"Maas Very .... Mas Very sedang apa di sini?" Sontak aku terlonjak melihat kehadirannya di depan mata, senyum manisnya terlempar ke arahku begitu ikhlas."Aku janjian ketemu klien di sini, tapi dia belum datang." Tangannya bergerak cepat membantuku memunguti belanjaan yang berserakan di lantai." Kamu sama siapa ke sini?""Ooh. Aku tadi sama Mami dan juga Alexa, tapi mereka jalannya cepat sampai aku buru-buru ngejar. Alhasil aku terjatuh hingga barang bawaanku berantakan kayak gini," umpatku dengan wajah malu karena dia menatapku terus."Belanjaannya banyak banget sih, sampe kamu kerepotan kek gini?" protesnya lagi."Iya, soalnya Mami semalam dikasih duit sama Papi buat belanjain aku," cicitku seraya beranjak bangun."Oh, ya udah sini, biar aku bantu bawain." Tangannya terulur meraih paper bag dari tanganku. "Katanya Mas Very mau janjian sama orang, nanti kalau dia nyariin gimana? Sudah, sini biar aku saja yang bawa." Tanganku meraih lagi paper bag yang ia pegang, tapi dia menolaknya
"M_Mas Very! Mas Very da_tang ju_ga?" Suaraku tergagap melihat kedatangannya yang tiba-tiba.Pikiranku sudah kemana-mana keingat film-film horor di tv. Sesaat dalam hati aku merasa lega melihat kedatangannya. Sontak aku bergegas berdiri dengan mengibas-ngibas gamis yang tertempel debu."Iya, aku juga diundang, kan, dia karyawanku," tukasnya santai seraya menyodorkan air mineral ke hadapanku. "Kamu ngapain di sini sendiri? Kenapa gak nemenin suamimu di dalam? Aku lihat tadi dia lagi ngobrol sama Amel," pekiknya dengan mengerutkan dahinya seraya menatap mataku penuh telisik."Mas Febi yang nyuruh aku di sini, dia malu mengajakku ke dalam takut banyak pertanyaan dari rekan-rekannya," cicitku menimpali dengan nada kesel campur jengkel."Lah, malu kenapa? Kalian kan, sudah nikah?" sanggahnya dengan nada tak percaya."Dia malu karena aku tak secantik dan semapan Amel," cicitku lagi seraya melirik ke arahnya."Kata siapa?" bantahnya lagi seraya menyilangkan kedua tangannya di dada dan berd
"Mas ...! Aku ini istri kamu, gimana bisa aku tidur dan hamil dengan lelaki lain? Kamu anggap aku ini apa, hah!!" Langkahku mendekat ke arahnya"Iya, istri bayangan. Aku sama sekali tak mencintaimu, sekarang dan seterusnya. Dan aku gak mau memberimu nafkah batin." Dia mendelik ke arahku."Kewajiban seorang suami itu bukan hanya memberi nafkah lahir aja untuk istrinya, Mas, tapi juga nafkah batin." "Oh ... jadi, kamu ngebet, minta disentuh, iya?!" Langkahnya cepat ke arahku.Tangannya dengan cepat menarik bajuku dengan kasar hingga terkoyak, lalu tangan kekarnya menyeretku ke kasur dan menjatuhkan tubuhku begitu saja. "Ini, yang kamu mau, kan? Ya, udah, ayo, kita lakukan sekarang!" sarkasnya dengan suara bariton."Sudah, Mas, cukup ... , hentikan! Bukan seperti ini yang aku mau ...," cegahku dengan mendorong dadanya hingga dia terpental ke kasur."Lalu ... seperti apa?" cebiknya kesal dengan tatapan nyalang ke arahku. Aku terisak lalu menutup mata,Karena dia tak ikhlas menjadi suami
"Hai, sayang." Amel bergegas menghampiri Mas Febi, dia tak sungkan langsung cipika-cipiki. Issshh ... bikin aku muak ngeliat kemesraan mereka, gak dimana-gak dimana selalu mereka janjian. Dasar cewek gak tahu malu, sudah tahu sekarang Mas Febi sudah menikah. Masih aja nempel-nempel.Teman-teman yang lainnya juga menyambut kedatangan suamiku dengan ramah. Aku terus diam, mengekor di belakang lelaki yang tak punya perasaan ini. Mereka juga tersenyum ramah saat melihatku seraya menganggukkan kepalanya sebagai sapaannya."Hai, Bro, siapa tuh?" tanya salah satu temannya sambil menatap ke arahku. "Bukan siapa-siapa, dia cuma pembantu di rumah gue," jawab lelaki yang sudah menikahiku dengan pongah tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.Astaghfirullahaladziiim ... Mas, kamu tega banget berkata seperti itu, kamu tak menghargai perasaanku sedikit pun. Hatiku sakit mendengar penuturannya barusan. Dasar, lelaki angkuh. Aku hanya bisa menjerit dalam hati, tak bisa mengungkapkan penolakanku sekara
"Sudah, biarkan saja, jangan kamu pedulikan!" tuturnya lembut seraya mengelus kepalaku.Aku terisak dalam pelukannya, meski aku sadar perbuatanku dosa karena berpelukan dengan lelaki yang bukan muhrimku. Apalagi di sini ada suamiku sendiri, tapi apa boleh dikata. Aku butuh sandaran untuk melepas beban yang menyesakkan dada."Sudah, ayok, pulang sekarang, nanti Papi nungguin!" Tangan kekar suamiku tiba-tiba menarik lenganku, sontak membuatku langsung menoleh dan dengan segera aku beranjak bangun.Dia tak peduli pada Amel dan juga teman-temannya yang sedari tadi melihat aksinya yang secara tiba-tiba menarikku dengan paksa.Dia berjalan menuju parkiran mobil, aku berusaha mensejajarkan langkahku dengannya agar tidak terkesan sedang diseret paksa. Tak kuduga ternyata Mas Very mengikuti kami di belakang."Febi! Jangan kasar sama Ratna!" teriak lelaki yang kini mengikuti kami di belakang. "Loe ngapain ngikut ke sini? Jangan bilang mau jadi pahlawannya Ratna!" Mas Febi menatap sengit ke
"Nak Very, tumben malam-malam ke sini, ada urusan kerja?" tanya Papi dengan wajah yang bersahabat."Eh, Om, enggak kok, Om. Aku ke sini mau ada perlu sama Om," sahutnya dengan ekspresi yang kaku."Loh, kok, sama Om. Ada apa ya? Om jadi penasaran nih? Ya, udah, ayok kita ke ruang tamu!" Aku dan Mami hanya diam, kami saling bertukar pandang. Menyelami pikiran masing-masing dengan gurat penuh tanya. Sedangkan suamiku sedari tadi berdiri tak jauh dari Mas Very, dia hanya diam. Namun, dari ekspresinya terlihat rona bahagia.Mungkin kedatangan Mas Very ke sini mau membahas soal ajakan suamiku tempo hari yang katanya mau meminangku. Karena cinta suamiku yang terlalu besar pada kekasihnya hingga ia ingin segera melepasku pada lelaki lain.Kuikuti takdir-Mu Ya Robby, kupasrahkan semuanya hanya kepada-Mu. Hanya Engkau yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk para hamba-Mu."Ratna, ada apa ya Nak Very ke sini? Apa Febi cerita sesuatu sebelumnya sama kamu?" tanya Mami dengan penasaran."Enggak tah
"Mas Fe_bi? Ngapain Mas Febi ke sini?" pekikku seraya mengucek-ngucek mataku yang masih sepet karena barusan sempat tertidur. Aku tak percaya dia datang menjemputku." Aku disuruh Papi jemput kamu di sini. Kamu ngapain di sini lama-lama? Sudah, ayook pulang! Bentar lagi Magrib," tegurnya kemudian dengan tatapan serius ke arahku. Pandangannya menyisir ke arah sekitaran makam."Aku kangen sama Ibu, Mas, aku masih pengen di sini nemenin Ibu. Mas Febi mendingan pulang sana!" jawabku dengan nada malas, kedua tanganku masih memeluk erat nisan ibuku. Rasanya enggan untuk beranjak."Nanti aku yang dimarahi Papi kalau kamu gak ikut pulang," paksanya dengan menarik lenganku."Iya memang hanya Papi yang peduli dan perhatian sama aku," ketusku yang masih kekeh duduk di tanah makam Ibu."Maksud kamu, aku enggak peduli gitu, sama kamu? Aku juga mau jemput kamu ke sini karena peduli, kalau aku gak peduli mah mana mau aku ke sini! Sudah, ayok pulang, hari sudah mulai gelap. Kamu gak takut apa lama-l
"Ratna, sudah ditungguin Very di bawah." Lelaki yang semalam sudah melepaskan ikatan suci pernikahan kini berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya begitu ceria dan berbinar, seakan begitu bahagia dengan melepasku."Iya, Mas tunggu sebentar!" Kuarahkan wajahku ke sembarang arah, rasanya aku sudah malas menatap wajahnya."Kamu gak usah hawatir, Very itu orang baik. Dia pasti mau menjagamu, kalau dia macam-macam gak usah sungkan telefon aku!""Kamu gak usah pedulikan aku dan gak perlu repot-repot, kini kita sudah tak ada hubungan lagi." Aku bergegas melangkah melewatinya setelah tadi berpamitan dengan mencium tangannya untuk terakhir kalinya.Langkahku cepat seraya menenteng ransel dan tas kecil dengan menuruni anak tangga menuju ruang tamu di mana Mas Very menungguku. Mas Very sudah menungguku di ruang tamu bersama Papi dan Mami."Kamu sudah siap? Apa mau jalan sekarang?" tanya lelaki yang sudah begitu baik dan peduli sama aku."Iya, Mas, kita jalan sekarang aja," sahutku lirih.Aku b
Hari-hari setelah melahirkanAku, Ratna, terbaring di ranjang rumahku yang terasa lebih hangat dari sebelumnya. Rasanya tubuhku masih sangat lelah setelah proses melahirkan yang begitu panjang dan menguras tenaga. Namun, ada sesuatu yang membuatku merasa lebih hidup dari sebelumnya—sebuah kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Putra pertama kami, Amran Zakir Pratama, kini ada di dunia ini, dengan wajah yang begitu mirip dengan suamiku. Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa aku, Ratna, kini menjadi seorang ibu.Dari tempat tidurku, aku bisa melihat Very, suamiku, yang duduk di sampingku dengan senyum bangga terpancar di wajahnya. Matanya penuh dengan kasih sayang, dan setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti menjadi pusat dunia ini.“Sayang, kamu nggak capek kan?” tanya Very lembut, tangannya mengelus lembut rambutku yang acak-acakan. Ia selalu begitu perhatian, dan saat itu aku merasa betul-betul dimanjakan.Aku tersenyum lemah, meski masih kelelahan. “Sedi
Malam yang MengusikAku sedang duduk di sofa ruang keluarga, menonton acara favorit di TV sambil menikmati sisa malam yang tenang. Very, suamiku, duduk di sebelahku sambil memainkan ponselnya. Bi Sukma, asisten rumah tangga kami, baru saja selesai merapikan dapur. Di luar, suasana sunyi, hanya suara jangkrik yang samar terdengar.Namun, ketenangan itu terusik ketika suara bel pintu berbunyi. Very mengangkat kepala, menatapku sejenak sebelum akhirnya bangkit dengan malas.“Aku yang buka,” katanya sambil melangkah menuju pintu.Aku mengangguk sambil mengalihkan pandangan kembali ke TV. Tak lama, aku mendengar suara familiar dari arah pintu."Febi? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Very dengan nada heran.Aku melirik sekilas. Febi, sahabat Very, berdiri di depan pintu dengan wajah yang tampak kusut."Gue lagi suntuk banget di rumah, Ver," kata Febi setelah melangkah masuk. "Amel lagi sensitif, bawaannya marah-marah terus. Gue nggak tahu mau ngomong sama siapa, jadi gue ke sini aja."Ve
Aku melangkah keluar dari kamar tidur, menyusuri lantai marmer yang dingin menuju ruang tengah. Rumah ini terasa begitu luas, terlalu besar untuk hanya aku tempati bersama Mas Veri. Tapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai setiap sudutnya. Cahaya matahari pagi masuk menembus jendela besar yang menghadap taman belakang, memberikan nuansa hangat pada ruangan.“Ratna, mau sarapan apa hari ini, Nak?” suara lembut Bi Sukma terdengar dari dapur.Aku tersenyum dan melangkah mendekat. Bi Sukma sudah sibuk dengan apron merah mudanya, memotong buah di meja dapur. Kehadirannya di sini membuatku merasa lebih nyaman, seolah aku punya ibu kedua yang selalu siap menemani.“Apa aja yang ringan, Bi. Aku nggak terlalu lapar. Toast sama teh aja, ya,” jawabku sambil mengambil kursi di meja makan.Bi Sukma tersenyum lembut, wajahnya penuh kehangatan. “Baik, Nak. Veri nggak bilang mau makan di rumah?”Aku menggeleng. “Kayaknya enggak. Biasanya dia makan siang di kantor.”Bi Sukma mengangguk. “Syukurlah
Hari ini adalah hari besar untukku dan suamiku. Setelah menabung bertahun-tahun dan kerja kerasnya sebagai seorang CEO, kami akhirnya bisa pindah ke rumah baru. Rumah megah di kawasan elit, lengkap dengan halaman luas dan interior serba mewah. Aku memandangi pintu besar di depanku dengan campuran rasa bahagia dan gugup. Rasanya seperti mimpi.“Ratna, ayo masuk,” panggil Mas Very, membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan melangkah masuk, disambut oleh keramaian suara keluarga dan rekan-rekan Mas Very yang ikut membantu hari ini. Semua barang sudah tertata rapi, seperti yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan aroma harum bunga segar dari vas di ruang tamu sudah mengisi ruangan.Acara syukuran dimulai dengan doa yang dipandu oleh Pak Kyai setempat. Suaranya lembut dan penuh khidmat, memohonkan kedamaian dan keselamatan untuk rumah ini dan semua yang tinggal di dalamnya. Aku mengatupkan kedua tanganku di atas perutku yang sudah membesar, merasakan tendangan lembut dari bayi kami."
“Kerja terus malam-malam begini, Mas?” tanyaku sambil melirik ponselnya.Mas Very hanya tersenyum sekilas. "Iya, ada laporan yang harus kukirim."Namun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Di layar, aku sempat melihat nama Arina muncul sebelum dia buru-buru mengangkatnya. Jantungku berdegup lebih cepat. Siapa dia? Kenapa menelepon suamiku selarut ini?Aku mencoba memasang wajah biasa saja, tapi sulit. Rasa cemburu menjalar pelan-pelan di hatiku. Kuamati cara Mas Very berbicara—nada suaranya rendah, seolah tidak ingin aku mendengar.Setelah dia selesai, aku langsung menyelidik, "Arina? Siapa itu, Mas?"Mas Very menatapku dengan tenang, lalu tertawa kecil sambil mengacak rambutku. "Sayang, jangan cemburu, dong. Itu Arina, karyawati di kantor. Dia cuma mau memastikan soal dokumen untuk besok."Aku tidak yakin. "Tapi, kenapa harus malam-malam begini? Kan, bisa besok pagi di kantor."Melihat ekspresiku yang berubah, Mas Very segera memelukku erat. "Sayangku, kamu lagi bawa dede bayi, ya, jadi se
Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap jam di tanganku yang berdetak lambat. Sudah lima belas menit sejak aku mengirim pesan kepada Mas Very. Aku tahu dia pasti sedang bergegas pulang, apalagi sejak aku memasuki trimester terakhir kehamilan. Mas Very selalu khawatir dan memastikan aku tidak terlalu banyak beraktivitas.Pintu depan terbuka perlahan, dan aku mendengar langkah kaki yang sangat kukenal. "Ratna?" panggilnya dengan suara lembut."Aku di sini," jawabku, mencoba terdengar biasa saja meskipun dadaku terasa sesak karena capek.Mas Very langsung menghampiri, duduk di sampingku sambil memperhatikan wajahku yang mungkin terlihat tegang. "Kenapa? Kamu kelihatan aneh," tanyanya, menggenggam tanganku dengan erat. "Kamu capek?"Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk jujur. "Tadi Febi ngajak ketemu."Alisnya langsung bertaut. "Febi? Mantan suami kamu?" Nada suaranya berubah, terdengar waspada sekaligus cemburu."Dia bilang sesuatu yang ... bikin aku bingung." Aku menunduk, menghindari t
Rumah Baru untuk Kebahagiaan BaruMatahari sore memancarkan sinar keemasan, memberikan suasana hangat di sekitar kawasan elit yang penuh dengan rumah-rumah mewah. Di antara bangunan megah itu, Very menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah besar dengan desain modern. Ratna, istrinya yang sedang hamil tujuh bulan, duduk di sampingnya dengan raut wajah penuh penasaran."Ini rumahnya, Sayang," kata Very sambil tersenyum hangat. Ia turun dari mobil lalu membuka pintu untuk Ratna.Ratna keluar dengan perlahan, tangannya memegang perut yang mulai membesar. "Ini ... rumah kita?" tanyanya dengan nada tak percaya.Very mengangguk, matanya berbinar-binar melihat ekspresi kagum di wajah istrinya. "Iya, untuk kamu dan calon anak kita. Kamu suka?"Ratna terdiam sejenak, matanya menjelajahi setiap sudut rumah yang terlihat megah bahkan dari luar. "Suka? Aku ... aku bahkan nggak tahu harus ngomong apa. Ini luar biasa, Mas Very. Kamu benar-benar serius melakukan ini semua untukku?"Very mendekat d
"Sayang, Mas sudah siapkan rumah buat keluarga kecil kita yang agak besaran biar nanti kalau dedenya sudah lahir bisa leluasa maen." Lelaki yang sebentar lagi mau jadi Ayah begitu antusias bercerita sambil terus mengelus perutku yang sudah mulai membuncit."Ngapain sih, Mas beli rumah lagi? Di sini juga kan, enak dan cukup buat keluarga kecil kita?!" Tanganku mengelus kepalanya yang masih fokus dan gak mau lepas dari perutku ini. Dia terus menciumi dede yang masih dalam kandunganku seakan tak sabar menunggu kehadirannya."Rumah ini terlalu kecil buat anak kita maen, sayang. Yang pasti nanti anak kita bakal berlarian ke sana ke mari, dan itu membutuhkan tempat yang cukup luas serta perlu kamar khusus buat tempat maen." Wajahnya didongakkan menghadapku sambil menjawil daguku gemas."Ya, sudah terserah Mas saja," balasku pasrah."Nah, gitu dong. Masa CEO properti rumahnya kecil dan jelek, malu dong," sanggahnya.Aku senang mendengarnya, suamiku ternyata begitu perhatian dan peduli sama a
"Gue ngerasa jenuh dan bosan ngejalani rumah tangga yang kayak gini, gak ada warna." Ia menjambak rambutnya kasar, kecewa terpancar jelas dari wajahnya."Kenapa loe ngomongnya gitu? Itu kan, keputusan dan pilihan loe sendiri? Kenapa mesti bosan?" Very menatap lekat wajah sang sahabat. Ia ikut merasakan apa yang ia rasakan."Iya, sih, memang. Cuma dulu waktu masih pacaran semua terasa indah dan menyenangkan, karena Amel bisa membuat gue merasa nyaman berada di sisinya. Tapi setelah nikah keadaan berubah, Amel jadi wanita yang membosanku. Sikapnya yang jutek dan kasar membuat gue jengah dan muak. Dan juga dia banyak menuntut ini dan itu yang sekiranya di luar batas kemampuan." Sang pelayan kantin datang membawa makanan yang mereka pesan. Sambil makan mereka terus bercerita, saling tukar pengalamannya selama menikah tanpa ada yang ditutup-tutupi karena mereka bersahabat sudah lama. Sudah tak ada lagi kata malu atau canggung."Ya, itu karena loe dalam menilai cewek dari parasnya dulu, ga