Share

Part 2

"Mi, jangan begitu, ngomong baik-baik 'kan, bisa. Kasihan Ratna," tegur suaminya dengan halus. Papi terlihat canggung di antara banyak tamunya.

Wajahku terasa panas sekali, mungkin sudah merah padam karena malu diomeli di hadapan orang-orang asing seperti ini.

"Biarin saja, Pi. Biar dia sadar diri dan lebih hati-hati lagi. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi," bantah Mami tidak terima.

"Maaf, Mam. Aku tidak sengaja," sahutku dengan tenggorokan yang tercekat menahan tangis.

"Kamu cepat beresin sampai bersih sebelum mengenai kaki orang! Dan kamu tidak usah ikut makan di sini!" usirnya dengan tegas penuh emosi.

*****

Pov Very :

Aku tidak menyangka kalau Tante Kartika tidak menyukai Ratna. Sikapnya begitu kasar membuatku terenyuh dan ingin menolongnya. Tapi, aku enggak enak pada keluarga Febi, takut dikira pahlawan kesiangan.

Sejak dulu aku sudah menaruh hati padanya, hanya saja aku belum berani mengungkapkannya mengingat dia orangnya pendiam. Aku takut dia bakal marah, akhirnya rasa ini aku pendam. Akan tetapi, aku menyesal sebab keraguanku itu, kini telah terlambat. Dia malah dipersunting temanku sendiri.

"Woi, ngelamun! Lagi ngelamunin apa, sih?" Tiba-tiba Febi datang mengagetkanku, membuyarkan lamunan panjangku.

"Eh, Feb, kamu rupanya. Kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu napa?!" Aku tersenyum tipis ke arahnya.

"Lah, barusan sudah ketuk pintu tiga kali, kamunya saja yang enggak dengar. Kebanyakan ngelamun, sih!" Sahabatku itu langsung mengambil tempat duduk di depanku. Ia menatap ke arahku dengan lekat seolah ingin tahu apa yang sedang kulamunkan tadi.

Febi datang membawa beberapa map di tangannya, mungkin mau membahas proyek yang akan segera dikerjakan akhir bulan ini.

"Eh, sorry. Aku lagi enggak fokus." Aku meraih map dari tangannya dan segera membuka isinya.

"Sudah, entar saja. Percuma bahas sekarang kalau kamu sendiri lagi enggak fokus, yang ada malah nanti berantakan." Febi menutup kembali map yang aku pegang sambil mencebik.

Aku menghela napas panjang, lalu mengeluarkan udara perlahan sambil menyandarkan punggung ke belakang.

"Kamu itu lagi ngelamunin apa, sih? Coba cerita sama aku, siapa tahu aku bisa bantu," desaknya penasaran.

"Kamu ingat enggak, dulu aku pernah cerita sama kamu kalau aku suka sama cewek waktu masih tinggal di kampung?" tuturku memulai cerita.

Febi nampak berpikir sejenak dengan wajah menghadap ke plafon. "Oh, yang kamu bilang ceweknya pendiam, terus ... cantik. Dan cewek itu pindah ke kota?"

"Iya, benar. Dan sekarang aku sudah bertemu dengannya. Dia masih sama seperti yang dulu, masih cantik dan tetap pendiam," pungkasku girang. Meski dalam hati ada rasa sedih karena dia sekarang sudah menikah dengan orang lain, dan orang itu sahabatku sendiri.

"Wah, senang, dong? Ya sudah, langsung lamar saja daripada nanti kehilangan jejak lagi," desaknya antusias sambil menepuk bahuku sedikit kencang membuatku meringis menahan sakit.

"Ya senang sih, tapi ...," ucapku menggantung, rasanya malas untuk melanjutkan.

"Tapi ...?" tanya Febi mengulang.

"Dia sudah menikah dengan orang lain," tuturku lesu.

Meskipun aku tahu dari Om Hendrik—papinya Febi— kalau pernikahannya itu tidak direncanakan dan terpaksa karena kejadian yang menimpa ibunya Ratna hingga meninggal. Akan tetapi, pernikahannya itu sah di mata hukum serta agama, dan aku tidak mau mengganggunya.

"Ya, telat deh, yang sabar ya! Mending ikhlasin saja dia sama orang lain dan sekarang kamu cari lagi penggantinya," anjurnya dengan santai tanpa dia tahu betapa besar rasa cintaku pada wanita itu—yang sudah lama aku pendam.

***

Saat malam tiba, jam di tanganku sudah menunjuk ke angka 8. Entah kenapa hati ini begitu resah dan gelisah memikirkan keadaan Ratna. Ada apa dengannya? Bukankah dia sudah dimiliki orang lain, mana boleh aku mengusiknya? Tapi, daripada aku enggak bisa tidur, mending aku lihat saja ke sana.

Tidak mau membuang waktu lama, aku segera menyambar mobil yang terparkir di garasi rumahku. Lekas aku melajukannya menuju rumah Febi.

*

Setelah memencet bel di depan rumahnya, tidak lama kemudian yang keluar wanita yang sangat aku sayangi.

"Hai, Febinya ada?" sapaku basa-basi. Padahal niat hati ingin berjumpa dengannya. Bertemu dengan Febi hanya sebagai alasan agar aku tidak malu.

"A–da, silakan masuk dulu biar aku panggilkan Mas Febinya!" jawabnya dengan suara yang lembut dan sopan sambil menganggukkan kepala sedikit. Senyum itu masih terukir menghiasi wajahnya yang cantik.

"Iya, terima kasih," jawabku ragu kemudian langsung masuk dan duduk di ruang tamu sambil menunggu Febi muncul.

"Hai, Feb! Sudah tidur ya? Mentang-mentang penganten baru, jam segini sudah ngajak tidur saja,"  sapaku menyindir saat dia berjalan ke arahku.

"Apaan, sih? Orang lagi teleponan sama Amel juga," kelitnya tidak terima.

"Lah, kamu masih hubungan sama Amel?" pekikku heran.

"Iya, memangnya kenapa? Sudah menikah bukan berarti harus meninggalkan Amel. Tidak, dia wanita yang aku cintai sampai kapan pun," jawabnya terus terang.

Aku kontan mengernyitkan dahi dengan kencang. Heran dengan ungkapannya. "Terus Ratna kamu anggap apa? Kamu sudah menikahinya secara resmi, itu artinya kamu harus memberikan dia cinta dan kasih sayang. Bukan hanya status saja," protesku tidak terima Febi berbuat seperti itu kepada Ratna.

Meskipun aku tahu dia telah menikah, tapi kalau dia diperlakukan tidak baik oleh suaminya aku tidak bisa terima. Aku ingin melihatnya bahagia walau bukan bersamaku.

"Ya, gimana? Orang aku tidak cinta sama Ratna. Lagian, dia itu bukan cewek idamanku," sanggah Febi dengan wajah cuek. Entah mengapa melihat sikapnya ini membuat hatiku panas.

"Ratna! Sini cepetan!" panggil Febi dengan suara lantang setengah berteriak.

Dari jauh nampak wanita yang sangat aku sayangi datang dengan jalan tergopoh-gopoh. Tadi dia sepertinya lagi membersihkan meja makan, terlihat dari sini.

"Ada apa, Mas?" tanya Ratna polos, suaranya begitu lembut terdengar di telingaku.

"Kamu buatkan dua gelas kopi hitam dan juga cemilannya! Sekalian rokok yang ada di meja makan kamu bawa ke sini, cepat ya!" titah Febi dengan tegas.

"Baik, Mas," sahut istrinya, kemudian bergegas ke belakang.

Setelah lima menit, wanita lugu itu kembali lagi dengan nampan di tangannya. Ia membawakan apa yang diperintahkan suaminya.

Dengan tangan yang gemetaran, ia menurunkan gelas ke meja. Saat tangannya oleng ke samping, aku segera meraihnya agar tidak tumpah. Namun, naas ... kopi itu malah tumpah dan menyiram tanganku.

"Aaww, panas ...!" teriakku refleks karena kopi itu memang panas dengan asap yang masih mengepul.

"Aduh, Mas! M–maafin aku. Aku tidak se_ngaja," ucapnya gugup dengan wajah pias, mungkin merasa bersalah dan panik.

Dengan cekatan dan hati-hati  dia mengelap tanganku dengan ujung gamisnya, tidak peduli nanti gamisnya bakal disemutin karena manis. Setelahnya dia meniup-niupkan dengan ujung mulutnya luka bakar di tanganku.

"Ratna, kamu itu apa-apaan, sih? Naroh gelas saja tidak becus, dasar orang kampung! Tuh, lihatin, tangan temanku jadi merah, kan?!" bentak Febi dengan netra yang membola.

"Sudah Feb, ini enggak apa-apa kok! Paling merah doang, besok juga sembuh. Kamu jangan marahin Ratna ya, dia tidak sengaja," belaku di depan suaminya.

"Ada apa Febi, Very, kenapa berisik gitu?" Tante Kartika tiba-tiba muncul dari balik tembok ruang tengah, ia langsung menghampiri kami.

"Ini Mam, si Ratna numpahin kopi ke tangan Very sampai merah gitu," adu Febi pada maminya.

Tanpa terduga, tiba-tiba Tante mendorong Ratna yang tengah berjongkok meniupkan tanganku yang terasa panas dan terbakar hingga terjengkang ke belakang. Aku terkejut bukan kepalang melihat hal itu.

"Dasar perempuan enggak guna! Bisanya apa sih, kamu? Jadi ART saja tidak becus apalagi jadi menantu!" maki wanita sosialita itu dengan tatapan nyalang ke arah Ratna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status