dada!” Dita menatap lurus ke mata Angga, lalu memuji dirinya sendiri.Angga mengeratkan genggamannya pada cangkir teh. Setelah melirik Dita untuk sesaat, dia membanting kembali cangkir teh itu ke meja. Dia menegur, “Nggak tahu diri!”Dita menjulingkan matanya dan mengumpat dalam hati, ‘Apa yang kamu tahu ....’Jika Dita juga terlahir sebagai seorang putri, dia juga pasti akan memiliki keberanian untuk melawan. Namun, siapa dia sekarang? Dia hanyalah seorang gundik yang bahkan tidak
“Seperti kamu duduk di pangkuanku dan aku menggoyangmu,” jawab Angga secara langsung.Dita langsung merasa malu dan menjawab dengan pelan, “Nggak mungkin.”“Coba saja kalau nggak percaya,” ujar Angga sambil menepuk-nepuk pahanya.Dita merasa ragu untuk sejenak, lalu duduk di pangkuan Angga. Angga awalnya hanya ingin menggodanya. Tak disangka, rasa penasarannya begitu besar dan dia benar-benar menuruti kata-kata Angga.Pada saat ini, ada seorang anak kecil yang tiba-tiba menyeberang jalan. Pengawal yang mengemudikan kereta kuda buru-buru menarik tali pengendali kuda. Kereta kuda pun terjungkit tajam ke belakang.Dita langsung jatuh ke pelukan Angga. Tubuh mereka menempel erat tanpa sedikit pun celah.“Umph ....” Angga mengerang pelan dan memegang pinggang Dita dengan erat.“Pangeran, tadi ada anak kecil yang tiba-tiba menyeberang,” lapor pengawal itu.“Aku mengerti.” Angga menurunkan Dita dari pangkuannya, lalu membuka tirai kereta dan melirik keluar. Dia turun dari kereta kuda dan berb
Dita melepaskan tangannya dari pakaian-pakaian itu dengan enggan, lalu melihat pakaian-pakain lain yang dikeluarkan pemilik toko. Warna dan bahan pakaian-pakaian ini jauh lebih buruk dari yang sebelumnya. Namun, harga pakaian-pakaian ini juga beberapa tael perak. Dia tidak mampu membelinya.Dita mengelus dompet kecilnya. Di dalam, terdapat satu tael perak, satu-satunya uang yang dimilikinya. Dia sudah memikirkan semuanya dengan baik. Begitu ada kesempatan, dia akan langsung kabur. Meskipun Angga bisa melindunginya sekarang, Angga tidak mungkin melindunginya seumur hidup. Menyinggung Irma setara dengan menyinggung Putri Agung. Kehidupannya di Kediaman Putri Agung hanya akan makin menderita.“Pilih saja sendiri.” Angga mengetuk-ngetukkan jarinya ke cangkir teh. Pandangannya tertuju pada sebuah sudut di dalam toko yang menaruh perhiasan.Toko ini juga menjual sedikit perhiasan. Setelah melihat tusuk konde yang dijajarkan di sana, Angga baru teringat bahwa Dita sepertinya hanya selalu men
“Ini masih ada model lain. Nyonya pilih saja.”“Kami sudah harus pergi.” Angga berdiri, lalu berkata dengan santai, “Bungkus semuanya.”“Semuanya?” Dita menatap Angga dengan terkejut. Apa Angga membeli begitu banyak perhiasan karena ingin memberikannya kepada para gundik baru itu?Pemilik toko langsung mengeluarkan beberapa kotak kayu besar dengan gembira. Dia membungkus satu demi satu perhiasan itu dengan kain, lalu meletakkannya ke dalam kotak.Angga sudah tidak sabar menunggu pemilik toko menghitung total belanjaan mereka. Dia langsung meletakkan selembar uang bernilai 1.000 tael perak ke meja dan berujar, “Kalau nggak cukup, pergi saja ke Kediaman Putri Agung untuk minta kekurangannya besok.”“Cukup! Cukup!” Saat ini, senyuman pemilik toko sangat lebar hingga bola matanya sudah tidak terlihat lagi. Dia tidak berhenti membungkuk dan berkata, “Terima kasih, Tuan. Terima kasih, Nyonya.”“Aku bukan istrinya,” bisik Dita untuk mengingatkan pemilik toko.Pemilik toko tiba-tiba tersadar.
“Dasar wanita jalang! Beraninya kamu menampar Ibu!” seru Dian. Kemudian, dia bergegas menghampiri Dita.Dita dengan cepat meraih tangan Dian dan mendorongnya ke depan. Setelah Dian terjatuh, Dita langsung menendangnya. Dia telah melatih setiap gerakan ini dalam pikirannya berkali-kali!“Bu, dia menendangku!” Dian menyilangkan tangannya dan pergi mengadu pada Puspa.Namun, Dian pernah menendang Dita seperti ini sebelumnya. Dian bahkan sengaja menendang dada Dian. Dian berkata bahwa dia memiliki dada yang besar dan terlihat genit. Jadi, dia menghancurkan dadanya.Pada saat itu, Dita berusia 13 tahun dan tubuhnya baru mulai berkembang. Dia pun berguling-guling di lantai karena kesakitan. Seluruh dadanya memar-memar akibat tendangan Dian. Ibu dan anak itu sangat kejam. Mereka menyiksa Dita seperti menyiksa binatang peliharaan.“Dasar anak wanita jalang! Beraninya kamu tendang Dian!” Puspa tiba-tiba menggila dan menerkam ke arah Dita.Melihat hal ini, Santika dan Winda bergegas untuk menghe
Santika melangkah maju, lalu menatap Puspa dan Dian dengan dingin sambil berkata dengan lantang, “Nyonya Puspa, Nona Dian, apa kalian lupa bahwa Nona Dita sudah jadi wanita Pangeran Angga?”“Waktu itu, orang dari Kediaman Suyatno yang secara langsung mengantar Nona Dita naik ke tandu. Kalau kalian berubah pikiran, silakan bersujud dan minta maaf pada Pangeran Angga. Bilang saja kalian menipu Pangeran dan ingin menjemput Nona Dita pulang.”Ekspresi Puspa dan Dian sontak berubah.“Nona, siapa namamu?” Dian melirik Santika dan memaksakan seulas senyum.“Santika.” Santika menjawab dengan lugas.“Nona Santika, Dita sendiri yang mau menjilat Pangeran Angga ....”Sebelum Dian menyelesaikan ucapannya, Santika langsung menyela tanpa ragu.“Aku sudah bilang, Nona Dita itu wanitanya Pangeran Angga. Nyonya Puspa dan Nona Dian nggak punya hak untuk mengatakan apa pun di sini. Kalian seharusnya sudah tahu tentang Tuan Joko yang datang minta orang, ‘kan? Apa kalian ingin berakhir sepertinya?”Wajah P
“Kenapa mereka bisa masuk?” bisik Santika pada Winda.“Mereka langsung mengirimkan undangan. Putri Agung bilang mereka itu keluarga Nona. Jadi, dia langsung mengizinkannya,” jawab Winda.Santika menatap Dita dengan kening berkerut. Kehidupan Dita di Kediaman Suyatno jauh lebih buruk dari pembantu. Namun, orang-orang itu masih berani datang mencarinya?“Apa mereka datang untuk memeras Nona? Kamu kembali saja dulu. Jangan biarkan mereka menyentuh barang apa pun!” perintah Santika dengan wajah dingin.“Aku sudah beri tahu Wisnu sebelum keluar. Dia tahu harus berbuat apa,” jawab Winda.“Ayo kita jalan lebih cepat. Kedua orang itu lebih berengsek dari binatang. Coba saja kalau mereka berani mencuri barangku!” Dita mendesak Santika dan Winda untuk berjalan lebih cepat.Seusai berbicara, Dita mencibir lagi, “Sekarang, mereka nggak bisa mengendalikanku. Nanti, kalian harus lebih waspada. Kalau mereka berani menyentuh barang-barangku, aku akan buat mereka ganti rugi! Jangan harap mereka bisa ke
“Benar.” Dita mengangguk. Dia tidak peduli siapa sebenarnya yang memuji. Yang terpenting adalah, ada yang memuji.“Enak! Nona Dita bersedia mengajarkan cara pembuatannya kepadaku?”Orang yang berbicara adalah Siska Winata. Dia terlihat sangat ceria dan juga merupakan gadis yang sangat cantik.“Tentu saja,” jawab Dita sambil mengangguk.“Nona Dita benar-benar baik. Jangan khawatir, aku nggak akan minta Nona mengajariku secara cuma-cuma.” Siska melepas sebuah gelang emas dari pergelangan tangannya, lalu menarik tangan Dita dan memakaikan gelang itu.“Apa maksudnya ini? Kamu mau menjilatnya?” Gadis yang dari tadi tidak bersuara bernama Nuri Maryadi. Dia menatap Siska dengan kesal. Dinilai dari penampilannya, keadaan keluarga Nuri seharusnya masih kalah dari Siska dan Maya.“Aku nggak bisa menerimanya. Barang ini terlalu berharga.” Dita mengembalikan gelang emas itu, lalu berkata sambil tersenyum, “Kalau kalian mau belajar, aku akan tuliskan resepnya untuk kalian.”“Dengar-dengar, ada dapu
Angga sangat mengagumi keoptimisan Dita. Setelah keluar dari halaman, Darya sudah menunggunya.“Indra sudah memeriksa Kediaman Suyatno. Di sana, memang ada beberapa tanaman herbal. Sepertinya, tanaman-tanaman itu bukan sengaja ditanam dan jumlahnya cuma sedikit. Indra juga menyusuri dinding di mana tanaman itu tumbuh sampai ke rumah sebelah. Dia menemukan beberapa tanaman herbal liar di sana,” bisik Darya sambil mengikuti Angga.“Itu rumah siapa?” tanya Angga.“Rumah Jenderal Wira,” jawab Darya.Angga memperlambat langkahnya, lalu menoleh ke arah Darya. “Kamu yakin itu benar-benar cuma tanaman herbal liar?”“Tanaman herbal di sana juga tumbuh menyusuri dinding dan nggak ada di tempat lain. Selain itu, Indra juga menemukan seekor ular berkepala hitam,” jawab Darya dengan ekspresi serius.“Kenapa bisa ada ular berkepala hitam di ibu kota?” gumam Angga dengan ekspresi dingin.“Menurut Indra, kalau ditemukan seekor ular jenis itu, itu berarti ada sarangnya di sekitar. Acara pacuan kuda aka
“Sudah mendingan?” Angga menopang kepalanya dengan satu tangan dan mencondongkan tubuh ke depan untuk menatap Dita.Dita memiliki kulit yang sangat putih. Dengan matanya yang ditutupi pita sutra merah, dia pun terlihat makin memesona. Dia mengernyitkan, lalu menjawab dengan lembut, “Emm, sudah mendingan.”“Hmm, kamu memang perlu mencerna makan dengan olahraga.” Angga mengelus wajah Dita sambil bertanya dengan pelan, “Bagaimana kalau berkuda?”“Pangeran masih mau keluar berkuda malam-malam begini?” Dita berbaring malas di atas ranjang dan tidak ingin bergerak.“Nggak perlu keluar.” Angga meraih tangan Dita, lalu meletakkannya ke pinggangnya.Wajah Dita langsung memerah. Dia menjawab “nggak mau” dengan malu, tetapi Angga tetap menggendongnya.Di dalam kegelapan malam, entah sudah berapa lama waktu berlalu. Setelah pita sutra merah yang menutupi mata Dita dibasahi keringat, Angga akhirnya baru berhenti.Dita terbaring lemas di tengah tempat tidur kecil, bagaikan seekor ikan tanpa tulang.
“Ayo kita pulang.” Dita menegakkan tubuhnya, lalu berjalan kembali dengan langkah ringan.Santika menatap Dita dengan khawatir dan takut dia merasa sedih. Namun, Dita sama sekali tidak bersedih. Dia malas berurusan dengan orang-orang berstatus tinggi itu. Mereka semua berasal dari kalangan bangsawan, juga bisa berbincang sambil menikmati pemandangan indah. Sementara itu, dia hanya bisa berdiri di samping dengan penuh hormat. Hanya orang bodoh yang akan mengikuti mereka.Setelah kembali ke tempat tinggalnya, Dita segera memerintahkan Santika untuk membawa semua barang yang ditinggalkannya di Taman Bambu, termasuk belalang rumput yang dibuatnya.Sementara itu, Winda menyiapkan makan malam. Dia sangat jago memasak dan Dita sangat puas dengan masakannya. Tanpa disadari, Dita menghabiskan tiga mangkuk nasi. Pada akhirnya, dia berjalan mengelilingi halaman sambil mengusap perutnya yang membuncit.Santika menata ulang ranjang kamar Dita. Angga hanya bisa tidur di atas kain sutra yang dikirim
“Dia benar-benar bilang begitu?” Putri Agung langsung duduk tegak. Setelah ragu sejenak, dia akhirnya mencicipi kue beras kuning itu. Angga sangat jarang makan makanan manis, juga jarang memuji sesuatu enak. Kue beras kuning ini memiliki tekstur yang lembut dan rasa manis kurma merah. Rasanya memang lumayan enak. “Kalian juga cobalah. Kelak, kalian boleh buatkan kue seperti ini untuk Angga.” Setelah manghabiskan sepotong kue beras kuning, Putri Agung menyuruh para dayang dan pengasuh yang melayaninya untuk mencicipi kue tersebut.Aroma kue beras kuning menyerbak di seluruh aula. Semua orang diam-diam terkejut karena Angga memuji kue beras kuning yang sederhana ini.“Dita, kamu memang cukup hebat sampai Angga bisa begitu menyukaimu. Kalau kamu bisa membuatnya bahagia, itu adalah suatu jasa. Pelayan, beri dia hadiah!” Setelah membilas mulutnya, Putri Agung menatap Dita lagi.Seorang dayang senior segera mengeluarkan satu set hiasan kepala mutiara. Mutiara-mutiara itu bahkan lebih bes
Dita menerima surat kepemilikan rumah itu dan membacanya berulang kali. Nama pemilik rumah itu benar-benar adalah Dita Suyatno.“Apa aku bisa langsung tagih sewa sekarang juga?” tanya Dita dengan penuh semangat. Dia akhirnya bisa merasakan sensasi menagih uang sewa, juga menghasilkan uang tanpa perlu melakukan apa pun.“Berdiri. Masih ada beberapa petisi yang mau aku baca. Catat resep itu beserta kegunaan dan dosisnya dengan jelas.” Angga mendorong Dita untuk bangkit, lalu mengusap wajahnya dan berkata, “Aku akan bermalam di sini. Siapkan ranjangnya dengan baik.”“Siap!” Dita tidak berhenti mengangguk hingga kepalanya terasa hampir copot dari lehernya.Jangankan membiarkan Angga bermalam, Dita bahkan bersedia mengubah dirinya menjadi pilar kayu dan menopangnya sepanjang malam dengan senang hati. Ini namanya kekuatan uang!Setelah tiba di halaman, Angga menoleh dan melihat Dita yang tidak berhenti mencium surat kepemilikan rumah dengan kuat. Kemudian, dia baru melangkah keluar dengan su