Share

TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN
TERPAKSA MENIKAH dengan CEO TEMPERAMEN
Penulis: Firsyaka

Part 1

"Ratna! Dengarkan aku baik-baik! Aku terpaksa nikahi kamu ya! Jadi, kamu jangan kepedean merasa aku bakal mencintaimu dan memperlakukanmu seperti seorang istri pada umumnya. Pernikahan kita hanya sebatas di atas kertas, tidak lebih!" Wajah lelaki yang dua pekan lalu telah menghalalkanku begitu sinis dengan tatapan mata elang yang siap menerkam mangsanya.

Dengan buru-buru ia melepas jas hitam berikut kemeja putih yang telah dipakainya saat kerja tadi. Lalu melemparkannya sembarang di atas kasur. Dan segera berganti baju dengan baju santai.

Aku terdiam, tertunduk pilu menatap kebaya putih yang hari itu aku kenakan usai acara paling sakral di dalam hidup. Aku terpaku di sisi ranjang dengan dada yang bergetar, mengabaikan ucapannya yang tidak enak didengar.

Pantas saja selama dua pekan kami menikah, sikapnya selalu dingin dan cenderung kasar. Ya, ternyata dia menikahiku karena terpaksa. Harusnya aku menolak saja dulu.

Bukan pernikahan seperti ini yang kuharapkan. Bahkan, bermimpi pun aku tidak pernah. Aku menginginkan pernikahan dengan kehadiran ibu di sampingku, mendapat pasangan atas dasar cinta dan restu. Kini hanya penyesalan yang ada dalam hatiku.

Semestinya hari itu adalah momen bahagia yang diimpikan setiap kaum Hawa, dinikahi resmi oleh lelaki pilihannya. Namun, sayangnya itu tidak terjadi padaku. Lelaki yang bernama Febi Ariando adalah lelaki yang sudah menikahiku karena tekanan dari keadaan. Demi ingin terbebas dari jeratan hukum karena sudah menabrak ibuku hingga kritis dan sampai akhirnya tiada.

"Tidak perlu kau tangisi pernikahan ini, memangnya kamu saja yang sedih? Aku yang lebih sedih karena harus meninggalkan wanita yang aku sayang!" Langkahnya mendekat ke arahku sambil berkacak pinggang dengan sorot mata yang dalam menembus retinaku.

"Lalu kenapa kamu mau menyetujuinya? Harusnya kamu tolak saja saat papimu meminta untuk menikahiku." Aku menatap balik wajahnya yang penuh amarah.

"Pandai kamu bicara! Aku tidak bisa membantah perintah Papi, karena pasti Papi bakal marah dan tidak terima. Bisa-bisa aku dicoret dari daftar Kartu Keluarga!" Kali ini suaranya dinaikkan beberapa oktaf hingga terdengar memekakkan gendang telingaku.

Setelah itu dia keluar dari kamar dengan langkah panjang sambil membanting pintu.

*

Hari ini, genap dua bulan kami menikah. Seperti yang aku duga, tidak ada perkembangan berarti dalam hubungan kami. Bukan hanya sikap suamiku yang membuatku tersiksa. Namun, begitu juga dengan sikap ibunya.

"Ratna ... ! Ratna ... !"

Sayup-sayup terdengar suara teriakan beliau yang memanggil namaku. Aku bergegas menghampirinya, sebab tidak mau membuatnya bertambah murka. Meskipun sebenarnya tubuhku lelah, ingin istirahat barang sejenak setelah beberes rumah sejak subuh hari tadi.

Ceklek!

Tanganku membuka handel pintu kamar. Seketika saja aku terlonjak saat menatap sosok yang sudah berdiri tegak di ambang pintu dengan berkacak pinggang.

"Ratna! Kamu jangan enak-enakan di dalam ya?! Itu kerjaan di dapur masih banyak, cepat bantuin!" teriaknya dengan netra yang membola.

"I_iya, Bu," jawabku tergagap.

Lekas aku berganti baju dengan gamis biasa, setelah itu keluar menuju dapur. Dan di situ sudah ada  dua  ART yang tengah sibuk memasak dan juga Mami mertuaku yang ikut bantuin.

"Ratna, cepetan sini, lelet banget sih! Kamu kupasin bawang  merah dan bawang putih,  terus itu udang juga kupasin!" titahnya geram.

"I_iya, Bu," jawabku cepat dan segera aku mengikuti perintahnya.

"Kamu jangan harap bisa enak-enakan jadi menantuku, karena aku sebenarnya tidak sudi punya menantu miskin macam kamu. Entah dosa apa hingga aku bisa punya menantu sepertimu!" cebiknya dengan tatapan sinis ke arahku sambil mengacungkan telunjuknya tepat di depan mukaku.

Aku hanya bisa diam, menerima semua cacian dan mengikuti perintahnya tanpa ada niat sedikit pun untuk membantahnya. Bukan karena aku takut atau ia orang berada, tapi karena sekarang ia sudah menjadi mertuaku. Orang yang harus aku hormati layaknya orang tua sendiri.

"Oh iya, kamu buatkan minuman dulu untuk tamu-tamunya Febi dan sekalian cemilannya!" titahnya lagi.

"Iya Bu," sahutku lagi.

Aku lekas ke depan mengantarkan kopi dan cemilan untuk tamunya Mas Febi. Satu persatu aku menurunkan gelas ke atas meja.

Tanpa sengaja aku menatap sosok lelaki yang duduk di sebelah suamiku. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang, tapi siapa ya?

Dan tanpa kuduga dia tersenyum ke arahku, membuatku membalas senyumnya sambil menganggukkan kepala. Sejenak aku tertegun sambil mengingat-ingat wajah lelaki itu yang tidak asing. Namun, tetap saja aku tidak mengingatnya.

"Woi, ngapain bengong di situ? Sudah sana pergi!" teriak suamiku membuatku tersadar dari lamunan dan bergegas kembali ke belakang.

"Feb, jangan kasar-kasar sama istrimu, kasihan dia," tegurnya mengingatkan dengan suara yang lembut. Aku masih bisa mendengarnya karena langkahku belum begitu jauh.

"Biarin sajalah, Ver! Orang istri cuma di atas kertas. Lagian salah sendiri kenapa menyetujui pernikahan ini," cebiknya kesal.

Ya, Allah. Kenapa mesti bicarakan hal itu kepada temannya? Aku jadi seperti tidak ada muka rasanya.

Aku gegas kembali ke dapur untuk membantu masak-masak. Ada beberapa jenis masakan yang akan dihidangkan, membuat orang yang ada di rumah ini agak sibuk. Dan setelah cukup lama berkutat di dapur, akhirnya semua masakan selesai.

"Ratna, kamu bawa masakan ini di atas meja makan lalu tata yang rapi! Sekalian sama piring dan juga gelasnya!" titah Ibu mertua mendikte.

"Iya, Mam," sahutku cepat.

Aku menata jamuan makan untuk tamunya Mas Febi juga beberapa teman dekatnya saja dan itu juga tidak banyak, paling lima orang. Dan juga ada tante dan omahnya Mas Febi.

Setelah semua rapi dan siap, Ibu mertua memanggil mereka dan juga Papi mertua untuk makan bersama. Dan kini mereka sudah menempati meja masing-masing. Termasuk Aleksa—adik dari suamiku.

"Ratna, kamu duduk di sebelah Febi! Sekarang kalian sudah resmi menikah, jadi tidak usah malu," atur ayah dari suamiku dengan suara yang meneduhkan. Hanya beliau yang menghargai dan sayang padaku di sini.

"Tidak perlu, Pap," jawabku sungkan. Aku masih berdiri mematung sambil menyisir pandangan ke arah mereka yang sudah pada duduk.

"Kamu jangan menolak, sekarang kamu sudah menjadi bagian dari keluarga di sini. Jadi, jangan malu lagi," sanggah Ayah mertua sedikit memaksa.

Aku mengangguk ragu sambil tersenyum kaku. Melangkah mendekat ke arah kursi kosong diantara kursi Mas Febi dan cowok itu. Semua nampak cuek terhadapku, terlebih suamiku. Tapi tidak dengan Ayah mertuaku yang begitu ramah dan baik.

Aku mulai menyendokkan nasi ke piringku dan mengambil sedikit udang balado dan rendang. Saat mau minum, tiba-tiba gelasku jatuh ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang nyaring karena beradu dengan granit. Entah karena tidak fokus atau grogi hingga gelas itu terlepas begitu saja dari tanganku, pecah berantakan di lantai.

Sontak membuat semua orang menoleh ke arahku, terlebih Mami mertua dengan menatapku nyalang.

"Ratna! Kamu itu apa-apaan sih, maen pecahin gelas seenaknya! Barang-barang di sini itu mahal tau, kamu tidak mungkin bisa membelinya karena kamu cuma anak orang miskin!" bentak Ibu dari suamiku dengan menatapku sinis.

Mami menoyor kepalaku dengan mulut mencebik hingga semua orang menatapku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status