Waduh.... Apakah Febi akan benar-benar menalak Ratna?
"Tutup mulutmu dan jangan asal bicara! Kamu tau kan, papiku itu orangnya seperti apa? Dia paling gak suka dibantah, keputusan yang sudah diambil tidak bisa diganggu gugat. Kalau tidak, sudah dari dulu aku menolak untuk menikahimu." Ia mendekat ke arahku. "Jangan-jangan karena kamu kemarin bermalam di villa sama Very, terus timbul rasa suka makanya sekarang kamu minta pisah dariku lalu mau menikah dengannya, iya?" sangkanya berang. Aku menggeleng cepat sebagai bentuk penolakan atas ucapannya yang tidak benar. "Apalagi Very itu seorang CEO yang tampan, single dan juga perhatian sama kamu. Makanya kamu langsung kepincut," terkanya lagi dengan mulut menyeringai. "Bukan itu alasanku, tapi banyak pertimbangan yang membuatku ingin mundur dari pernikahan ini. Terutama mamimu yang tidak pernah suka sama aku dan kerap bersikap kasar dan semena-mena sama aku," ucapku apa adanya dengan suara yang bergetar. "Jangan suka berdalih, mami tidak seperti yang kau tuduhkan. Beliau wanita terhormat
Saat membuka mata ternyata aku sudah berada di ruangan rumah sakit. Apa yang terjadi denganku?"Ratna ... Alhamdulillah kamu sudah sadar." Ternyata di ruangan ini hanya ada Mas Very yang tengah duduk di samping tempat tidurku."Mas Febi mana?" Netraku menyapu pandangan mencari sosok suamiku yang harusnya ada di sini."Tadi Febi keluar katanya mau beli makanan dulu." Lelaki ini menatapku lekat.Aku mengangguk pelan dengan senyum tipis yang kuperlihatkan. "Mas Very kenapa bisa tahu kalau aku ada di sini?""Tadi aku dengar saat Febi menerima telefon dari maminya, katanya kamu pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Terus aku minta ngikut saat Febi izin mau ke sini," paparnya menjelaskan."Kamu sebenarnya kenapa bisa sampai pingsan gini? Kamu sakit?" cecar Very ingin tahu."Iya, Mas. Hari ini aku lagi gak enak badan, tulang-tulangku berasa r3 muk dan sakit. Tapi, Mami m4 ksa nyuruh aku ngerjain semua pekerjaan rumah. Dan terakhir aku j4 tuh dari tangga, terus aku sudah gak ingat la
"Aku sudah mengatakan itu pada Mas Febi, tapi dia menolak." Aku gugup berhadapan dengan Mas Very.Wajahnya kini mendekat ke arahku, dua pasang mata saling bertukar pandang. Desir d4r ahku mengalir der as, serta degup jantungku memompa lebih cepat dari biasanya. "Kenapa katanya? Buat apa dipertahankan pernikahan toxic kayak gitu?" Pandangannya semakin lekat menatapku, Dan tangannya mmb3lai pucuk kepalaku yang tertutup hijab. "Mas Febi takut sama Papinya, karena Beliau tak menginginkan perc3 raian. Papi merasa bertanggung jawab atas hidupku setelah ibuku tiada, apalagi aku sekarang hidup seb4 tang kara," paparku lirih." Ya udah, kamu tidur sekarang! Dah malam noh. Kamu gak usah takut, aku akan menjagamu di sini dan aku tidak akan berbuat macam-macam sama kamu," ucapnya dengan senyum meneduhkan.Tak terasa tengah malam aku terjaga dari tidurku, karena ingin buang air kecil. "Ratna, mau ngapain?" Suara itu terdengar nyaring hingga aku terlonjak kaget dan segera menoleh."Aku mau ke to
"Oh, jadi, diam-diam loe naksir Ratna? Sejak kapan?" Mas Febi mendorong kasar tubuh Mas Very hingga mundur beberapa langkah."Lo tidak perlu tahu."Mas Very menatap nyalang ke arah suamiku."Loe mau jadi pahlawan kesiangan?" Kini Mas Febi mendekati Mas Very seolah ingin menantang."Aku hanya ingin melindungi orang yang aku sayang, apakah itu salah?" "Kamu tanya? Kamu bertanya-tanya? Hei bro, Ratna itu istri gue, lo gak berhak dan gak perlu melakukan itu. Itu biar menjadi urusan gue!" "Mas Febi ... sudah, jangan berantem! Ini kantor, gak enak dilihat orang," ucapku melerai perdebatan sengit mereka." Dan kamu __ Mentang-mentang aku tidak pernah menyentuhmu, lantas kamu godain temenku minta dib3lai, iya?! Dasar perempuan gatal!' Lelaki yang bergelar suami itu kini murka dengan tatapan nyalang ke arahku seraya menggerak-gerakkan telunjuknya tepat di depan wajahku kemudian berlalu pergi menuruni anak tangga.Kenapa dia ngomong seperti itu di depan sahabatnya, dan ini tempat umum. Kala
Buuugghh!!Bogem mentah spontan melayang ke pipi Very hingga membuatnya tersungkur di lantai. Tangan kekarnya mampu membuat darah segar keluar dari sudut bibirnya."Apa loe bilang? Ayo, ngomong sekali lagi! Biar gue hajar loe sampe bonyok!" Kedua tangan Febi mencengkeram kerah kemeja Very dengan tatapan nyalang penuh amarah."Gue ngomong apa adanya. Dari pada loe sia-siakan Ratna dengan tidak memenuhi haknya, lebih baik loe lepasin aja dia." "Gak usah loe ceramahin gue! Lebih baik diam!" Kedua tangan Febi mendorong kasar dada bidang lelaki yang dibawah cengkeramannya hingga dia terlentang di lantai granit berwarna cokelat susu itu Suami dari Ratna itu berlalu meninggalkan Very yang masih tergeletak di lantai begitu saja lalu beranjak menuju ruangannya. "Pak, Bapak kenapa mulutnya berdarah? Siapa yang melakukannya?" tegur sekertarisnya di kantor yang biasa ia panggil dengan nama Amanda. Dia melintas di depannya. Tangannya dengan sigap menyeka darah yang mengalir di sudut bibir Ve
"Ratna! Dengarkan aku baik-baik! Aku terpaksa nikahi kamu ya! Jadi, kamu jangan kepedean merasa aku bakal mencintaimu dan memperlakukanmu seperti seorang istri pada umumnya. Pernikahan kita hanya sebatas di atas kertas, tidak lebih!" Wajah lelaki yang dua pekan lalu telah menghalalkanku begitu sinis dengan tatapan mata elang yang siap menerkam mangsanya.Dengan buru-buru ia melepas jas hitam berikut kemeja putih yang telah dipakainya saat kerja tadi. Lalu melemparkannya sembarang di atas kasur. Dan segera berganti baju dengan baju santai.Aku terdiam, tertunduk pilu menatap kebaya putih yang hari itu aku kenakan usai acara paling sakral di dalam hidup. Aku terpaku di sisi ranjang dengan dada yang bergetar, mengabaikan ucapannya yang tidak enak didengar. Pantas saja selama dua pekan kami menikah, sikapnya selalu dingin dan cenderung kasar. Ya, ternyata dia menikahiku karena terpaksa. Harusnya aku menolak saja dulu.Bukan pernikahan seperti ini yang kuharapkan. Bahkan, bermimpi pun aku
"Mi, jangan begitu, ngomong baik-baik 'kan, bisa. Kasihan Ratna," tegur suaminya dengan halus. Papi terlihat canggung di antara banyak tamunya. Wajahku terasa panas sekali, mungkin sudah merah padam karena malu diomeli di hadapan orang-orang asing seperti ini."Biarin saja, Pi. Biar dia sadar diri dan lebih hati-hati lagi. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi," bantah Mami tidak terima."Maaf, Mam. Aku tidak sengaja," sahutku dengan tenggorokan yang tercekat menahan tangis."Kamu cepat beresin sampai bersih sebelum mengenai kaki orang! Dan kamu tidak usah ikut makan di sini!" usirnya dengan tegas penuh emosi.*****Pov Very :Aku tidak menyangka kalau Tante Kartika tidak menyukai Ratna. Sikapnya begitu kasar membuatku terenyuh dan ingin menolongnya. Tapi, aku enggak enak pada keluarga Febi, takut dikira pahlawan kesiangan.Sejak dulu aku sudah menaruh hati padanya, hanya saja aku belum berani mengungkapkannya mengingat dia orangnya pendiam. Aku takut dia bakal marah, akhirnya ras
"Dasar perempuan enggak guna! Bisanya apa sih, kamu? Jadi ART saja tidak becus apalagi jadi menantu!" maki wanita sosialita itu dengan tatapan nyalang ke arah Ratna.Aku iba melihat Ratna diperlakukan demikian. Spontan aku pun beranjak dan menghampiri wanita yang aku sayangi terjungkal ke belakang. Aku berusaha untuk menolongnya."Sini, biar aku bantu!" Aku membantu istri dari Febi itu bangun, kupegangi punggungnya hingga berdiri."Terima kasih ya, Mas," lirihnya dengan wajah kaku seakan menahan malu dan pilu. Aku berusaha tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban atas ucapannya.Mertua dari Ratna mencebik sambil menatap sinis ke arah menantunya. Mengapa beliau terlihat begitu benci?"Biarin ajalah Ver, nanti dia malah ge__er," protes mertuanya itu seakan tidak setuju ada orang lain berempati kepada sang menantu."Sudah ... kamu mendingan masuk terus ganti baju, gih," saranku pada Ratna. Aku tidak tega melihatnya diperlakukan tidak semestinya seperti ini.Kemudian istri dari sahaba