Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap jam di tanganku yang berdetak lambat. Sudah lima belas menit sejak aku mengirim pesan kepada Mas Very. Aku tahu dia pasti sedang bergegas pulang, apalagi sejak aku memasuki trimester terakhir kehamilan. Mas Very selalu khawatir dan memastikan aku tidak terlalu banyak beraktivitas.Pintu depan terbuka perlahan, dan aku mendengar langkah kaki yang sangat kukenal. "Ratna?" panggilnya dengan suara lembut."Aku di sini," jawabku, mencoba terdengar biasa saja meskipun dadaku terasa sesak karena capek.Mas Very langsung menghampiri, duduk di sampingku sambil memperhatikan wajahku yang mungkin terlihat tegang. "Kenapa? Kamu kelihatan aneh," tanyanya, menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu capek?"Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk jujur. "Tadi Febi ngajak ketemu."Alisnya langsung bertaut. "Febi? Mantan suami kamu?" Nada suaranya berubah, terdengar waspada sekaligus cemburu."Dia bilang sesuatu yang ... bikin aku bingung." Aku menunduk, menghindari t
“Kerja terus malam-malam begini, Mas?” tanyaku sambil melirik ponselnya.Mas Very hanya tersenyum sekilas. "Iya, ada laporan yang harus kukirim."Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Di layar, aku sempat melihat nama Arina muncul sebelum dia buru-buru mengangkatnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Siapa dia? Kenapa menelepon suamiku selarut ini?Aku mencoba memasang wajah biasa saja, tapi sulit. Rasa cemburu menjalar pelan-pelan di hatiku. Kuamati cara Mas Very berbicara—nada suaranya rendah, seolah tidak ingin aku mendengar.Setelah dia selesai, aku langsung menyelidik, "Arina? Siapa itu, Mas?"Mas Very menatapku dengan tenang, lalu tertawa kecil sambil mengacak rambutku. "Sayang, jangan cemburu, dong. Itu Arina, karyawati di kantor. Dia cuma mau memastikan soal dokumen untuk besok."Aku tidak yakin. "Tapi, kenapa harus malam-malam begini? Kan, bisa besok pagi di kantor."Melihat ekspresiku yang berubah, Mas Very segera memelukku erat. "Sayangku, kamu lagi bawa dede bayi, ya, jadi se
Hari ini adalah hari besar untukku dan suamiku. Setelah menabung bertahun-tahun dan kerja kerasnya sebagai seorang CEO, kami akhirnya bisa pindah ke rumah baru. Rumah megah di kawasan elit, lengkap dengan halaman luas dan interior serba mewah. Aku memandangi pintu besar di depanku dengan campuran rasa bahagia dan gugup. Rasanya seperti mimpi.“Ratna, ayo masuk,” panggil Mas Very, membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan melangkah masuk, disambut oleh keramaian suara keluarga dan rekan-rekan Mas Very yang ikut membantu hari ini. Semua barang sudah tertata rapi, seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan aroma harum bunga segar dari vas di ruang tamu sudah mengisi ruangan.Acara syukuran dimulai dengan doa yang dipandu oleh Pak Kyai setempat. Suaranya lembut dan penuh khidmat, memohonkan kedamaian dan keselamatan untuk rumah ini dan semua yang tinggal di dalamnya. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas perutku yang sudah membesar, merasakan tendangan lembut dari bayi kami."
Aku melangkah keluar dari kamar tidur, menyusuri lantai marmer yang dingin menuju ruang tengah. Rumah ini terasa begitu luas, terlalu besar untuk hanya aku tempati bersama Mas Veri. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai setiap sudutnya. Cahaya matahari pagi masuk menembus jendela besar yang menghadap taman belakang, memberikan nuansa hangat pada ruangan.“Ratna, mau sarapan apa hari ini, Nak?” suara lembut Bi Sukma terdengar dari dapur.Aku tersenyum dan melangkah mendekat. Bi Sukma sudah sibuk dengan apron merah mudanya, memotong buah di meja dapur. Kehadirannya di sini membuatku merasa lebih nyaman, seolah aku punya ibu kedua yang selalu siap menemani.“Apa aja yang ringan, Bi. Aku nggak terlalu lapar. Toast sama teh aja, ya,” jawabku sambil mengambil kursi di meja makan.Bi Sukma tersenyum lembut, wajahnya penuh kehangatan. “Baik, Nak. Veri nggak bilang mau makan di rumah?”Aku menggeleng. “Kayaknya enggak. Biasanya dia makan siang di kantor.”Bi Sukma mengangguk. “Syukurlah
Malam yang MengusikAku sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton acara favorit di TV sambil menikmati sisa malam yang tenang. Very, suamiku, duduk di sebelahku sambil memainkan ponselnya. Bi Sukma, asisten rumah tangga kami, baru saja selesai merapikan dapur. Di luar, suasana sunyi, hanya suara jangkrik yang samar terdengar.Namun, ketenangan itu terusik ketika suara bel pintu berbunyi. Very mengangkat kepala, menatapku sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan malas.“Aku yang buka,” katanya sambil melangkah menuju pintu.Aku mengangguk sambil mengalihkan pandangan kembali ke TV. Tak lama, aku mendengar suara familiar dari arah pintu."Febi? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Very dengan nada heran.Aku melirik sekilas. Febi, sahabat Very, berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak kusut."Gue lagi suntuk banget di rumah, Ver," kata Febi setelah melangkah masuk. "Amel lagi sensitif, bawaannya marah-marah terus. Gue nggak tahu mau ngomong sama siapa, jadi gue ke sini aja."Ve
Hari-hari setelah melahirkanAku, Ratna, terbaring di ranjang rumahku yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Rasanya tubuhku masih sangat lelah setelah proses melahirkan yang begitu panjang dan menguras tenaga. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Putra pertama kami, Amran Zakir Pratama, kini ada di dunia ini, dengan wajah yang begitu mirip dengan suamiku. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa aku, Ratna, kini menjadi seorang ibu.Dari tempat tidurku, aku bisa melihat Very, suamiku, yang duduk di sampingku dengan senyum bangga terpancar di wajahnya. Matanya penuh dengan kasih sayang, dan setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti menjadi pusat dunia ini.“Sayang, kamu nggak capek kan?” tanya Very lembut, tangannya mengelus lembut rambutku yang acak-acakan. Ia selalu begitu perhatian, dan saat itu aku merasa betul-betul dimanjakan.Aku tersenyum lemah, meski masih kelelahan. “Sedi
"Ratna! Dengarkan aku baik-baik! Aku terpaksa nikahi kamu ya! Jadi, kamu jangan kepedean merasa aku bakal mencintaimu dan memperlakukanmu seperti seorang istri pada umumnya. Pernikahan kita hanya sebatas di atas kertas, tidak lebih!" Wajah lelaki yang dua pekan lalu telah menghalalkanku begitu sinis dengan tatapan mata elang yang siap menerkam mangsanya.Dengan buru-buru ia melepas jas hitam berikut kemeja putih yang telah dipakainya saat kerja tadi. Lalu melemparkannya sembarang di atas kasur. Dan segera berganti baju dengan baju santai.Aku terdiam, tertunduk pilu menatap kebaya putih yang hari itu aku kenakan usai acara paling sakral di dalam hidup. Aku terpaku di sisi ranjang dengan dada yang bergetar, mengabaikan ucapannya yang tidak enak didengar. Pantas saja selama dua pekan kami menikah, sikapnya selalu dingin dan cenderung kasar. Ya, ternyata dia menikahiku karena terpaksa. Harusnya aku menolak saja dulu.Bukan pernikahan seperti ini yang kuharapkan. Bahkan, bermimpi pun aku
"Mi, jangan begitu, ngomong baik-baik 'kan, bisa. Kasihan Ratna," tegur suaminya dengan halus. Papi terlihat canggung di antara banyak tamunya. Wajahku terasa panas sekali, mungkin sudah merah padam karena malu diomeli di hadapan orang-orang asing seperti ini."Biarin saja, Pi. Biar dia sadar diri dan lebih hati-hati lagi. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi," bantah Mami tidak terima."Maaf, Mam. Aku tidak sengaja," sahutku dengan tenggorokan yang tercekat menahan tangis."Kamu cepat beresin sampai bersih sebelum mengenai kaki orang! Dan kamu tidak usah ikut makan di sini!" usirnya dengan tegas penuh emosi.*****Pov Very :Aku tidak menyangka kalau Tante Kartika tidak menyukai Ratna. Sikapnya begitu kasar membuatku terenyuh dan ingin menolongnya. Tapi, aku enggak enak pada keluarga Febi, takut dikira pahlawan kesiangan.Sejak dulu aku sudah menaruh hati padanya, hanya saja aku belum berani mengungkapkannya mengingat dia orangnya pendiam. Aku takut dia bakal marah, akhirnya ras
Hari-hari setelah melahirkanAku, Ratna, terbaring di ranjang rumahku yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Rasanya tubuhku masih sangat lelah setelah proses melahirkan yang begitu panjang dan menguras tenaga. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Putra pertama kami, Amran Zakir Pratama, kini ada di dunia ini, dengan wajah yang begitu mirip dengan suamiku. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa aku, Ratna, kini menjadi seorang ibu.Dari tempat tidurku, aku bisa melihat Very, suamiku, yang duduk di sampingku dengan senyum bangga terpancar di wajahnya. Matanya penuh dengan kasih sayang, dan setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti menjadi pusat dunia ini.“Sayang, kamu nggak capek kan?” tanya Very lembut, tangannya mengelus lembut rambutku yang acak-acakan. Ia selalu begitu perhatian, dan saat itu aku merasa betul-betul dimanjakan.Aku tersenyum lemah, meski masih kelelahan. “Sedi
Malam yang MengusikAku sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton acara favorit di TV sambil menikmati sisa malam yang tenang. Very, suamiku, duduk di sebelahku sambil memainkan ponselnya. Bi Sukma, asisten rumah tangga kami, baru saja selesai merapikan dapur. Di luar, suasana sunyi, hanya suara jangkrik yang samar terdengar.Namun, ketenangan itu terusik ketika suara bel pintu berbunyi. Very mengangkat kepala, menatapku sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan malas.“Aku yang buka,” katanya sambil melangkah menuju pintu.Aku mengangguk sambil mengalihkan pandangan kembali ke TV. Tak lama, aku mendengar suara familiar dari arah pintu."Febi? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Very dengan nada heran.Aku melirik sekilas. Febi, sahabat Very, berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak kusut."Gue lagi suntuk banget di rumah, Ver," kata Febi setelah melangkah masuk. "Amel lagi sensitif, bawaannya marah-marah terus. Gue nggak tahu mau ngomong sama siapa, jadi gue ke sini aja."Ve
Aku melangkah keluar dari kamar tidur, menyusuri lantai marmer yang dingin menuju ruang tengah. Rumah ini terasa begitu luas, terlalu besar untuk hanya aku tempati bersama Mas Veri. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai setiap sudutnya. Cahaya matahari pagi masuk menembus jendela besar yang menghadap taman belakang, memberikan nuansa hangat pada ruangan.“Ratna, mau sarapan apa hari ini, Nak?” suara lembut Bi Sukma terdengar dari dapur.Aku tersenyum dan melangkah mendekat. Bi Sukma sudah sibuk dengan apron merah mudanya, memotong buah di meja dapur. Kehadirannya di sini membuatku merasa lebih nyaman, seolah aku punya ibu kedua yang selalu siap menemani.“Apa aja yang ringan, Bi. Aku nggak terlalu lapar. Toast sama teh aja, ya,” jawabku sambil mengambil kursi di meja makan.Bi Sukma tersenyum lembut, wajahnya penuh kehangatan. “Baik, Nak. Veri nggak bilang mau makan di rumah?”Aku menggeleng. “Kayaknya enggak. Biasanya dia makan siang di kantor.”Bi Sukma mengangguk. “Syukurlah
Hari ini adalah hari besar untukku dan suamiku. Setelah menabung bertahun-tahun dan kerja kerasnya sebagai seorang CEO, kami akhirnya bisa pindah ke rumah baru. Rumah megah di kawasan elit, lengkap dengan halaman luas dan interior serba mewah. Aku memandangi pintu besar di depanku dengan campuran rasa bahagia dan gugup. Rasanya seperti mimpi.“Ratna, ayo masuk,” panggil Mas Very, membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan melangkah masuk, disambut oleh keramaian suara keluarga dan rekan-rekan Mas Very yang ikut membantu hari ini. Semua barang sudah tertata rapi, seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan aroma harum bunga segar dari vas di ruang tamu sudah mengisi ruangan.Acara syukuran dimulai dengan doa yang dipandu oleh Pak Kyai setempat. Suaranya lembut dan penuh khidmat, memohonkan kedamaian dan keselamatan untuk rumah ini dan semua yang tinggal di dalamnya. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas perutku yang sudah membesar, merasakan tendangan lembut dari bayi kami."
“Kerja terus malam-malam begini, Mas?” tanyaku sambil melirik ponselnya.Mas Very hanya tersenyum sekilas. "Iya, ada laporan yang harus kukirim."Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Di layar, aku sempat melihat nama Arina muncul sebelum dia buru-buru mengangkatnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Siapa dia? Kenapa menelepon suamiku selarut ini?Aku mencoba memasang wajah biasa saja, tapi sulit. Rasa cemburu menjalar pelan-pelan di hatiku. Kuamati cara Mas Very berbicara—nada suaranya rendah, seolah tidak ingin aku mendengar.Setelah dia selesai, aku langsung menyelidik, "Arina? Siapa itu, Mas?"Mas Very menatapku dengan tenang, lalu tertawa kecil sambil mengacak rambutku. "Sayang, jangan cemburu, dong. Itu Arina, karyawati di kantor. Dia cuma mau memastikan soal dokumen untuk besok."Aku tidak yakin. "Tapi, kenapa harus malam-malam begini? Kan, bisa besok pagi di kantor."Melihat ekspresiku yang berubah, Mas Very segera memelukku erat. "Sayangku, kamu lagi bawa dede bayi, ya, jadi se
Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap jam di tanganku yang berdetak lambat. Sudah lima belas menit sejak aku mengirim pesan kepada Mas Very. Aku tahu dia pasti sedang bergegas pulang, apalagi sejak aku memasuki trimester terakhir kehamilan. Mas Very selalu khawatir dan memastikan aku tidak terlalu banyak beraktivitas.Pintu depan terbuka perlahan, dan aku mendengar langkah kaki yang sangat kukenal. "Ratna?" panggilnya dengan suara lembut."Aku di sini," jawabku, mencoba terdengar biasa saja meskipun dadaku terasa sesak karena capek.Mas Very langsung menghampiri, duduk di sampingku sambil memperhatikan wajahku yang mungkin terlihat tegang. "Kenapa? Kamu kelihatan aneh," tanyanya, menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu capek?"Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk jujur. "Tadi Febi ngajak ketemu."Alisnya langsung bertaut. "Febi? Mantan suami kamu?" Nada suaranya berubah, terdengar waspada sekaligus cemburu."Dia bilang sesuatu yang ... bikin aku bingung." Aku menunduk, menghindari t
Rumah Baru untuk Kebahagiaan BaruMatahari sore memancarkan sinar keemasan, memberikan suasana hangat di sekitar kawasan elit yang penuh dengan rumah-rumah mewah. Di antara bangunan megah itu, Very menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah besar dengan desain modern. Ratna, istrinya yang sedang hamil tujuh bulan, duduk di sampingnya dengan raut wajah penuh penasaran."Ini rumahnya, Sayang," kata Very sambil tersenyum hangat. Ia turun dari mobil lalu membuka pintu untuk Ratna.Ratna keluar dengan perlahan, tangannya memegang perut yang mulai membesar. "Ini ... rumah kita?" tanyanya dengan nada tak percaya.Very mengangguk, matanya berbinar-binar melihat ekspresi kagum di wajah istrinya. "Iya, untuk kamu dan calon anak kita. Kamu suka?"Ratna terdiam sejenak, matanya menjelajahi setiap sudut rumah yang terlihat megah bahkan dari luar. "Suka? Aku ... aku bahkan nggak tahu harus ngomong apa. Ini luar biasa, Mas Very. Kamu benar-benar serius melakukan ini semua untukku?"Very mendekat d
"Sayang, Mas sudah siapkan rumah buat keluarga kecil kita yang agak besaran biar nanti kalau dedenya sudah lahir bisa leluasa maen." Lelaki yang sebentar lagi mau jadi Ayah begitu antusias bercerita sambil terus mengelus perutku yang sudah mulai membuncit."Ngapain sih, Mas beli rumah lagi? Di sini juga kan, enak dan cukup buat keluarga kecil kita?!" Tanganku mengelus kepalanya yang masih fokus dan gak mau lepas dari perutku ini. Dia terus menciumi dede yang masih dalam kandunganku seakan tak sabar menunggu kehadirannya."Rumah ini terlalu kecil buat anak kita maen, sayang. Yang pasti nanti anak kita bakal berlarian ke sana ke mari, dan itu membutuhkan tempat yang cukup luas serta perlu kamar khusus buat tempat maen." Wajahnya didongakkan menghadapku sambil menjawil daguku gemas."Ya, sudah terserah Mas saja," balasku pasrah."Nah, gitu dong. Masa CEO properti rumahnya kecil dan jelek, malu dong," sanggahnya.Aku senang mendengarnya, suamiku ternyata begitu perhatian dan peduli sama a
"Gue ngerasa jenuh dan bosan ngejalani rumah tangga yang kayak gini, gak ada warna." Ia menjambak rambutnya kasar, kecewa terpancar jelas dari wajahnya."Kenapa loe ngomongnya gitu? Itu kan, keputusan dan pilihan loe sendiri? Kenapa mesti bosan?" Very menatap lekat wajah sang sahabat. Ia ikut merasakan apa yang ia rasakan."Iya, sih, memang. Cuma dulu waktu masih pacaran semua terasa indah dan menyenangkan, karena Amel bisa membuat gue merasa nyaman berada di sisinya. Tapi setelah nikah keadaan berubah, Amel jadi wanita yang membosanku. Sikapnya yang jutek dan kasar membuat gue jengah dan muak. Dan juga dia banyak menuntut ini dan itu yang sekiranya di luar batas kemampuan." Sang pelayan kantin datang membawa makanan yang mereka pesan. Sambil makan mereka terus bercerita, saling tukar pengalamannya selama menikah tanpa ada yang ditutup-tutupi karena mereka bersahabat sudah lama. Sudah tak ada lagi kata malu atau canggung."Ya, itu karena loe dalam menilai cewek dari parasnya dulu, ga