Mata Angga yang cemerlang perlahan-lahan mengamati wajah Dita yang bersemu merah, lalu bergerak turun ke kakinya. Pakaian luar Dita sudah melorot sampai ke pergelangan kakinya. Saat ini, tubuhnya hanya dibalut oleh pakaian dalam yang tipis dan celana pendek putih selutut. Sepasang kaki yang jenjang dan ramping itu terlihat bersinar di bawah cahaya bulan.“Kemari.” Angga menegakkan tubuhnya. Ekspresinya sudah tidak semasam tadi.Dita langsung melangkahi pakaiannya dan berjalan ke arah Angga tanpa ragu. Pakaiannya sudah terkena air dan debu. Dia tidak menginginkannya lagi. Kelak, dia juga akan melangkahi semua orang di Kediaman Suyatno seperti ini. Dia tidak akan membiarkan mereka melukainya lagi.“Kenapa kamu nggak pakai kembali pakaianmu?” tanya Angga sambil tersenyum.Dita menjawab dengan tampang cemberut, “Memangnya Pangeran tega menyuruhku pakai pakaian yang sudah usang?”Setelah terdiam sejenak, Dita menambahkan, “Aku juga tetap cantik meski nggak pakai baju.”“Kamu percaya diri j
“Lagi ngapain kalian?” Tiba-tiba, terdengar seruan dingin Angga.Irma pun terkejut dan buru-buru menoleh ke arah Angga. Dalam sekejap, aura intimidasi Angga langsung membuat seluruh dayang berlutut dengan ketakutan.Tepat pada saat ini, Dita menerima obat pencegah hamil itu dan meminumnya.“Apa itu?” Angga berjalan mendekat dan mengamati bibir Dita lekat-lekat. Bibir indah itu terlihat mengkilap dan sangat memesona setelah dibasahi cairan obat hitam.Irma menunduk dan menjawab dengan hormat, “Itu obat pemberian Putri Agung.”Dita menyodorkan mangkuk itu, lalu berkata dengan santai, “Pahit. Pangeran, aku mau makan yang manis-manis untuk hilangkan rasa pahitnya.”“Nggak ada makanan manis.” Angga meletakkan kembali mangkuk itu ke atas nampan dengan kasar, lalu memberi perintah dengan dingin, “Keluar.”Irma buru-buru memberi hormat kepada Angga, lalu membawa sekelompok dayang itu keluar dari halaman.“Pangeran ke mana?” tanya Dita dengan nada manja sambil merangkul leher Angga dan tersenyu
“Hormat, Pangeran Angga ....” Wira berjalan masuk, lalu menangkupkan tangannya dan memberi hormat pada Angga. Namun, saat pandangannya jatuh pada wajah Dita, kata-katanya pun terhenti.“Dita?” Wira menatap Dita yang berada dalam pelukan Angga dengan ekspresi tidak percaya, lalu bertanya dengan terkejut, “Kenapa kamu ada di sini ....”Dita merasa panik untuk sejenak, lalu perlahan-lahan menenangkan diri. Dia bersandar dalam pelukan Angga, lalu menjawab sambil tersenyum, “Kak Wira, sekarang aku sudah jadi gundik Pangeran Angga.”“Gundik?” Wira mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya pada Angga. Ekspresi Angga saat ini terlihat agak dingin setelah mendengar Dita memanggil Wira kakak.Suasana dalam ruang baca pun menjadi sangat hening.“Jenderal Wira, duduklah.” Setelah sesaat, Angga baru meletakkan kuas dan menepuk-nepuk pinggang Dita sambil berkata, “Pergi seduh teh sana.”“Aku nggak bisa.” Dita menoleh dan menjawab tanpa ragu, “Sejak kecil, aku cuma minum air sumur. Aku ngg
Wira mengerutkan keningnya, lalu menoleh ke arah Dita lagi. Dita sedang memusatkan perhatiannya pada baskom tembaga di hadapannya sambil menaruh sehelai demi sehelai daun ke dalam.“Jenderal Wira, silakan.” Darya memimpin beberapa orang melangkah maju untuk menghalangi pandangan Wira.Wira melirik para putri bangsawan yang menunggu di luar. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya menelan kembali kata-katanya dengan tidak senang.Setelah Angga keluar dari halaman, beberapa putri bangsawan itu baru berani mendongak dan menoleh ke arah Dita. Tatapan mereka dipenuhi dengan ejekan. Seorang gundik yang tidak bisa dibawa untuk menghadiri jamuan hanyalah mainan belaka.Meskipun tidak mendongak, Dita bisa merasakan tatapan-tatapan penuh ejekan itu. Dia hanya memfokuskan perhatiannya pada daun di baskom, lalu berlagak seolah-olah sedang bermain dengan gembira.Setelah suara langkah kaki menjauh, Dita baru merasa lega. Senyuman di wajahnya juga langsung sirna. Dia menatap daun bambu yang t
Setelah sesaat, Dita menggunakan daun untuk menyumbat hidungnya, lalu mengoleskan sari bunga ke seluruh tubuhnya. Setelah membersihkan tubuh dan wajahnya dari darah, juga memastikan tidak tertinggal bau darah di tubuhnya, dia baru menyisir rambut, berdandan, dan mengenakan pakaian baru.Dita juga telah mencuci bersih pakaiannya yang ternodai darah dan menjemurnya di halaman. Itu adalah pakaian bagus pertama yang dikenakannya. Dia akan menghargai pakaian itu selamanya.Ketika Dita selesai melakukan segalanya, matahari sudah tenggelam. Darya memimpin beberapa orang untuk menghidangkan makanan ke atas meja batu, lalu langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Kak Darya, apa malam ini Pangeran Angga akan pulang?” tanya Dita dengan ragu.“Nggak tahu,” jawab Darya sambil menoleh ke arah Dita. Kemudian, dia langsung melangkah keluar.Dita merasa agak kewalahan. Apakah Angga marah karena masalah Wira, lalu ingin mengusirnya? Apa dia perlu mengenakan lebih banyak pakaian supaya dia tidak keluar
“Pangeran ....” Dita segera merasa ada yang tidak beres. Angga sudah membuatnya kesakitan. Dia pun mencengkeram bahu Angga sambil memohon ampun.“Diam. Jangan panggil aku.” Angga berdiri sambil menggendong Dita, lalu berjalan ke arah kamar.Dita diam-diam mengeluh dalam hati. Ternyata Angga memang marah.“Pangeran, lembut dikit ...,” mohon Dita sambil meringkuk dalam pelukan Angga.“Nggak bisa lembut-lembut.” Angga menunduk untuk menatap Dita. Matanya yang dingin sedikit memicing. Kemudian, dia langsung membungkuk dan mencium bibir Dita.Bibir gadis ini juga sangat lembut. Begitu mencium bibirnya, Angga sama sekali tidak bisa berhenti lagi.Dita masih tidak berhenti memohon pada Angga untuk melakukannya dengan lebih lembut, tetapi Angga sama sekali tidak mengalah. Pria itu bahkan melakukannya dengan makin ganas.Dita tahu bahwa dia tetap harus mengorbankan beberapa hal untuk mendapatkan keuntungan dari orang seperti Angga. Berhubung dia berharap Angga bisa menyelamatkannya dari tangan
Dita pun menoleh ke luar dengan agak bingung. “Buat apa tabib itu datang kemari?”“Kemarin Nona mimisan. Pangeran suruh tabib untuk datang memeriksa Nona,” jawab Santika dengan lembut.Angga menyuruh tabib untuk datang memeriksanya? Sejak ibunya meninggal, tidak ada seorang tabib pun yang pernah memeriksa Dita, bahkan ketika lengannya dipukul sampai patah. Dia hanya bisa bergantung pada Sekar untuk pergi membeli obat, lalu mengobatinya. Sisanya tergantung pada nasibnya sendiri. Tabib itu berusia sekitar 50 atau 60 tahun. Rambutnya sudah beruban, sedangkan tampangnya terlihat bijaksana dan ramah. Dia terlebih dahulu memeriksa denyut nadi Dita, lalu mengamati wajah Dita dengan saksama sebelum bertanya, “Kamu sering mimisan?”“Itu sudah penyakit lama. Dulu, tulang hidungku pernah patah. Jadi, aku akan mimisan dari waktu ke waktu. Tapi, aku sudah lama nggak mimisan,” jawab Dita sambil mengangguk.“Apa ada obat yang kamu minum akhir-akhir ini?” tanya Ganjar lagi.Setelah datang ke tempat i
Dita buru-buru kembali ke Taman Bambu dan langsung melihat Angga yang sedang duduk di kursi malas sambil membaca puisi salinannya.“Pangeran.” Dita menyapa sambil membungkuk pada Angga sesuai aturan, lalu berjalan melewatinya menuju sumur. Kemudian, dia menyingsing lengan bajunya dan mengambil air sumur untuk berkumur.Ada banyak orang kaya terhormat yang tidak menyukai orang sakit karena takut tertular. Meskipun yang Dita minum adalah obat untuk mengatur hormon tubuh wanita, itu tetap adalah obat. Mungkin saja Angga tidak menyukai aroma obat.“Pangeran, apa Pangeran akan makan malam di sini?” tanya Santika sambil membungkuk pada Angga.“Nggak. Aku mau temani Ibu makan malam ini.” Angga meletakkan kertas itu, lalu menoleh ke arah Dita.Pengawal sudah melaporkan semua yang terjadi hari ini kepada Angga. Seperti kemarin, Dita tetap tidak mengeluh padanya. Dia pun merasa agak penasaran. Bukankah Dita ingin menarik perhatiannya? Kenapa Dita sama sekali tidak berniat untuk mendapatkan rasa
“Dasar wanita jalang! Beraninya kamu menampar Ibu!” seru Dian. Kemudian, dia bergegas menghampiri Dita.Dita dengan cepat meraih tangan Dian dan mendorongnya ke depan. Setelah Dian terjatuh, Dita langsung menendangnya. Dia telah melatih setiap gerakan ini dalam pikirannya berkali-kali!“Bu, dia menendangku!” Dian menyilangkan tangannya dan pergi mengadu pada Puspa.Namun, Dian pernah menendang Dita seperti ini sebelumnya. Dian bahkan sengaja menendang dada Dian. Dian berkata bahwa dia memiliki dada yang besar dan terlihat genit. Jadi, dia menghancurkan dadanya.Pada saat itu, Dita berusia 13 tahun dan tubuhnya baru mulai berkembang. Dia pun berguling-guling di lantai karena kesakitan. Seluruh dadanya memar-memar akibat tendangan Dian. Ibu dan anak itu sangat kejam. Mereka menyiksa Dita seperti menyiksa binatang peliharaan.“Dasar anak wanita jalang! Beraninya kamu tendang Dian!” Puspa tiba-tiba menggila dan menerkam ke arah Dita.Melihat hal ini, Santika dan Winda bergegas untuk menghe
Santika melangkah maju, lalu menatap Puspa dan Dian dengan dingin sambil berkata dengan lantang, “Nyonya Puspa, Nona Dian, apa kalian lupa bahwa Nona Dita sudah jadi wanita Pangeran Angga?”“Waktu itu, orang dari Kediaman Suyatno yang secara langsung mengantar Nona Dita naik ke tandu. Kalau kalian berubah pikiran, silakan bersujud dan minta maaf pada Pangeran Angga. Bilang saja kalian menipu Pangeran dan ingin menjemput Nona Dita pulang.”Ekspresi Puspa dan Dian sontak berubah.“Nona, siapa namamu?” Dian melirik Santika dan memaksakan seulas senyum.“Santika.” Santika menjawab dengan lugas.“Nona Santika, Dita sendiri yang mau menjilat Pangeran Angga ....”Sebelum Dian menyelesaikan ucapannya, Santika langsung menyela tanpa ragu.“Aku sudah bilang, Nona Dita itu wanitanya Pangeran Angga. Nyonya Puspa dan Nona Dian nggak punya hak untuk mengatakan apa pun di sini. Kalian seharusnya sudah tahu tentang Tuan Joko yang datang minta orang, ‘kan? Apa kalian ingin berakhir sepertinya?”Wajah P
“Kenapa mereka bisa masuk?” bisik Santika pada Winda.“Mereka langsung mengirimkan undangan. Putri Agung bilang mereka itu keluarga Nona. Jadi, dia langsung mengizinkannya,” jawab Winda.Santika menatap Dita dengan kening berkerut. Kehidupan Dita di Kediaman Suyatno jauh lebih buruk dari pembantu. Namun, orang-orang itu masih berani datang mencarinya?“Apa mereka datang untuk memeras Nona? Kamu kembali saja dulu. Jangan biarkan mereka menyentuh barang apa pun!” perintah Santika dengan wajah dingin.“Aku sudah beri tahu Wisnu sebelum keluar. Dia tahu harus berbuat apa,” jawab Winda.“Ayo kita jalan lebih cepat. Kedua orang itu lebih berengsek dari binatang. Coba saja kalau mereka berani mencuri barangku!” Dita mendesak Santika dan Winda untuk berjalan lebih cepat.Seusai berbicara, Dita mencibir lagi, “Sekarang, mereka nggak bisa mengendalikanku. Nanti, kalian harus lebih waspada. Kalau mereka berani menyentuh barang-barangku, aku akan buat mereka ganti rugi! Jangan harap mereka bisa ke
“Benar.” Dita mengangguk. Dia tidak peduli siapa sebenarnya yang memuji. Yang terpenting adalah, ada yang memuji.“Enak! Nona Dita bersedia mengajarkan cara pembuatannya kepadaku?”Orang yang berbicara adalah Siska Winata. Dia terlihat sangat ceria dan juga merupakan gadis yang sangat cantik.“Tentu saja,” jawab Dita sambil mengangguk.“Nona Dita benar-benar baik. Jangan khawatir, aku nggak akan minta Nona mengajariku secara cuma-cuma.” Siska melepas sebuah gelang emas dari pergelangan tangannya, lalu menarik tangan Dita dan memakaikan gelang itu.“Apa maksudnya ini? Kamu mau menjilatnya?” Gadis yang dari tadi tidak bersuara bernama Nuri Maryadi. Dia menatap Siska dengan kesal. Dinilai dari penampilannya, keadaan keluarga Nuri seharusnya masih kalah dari Siska dan Maya.“Aku nggak bisa menerimanya. Barang ini terlalu berharga.” Dita mengembalikan gelang emas itu, lalu berkata sambil tersenyum, “Kalau kalian mau belajar, aku akan tuliskan resepnya untuk kalian.”“Dengar-dengar, ada dapu
Angga sangat mengagumi keoptimisan Dita. Setelah keluar dari halaman, Darya sudah menunggunya.“Indra sudah memeriksa Kediaman Suyatno. Di sana, memang ada beberapa tanaman herbal. Sepertinya, tanaman-tanaman itu bukan sengaja ditanam dan jumlahnya cuma sedikit. Indra juga menyusuri dinding di mana tanaman itu tumbuh sampai ke rumah sebelah. Dia menemukan beberapa tanaman herbal liar di sana,” bisik Darya sambil mengikuti Angga.“Itu rumah siapa?” tanya Angga.“Rumah Jenderal Wira,” jawab Darya.Angga memperlambat langkahnya, lalu menoleh ke arah Darya. “Kamu yakin itu benar-benar cuma tanaman herbal liar?”“Tanaman herbal di sana juga tumbuh menyusuri dinding dan nggak ada di tempat lain. Selain itu, Indra juga menemukan seekor ular berkepala hitam,” jawab Darya dengan ekspresi serius.“Kenapa bisa ada ular berkepala hitam di ibu kota?” gumam Angga dengan ekspresi dingin.“Menurut Indra, kalau ditemukan seekor ular jenis itu, itu berarti ada sarangnya di sekitar. Acara pacuan kuda aka
“Sudah mendingan?” Angga menopang kepalanya dengan satu tangan dan mencondongkan tubuh ke depan untuk menatap Dita.Dita memiliki kulit yang sangat putih. Dengan matanya yang ditutupi pita sutra merah, dia pun terlihat makin memesona. Dia mengernyitkan, lalu menjawab dengan lembut, “Emm, sudah mendingan.”“Hmm, kamu memang perlu mencerna makan dengan olahraga.” Angga mengelus wajah Dita sambil bertanya dengan pelan, “Bagaimana kalau berkuda?”“Pangeran masih mau keluar berkuda malam-malam begini?” Dita berbaring malas di atas ranjang dan tidak ingin bergerak.“Nggak perlu keluar.” Angga meraih tangan Dita, lalu meletakkannya ke pinggangnya.Wajah Dita langsung memerah. Dia menjawab “nggak mau” dengan malu, tetapi Angga tetap menggendongnya.Di dalam kegelapan malam, entah sudah berapa lama waktu berlalu. Setelah pita sutra merah yang menutupi mata Dita dibasahi keringat, Angga akhirnya baru berhenti.Dita terbaring lemas di tengah tempat tidur kecil, bagaikan seekor ikan tanpa tulang.
“Ayo kita pulang.” Dita menegakkan tubuhnya, lalu berjalan kembali dengan langkah ringan.Santika menatap Dita dengan khawatir dan takut dia merasa sedih. Namun, Dita sama sekali tidak bersedih. Dia malas berurusan dengan orang-orang berstatus tinggi itu. Mereka semua berasal dari kalangan bangsawan, juga bisa berbincang sambil menikmati pemandangan indah. Sementara itu, dia hanya bisa berdiri di samping dengan penuh hormat. Hanya orang bodoh yang akan mengikuti mereka.Setelah kembali ke tempat tinggalnya, Dita segera memerintahkan Santika untuk membawa semua barang yang ditinggalkannya di Taman Bambu, termasuk belalang rumput yang dibuatnya.Sementara itu, Winda menyiapkan makan malam. Dia sangat jago memasak dan Dita sangat puas dengan masakannya. Tanpa disadari, Dita menghabiskan tiga mangkuk nasi. Pada akhirnya, dia berjalan mengelilingi halaman sambil mengusap perutnya yang membuncit.Santika menata ulang ranjang kamar Dita. Angga hanya bisa tidur di atas kain sutra yang dikirim
“Dia benar-benar bilang begitu?” Putri Agung langsung duduk tegak. Setelah ragu sejenak, dia akhirnya mencicipi kue beras kuning itu. Angga sangat jarang makan makanan manis, juga jarang memuji sesuatu enak. Kue beras kuning ini memiliki tekstur yang lembut dan rasa manis kurma merah. Rasanya memang lumayan enak. “Kalian juga cobalah. Kelak, kalian boleh buatkan kue seperti ini untuk Angga.” Setelah manghabiskan sepotong kue beras kuning, Putri Agung menyuruh para dayang dan pengasuh yang melayaninya untuk mencicipi kue tersebut.Aroma kue beras kuning menyerbak di seluruh aula. Semua orang diam-diam terkejut karena Angga memuji kue beras kuning yang sederhana ini.“Dita, kamu memang cukup hebat sampai Angga bisa begitu menyukaimu. Kalau kamu bisa membuatnya bahagia, itu adalah suatu jasa. Pelayan, beri dia hadiah!” Setelah membilas mulutnya, Putri Agung menatap Dita lagi.Seorang dayang senior segera mengeluarkan satu set hiasan kepala mutiara. Mutiara-mutiara itu bahkan lebih bes
Dita menerima surat kepemilikan rumah itu dan membacanya berulang kali. Nama pemilik rumah itu benar-benar adalah Dita Suyatno.“Apa aku bisa langsung tagih sewa sekarang juga?” tanya Dita dengan penuh semangat. Dia akhirnya bisa merasakan sensasi menagih uang sewa, juga menghasilkan uang tanpa perlu melakukan apa pun.“Berdiri. Masih ada beberapa petisi yang mau aku baca. Catat resep itu beserta kegunaan dan dosisnya dengan jelas.” Angga mendorong Dita untuk bangkit, lalu mengusap wajahnya dan berkata, “Aku akan bermalam di sini. Siapkan ranjangnya dengan baik.”“Siap!” Dita tidak berhenti mengangguk hingga kepalanya terasa hampir copot dari lehernya.Jangankan membiarkan Angga bermalam, Dita bahkan bersedia mengubah dirinya menjadi pilar kayu dan menopangnya sepanjang malam dengan senang hati. Ini namanya kekuatan uang!Setelah tiba di halaman, Angga menoleh dan melihat Dita yang tidak berhenti mencium surat kepemilikan rumah dengan kuat. Kemudian, dia baru melangkah keluar dengan su