Share

Part 6

"Sebenarnya ... aku sudah lama menyimpan rasa padamu, tapi aku tidak berani mengatakannya dulu saat kita masih tinggal di kampung karena kamu anaknya pendiam, takut kamu marah," tutur Mas Very panjang lebar membuat otakku seketika memutar ke masa lalu.

"E_emangnya Mas Very kenal denganku?" tanyaku ragu.

"Kamu nggak ingat kalau kita dulu sekampung? Kita kan, dulu sekolah bareng di SMP Persada, dan aku Kakak kelasmu. Ya, mungkin kamu dah lupa," pekiknya dengan wajah yang begitu serius seakan menyuruhku untuk ingat kembali tentangnya.

Sementara aku masih berpikir keras untuk mengingatnya, mengurai lembar cerita di masa laluku yang penuh perjuangan.

"Mm ... kamu Very yang dulu ikut kelas musik dan basket, ya? Yang dulu jadi incaran cewek-cewek karena permainanmu begitu memukai saat tampil?" tebakku semoga tak meleset.

"Nah, itu kamu ingat," pungkasnya dengan wajah yang ekspresif.

"Oh, jadi kamu itu Very yang sekampung denganku? Aku gak nyangka kita bisa ketemu di sini. Terus, kalau boleh tahu, kenapa Mas Very bisa tinggal di kota ini?" cecarku kemudian.

"Ya, dulu waktu aku lulus SMP, orang tuaku ngajak pindah ke sini karena diajak teman buat bisnis bareng. Taunya lancar, jadinya sampai sekarang deh, di sini," paparnya.

Kami terus bercerita banyak hal yang sudah kami lewatkan begitu saja tanpa kebersamaan. Bernostalgia saat masih tinggal di kampung yang sama.

"Ratna, jujur saja ... aku dari dulu sudah suka sama kamu hingga sekarang rasa itu tetap sama, meski aku sudah beberapa kali berpacaran. Namun, tak satupun yang membuatku ingin melanjutkan ke hubungan yang serius." Wajahnya nampak serius dengan sorot mata yang begitu dalam menembus retinaku.

"Semenjak kamu pindah, rasanya sudah gak ada lagi rasa cinta untuk wanita mana pun. Makanya hingga sekarang aku belum mau menikah karena aku yakin kalau suatu saat nanti kita akan dipertemukan lagi. Tapi, nyatanya sekarang ...." Kini tatapannya layu, seolah sudah kehilangan harapan untuk bisa bersatu dengan cinta lamanya karena sekarang aku sudah menikah dengan orang lain.

"Mas Very, jangan ngomong begitu. Mas Very harus yakin kalau suatu saat nanti pasti akan menemukan wanita yang benar-benar Mas Very cintai, meskipun itu bukan aku." Aku melepas paksa genggaman tangannya.

"Tapi ... aku gak mau yang lain, aku maunya cuma kamu yang jadi istriku, Ibu dari anak-anakku. Kamulah cinta pertamaku dan aku ingin kamu menjadi cinta terakhirku." Aku melihat sorot matanya yang kini sudah berembun, mungkin dia terlalu dalam mencintaiku.

****

"Ver, kita joging yuuk! Mumpung masih pagi, udaranya segar," ajak Mas Febi saat kami tengah sarapan bareng.

"Boleh," sahut Mas Very cepat.

Usai sarapan, kami lekas keluar untuk joging. Kami joging berempat. Suamiku sudah siap dengan setelan olah raganya, begitu juga dengan pacarnya yang mengenakan setelan senam dengan menampakkan lekuk tubuhnya yang seksi.

"Sayang, ayok, jalan!" ajak suamiku pada pacarnya. Dan wanita itu dengam langkah cepat menghambur

memeluk pinggang suami orang.

Aku mencelos menatap mereka dengan perasaan yang begitu nyeri campur kesal hingga aku tak sadar mulutku terus menggerutu sambil mencebik.

Dan tanpa diduga Mas Very tengah memperhatikanku, entah sejak kapan hingga membuatku malu.

"Ayok, Rat ... kita jalan! Tuh, Very sudah di depan!" ajak Mas Very sambil merentangkan tangannya.

"Kamu cemburu liat Febi seperti itu sama Amel?" tanya Very menelisik.

Aku terdiam dengan raut muka ditekuk, entah harus jawab apa, aku bingung. Kalau cemburu, aku belum terlalu karena  belum ada rasa cinta untuknya. Hanya saja, aku dan dia sudah terikat pernikahan.

"Kok, kamu diem? Apa benar ucapanku?" tanya Very mengulang karena tadi aku tak membalasnya.

Aku menggeleng pelan sambil tersenyum getir ke arahnya.

"Udahlah, lupakan. Mendingan kita terus jalan sambil menghirup udara segar pegunungan. Coba kamu hela napas yang panjang sambil pejamkan mata  lalu keluarkan perlahan, di jamin nanti dadamu lega karena terisi lagi dengan oksigen," tutur Very yang sedari tadi terus mengajakku bicara meski kadang aku banyakan diamnya.

Aku mengikuti sarannya, berhenti sejenak di pinggir jalan di samping hamparan perkebunan teh yang tumbuh lebat dan subur.

Aku mengulang beberapa kali hingga perlahan rongga dadaku lega.

"Gimana, enakan?" cecarnya lagi.

"Iya, Alhamdulillah," jawabku lirih.

"Ya udah, kita jalan lagi yuuk, mereka sudah jauh tuh!" ajaknya sambil menggandeng lenganku dan menunjuk ke arah suamiku yang nampak jauh dari pandangan.

Aku pun mengangguk pelan sambil mengikuti langkahnya.

"Kita lari kecil yuuk, biar cepat menyusul mereka!" ajaknya lagi.

"Ya udah, ayook!" aku mengiyakan ajakannya kemudian berlari kecil seirama dengan langkahnya.

Setelah cukup jauh berlari dan kini sudah mendekati suamiku dan pacarnya. Mereka kini berjalan tepat di depanku sambil terus bergandengan tangan. Karena sangking fokusnya aku memperhatikan mereka berdua hingga tak melihat jalan di depanku yang berlubang.

"Aduuh ...!" pekikku menahan sakit. Aku terpeleset dan jatuh terduduk.

Sontak membuat suamiku menoleh ke belakang dan menatap nanar ke arahku.

"Kalau jalan itu pake mata, jangan meleng mulu!" bentaknya begitu garang.

"Apa yang sakit?" tanya Very begitu perhatian. Saat aku terjatuh dia cekatan menolongku.

"Pergelangan kakiku kayaknya keseleo deh," lirihku sambil menahan sakit.

Gegas Very menyuruhku menyelonjorkan kedua kakiku dan dia langsung mengurut-urut di area kakiku yang sakit.

"Kok, bisa jatuh sih? Emang jalannya gimana?" pekik Febi ingin tahu.

"Tadi ada lubang di jalan, aku gak merhatiin. Jadinya kakiku melintir lalu jatuh," ucapku menjelaskan, berharap ia iba terhadapku.

"Emang matamu ke mana bisa sampai jatuh gitu?" sanggah Mas Febi  tak terima dengan mulut terus mencebik sambil memperhatikan Mas Very yang tengah mengurut kakiku.

"Udah dong, Feb, jangan ngomel mulu, bukannya bantuin atau kasih perhatian sama istri loe," protes Very kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status