Bab 7

Wira mengerutkan keningnya, lalu menoleh ke arah Dita lagi. Dita sedang memusatkan perhatiannya pada baskom tembaga di hadapannya sambil menaruh sehelai demi sehelai daun ke dalam.

“Jenderal Wira, silakan.” Darya memimpin beberapa orang melangkah maju untuk menghalangi pandangan Wira.

Wira melirik para putri bangsawan yang menunggu di luar. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya menelan kembali kata-katanya dengan tidak senang.

Setelah Angga keluar dari halaman, beberapa putri bangsawan itu baru berani mendongak dan menoleh ke arah Dita. Tatapan mereka dipenuhi dengan ejekan. Seorang gundik yang tidak bisa dibawa untuk menghadiri jamuan hanyalah mainan belaka.

Meskipun tidak mendongak, Dita bisa merasakan tatapan-tatapan penuh ejekan itu. Dia hanya memfokuskan perhatiannya pada daun di baskom, lalu berlagak seolah-olah sedang bermain dengan gembira.

Setelah suara langkah kaki menjauh, Dita baru merasa lega. Senyuman di wajahnya juga langsung sirna. Dia menatap daun bambu yang terapung di permukaan air sambil termenung.

Tik .... Darah menetes ke dalam baskom dan membuat permukaan air beriak.

Tik, tik, tik ....

Sebelum Dita sadar, darah menetes makin cepat. Dalam sekejap, sebaskom air itu sudah berubah warna menjadi merah. Dia mimisan.

Ini adalah penyakit lama Dita yang diakibatkan karena dipukul. Ketika berusia 5 tahun, dia pernah terlalu kelaparan dan mencuri makanan di dapur. Alhasil, pengurus rumah menyadarinya dan langsung menjewer telinganya, juga melaporkan hal ini pada Puspa.

Hari itu, Anwar Suyatno, kakak sulung Dita juga berada di rumah. Dia langsung meninju Dita dan menyebabkan Dita mimisan. Sejak saat itu, Dita jadi gampang mimisan.

Hanya saja, Dita sudah lama tidak mimisan. Hari ini, entah kenapa dia mimisan lagi dan juga mengalirkan sangat banyak darah. Dia mengambil air dari baskom dengan panik, lalu menepuk-nepukkannya ke bagian belakang leher. Setelah itu, dia baru mendongak sambil menutupi hidungnya dan menunggu sampai mimisannya berhenti.

Saat ini, Dita hanya bisa mengandalkan penampilannya untuk bertahan hidup. Jadi, dia tidak ingin dirinya terlihat jelek atau memalukan.

Darah mengalir dari pipi menuju bahu, leher, dan dada Dita. Dia pun tiba-tiba merasa sayang pada pakaian bagus yang sedang dikenakannya. Ini adalah pertama kalinya dia mengenakan pakaian cantik. Sekarang, pakaiannya malah menjadi kotor.

Mata Dita tiba-tiba berkaca-kaca. Dia berusaha untuk menahan tangis dengan berpikir bahwa dia masih memiliki 99 potong pakaian baru dalam rumah. Namun, air matanya tetap mengalir.

Angga yang mengatakan dirinya hanyalah seorang gundik di hadapan Wira benar-benar membuat Dita malu. Saat ini, seluruh hatinya dibanjiri oleh rasa sedih. Namun, dia bukan merasa kesal pada Angga, melainkan pada dirinya sendiri.

Jika terlahir di keluarga yang lebih baik dan bukan di Keluarga Suyatno, Dita tidak mungkin hidup semenderita ini. Jadi, dia harus menghasilkan banyak uang di kehidupan ini. Dengan begitu, kelak dia baru bisa memilih untuk terlahir di keluarga yang baik.

Dita juga ingin menjadi putri bangsawan yang dihormati dan memiliki hidup enak. Pada saat itu, dia akan mencari beberapa pria seperti Wira untuk menemaninya dan menyenangkannya.

Darah dari hidung Dita mengalir makin deras, seperti ketika dia berusia 5 tahun. Meskipun sudah mendongak sampai pandangannya kabur, darahnya masih belum berhenti. Dia sepertinya mendengar suara langkah kaki samar yang menjauh, tetapi tidak dapat menoleh. Dia khawatir darahnya akan mengalir makin deras apabila bergerak.

Di luar, seorang pengawal berlari menuju kediaman utama yang terletak di depan Taman Bambu.

Putri Agung bukan hanya mengundang Wira, tetapi juga beberapa putra dan putri bangsawan. Saat ini, semua orang sedang bersulang sambil mengobrol dengan gembira.

“Kenapa aku nggak pernah dengar Bibi ungkit soal Kak Angga yang sudah punya gundik?” Ciara bertopang dagu dan menatap Putri Agung dengan penasaran. Dia lanjut berkata, “Gadis itu cantik sekali. Bukannya Kak Angga paling benci sama gadis cantik?”

“Dia itu gadis yang dipilih kakak sepupumu sendiri. Aku masih belum pernah menemuinya,” jawab Putri Agung sambil tersenyum.

“Hah? Bibi belum pernah menemuinya?” Ciara berdiri, lalu berjalan cepat ke sisi Putri Agung. Dia bersandar di sisi Putri Agung dan berbisik ke telinganya, “Tadi, aku lihat Wira menarik tangan gundik itu. Bibi, apa mungkin Kak Angga mau memberikannya kepada Wira?”

Para pria sudah terbiasa bertukar gundik. Kadang, ketika seseorang bertamu dan tertarik pada selir tuan rumah, dia juga bisa langsung membawa selir itu pulang.

“Benarkah?” Putri Agung mendongak dan menatap Angga.

Angga sedang memegang cawan arak dan minum dengan santai. Sesekali, para putra bangsawan akan membisikkan sesuatu padanya, lalu dia akan tersenyum.

Putranya itu selalu bisa menyembunyikan perasaannya dengan sangat baik. Angga memang sedang tertawa, tetapi matanya malah sangat dingin. Sebagai seorang ibu, bahkan Putri Agung juga tidak dapat menebak isi hatinya.

“Jangan singgung kakakmu itu.” Putri Agung memalingkan wajah, lalu mengelus kepala Ciara dan berkata dengan lembut, “Kalau itu benar-benar adalah sesuatu yang disukainya, dia lebih rela membunuhnya daripada menghadiahkannya kepada orang lain.”

Ciara memiringkan kepalanya, lalu berbisik, “Paling bagus kalau dia bunuh gundik itu secepat mungkin! Menurutku, gadis itu bukan orang baik. Tampangnya terlalu menggoda.”

Putri Agung mencubit pipi Ciara dan menyahut sambil tersenyum, “Kamu jangan terlalu kekanak-kanakan. Yang namanya pria justru suka wanita yang menggoda.”

“Dia itu cuma mainan kok. Orang seperti mereka nggak akan layak untuk menduduki posisi istri sah,” cibir Ciara.

Ketika Ciara dan Putri Agung mengobrol, terlihat seorang kasim muda yang berlari mendekat, lalu membisikkan sesuatu di telinga Angga. Setelah mendengar ucapan kasim, Angga pun mengerutkan kening dan menoleh ke luar aula.

“Angga, ada apa?” tanya Putri Agung.

“Nggak apa-apa,” jawab Angga dengan tenang sambil tersenyum.

“Baguslah kalau begitu. Jenderal Wira dan yang lain baru kembali ke ibu kota. Kamu harus gantikan Ibu untuk jamu mereka dengan baik.” Putri Agung menatap para putra dan putri bangsawan yang hadir, lalu berkata sambil tersenyum, “Kalian bersenang-senanglah, nggak perlu sungkan.”

“Terima kasih. Selamat jalan, Putri Agung.” Para putra dan putri bangsawan itu buru-buru berdiri, lalu memberi hormat pada Putri Agung.

Putri Agung bertopang pada tangan Irma, lalu berjalan keluar dari aula.

“Putri Agung, gadis itu memang sangat cantik. Apa kita perlu buat aturan untuknya?” tanya Irma dengan suara kecil.

“Jarang-jarang Angga merasa senang. Kita nggak usah ikut campur. Dia itu cuma seorang gundik. Kalau memang bisa memuaskan Angga, itu juga termasuk kemampuannya.”

“Kalau nggak ada dia, aku malah harus cari cara untuk berikan seorang gundik pada Angga. Waktu seumuran Angga, ayahnya sudah menikah denganku. Aku malah khawatir dia nggak tertarik sama wanita. Jadi, ini sebenarnya juga termasuk hal baik,” jawab Putri Agung dengan tenang.

Irma buru-buru mengiakannya.

“Tapi, kamu harus awasi dia dengan baik. Jangan biarkan dia bertindak keterlaluan.” Setelah berpikir sejenak, Putri Agung menambahkan, “Carikan beberapa pelayan yang mirip sama Dita untuk layani Angga.”

“Baik,” jawab Irma dengan buru-buru.

Setelah Putri Agung pergi, suasana di aula masih sangat meriah.

Di Taman Bambu.

Mimisan Dita akhirnya berhenti. Namun, seluruh wajah dan lehernya sudah berlumuran darah. Dia menanggalkan pakaiannya dengan kesal, lalu menimba seember air dari sumur dan membawanya masuk ke rumah untuk mandi.

Air sumur sangat dingin. Begitu air itu mengenai kulit Dita, Dita langsung merinding kedinginan. Dia ingin memasak air panas, tetapi tidak menemukan seorang dayang pun di sekitar, juga tidak tahu harus mencari siapa. Pada akhirnya, dia hanya bisa lanjut mandi dengan air sumur.