Share

Part 4

"Ratna, kamu sudah mulai sok-sokan ya tinggal di sini? Sudah mulai bertingkah?" Mami menatapku dengan nyalang.

Seketika sekujur tubuhku lunglai bagai tidak bertenaga. Pagi-pagi kondisi perut masih kosong tapi beliau memberiku sarapan kata yang cetar.

"M_maksud Mami apa?" Aku pura-pura tidak tahu, padahal aku sudah mendengar dan melihat semuanya.

"Alah, kamu tidak usah pura-pura tidak tahu! Aku sudah dengar semuanya." Langkahnya semakin mendekat ke arahku lalu merebut kain lap yang aku pegang dan langsung melemparkannya lagi ke mukaku.

Sungguh tega perlakuan Mami Mertuaku itu, padahal itu lap kotor agak basah bekas mengelap kompor. Namun, aku hanya bisa beristighfar dalam hati tanpa mampu membalasnya.

Beliau langsung berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkan aku yang masih bergeming meratapi nasib baik yang tidak berpihak padaku.

Menit kemudian, Mba Ina dan Mba Yati datang menghampiriku dengan tatapan sinis dan senyum menyeringai.

"Emang enak ... dimarahin Nyonya?" ledek Mba Ina.

"Rasain kamu! Makanya jangan berani sama kita, iya enggak Mba Ina?" lirih Mbak Yati dengan menatap ke arah Mba Ina sambil menaik turunkan alisnya.

Ya Allah, tega banget mereka sama aku, padahal aku tidak pernah mengusik mereka.

Dua ART itu berlalu ke belakang melewati pintu dapur. Biasanya jam segini mereka menyapu halaman belakang.

"Feb, itu panggilin istrimu suruh sarapan  sama-sama di sini! Jangan sibuk di belakang mulu, memangnya pembantu?" titah Papi mertuaku begitu nyaring hingga aku bisa mendengarnya dari dapur.

"Pi, biarin, napa. Orang dia pantasnya makan di belakang juga," protes Mami dengan mulut mencebik.

"Mi, jangan gitu, sama menantu sendiri," sanggah Papi tidak terima.

"Iya, Pi, sebentar," jawab sang putra  halus.

"Hei, dipanggil tuh, sama Papi suruh sarapan bareng!" panggil suamiku. Ia tahu-tahu  sudah berdiri di belakangku.

"Iya sebentar, aku cuci tangan dulu," sahutku dengan bergegas mencuci tanganku di keran wastafel.

Aku berjalan mengekor dengan langkah cepat mengimbangi langkahnya. Kutarik kursi ke belakang lalu mendaratkan bobot di sana. Tatapanku mengedar mengelilingi mereka yang sudah duduk lebih dulu.

Ada Papi yang duduk di kursi tengah sebagai kepala keluarga, di sisi kanan ada Mami dan putrinya_Aleksa, serta di sisi kiri ada putra mereka yang tak lain adalah suamiku. Dan aku duduk di sebelah suamiku.

"Ratna, makan yang banyak ya, tidak perlu malu-malu!" titah Papi saat aku tengah menyendok nasi berikut lauknya.

"Iya, Pi," lirihku sambil mengangguk.

"Feb, hari ini kamu jadi bulan madu?" tanya Papi sambil terus menyendokkan nasi ke mulutnya.

"Jadi Pi, cuma nanti berangkatnya jam dua siang. Pagi ini aku  ke kantor dulu mau merekap hasil kerja kemarin biar enak pas ditinggal," terangnya santai.

"Oh, ya sudah. Terus kamu jadinya ke mana?" tanya Papi lagi dengan wajah serius menatap ke arah putranya.

"Ke villa punya kita ajalah, Pi. Tidak perlu jauh-jauh, capek di jalannya," papar Mas Febi.

Sekilas aku menatap ke arah Mami mertua, wajahnya tidak senang mendengar aku dan Mas Febi mau bulan madu.

"Papi harap setelah kalian bulan madu bisa segera ngasih Papi cucu," ucap Papi dengan sorot penuh harap dan wajah yang berbinar.

"Uhuk ... uhuk ...!" Aku tersedak sebab mendengar ucapan itu.

"Apaan sih, Pi. Orang aku belum pengen punya anak juga, aku masih pengen bebas, pengen ngejar karir juga. Aku tidak mau diribetin soal anak dulu," tolak Mas Febi dengan menautkan kedua alisnya yang tebal.

"Punya anak sama ngejar karir itu bisa berjalan beriringan, lagian punya anak juga nanti bisa pakai baby sitter. Ribet di mananya?" sanggah lelaki berkepala botak separoh itu tidak mengerti jalan pikiran putranya.

"Ya ... pokoknya ribet deh, kalau sudah ada anak. Kita tidak bebas seperti dulu, ke mana-mana pasti anak itu minta ngikut. Belum nanti kalau dia nangis mulu," kelit suamiku memberi alasan.

*

Pukul 11 siang, aku sudah berada di kamar untuk istirahat setelah dari pagi berkutat membersihkan seisi rumah. Meskipun ada dua ART di sini, Mami lebih sering menyuruhku dan membiarkan mereka berleha-leha di kamar. Terlebih kalau suaminya tengah istirahat atau tidak ada di rumah, tenagaku lebih lagi diperas macam kerja rodi.

"Ratna ...! Ratna ...!"

Baru juga mau memejamkan mata, teriakan dari balik pintu membuat netraku membuka paksa. Dengan langkah gontai aku segera membuka pintu kamarku.

"Ma_mi, ada apa, Mi?" lirihku sembari mengumpulkan tenaga.

"Ratna, ini kamu minum setiap hari dan jangan sampai lupa, ingat itu! Aku tidak mau punya cucu yang lahir dari rahim orang miskin sepertimu karena keluargaku ini keturunan orang terhormat, terpandang dan berkelas!" titahnya dengan menekan setiap kata yang terucap dan tatapannya terlihat sengit ke arahku.

Netraku langsung menatap box yang tertulis pil KB andalan, hatiku langsung berdenyut nyeri. Bukankah tujuan pernikahan itu salah satunya adalah untuk mendapatkan keturunan? Lalu untuk apa pernikahan ini?

"Ini untuk apa, Mi?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal aku sudah sering lihat obat ini di laci ibuku. Katanya agar tidak hamil karena memang keluargaku hidup serba kekurangan jadi beliau tidak mau menambah anak lagi, cukup aku anaknya.

"Pake na_nya lagi, memangnya kamu tidak bisa baca? Di situ ada bacaannya biar kamu nanti tidak hamil meskipun sudah berhubungan," bentaknya disertai dengan tatapan mata nyalang seperti singa yang mau menerkam.

Setelahnya beliau langsung berbalik badan dan segera pergi dengan langkah anggun sebagaimana sosialita pada umumnya. Sementara aku masih tertegun di ambang pintu sambil menatap lekat box pil KB yang aku pegang.

Tidak berapa lama aku menutup pintu lalu merebahkan tubuhku di atas ranjang. Rasa capek, lelah hati, pikiran, dan tenaga semua menyatu. Komplit sudah penderitaanku hidup berumah tangga dengan orang berada.

Perlahan rasa kantukku menyapa hingga tidak menunggu waktu lama mataku sudah terpejam. Entah berapa jam aku tertidur, kemudian terbangun saat mendengar Mas Febi  tengah menelepon seseorang.

"Mas, sudah pulang?" tanyaku kaget saat melihatnya sudah berganti baju.

"Sudah dari tadi. Buruan siap-siap, kita jalan sekarang!" titahnya sambil membenarkan posisi jam tangannya.

Gegas aku turun dari ranjang menuju kamar mandi, dan setengah jam kemudian aku sudah siap.

"Ini kamu bawa kopernya!" perintahnya lagi.

"Iya, Mas," sahutku cepat.

Aku dan Mas Febi lekas keluar dari kamar menuruni anak tangga dan menghampiri Papi dan Mami yang tengah duduk santai di ruang keluarga.

"Selamat berbulan madu ya, semoga cepat kasih kabar baik buat Papi," cakap Papi dengan wajah yang berbinar.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapannya.

Mas Febi terlihat  tidak suka mendengarnya, ekspresi pria itu datar dengan senyum yang dipaksakan. Sementara Mami terlihat fokus menatap layar TV dan enggan untuk berbasa-basi.

Setelah pamit pada mereka, kami langsung jalan menuju villa milik keluarga suamiku. Mas Febi mengemudikan sendiri mobil mewahnya. Katanya butuh waktu dua jam untuk sampai ke tempat tujuan.

"Berapa lama lagi sampainya, Mas?" tanyaku tidak sabar karena ini kali pertama aku mau ke villa membuatku penasaran tentang suasana di sana.

"Tuh, di depan sudah sampai!" Pandangannya terarah ke depan berisyarat kepadaku.

Benar saja dia memelankan laju kendaraan dan langsung masuk ke halaman rumah yang nampak luas. Pemandangan di sana terlihat begitu cantik.

Sebentar, itu kenapa ada mobil yang sudah terparkir lebih dulu di sini? Mobil siapa ya? Bukankah ini acara bulan maduku dengan Mas Febi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status