"Ratna, kamu sudah mulai sok-sokan ya tinggal di sini? Sudah mulai bertingkah?" Mami menatapku dengan nyalang.
Seketika sekujur tubuhku lunglai bagai tidak bertenaga. Pagi-pagi kondisi perut masih kosong tapi beliau memberiku sarapan kata yang cetar. "M_maksud Mami apa?" Aku pura-pura tidak tahu, padahal aku sudah mendengar dan melihat semuanya. "Alah, kamu tidak usah pura-pura tidak tahu! Aku sudah dengar semuanya." Langkahnya semakin mendekat ke arahku lalu merebut kain lap yang aku pegang dan langsung melemparkannya lagi ke mukaku. Sungguh tega perlakuan Mami Mertuaku itu, padahal itu lap kotor agak basah bekas mengelap kompor. Namun, aku hanya bisa beristighfar dalam hati tanpa mampu membalasnya. Beliau langsung berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkan aku yang masih bergeming meratapi nasib baik yang tidak berpihak padaku. Menit kemudian, Mba Ina dan Mba Yati datang menghampiriku dengan tatapan sinis dan senyum menyeringai. "Emang enak ... dimarahin Nyonya?" ledek Mba Ina. "Rasain kamu! Makanya jangan berani sama kita, iya enggak Mba Ina?" lirih Mbak Yati dengan menatap ke arah Mba Ina sambil menaik turunkan alisnya. Ya Allah, tega banget mereka sama aku, padahal aku tidak pernah mengusik mereka. Dua ART itu berlalu ke belakang melewati pintu dapur. Biasanya jam segini mereka menyapu halaman belakang. "Feb, itu panggilin istrimu suruh sarapan sama-sama di sini! Jangan sibuk di belakang mulu, memangnya pembantu?" titah Papi mertuaku begitu nyaring hingga aku bisa mendengarnya dari dapur. "Pi, biarin, napa. Orang dia pantasnya makan di belakang juga," protes Mami dengan mulut mencebik. "Mi, jangan gitu, sama menantu sendiri," sanggah Papi tidak terima. "Iya, Pi, sebentar," jawab sang putra halus. "Hei, dipanggil tuh, sama Papi suruh sarapan bareng!" panggil suamiku. Ia tahu-tahu sudah berdiri di belakangku. "Iya sebentar, aku cuci tangan dulu," sahutku dengan bergegas mencuci tanganku di keran wastafel. Aku berjalan mengekor dengan langkah cepat mengimbangi langkahnya. Kutarik kursi ke belakang lalu mendaratkan bobot di sana. Tatapanku mengedar mengelilingi mereka yang sudah duduk lebih dulu. Ada Papi yang duduk di kursi tengah sebagai kepala keluarga, di sisi kanan ada Mami dan putrinya_Aleksa, serta di sisi kiri ada putra mereka yang tak lain adalah suamiku. Dan aku duduk di sebelah suamiku. "Ratna, makan yang banyak ya, tidak perlu malu-malu!" titah Papi saat aku tengah menyendok nasi berikut lauknya. "Iya, Pi," lirihku sambil mengangguk. "Feb, hari ini kamu jadi bulan madu?" tanya Papi sambil terus menyendokkan nasi ke mulutnya. "Jadi Pi, cuma nanti berangkatnya jam dua siang. Pagi ini aku ke kantor dulu mau merekap hasil kerja kemarin biar enak pas ditinggal," terangnya santai. "Oh, ya sudah. Terus kamu jadinya ke mana?" tanya Papi lagi dengan wajah serius menatap ke arah putranya. "Ke villa punya kita ajalah, Pi. Tidak perlu jauh-jauh, capek di jalannya," papar Mas Febi. Sekilas aku menatap ke arah Mami mertua, wajahnya tidak senang mendengar aku dan Mas Febi mau bulan madu. "Papi harap setelah kalian bulan madu bisa segera ngasih Papi cucu," ucap Papi dengan sorot penuh harap dan wajah yang berbinar. "Uhuk ... uhuk ...!" Aku tersedak sebab mendengar ucapan itu. "Apaan sih, Pi. Orang aku belum pengen punya anak juga, aku masih pengen bebas, pengen ngejar karir juga. Aku tidak mau diribetin soal anak dulu," tolak Mas Febi dengan menautkan kedua alisnya yang tebal. "Punya anak sama ngejar karir itu bisa berjalan beriringan, lagian punya anak juga nanti bisa pakai baby sitter. Ribet di mananya?" sanggah lelaki berkepala botak separoh itu tidak mengerti jalan pikiran putranya. "Ya ... pokoknya ribet deh, kalau sudah ada anak. Kita tidak bebas seperti dulu, ke mana-mana pasti anak itu minta ngikut. Belum nanti kalau dia nangis mulu," kelit suamiku memberi alasan. * Pukul 11 siang, aku sudah berada di kamar untuk istirahat setelah dari pagi berkutat membersihkan seisi rumah. Meskipun ada dua ART di sini, Mami lebih sering menyuruhku dan membiarkan mereka berleha-leha di kamar. Terlebih kalau suaminya tengah istirahat atau tidak ada di rumah, tenagaku lebih lagi diperas macam kerja rodi. "Ratna ...! Ratna ...!" Baru juga mau memejamkan mata, teriakan dari balik pintu membuat netraku membuka paksa. Dengan langkah gontai aku segera membuka pintu kamarku. "Ma_mi, ada apa, Mi?" lirihku sembari mengumpulkan tenaga. "Ratna, ini kamu minum setiap hari dan jangan sampai lupa, ingat itu! Aku tidak mau punya cucu yang lahir dari rahim orang miskin sepertimu karena keluargaku ini keturunan orang terhormat, terpandang dan berkelas!" titahnya dengan menekan setiap kata yang terucap dan tatapannya terlihat sengit ke arahku. Netraku langsung menatap box yang tertulis pil KB andalan, hatiku langsung berdenyut nyeri. Bukankah tujuan pernikahan itu salah satunya adalah untuk mendapatkan keturunan? Lalu untuk apa pernikahan ini? "Ini untuk apa, Mi?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal aku sudah sering lihat obat ini di laci ibuku. Katanya agar tidak hamil karena memang keluargaku hidup serba kekurangan jadi beliau tidak mau menambah anak lagi, cukup aku anaknya. "Pake na_nya lagi, memangnya kamu tidak bisa baca? Di situ ada bacaannya biar kamu nanti tidak hamil meskipun sudah berhubungan," bentaknya disertai dengan tatapan mata nyalang seperti singa yang mau menerkam. Setelahnya beliau langsung berbalik badan dan segera pergi dengan langkah anggun sebagaimana sosialita pada umumnya. Sementara aku masih tertegun di ambang pintu sambil menatap lekat box pil KB yang aku pegang. Tidak berapa lama aku menutup pintu lalu merebahkan tubuhku di atas ranjang. Rasa capek, lelah hati, pikiran, dan tenaga semua menyatu. Komplit sudah penderitaanku hidup berumah tangga dengan orang berada. Perlahan rasa kantukku menyapa hingga tidak menunggu waktu lama mataku sudah terpejam. Entah berapa jam aku tertidur, kemudian terbangun saat mendengar Mas Febi tengah menelepon seseorang. "Mas, sudah pulang?" tanyaku kaget saat melihatnya sudah berganti baju. "Sudah dari tadi. Buruan siap-siap, kita jalan sekarang!" titahnya sambil membenarkan posisi jam tangannya. Gegas aku turun dari ranjang menuju kamar mandi, dan setengah jam kemudian aku sudah siap. "Ini kamu bawa kopernya!" perintahnya lagi. "Iya, Mas," sahutku cepat. Aku dan Mas Febi lekas keluar dari kamar menuruni anak tangga dan menghampiri Papi dan Mami yang tengah duduk santai di ruang keluarga. "Selamat berbulan madu ya, semoga cepat kasih kabar baik buat Papi," cakap Papi dengan wajah yang berbinar. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapannya. Mas Febi terlihat tidak suka mendengarnya, ekspresi pria itu datar dengan senyum yang dipaksakan. Sementara Mami terlihat fokus menatap layar TV dan enggan untuk berbasa-basi. Setelah pamit pada mereka, kami langsung jalan menuju villa milik keluarga suamiku. Mas Febi mengemudikan sendiri mobil mewahnya. Katanya butuh waktu dua jam untuk sampai ke tempat tujuan. "Berapa lama lagi sampainya, Mas?" tanyaku tidak sabar karena ini kali pertama aku mau ke villa membuatku penasaran tentang suasana di sana. "Tuh, di depan sudah sampai!" Pandangannya terarah ke depan berisyarat kepadaku. Benar saja dia memelankan laju kendaraan dan langsung masuk ke halaman rumah yang nampak luas. Pemandangan di sana terlihat begitu cantik. Sebentar, itu kenapa ada mobil yang sudah terparkir lebih dulu di sini? Mobil siapa ya? Bukankah ini acara bulan maduku dengan Mas Febi?"M–Mas, siapa wanita itu? tanyaku saat sudah berada di dekat wanita yang tengah duduk di teras dengan koper yang berdiri di sampingnya."Oh, iya, kenalin ini pacarku dan dia mau menemaniku di sini," pungkasnya tanpa beban membuatku terperangah, apalagi saat wanita dengan pakaian kurang bahan itu kini mendekatinya, lalu tangannya bergelayut manja di lengan suamiku."Mak–ud–nya apa, Mas?" tanyaku tergagap dengan pandangan tidak lepas menatap dua manusia di depanku yang bersikap seakan tidak tahu etika.Bagaimana tidak, Mas Febi itu sudah menikah dan sekarang aku dan dia mau bulan madu di sini. Tapi kenapa dia datang kemari sambil membawa koper? Jangan bilang, kalau dia berniat untuk mengganggu acara bulan maduku."Maksudnya, nanti aku tidur sama dia dan kamu tidur di kamar sebelah. Ingat ya, kita ke sini bukan untuk bulan madu, kamu jangan pernah berharap. Ini semua kulakukan hanya di depan Papi, karena aku tidak enak kalau menolaknya," papar Mas Febi. Kontan saja perkataan itu membuat
"Sebenarnya ... aku sudah lama menyimpan rasa padamu, tapi aku tidak berani mengatakannya dulu saat kita masih tinggal di kampung karena kamu anaknya pendiam, takut kamu marah," tutur Mas Very panjang lebar membuat otakku seketika memutar ke masa lalu."E_emangnya Mas Very kenal denganku?" tanyaku ragu."Kamu nggak ingat kalau kita dulu sekampung? Kita kan, dulu sekolah bareng di SMP Persada, dan aku Kakak kelasmu. Ya, mungkin kamu dah lupa," pekiknya dengan wajah yang begitu serius seakan menyuruhku untuk ingat kembali tentangnya.Sementara aku masih berpikir keras untuk mengingatnya, mengurai lembar cerita di masa laluku yang penuh perjuangan. "Mm ... kamu Very yang dulu ikut kelas musik dan basket, ya? Yang dulu jadi incaran cewek-cewek karena permainanmu begitu memukai saat tampil?" tebakku semoga tak meleset."Nah, itu kamu ingat," pungkasnya dengan wajah yang ekspresif."Oh, jadi kamu itu Very yang sekampung denganku? Aku gak nyangka kita bisa ketemu di sini. Terus, kalau boleh
"Kamu duduk aja di sini, jangan banyak gerak. Biar aku ambil air minum dulu!" Very mendudukkan aku di bangku panjang yang ada di taman villa ini. Ia memapahku untuk bisa sampai ke sini, aku bersyukur banget ada dia. Coba kalau enggak, gimana aku bisa pulang. Sementara suamiku sendiri tidak perduli dengan keadaanku, dia lebih perhatian sama pacarnya. Very berjalan cepat ke arahku sambil membawa dua gelas air putih dan juga roti bantal." Ini kamu minum dulu, dan ini makan rotinya buat ganjal perut!" "Makasih ya, Mas. Kalau tidak ada Mas Very ... gak tahu gimana pulangnya." Aku mengulum, menahan malu dan gak enak hati padanya. "Udah, gak usah dipikirin." Very tersenyum teduh ke arahku. "Hei, Ratna ...! Buatkan sarapan dong buat aku dan Amel, dah lapar nih!" Lelaki yang berperawakan tinggi itu datang menghampiriku di taman. "Kamu bikin sarapan sendiri bisa dong? Atau kalau enggak, suruh tuh si Amel. Jangan maunya enak-enakan di sini," bentak Very tak terima. "Ver, kenapa loe yang
"Tutup mulutmu dan jangan asal bicara! Kamu tau kan, papiku itu orangnya seperti apa? Dia paling gak suka dibantah, keputusan yang sudah diambil tidak bisa diganggu gugat. Kalau tidak, sudah dari dulu aku menolak untuk menikahimu." Ia mendekat ke arahku. "Jangan-jangan karena kamu kemarin bermalam di villa sama Very, terus timbul rasa suka makanya sekarang kamu minta pisah dariku lalu mau menikah dengannya, iya?" sangkanya berang. Aku menggeleng cepat sebagai bentuk penolakan atas ucapannya yang tidak benar. "Apalagi Very itu seorang CEO yang tampan, single dan juga perhatian sama kamu. Makanya kamu langsung kepincut," terkanya lagi dengan mulut menyeringai. "Bukan itu alasanku, tapi banyak pertimbangan yang membuatku ingin mundur dari pernikahan ini. Terutama mamimu yang tidak pernah suka sama aku dan kerap bersikap kasar dan semena-mena sama aku," ucapku apa adanya dengan suara yang bergetar. "Jangan suka berdalih, mami tidak seperti yang kau tuduhkan. Beliau wanita terhormat
Saat membuka mata ternyata aku sudah berada di ruangan rumah sakit. Apa yang terjadi denganku?"Ratna ... Alhamdulillah kamu sudah sadar." Ternyata di ruangan ini hanya ada Mas Very yang tengah duduk di samping tempat tidurku."Mas Febi mana?" Netraku menyapu pandangan mencari sosok suamiku yang harusnya ada di sini."Tadi Febi keluar katanya mau beli makanan dulu." Lelaki ini menatapku lekat.Aku mengangguk pelan dengan senyum tipis yang kuperlihatkan. "Mas Very kenapa bisa tahu kalau aku ada di sini?""Tadi aku dengar saat Febi menerima telefon dari maminya, katanya kamu pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Terus aku minta ngikut saat Febi izin mau ke sini," paparnya menjelaskan."Kamu sebenarnya kenapa bisa sampai pingsan gini? Kamu sakit?" cecar Very ingin tahu."Iya, Mas. Hari ini aku lagi gak enak badan, tulang-tulangku berasa r3 muk dan sakit. Tapi, Mami m4 ksa nyuruh aku ngerjain semua pekerjaan rumah. Dan terakhir aku j4 tuh dari tangga, terus aku sudah gak ingat la
"Aku sudah mengatakan itu pada Mas Febi, tapi dia menolak." Aku gugup berhadapan dengan Mas Very.Wajahnya kini mendekat ke arahku, dua pasang mata saling bertukar pandang. Desir d4r ahku mengalir der as, serta degup jantungku memompa lebih cepat dari biasanya. "Kenapa katanya? Buat apa dipertahankan pernikahan toxic kayak gitu?" Pandangannya semakin lekat menatapku, Dan tangannya mmb3lai pucuk kepalaku yang tertutup hijab. "Mas Febi takut sama Papinya, karena Beliau tak menginginkan perc3 raian. Papi merasa bertanggung jawab atas hidupku setelah ibuku tiada, apalagi aku sekarang hidup seb4 tang kara," paparku lirih." Ya udah, kamu tidur sekarang! Dah malam noh. Kamu gak usah takut, aku akan menjagamu di sini dan aku tidak akan berbuat macam-macam sama kamu," ucapnya dengan senyum meneduhkan.Tak terasa tengah malam aku terjaga dari tidurku, karena ingin buang air kecil. "Ratna, mau ngapain?" Suara itu terdengar nyaring hingga aku terlonjak kaget dan segera menoleh."Aku mau ke to
"Oh, jadi, diam-diam loe naksir Ratna? Sejak kapan?" Mas Febi mendorong kasar tubuh Mas Very hingga mundur beberapa langkah."Lo tidak perlu tahu."Mas Very menatap nyalang ke arah suamiku."Loe mau jadi pahlawan kesiangan?" Kini Mas Febi mendekati Mas Very seolah ingin menantang."Aku hanya ingin melindungi orang yang aku sayang, apakah itu salah?" "Kamu tanya? Kamu bertanya-tanya? Hei bro, Ratna itu istri gue, lo gak berhak dan gak perlu melakukan itu. Itu biar menjadi urusan gue!" "Mas Febi ... sudah, jangan berantem! Ini kantor, gak enak dilihat orang," ucapku melerai perdebatan sengit mereka." Dan kamu __ Mentang-mentang aku tidak pernah menyentuhmu, lantas kamu godain temenku minta dib3lai, iya?! Dasar perempuan gatal!' Lelaki yang bergelar suami itu kini murka dengan tatapan nyalang ke arahku seraya menggerak-gerakkan telunjuknya tepat di depan wajahku kemudian berlalu pergi menuruni anak tangga.Kenapa dia ngomong seperti itu di depan sahabatnya, dan ini tempat umum. Kala
Buuugghh!!Bogem mentah spontan melayang ke pipi Very hingga membuatnya tersungkur di lantai. Tangan kekarnya mampu membuat darah segar keluar dari sudut bibirnya."Apa loe bilang? Ayo, ngomong sekali lagi! Biar gue hajar loe sampe bonyok!" Kedua tangan Febi mencengkeram kerah kemeja Very dengan tatapan nyalang penuh amarah."Gue ngomong apa adanya. Dari pada loe sia-siakan Ratna dengan tidak memenuhi haknya, lebih baik loe lepasin aja dia." "Gak usah loe ceramahin gue! Lebih baik diam!" Kedua tangan Febi mendorong kasar dada bidang lelaki yang dibawah cengkeramannya hingga dia terlentang di lantai granit berwarna cokelat susu itu Suami dari Ratna itu berlalu meninggalkan Very yang masih tergeletak di lantai begitu saja lalu beranjak menuju ruangannya. "Pak, Bapak kenapa mulutnya berdarah? Siapa yang melakukannya?" tegur sekertarisnya di kantor yang biasa ia panggil dengan nama Amanda. Dia melintas di depannya. Tangannya dengan sigap menyeka darah yang mengalir di sudut bibir Ve