Bab 8

Setelah sesaat, Dita menggunakan daun untuk menyumbat hidungnya, lalu mengoleskan sari bunga ke seluruh tubuhnya. Setelah membersihkan tubuh dan wajahnya dari darah, juga memastikan tidak tertinggal bau darah di tubuhnya, dia baru menyisir rambut, berdandan, dan mengenakan pakaian baru.

Dita juga telah mencuci bersih pakaiannya yang ternodai darah dan menjemurnya di halaman. Itu adalah pakaian bagus pertama yang dikenakannya. Dia akan menghargai pakaian itu selamanya.

Ketika Dita selesai melakukan segalanya, matahari sudah tenggelam. Darya memimpin beberapa orang untuk menghidangkan makanan ke atas meja batu, lalu langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa.

“Kak Darya, apa malam ini Pangeran Angga akan pulang?” tanya Dita dengan ragu.

“Nggak tahu,” jawab Darya sambil menoleh ke arah Dita. Kemudian, dia langsung melangkah keluar.

Dita merasa agak kewalahan. Apakah Angga marah karena masalah Wira, lalu ingin mengusirnya? Apa dia perlu mengenakan lebih banyak pakaian supaya dia tidak keluar dengan tangan kosong?

Setelah berdiri termenung di halaman untuk sesaat, Dita akhirnya duduk di depan meja batu dan mulai makan. Makanan yang dibawakan untuknya adalah dua piring sayur-sayuran dan sepiring daging. Nasinya juga sangat putih, pulen, dan wangi. Masakan daging itu adalah daging ayam kukus tanpa kulit dan tidak berminyak sedikit pun.

Apakah ini kehidupan baik yang diharapkan semua orang? Diberi makan dan pakaian bagus, juga tidak perlu dipukul atau dimaki. Meskipun baru melewati sehari kehidupan seperti ini, Dita sudah sepenuhnya terpikat.

Haih, kenapa orang-orang seperti Angga begitu pintar dalam memilih keluarga? Di kehidupan selanjutnya, Dita juga ingin terlahir di keluarga yang lebih baik.

Dita makan dengan serius dan menghabiskan seluruh makanan yang diberikan kepadanya. Ini adalah pertama kalinya dia dapat makan sampai kenyang setelah ibunya meninggal. Setelah menyeka mulut, dia berjalan ke arah kursi malas Angga. Dia duduk di sana sambil mengelus perutnya yang bulat dan mengipasi diri.

Dita sudah bersusah payah mendapatkan kehidupan yang baik. Dia tidak boleh membiarkan dirinya diusir secepat itu. Setidaknya, sebelum tujuannya tercapai, dia harus lanjut tinggal di tempat ini.

“Berdiri.” Tiba-tiba, terdengar suara seseorang yang berat dari atas kepala Dita.

Dita pun merasa bersemangat dan buru-buru membuka kedua matanya.

Angga sudah kembali! Dita pun tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangannya ke arah Angga. “Pangeran, gendong aku.”

“Jangan mimpi.” Angga menendang ujung kaki Dita dengan lucu. Dalam hidupnya, dia masih belum pernah bertemu dengan gadis yang begitu berani seperti Dita.

“Tapi, aku makan kebanyakan malam ini. Sekarang, aku kekenyangan dan nggak bisa berdiri,” ujar Dita sambil tersenyum dan mengelus perutnya yang bulat.

“Dita, ingat statusmu,” cibir Angga.

Dita pun tertegun, lalu menarik jari panjang Angga dan berkata dengan manja, “Aku tahu. Aku cuma mainan Pangeran.”

“Kalau tahu, cepat berdiri.” Angga menarik kembali jarinya, lalu langsung meraih lengan Dita dan mengangkatnya dari kursi.

Dita juga bergerak lincah dan buru-buru memeluk lengan Angga supaya dirinya tidak jatuh ke lantai. Dia mendongak, lalu menatap Angga dengan mata memelas. “Kursi kan memang untuk diduduki. Aku juga mau duduk di kursi yang diduduki Pangeran.”

“Jangan dikasih hati minta jantung. Ingat, ada beberapa hal yang bisa kulakukan, tapi nggak boleh kamu lakukan.” Angga menarik kembali lengannya, lalu duduk bersandar di kursi.

“Iya.” Dita berjongkok di hadapan Angga, lalu memukul-mukul kaki Angga dengan tinjunya dan bertanya sambil tersenyum riang, “Apa yang Pangeran makan di jamuan itu? Aku mencium aroma wangi daging panggang. Selain itu, ada apa lagi?”

“Wajahmu itu sebenarnya terbuat dari apa?” Awalnya, suasana hati Angga kurang bagus. Namun, setelah mendengar ocehan Dita, tak disangka suasana hatinya menjadi bagus.

“Dari daging.” Dita menjawab dengan lugas, “Sama seperti Pangeran.”

Angga mencubit pipi halus Dita dengan agak kuat, lalu teringat laporan pengawalnya sore ini.

“Tadi, kamu mimisan?” tanya Angga sambil menatap hidung Dita. Dia awalnya mengira Dita akan berlagak kasihan dan mengadukan hal ini padanya. Tak disangka, Dita tetap berdandan cantik seperti orang yang baik-baik saja.

“Emm.” Dita mengangguk. Setelah berpikir sejenak, dia berkata dengan suara riang, “Aku mimisan karena Pangeran.”

“Omong kosong. Aku nggak ada di sini, mana mungkin aku yang buat kamu mimisan.” Angga menoel ujung hidung Dita, lalu berujar sambil tertawa, “Jangan pakai trik-trikmu yang nggak berguna itu terhadapku.”

“Aku serius.” Dita lanjut memijat kaki Angga dan menjawab dengan ekspresi serius, “Aku mimisan karena kepikiran Pangeran. Mungkin karena aku terlalu rakus.”

Angga terdiam sejenak sebelum berkata, “Dita, bukannya Keluarga Suyatno nggak peduli padamu hidup dan matimu? Dari mana kamu belajar semua ini?”

Kemudian, Angga tiba-tiba berdiri dan mencengkeram dagu Dita dengan kuat untuk memaksanya mendongak. Dia merasa marah, tetapi juga lucu.

“Itu semua kata-kata hatiku.” Dita mendongak dan menunjukkan lehernya yang mulus. Ketika berbicara, suaranya juga terdengar sedikit bergetar.

“Rakus? Baiklah.” Angga melepaskan wajah Dita, lalu merentangkan kakinya dan membuka ikat pinggang jubahnya.

Dita yang berjongkok di antara kaki Angga menempelkan wajahnya ke perut Angga yang kekar, lalu berbisik, “Bukan itu maksudku.”

“Jadi, apa maksudmu?” tanya Angga.

“Ya murni rakus. Lain kali, Pangeran juga bawa aku ke perjamuan seperti itu ya? Aku pengen makan daging panggang, kepiting, ikan kukus ....” Dita berusaha mengingat makanan-makanan yang pernah dilihatnya saat Keluarga Suyatno mengadakan perjamuan. Dia tidak mengetahui rasa sebagian besar makanan-makanan itu, bahkan tidak tahu apa namanya.

“Pangeran, apa kepiting enak setelah dikukus matang? Boleh nggak kamu kukuskan beberapa ekor untukku?” tanya Dita dengan sedih.

“Dasar serakah,” umpat Angga.

Dita melemparkan diri ke pelukan Angga, lalu memeluk erat pinggangnya. “Kalau mau hidupi aku, Pangeran harus hidupi aku dengan lebih baik dong. Kamu lebih hebat dari pria lain, wanitamu juga harus lebih cantik dan hebat dari wanita lain.”

Untuk sesaat, Angga tidak bisa membantah.

“Bagaimana dengan wajah?” tanya Angga dengan kesal. Dia adalah orang yang dapat menakuti setengah penduduk ibu kota dengan hanya mengentakkan kaki. Kenapa dia bisa bertemu dengan seorang gadis yang begitu tidak tahu diri?

“Apa gunanya wajah? Aku nggak bisa makan kenyang dengan hanya mengandalkan wajah.” Dita mendongak dan masih menunjukkan ekspresi pantang menyerah.

“Kalau wajah nggak guna, apa yang membuatku tertarik padamu?” Angga tersenyum dan tiba-tiba ingin menggoda Dita.

Setelah berpikir sejenak, Dita bergumam, “Benar juga. Wajah yang cantik juga sangat penting. Pangeran memang punya selera yang tinggi.”

Angga tertawa saking kesalnya. Setelah berbicara begitu banyak, dia tetap tidak bisa menang berdebat dengan gadis dalam pelukannya. Namun, ketidaksenangannya sudah sepenuhnya sirna berkat celotehan Dita.

“Kalau mau makan kepiting, puaskan aku dulu.” Angga menarik Dita dan memangkunya.

“Kalau begitu, aku juga mau belajar menyeduh teh.” Dita membuka jubah Angga, lalu mulai meraba-raba tubuhnya sambil berkata, “Pangeran, kasih aku beberapa buku juga ya. Aku mau baca buku. Tapi, kata-kata yang kukenali sangat sedikit. Boleh nggak kamu suruh kakak-kakak pengawal untuk menanggapiku waktu aku minta tolong mereka mengajariku?”

“Banyak sekali permintaanmu.” Angga menggenggam pinggang gadis dalam pangkuannya, lalu menggeser posisi Dita.

Dita memang memiliki wajah yang sangat cantik dan tubuh yang lembut. Selain masih terlalu kurus, gadis ini sama sekali tidak memiliki kekurangan. Penampilan cantiknya ini merupakan aset yang dibawanya dari lahir.

Sekarang, Angga memang bisa memonopoli Dita. Namun, jika yang menindih Dita saat ini adalah bajingan tua itu, apakah Dita juga akan bersikap manja seperti ini? Bagaimana dengan Wira? Apakah Dita juga akan bersikap seperti ini terhadapnya?

Begitu teringat Wira, Angga langsung menambah kekuatannya.