"M–Mas, siapa wanita itu? tanyaku saat sudah berada di dekat wanita yang tengah duduk di teras dengan koper yang berdiri di sampingnya.
"Oh, iya, kenalin ini pacarku dan dia mau menemaniku di sini," pungkasnya tanpa beban membuatku terperangah, apalagi saat wanita dengan pakaian kurang bahan itu kini mendekatinya, lalu tangannya bergelayut manja di lengan suamiku. "Mak–ud–nya apa, Mas?" tanyaku tergagap dengan pandangan tidak lepas menatap dua manusia di depanku yang bersikap seakan tidak tahu etika. Bagaimana tidak, Mas Febi itu sudah menikah dan sekarang aku dan dia mau bulan madu di sini. Tapi kenapa dia datang kemari sambil membawa koper? Jangan bilang, kalau dia berniat untuk mengganggu acara bulan maduku. "Maksudnya, nanti aku tidur sama dia dan kamu tidur di kamar sebelah. Ingat ya, kita ke sini bukan untuk bulan madu, kamu jangan pernah berharap. Ini semua kulakukan hanya di depan Papi, karena aku tidak enak kalau menolaknya," papar Mas Febi. Kontan saja perkataan itu membuat hati ini berdenyut nyeri hingga tidak terasa netraku berembun. Sesak sekali rasanya dada ini. "Ayo, Sayang! Masuk!" ajak lelaki yang kini sudah bergelar menjadi suamiku pada wanita yang ia gandeng mesra. Sementara aku. Hanya bisa terpaku di teras dengan hati dan pikiran yang berkecamuk. Ingin rasanya aku berteriak memaki dua manusia yang tidak punya malu itu. Aku pikir Mas Febi akan berusaha untuk menyenangkanku di sini, tapi ternyata dugaanku salah besar. Kini mereka sudah memasuki kamar yang terletak di lantai atas. Tawa mereka terdengar nyaring saat aku melewati pintu itu, dan aku lekas memasuki kamar yang ada di sebelahnya dengan kunci yang masih tergantung di pintunya. Aku menjatuhkan bobot ini di atas kasur yang empuk dan nyaman, mencoba memejamkan mata berharap semua ini hanya mimpi semata. Hingga tidak terasa bulir bening meleleh dari sudut mataku. Aku terisak sendirian. Sampai akhirnya aku lelah dan entah berapa jam aku tertidur. Kemudian diri ini tersadar saat seseorang mengguncang tubuhku dengan kasar. "Ratna, bangun ... buatkan kami makan malam sekarang!" ucapnya sedikit berteriak hingga aku terlonjak kaget. Segera aku membuka mata meski sebenarnya masih terasa sangat mengantuk. Aku lupa tadi tidak mengunci pintu kamar hingga dia bisa nyelonong masuk. "Mas Febi, memangnya sekarang sudah jam berapa?" tanyaku sambil mengucek mata. "Sudah jam 7 malam, makanya bangun! Terus cepetan buatkan makan malam, aku dan Amel sudah lapar!" serunya dengan nada memaksa. Setelah itu suamiku memutar badan dan langsung melangkah pergi. Huuuft ... tidak di rumah, tidak di sini sama saja aku selalu jadi pesuruh. Berkhayal bakal diperlakukan bak seorang putri saat bulan madu, nyatanya itu semua tinggal harapan kosong. Gegas aku memasak dengan bahan-bahan yang tadi dibeli di mini market saat jalan melewatinya. Ada beberapa jenis sayur, ikan, ayam, udang, dan juga buah. "Ratna, sudah siap belum makanannya? Sudah lapar, nih!" teriak suamiku dari ruang makan. Nampak mereka sudah duduk menghadap meja makan, dan makanan yang sudah siap baru sayur sawi dan oseng udang balado. Tinggal ayamnya yang masih digoreng, paling sebentar lagi juga matang. "Sebentar lagi, Mas!" jawabku sedikit berteriak. Terdengar dengkusan keras darinya. Sepuluh menit kemudian, semua hidangan sudah siap di atas meja. Aku lekas duduk dengan tatapan menyisir ke arah dua orang di hadapan. Hatiku terasa teriris melihat kemesraan mereka. "Sayang, aku suapin, ya!" ucap wanita itu sambil menyodorkan sendok yang berisi makanan ke mulut suamiku. "Boleh," jawab Mas Febi semringah. Sepertinya dia sengaja berbuat demikian di depanku agar aku merasa cemburu dan sakit hati. Segera aku mengalihkan pandangan dan fokus menatap nasi yang ada di piring. "Mas, malam ini kita puas-puasin di sini, ya?" pinta perempuan itu manja dengan wajah di dekatkan ke arah suamiku. Mendengarnya saja buatku eneg. "Iya, sayang," jawab pria itu lembut. Tidak berapa lama, wanita yang disebut suamiku sebagai pacarnya itu bergegas naik ke kamarnya setelah barusan pamit. Kini tinggal aku dan Mas Febi yang masih duduk sambil menyelesaikan aktivitas makan kami yang masih tersisa. "Mas, aku mau pulang sekarang," pintaku tanpa menatap ke arahnya. "Apa? Kamu jangan macam-macam, Ratna. Kita di sini baru juga sampai, masa minta pulang? Nanti apa kata Papi?" protesnya tidak terima sambil mengeratkan giginya. "Buat apa aku di sini kalau cuma untuk menyaksikan perbuatanmu yang tidak bermoral itu!" balasku ketus sambil menatapnya penuh kebencian. "Jaga ucapanmu, Ratna! Ini salahmu, karena kamu sudah menggagalkan rencana pernikahanku dengannya yang sudah dirancang jauh-jauh hari!" bentaknya dengan menatap nyalang ke arahku. Aku tidak bisa berkata lagi, tenggorokanku terasa tercekat hingga sulit untuk mengeluarkan suara. Dada ini begitu sakit mendengar ucapannya yang terus terang. Setelah itu dia menengguk minumnya dan lekas pergi meninggalkan aku yang masih bergeming dengan buliran bening yang mengucur deras sebagai pelengkap kesedihanku. Aku melangkah keluar untuk mencari udara segar, duduk santai di kursi yang ada di taman sambil menatap pemandangan di sekitar. Aku tersentak saat melihat mobil masuk ke halaman ini. Netraku langsung fokus ke arah mobil sembari menunggu siapa yang ada di dalamnya? "Mas Very?" gumamku dengan tatapan lekat ke arah sana, saat ia keluar dari mobil. "Hai, Ratna! Kenapa masih di luar? Di sini udaranya dingin, loh," tegur lelaki itu dengan ramah. "M–Mas Very mau nga–pain ke sini?" tanyaku ragu. "Tadi jam 8 Febi nelepon aku nyuruh datang ke sini. Aku juga tidak tahu mau ngapain soalnya dia tidak bilang apa-apa," jawabnya memberi alasan. Lelaki tampan itu lekas mengambil duduk di sampingku dengan pandangan lurus ke depan ke arah hamparan perkebunan teh. "Ver, kamu sudah sampai dari tadi?" Tiba-tiba terdengar suara suamiku yang nyaring dari belakang. Dengan langkah panjang ia segera menghampiri kami. "Belum lama aku sampai. Kamu ada apa manggil aku suruh buru-buru ke sini? Bukannya mau bulan madu, ya? Nanti aku ganggu jadinya, loh," seru Mas Very terlihat tidak enak hati. "Justru itu aku nyuruh kamu datang ke sini itu untuk menemani Ratna_," ucapnya belum selesai, keburu Very memotongnya. "Maksud kamu?" tanya Very tidak mengerti. "Maksudku, kamu di sini temani Ratna. Soalnya aku sudah ajak Amel. Aku mau berduaan dengannya tanpa ada yang mengganggu. Dari tadi dia minta pulang, tapi kan, tidak mungkin karena aku baru juga sampai. Masa, mau pulang? Nanti yang ada, Papi marah besar," papar suamiku menjelaskan. Hal itu membuatku mengernyitkan dahi. "Wah, wah! Kamu sa–kit, Feb! Kamu ini memang tidak waras! Masa, kamu bawa perempuan lain saat bulan madu, di mana otakmu?" sanggah Mas Very tidak terima dengan wajah nampak geram. Sungguh! Ucapan pria itu sangat mewakili apa yang ada di benakku. "Terserahlah kamu mau ngomong apa, yang penting aku dan Amel bisa senang-senang di sini," kelit Mas Febi tidak mau tahu sambil beranjak masuk. Kini tinggal Very dan aku yang masih duduk terpaku di bangku taman. Wajah Mas Very terlihat geram. "Rat, kamu jangan sedih ya, kamu harus sabar menghadapi manusia macam dia." Mas Very menatap lekat ke arahku membuatku salah tingkah. "Iya, Mas." Aku mengangkat pandangan sekilas ke arahnya, lalu kembali menunduk. "Rat, sebenarnya aku sedih dan tidak tega melihat kesedihan di wajahmu. Aku yakin kamu tidak bahagia bersama Febi ... benar, kan?" Kini wajahnya semakin didekatkan ke arahku, menatap lekat iris mataku. Entah apa yang tengah ia pikirkan? Aku terdiam sambil menghela napas panjang dan mengeluarkannya pelan sekadar ingin mengurai sesak di dalam dada ini. Aku malu kalau harus menangis di hadapan pria ini. "Tanpa kamu jawab pun aku sudah tahu jawabannya. Kamu pasti tidak bahagia hidup dengannya. Maka dari itu, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Ratna." Kedua tangannya kini menarik tanganku yang tergeletak di atas meja bundar. Deg! Jantungku tiba-tiba berdebar kencang dengan perlakuan pria ini. Darah ini berdesir akibat sentuhan darinya. Sebenarnya dia mau ngomong apa? Kenapa kelihatan serius sekali? . ."Sebenarnya ... aku sudah lama menyimpan rasa padamu, tapi aku tidak berani mengatakannya dulu saat kita masih tinggal di kampung karena kamu anaknya pendiam, takut kamu marah," tutur Mas Very panjang lebar membuat otakku seketika memutar ke masa lalu."E_emangnya Mas Very kenal denganku?" tanyaku ragu."Kamu nggak ingat kalau kita dulu sekampung? Kita kan, dulu sekolah bareng di SMP Persada, dan aku Kakak kelasmu. Ya, mungkin kamu dah lupa," pekiknya dengan wajah yang begitu serius seakan menyuruhku untuk ingat kembali tentangnya.Sementara aku masih berpikir keras untuk mengingatnya, mengurai lembar cerita di masa laluku yang penuh perjuangan. "Mm ... kamu Very yang dulu ikut kelas musik dan basket, ya? Yang dulu jadi incaran cewek-cewek karena permainanmu begitu memukai saat tampil?" tebakku semoga tak meleset."Nah, itu kamu ingat," pungkasnya dengan wajah yang ekspresif."Oh, jadi kamu itu Very yang sekampung denganku? Aku gak nyangka kita bisa ketemu di sini. Terus, kalau boleh
"Kamu duduk aja di sini, jangan banyak gerak. Biar aku ambil air minum dulu!" Very mendudukkan aku di bangku panjang yang ada di taman villa ini. Ia memapahku untuk bisa sampai ke sini, aku bersyukur banget ada dia. Coba kalau enggak, gimana aku bisa pulang. Sementara suamiku sendiri tidak perduli dengan keadaanku, dia lebih perhatian sama pacarnya. Very berjalan cepat ke arahku sambil membawa dua gelas air putih dan juga roti bantal." Ini kamu minum dulu, dan ini makan rotinya buat ganjal perut!" "Makasih ya, Mas. Kalau tidak ada Mas Very ... gak tahu gimana pulangnya." Aku mengulum, menahan malu dan gak enak hati padanya. "Udah, gak usah dipikirin." Very tersenyum teduh ke arahku. "Hei, Ratna ...! Buatkan sarapan dong buat aku dan Amel, dah lapar nih!" Lelaki yang berperawakan tinggi itu datang menghampiriku di taman. "Kamu bikin sarapan sendiri bisa dong? Atau kalau enggak, suruh tuh si Amel. Jangan maunya enak-enakan di sini," bentak Very tak terima. "Ver, kenapa loe yang
"Tutup mulutmu dan jangan asal bicara! Kamu tau kan, papiku itu orangnya seperti apa? Dia paling gak suka dibantah, keputusan yang sudah diambil tidak bisa diganggu gugat. Kalau tidak, sudah dari dulu aku menolak untuk menikahimu." Ia mendekat ke arahku. "Jangan-jangan karena kamu kemarin bermalam di villa sama Very, terus timbul rasa suka makanya sekarang kamu minta pisah dariku lalu mau menikah dengannya, iya?" sangkanya berang. Aku menggeleng cepat sebagai bentuk penolakan atas ucapannya yang tidak benar. "Apalagi Very itu seorang CEO yang tampan, single dan juga perhatian sama kamu. Makanya kamu langsung kepincut," terkanya lagi dengan mulut menyeringai. "Bukan itu alasanku, tapi banyak pertimbangan yang membuatku ingin mundur dari pernikahan ini. Terutama mamimu yang tidak pernah suka sama aku dan kerap bersikap kasar dan semena-mena sama aku," ucapku apa adanya dengan suara yang bergetar. "Jangan suka berdalih, mami tidak seperti yang kau tuduhkan. Beliau wanita terhormat
Saat membuka mata ternyata aku sudah berada di ruangan rumah sakit. Apa yang terjadi denganku?"Ratna ... Alhamdulillah kamu sudah sadar." Ternyata di ruangan ini hanya ada Mas Very yang tengah duduk di samping tempat tidurku."Mas Febi mana?" Netraku menyapu pandangan mencari sosok suamiku yang harusnya ada di sini."Tadi Febi keluar katanya mau beli makanan dulu." Lelaki ini menatapku lekat.Aku mengangguk pelan dengan senyum tipis yang kuperlihatkan. "Mas Very kenapa bisa tahu kalau aku ada di sini?""Tadi aku dengar saat Febi menerima telefon dari maminya, katanya kamu pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Terus aku minta ngikut saat Febi izin mau ke sini," paparnya menjelaskan."Kamu sebenarnya kenapa bisa sampai pingsan gini? Kamu sakit?" cecar Very ingin tahu."Iya, Mas. Hari ini aku lagi gak enak badan, tulang-tulangku berasa r3 muk dan sakit. Tapi, Mami m4 ksa nyuruh aku ngerjain semua pekerjaan rumah. Dan terakhir aku j4 tuh dari tangga, terus aku sudah gak ingat la
"Aku sudah mengatakan itu pada Mas Febi, tapi dia menolak." Aku gugup berhadapan dengan Mas Very.Wajahnya kini mendekat ke arahku, dua pasang mata saling bertukar pandang. Desir d4r ahku mengalir der as, serta degup jantungku memompa lebih cepat dari biasanya. "Kenapa katanya? Buat apa dipertahankan pernikahan toxic kayak gitu?" Pandangannya semakin lekat menatapku, Dan tangannya mmb3lai pucuk kepalaku yang tertutup hijab. "Mas Febi takut sama Papinya, karena Beliau tak menginginkan perc3 raian. Papi merasa bertanggung jawab atas hidupku setelah ibuku tiada, apalagi aku sekarang hidup seb4 tang kara," paparku lirih." Ya udah, kamu tidur sekarang! Dah malam noh. Kamu gak usah takut, aku akan menjagamu di sini dan aku tidak akan berbuat macam-macam sama kamu," ucapnya dengan senyum meneduhkan.Tak terasa tengah malam aku terjaga dari tidurku, karena ingin buang air kecil. "Ratna, mau ngapain?" Suara itu terdengar nyaring hingga aku terlonjak kaget dan segera menoleh."Aku mau ke to
"Oh, jadi, diam-diam loe naksir Ratna? Sejak kapan?" Mas Febi mendorong kasar tubuh Mas Very hingga mundur beberapa langkah."Lo tidak perlu tahu."Mas Very menatap nyalang ke arah suamiku."Loe mau jadi pahlawan kesiangan?" Kini Mas Febi mendekati Mas Very seolah ingin menantang."Aku hanya ingin melindungi orang yang aku sayang, apakah itu salah?" "Kamu tanya? Kamu bertanya-tanya? Hei bro, Ratna itu istri gue, lo gak berhak dan gak perlu melakukan itu. Itu biar menjadi urusan gue!" "Mas Febi ... sudah, jangan berantem! Ini kantor, gak enak dilihat orang," ucapku melerai perdebatan sengit mereka." Dan kamu __ Mentang-mentang aku tidak pernah menyentuhmu, lantas kamu godain temenku minta dib3lai, iya?! Dasar perempuan gatal!' Lelaki yang bergelar suami itu kini murka dengan tatapan nyalang ke arahku seraya menggerak-gerakkan telunjuknya tepat di depan wajahku kemudian berlalu pergi menuruni anak tangga.Kenapa dia ngomong seperti itu di depan sahabatnya, dan ini tempat umum. Kala
Buuugghh!!Bogem mentah spontan melayang ke pipi Very hingga membuatnya tersungkur di lantai. Tangan kekarnya mampu membuat darah segar keluar dari sudut bibirnya."Apa loe bilang? Ayo, ngomong sekali lagi! Biar gue hajar loe sampe bonyok!" Kedua tangan Febi mencengkeram kerah kemeja Very dengan tatapan nyalang penuh amarah."Gue ngomong apa adanya. Dari pada loe sia-siakan Ratna dengan tidak memenuhi haknya, lebih baik loe lepasin aja dia." "Gak usah loe ceramahin gue! Lebih baik diam!" Kedua tangan Febi mendorong kasar dada bidang lelaki yang dibawah cengkeramannya hingga dia terlentang di lantai granit berwarna cokelat susu itu Suami dari Ratna itu berlalu meninggalkan Very yang masih tergeletak di lantai begitu saja lalu beranjak menuju ruangannya. "Pak, Bapak kenapa mulutnya berdarah? Siapa yang melakukannya?" tegur sekertarisnya di kantor yang biasa ia panggil dengan nama Amanda. Dia melintas di depannya. Tangannya dengan sigap menyeka darah yang mengalir di sudut bibir Ve
Sendiri merutuki kebodohan ini yang terlalu berharap mendapat belaian mesra dari lelaki yang tak pernah menganggapku ada, hatinya yang masih terpaut dengan wanita lain meski sudah ada aku istrinya yang sah.Bu, Engkau sudah bahagia di alam sana, tapi aku tidak, Bu. Kenapa Ibu biarkan aku di sini sendiri? Aku tak punya siapa-siapa selain Ibu. Tak terasa air bening jatuh menetes di pipiku, aku tergugu mengingat sosoknya yang lembut dan penuh kehangatan.Sudah larut malam, mataku enggan untuk terpejam. Pikiranku merasa suntuk. Kupandangi jam yang menempel di dinding yang bercat putih, jarum jam berhenti di angka 02 tapi Mas Febi belum juga pulang.Tak lama berselang, pintu kamar terdorong dan menampakkan wajahnya yang terlihat berseri. Mungkin karena bahagia telah menghabiskan malam bersama Amel."Kamu belum tidur? Ini kan, sudah larut malam. Bukankah aku tadi bilang suruh tidur duluan?" ucapnya sembari berjalan ke arah kamar mandi."Aku belum ngantuk," sahutku sambil memutar bola mata
"Ver, gimana kalau lo sewa jasa Detektif?" pesan dari Febi sudah kubaca."Boleh, lo yang cari y?" pintaku berbalas."Siyap, Bos." ***Itu dua orang kenapa ya dari tadi ngikutin aku terus? Emangnya aku orang kaya apa yang kalau diculik dapat tebusan?Kalian salah kalau mengira aku anak orang kaya. Tapi, apa mungkin mereka orang suruhan Mas Very yang disewa untuk mencariku? Secara dia kan, orang berduit, yang gak mau capek dan karena kesibukan yang menyita waktunya. Ah, apa iya dia masih menginginkanku untuk jadi pendamping hidupnya? Sementara di rumahnya sudah ada calon yang disiapkan orang tuanya.Gak usah ngarep, Ratna. Dia orang berduit, gampang kok kalau mau mencari 1000 Ratna, gumamku.Dengan langkah cepat, setengah berlari aku terus menghindari dua orang yang sedari tadi ngikutin aku terus. Padahal aku pengen buru-buru sampai kontrakan biar bisa merebahkan tubuhku ke kasur. Rasanya punggung ini pegel banget seharian mondar-mandir mulu.Sekarang mending aku lewat jalan pintas aja
"Iya, aku karyawan baru." Netraku menyisir ke arahnya yang kini berdiri tepat di hadapanku. Seorang lelaki berkulit hitam manis dengan rambut lurus tersenyum ke arahku."Perkenalkan aku Reno, karyawan di sini." Ia menyodorkan tangan ke arahku hendak mengajakku kenalan. "Aku Ratna." Aku menerima uluran tangannya Kami berdiri mematung, saling diam dalam kekakuan karena baru kenal. Lantas aku menarik diri mencoba menghilangkan rasa gugupku dengan menata barang dagangan di rak agar tersusun rapi. Dan dia pun sama mengerjakan tugasnya seperti biasa."Reno, nanti kamu kasih tahu Ratna ya tugas-tugasnya apa saja. Misal kamu mau istirahat jangan ditinggal tokonya, kamu gantian saja!" titah Pak Haji pada lelaki yang berdiri tak jauh dariku."Iya, Pak Haji," sahutnya cepat tanda mengerti."Ratna, kalau kamu butuh sesuatu jangan sungkan ngomong sama Reno ya! Bapak tinggal dulu," selorohnya dengan ramah."Iya, Pak Haji," sahutku sambil menganggukkan kepala.Kemudian pemilik toko itu berlalu per
"Kenapa loe? Suntuk amat kayaknya?" tegur sahabat sekaligus partner kerja Febi saat di kantor."Gue lagi pusing," sahut Very tak bersemangat, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Kemudian menyalakannya dan langsung menghisapnya."Pusing kenapa? Loe lagi berantem sama Ratna?" desak Febi ingin tahu, ia pun ikut mengambil rokok yang ada di atas meja dan menyalakannya."Bukan berantem, tapi Ratna diusir dari rumah sama Nyokap gue," tukas sang CEO di kantor Febi sendu sambil mengusap wajahnya dengan kasar."Kok, bisa? Memangnya kenapa? Terus Ratna pergi kemana sekarang?" cecarnya dengan mata yang terbelalak karena kaget."Nyokap gak suka sama Ratna karena takut dia menggagalkan rencana perjodohanku dengan Sean. Sampai sekarang gue belum tahu keberadaannya, kemarin sudah nyari tapi lom ketemu." Tatapan kekasih Ratna itu menatap ke sembarang arah, hatinya limbung, pikirannya pun kacau."Kalau Bokap gue denger, loe pasti dimaki abis, soalnya Bokap gue itu sayang banget sama dia."
Ya Allah aku mesti kemana ini? Nyari kontrakan kan gak gampang, mana ini bukan daerah sendiri lagi!! Kaki ini terus melangkah menyusuri komplek perumahan elit menuju jalan raya. Dan lima belas menit kemudian aku sampai di halte, terdiam sendiri sambil duduk di halte menunggu kendaraan umum yang lewat.Nyonya bilang aku harus pergi jauh agar tak bertemu dengan Mas Very lagi, huuuufftt. Ingin rasanya menangis meratapi nasib ini, aku sendiri, tak ada saudara atau kerabat di sini. Keluarga besar Ibu dan Bapak jauh di luar pulau, dah gitu kami lost contack semenjak aku pindah ke kota."Neng, mau naik?" tanya Pak kenek saat melihatku."Iya, Bang, ke terminal ya?" tanyaku memastikan."Iya, Neng. Ayok, naik!" ajaknya, ia turun lalu mempersilakan aku duduk di jok yang kosong. Kemudian mobil melaju hingga beberapa menit baru sampai terminal."Neng, sudah sampai terminal," tutur Pak Kenek memberitahu. Dan aku langsung turun setelah memberi ongkos.Kemudian aku naik bis ingin ke makam Ibu dulu, t
"Ver, gue mau dong disuapin sama Ratna, kayaknya enak deh." Dia menatapku penuh arti dan seolah ada maksud tersembunyi, entahlah aku juga gak yakin.Ddeegg!! Apa? Dia mau aku suapin, gak salah? Selama nikah aja dia gak pernah memintaku seperti ini, kenapa sekarang ...? Why??Sekilas aku melirik ke arah kekasihku, ternyata mimik mukanya menunjukkan kalau dia ...iya dia sepertinya tak suka tapi berusaha tersenyum meski sangat terlihat terpaksa."Ayo, dong, aku mau nyobain spagetinya. Kamu bikin sendiri?" Mas Febi sepertinya tak sabar ingin nyobain makanan yang aku buat. Lantas aku segera mengarahkan garpu yang sudah dikaitkan dengan spageti ke mulutnya, dan dia sudah siap menerima suapan dariku.Sesaat dia terpejam menikmati setiap sentuhan rasa yang menempel di lidahnya."Enak banget, sumpah. Baru kali ini aku makan spageti seenak ini, restoran bintang lima aja kalah. Gila ... ini enak buanget." Mas Febi terus nyerocos mendeskripsikan semua rasa yang ia nikmati."Ya enaklah orang tin
"Ya, udah besok kita nikah yuuk, biar bisa mandi bareng," cakapnya membuatku terkejut setengah mati. Emang segampang itu nikah? Restu aja lom dapet. Huuuftt!!!"Jangan becanda deh?" protesku sambil bersungut, sebenarnya itu ungkapan yang ingin aku dengar secepatnya. Tapi, mengingat orang tuanya yang tak merestui hubungan kami, itu menjadi suatu yang sulit untuk mewujudkannya."Aku serius, sayang, malahan seratus rius loh." Ia begitu gigih meyakinkanku atas perasaan dan niat seriusnya. Tapi aku sendiri menjadi dilema??"Tapi gimana dengan Tuan dan Nyonya besar? Mereka gak ...." Belum selesai ngomong dia sudah duluan memotong ucapanku."Huusstt!! Kamu gak usah khawatir soal itu. Aku lelaki bisa tetap nikah tanpa wali, aku tak peduli bagaimana keputusan orang tuaku nantinya." Ia seakan begitu semangat untuk terus melanjutkan hubungan ke jenjang serius. Aku mencintai dan menyayanginya sepenuh hati, rasa ini pertama dalam hidupku. Bahkan, meski aku kemarin sempat menikah selama 6bulan kur
"Sean, kamu itu cantik, pintar, punya segalanya. Pasti banyak cowok yang tertarik sama kamu." Tatapan mataku menyisir pandangan ke arahnya yang duduk tepat di hadapanku."Lantas?" Sean menyipitkan matanya seolah sedang menerka maksud ucapanku."Kamu bisa cari cowok lain selain aku, karena aku sudah mencintai wanita lain." Hatiku begitu mantap mengungkapkan apa yang kurasa, meski nanti pasti akan dapat penolakan dari orang tuaku dan orang tuanya.Kuhisap rokok yang ada di tanganku dan menghembuskan asapnya ke samping. Aku gak mau dia menghisap asap rokokku."Apa kamu bilang?" Wajahnya ia dekatkan ke arahku dengan pandangan melebar seolah ingin mendengar lebih jelas lagi."Aku tidak bisa mencintaimu karena ada nama wanita lain di hatiku," ucapku memperjelas dengan keyakinan yang mantap."Si_siapa dia? Wanita mana yang bisa mengalahkan pesonaku? Selama hidupku aku tak pernah mendapat penolakan dari seorang lelaki. Bahkan, tinggal tunjuk aja, lelaki itu takhluk di hadapanku!" sarkasnya d
"Mamah ... kapan pulang?" Lelaki yang kini sudah menjadi kekasihku melangkah masuk melalui pintu utama dan langsung menghampiri mamahnya."Tadi sore jam 3 an, kamu baru pulang kerja?" Nyonya besar langsung memeluk putranya erat.Aku dan Bibi sedari tadi sibuk menyiapkan makan malam besar karena katanya malam ini keluarga Sean_cewek yang dijodohkan dengan Mas Very mau datang dan makan malam di sini. "Iya, soalnya di kantor lagi banyak kerjaan. Uuh, capek banget, aku ke kamar dulu ya, Mah mau mandi," tukasnya sambil meregangkan otot-ototnya dengan menaikkan kedua tangannya ke atas. Lalu beranjak pergi."Oh, iya, Very, nanti jam 7 malam keluarga Sean mau ke sini. Kita makan malam bersama," cetusnya dengan lantang. Tiba-tiba ia berjalan menghampiriku yang masih sibuk menata hidangan di meja."Sayang, kamu masak apa? Banyak banget makanannya," bisiknya di telingaku."Memangnya barusan gak dengar apa, kalau calon istrimu mau datang ke sini," ketusku dengan memasang wajah cemberut."Masa?
"Mas ... jaga ucapanmu, tak selayaknya kamu meminta begituan saat kita belum halal! Kalau kamu sayang sama aku, tolong jaga nama baikku." Mataku seketika memanas mendengar ucapannya yang konyol itu."Aku kecewa sama kamu, Mas, ternyata kamu sama saja seperti pria di luaran sana yang tak bisa menahan napsu." Kini tatapanku berubah sangar dengan mengeratkan gigi."Sayang, maaf ya, aku gak bermaksud begitu, aku cuma mau mengetes kamu aja. Aku pikir kamu wanita ....""Gampangan yang bisa menyerahkan mahkotanya pada lelaki sebelum akad? Tidak, Mas, aku tidak sehina itu meskipun aku orang miskin tapi aku tahu batasannya.""Sayang, tolong maafin aku." Tangannya langsung meraih tanganku tapi dengan segera aku hempaskan.Aku keluar menuju pintu utama, berjalan ke arah taman depan meninggalkan Mas Very di dapur dengan perasaan kacau dan emosi."Eheemm ...." Suara bariton tiba-tiba mengagetkanku, seketika aku langsung menoleh ke arah sumber suara."Mas Fe_bi," lirihku sambil menatap wajahnya se