"M–Mas, siapa wanita itu? tanyaku saat sudah berada di dekat wanita yang tengah duduk di teras dengan koper yang berdiri di sampingnya.
"Oh, iya, kenalin ini pacarku dan dia mau menemaniku di sini," pungkasnya tanpa beban membuatku terperangah, apalagi saat wanita dengan pakaian kurang bahan itu kini mendekatinya, lalu tangannya bergelayut manja di lengan suamiku. "Mak–ud–nya apa, Mas?" tanyaku tergagap dengan pandangan tidak lepas menatap dua manusia di depanku yang bersikap seakan tidak tahu etika. Bagaimana tidak, Mas Febi itu sudah menikah dan sekarang aku dan dia mau bulan madu di sini. Tapi kenapa dia datang kemari sambil membawa koper? Jangan bilang, kalau dia berniat untuk mengganggu acara bulan maduku. "Maksudnya, nanti aku tidur sama dia dan kamu tidur di kamar sebelah. Ingat ya, kita ke sini bukan untuk bulan madu, kamu jangan pernah berharap. Ini semua kulakukan hanya di depan Papi, karena aku tidak enak kalau menolaknya," papar Mas Febi. Kontan saja perkataan itu membuat hati ini berdenyut nyeri hingga tidak terasa netraku berembun. Sesak sekali rasanya dada ini. "Ayo, Sayang! Masuk!" ajak lelaki yang kini sudah bergelar menjadi suamiku pada wanita yang ia gandeng mesra. Sementara aku. Hanya bisa terpaku di teras dengan hati dan pikiran yang berkecamuk. Ingin rasanya aku berteriak memaki dua manusia yang tidak punya malu itu. Aku pikir Mas Febi akan berusaha untuk menyenangkanku di sini, tapi ternyata dugaanku salah besar. Kini mereka sudah memasuki kamar yang terletak di lantai atas. Tawa mereka terdengar nyaring saat aku melewati pintu itu, dan aku lekas memasuki kamar yang ada di sebelahnya dengan kunci yang masih tergantung di pintunya. Aku menjatuhkan bobot ini di atas kasur yang empuk dan nyaman, mencoba memejamkan mata berharap semua ini hanya mimpi semata. Hingga tidak terasa bulir bening meleleh dari sudut mataku. Aku terisak sendirian. Sampai akhirnya aku lelah dan entah berapa jam aku tertidur. Kemudian diri ini tersadar saat seseorang mengguncang tubuhku dengan kasar. "Ratna, bangun ... buatkan kami makan malam sekarang!" ucapnya sedikit berteriak hingga aku terlonjak kaget. Segera aku membuka mata meski sebenarnya masih terasa sangat mengantuk. Aku lupa tadi tidak mengunci pintu kamar hingga dia bisa nyelonong masuk. "Mas Febi, memangnya sekarang sudah jam berapa?" tanyaku sambil mengucek mata. "Sudah jam 7 malam, makanya bangun! Terus cepetan buatkan makan malam, aku dan Amel sudah lapar!" serunya dengan nada memaksa. Setelah itu suamiku memutar badan dan langsung melangkah pergi. Huuuft ... tidak di rumah, tidak di sini sama saja aku selalu jadi pesuruh. Berkhayal bakal diperlakukan bak seorang putri saat bulan madu, nyatanya itu semua tinggal harapan kosong. Gegas aku memasak dengan bahan-bahan yang tadi dibeli di mini market saat jalan melewatinya. Ada beberapa jenis sayur, ikan, ayam, udang, dan juga buah. "Ratna, sudah siap belum makanannya? Sudah lapar, nih!" teriak suamiku dari ruang makan. Nampak mereka sudah duduk menghadap meja makan, dan makanan yang sudah siap baru sayur sawi dan oseng udang balado. Tinggal ayamnya yang masih digoreng, paling sebentar lagi juga matang. "Sebentar lagi, Mas!" jawabku sedikit berteriak. Terdengar dengkusan keras darinya. Sepuluh menit kemudian, semua hidangan sudah siap di atas meja. Aku lekas duduk dengan tatapan menyisir ke arah dua orang di hadapan. Hatiku terasa teriris melihat kemesraan mereka. "Sayang, aku suapin, ya!" ucap wanita itu sambil menyodorkan sendok yang berisi makanan ke mulut suamiku. "Boleh," jawab Mas Febi semringah. Sepertinya dia sengaja berbuat demikian di depanku agar aku merasa cemburu dan sakit hati. Segera aku mengalihkan pandangan dan fokus menatap nasi yang ada di piring. "Mas, malam ini kita puas-puasin di sini, ya?" pinta perempuan itu manja dengan wajah di dekatkan ke arah suamiku. Mendengarnya saja buatku eneg. "Iya, sayang," jawab pria itu lembut. Tidak berapa lama, wanita yang disebut suamiku sebagai pacarnya itu bergegas naik ke kamarnya setelah barusan pamit. Kini tinggal aku dan Mas Febi yang masih duduk sambil menyelesaikan aktivitas makan kami yang masih tersisa. "Mas, aku mau pulang sekarang," pintaku tanpa menatap ke arahnya. "Apa? Kamu jangan macam-macam, Ratna. Kita di sini baru juga sampai, masa minta pulang? Nanti apa kata Papi?" protesnya tidak terima sambil mengeratkan giginya. "Buat apa aku di sini kalau cuma untuk menyaksikan perbuatanmu yang tidak bermoral itu!" balasku ketus sambil menatapnya penuh kebencian. "Jaga ucapanmu, Ratna! Ini salahmu, karena kamu sudah menggagalkan rencana pernikahanku dengannya yang sudah dirancang jauh-jauh hari!" bentaknya dengan menatap nyalang ke arahku. Aku tidak bisa berkata lagi, tenggorokanku terasa tercekat hingga sulit untuk mengeluarkan suara. Dada ini begitu sakit mendengar ucapannya yang terus terang. Setelah itu dia menengguk minumnya dan lekas pergi meninggalkan aku yang masih bergeming dengan buliran bening yang mengucur deras sebagai pelengkap kesedihanku. Aku melangkah keluar untuk mencari udara segar, duduk santai di kursi yang ada di taman sambil menatap pemandangan di sekitar. Aku tersentak saat melihat mobil masuk ke halaman ini. Netraku langsung fokus ke arah mobil sembari menunggu siapa yang ada di dalamnya? "Mas Very?" gumamku dengan tatapan lekat ke arah sana, saat ia keluar dari mobil. "Hai, Ratna! Kenapa masih di luar? Di sini udaranya dingin, loh," tegur lelaki itu dengan ramah. "M–Mas Very mau nga–pain ke sini?" tanyaku ragu. "Tadi jam 8 Febi nelepon aku nyuruh datang ke sini. Aku juga tidak tahu mau ngapain soalnya dia tidak bilang apa-apa," jawabnya memberi alasan. Lelaki tampan itu lekas mengambil duduk di sampingku dengan pandangan lurus ke depan ke arah hamparan perkebunan teh. "Ver, kamu sudah sampai dari tadi?" Tiba-tiba terdengar suara suamiku yang nyaring dari belakang. Dengan langkah panjang ia segera menghampiri kami. "Belum lama aku sampai. Kamu ada apa manggil aku suruh buru-buru ke sini? Bukannya mau bulan madu, ya? Nanti aku ganggu jadinya, loh," seru Mas Very terlihat tidak enak hati. "Justru itu aku nyuruh kamu datang ke sini itu untuk menemani Ratna_," ucapnya belum selesai, keburu Very memotongnya. "Maksud kamu?" tanya Very tidak mengerti. "Maksudku, kamu di sini temani Ratna. Soalnya aku sudah ajak Amel. Aku mau berduaan dengannya tanpa ada yang mengganggu. Dari tadi dia minta pulang, tapi kan, tidak mungkin karena aku baru juga sampai. Masa, mau pulang? Nanti yang ada, Papi marah besar," papar suamiku menjelaskan. Hal itu membuatku mengernyitkan dahi. "Wah, wah! Kamu sa–kit, Feb! Kamu ini memang tidak waras! Masa, kamu bawa perempuan lain saat bulan madu, di mana otakmu?" sanggah Mas Very tidak terima dengan wajah nampak geram. Sungguh! Ucapan pria itu sangat mewakili apa yang ada di benakku. "Terserahlah kamu mau ngomong apa, yang penting aku dan Amel bisa senang-senang di sini," kelit Mas Febi tidak mau tahu sambil beranjak masuk. Kini tinggal Very dan aku yang masih duduk terpaku di bangku taman. Wajah Mas Very terlihat geram. "Rat, kamu jangan sedih ya, kamu harus sabar menghadapi manusia macam dia." Mas Very menatap lekat ke arahku membuatku salah tingkah. "Iya, Mas." Aku mengangkat pandangan sekilas ke arahnya, lalu kembali menunduk. "Rat, sebenarnya aku sedih dan tidak tega melihat kesedihan di wajahmu. Aku yakin kamu tidak bahagia bersama Febi ... benar, kan?" Kini wajahnya semakin didekatkan ke arahku, menatap lekat iris mataku. Entah apa yang tengah ia pikirkan? Aku terdiam sambil menghela napas panjang dan mengeluarkannya pelan sekadar ingin mengurai sesak di dalam dada ini. Aku malu kalau harus menangis di hadapan pria ini. "Tanpa kamu jawab pun aku sudah tahu jawabannya. Kamu pasti tidak bahagia hidup dengannya. Maka dari itu, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Ratna." Kedua tangannya kini menarik tanganku yang tergeletak di atas meja bundar. Deg! Jantungku tiba-tiba berdebar kencang dengan perlakuan pria ini. Darah ini berdesir akibat sentuhan darinya. Sebenarnya dia mau ngomong apa? Kenapa kelihatan serius sekali? . ."Sebenarnya ... aku sudah lama menyimpan rasa padamu, tapi aku tidak berani mengatakannya dulu saat kita masih tinggal di kampung karena kamu anaknya pendiam, takut kamu marah," tutur Mas Very panjang lebar membuat otakku seketika memutar ke masa lalu."E_emangnya Mas Very kenal denganku?" tanyaku ragu."Kamu nggak ingat kalau kita dulu sekampung? Kita kan, dulu sekolah bareng di SMP Persada, dan aku Kakak kelasmu. Ya, mungkin kamu dah lupa," pekiknya dengan wajah yang begitu serius seakan menyuruhku untuk ingat kembali tentangnya.Sementara aku masih berpikir keras untuk mengingatnya, mengurai lembar cerita di masa laluku yang penuh perjuangan. "Mm ... kamu Very yang dulu ikut kelas musik dan basket, ya? Yang dulu jadi incaran cewek-cewek karena permainanmu begitu memukai saat tampil?" tebakku semoga tak meleset."Nah, itu kamu ingat," pungkasnya dengan wajah yang ekspresif."Oh, jadi kamu itu Very yang sekampung denganku? Aku gak nyangka kita bisa ketemu di sini. Terus, kalau boleh
"Kamu duduk aja di sini, jangan banyak gerak. Biar aku ambil air minum dulu!" Very mendudukkan aku di bangku panjang yang ada di taman villa ini. Ia memapahku untuk bisa sampai ke sini, aku bersyukur banget ada dia. Coba kalau enggak, gimana aku bisa pulang. Sementara suamiku sendiri tidak perduli dengan keadaanku, dia lebih perhatian sama pacarnya. Very berjalan cepat ke arahku sambil membawa dua gelas air putih dan juga roti bantal." Ini kamu minum dulu, dan ini makan rotinya buat ganjal perut!" "Makasih ya, Mas. Kalau tidak ada Mas Very ... gak tahu gimana pulangnya." Aku mengulum, menahan malu dan gak enak hati padanya. "Udah, gak usah dipikirin." Very tersenyum teduh ke arahku. "Hei, Ratna ...! Buatkan sarapan dong buat aku dan Amel, dah lapar nih!" Lelaki yang berperawakan tinggi itu datang menghampiriku di taman. "Kamu bikin sarapan sendiri bisa dong? Atau kalau enggak, suruh tuh si Amel. Jangan maunya enak-enakan di sini," bentak Very tak terima. "Ver, kenapa loe yang
"Tutup mulutmu dan jangan asal bicara! Kamu tau kan, papiku itu orangnya seperti apa? Dia paling gak suka dibantah, keputusan yang sudah diambil tidak bisa diganggu gugat. Kalau tidak, sudah dari dulu aku menolak untuk menikahimu." Ia mendekat ke arahku. "Jangan-jangan karena kamu kemarin bermalam di villa sama Very, terus timbul rasa suka makanya sekarang kamu minta pisah dariku lalu mau menikah dengannya, iya?" sangkanya berang. Aku menggeleng cepat sebagai bentuk penolakan atas ucapannya yang tidak benar. "Apalagi Very itu seorang CEO yang tampan, single dan juga perhatian sama kamu. Makanya kamu langsung kepincut," terkanya lagi dengan mulut menyeringai. "Bukan itu alasanku, tapi banyak pertimbangan yang membuatku ingin mundur dari pernikahan ini. Terutama mamimu yang tidak pernah suka sama aku dan kerap bersikap kasar dan semena-mena sama aku," ucapku apa adanya dengan suara yang bergetar. "Jangan suka berdalih, mami tidak seperti yang kau tuduhkan. Beliau wanita terhormat
Saat membuka mata ternyata aku sudah berada di ruangan rumah sakit. Apa yang terjadi denganku?"Ratna ... Alhamdulillah kamu sudah sadar." Ternyata di ruangan ini hanya ada Mas Very yang tengah duduk di samping tempat tidurku."Mas Febi mana?" Netraku menyapu pandangan mencari sosok suamiku yang harusnya ada di sini."Tadi Febi keluar katanya mau beli makanan dulu." Lelaki ini menatapku lekat.Aku mengangguk pelan dengan senyum tipis yang kuperlihatkan. "Mas Very kenapa bisa tahu kalau aku ada di sini?""Tadi aku dengar saat Febi menerima telefon dari maminya, katanya kamu pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Terus aku minta ngikut saat Febi izin mau ke sini," paparnya menjelaskan."Kamu sebenarnya kenapa bisa sampai pingsan gini? Kamu sakit?" cecar Very ingin tahu."Iya, Mas. Hari ini aku lagi gak enak badan, tulang-tulangku berasa r3 muk dan sakit. Tapi, Mami m4 ksa nyuruh aku ngerjain semua pekerjaan rumah. Dan terakhir aku j4 tuh dari tangga, terus aku sudah gak ingat la
"Aku sudah mengatakan itu pada Mas Febi, tapi dia menolak." Aku gugup berhadapan dengan Mas Very.Wajahnya kini mendekat ke arahku, dua pasang mata saling bertukar pandang. Desir d4r ahku mengalir der as, serta degup jantungku memompa lebih cepat dari biasanya. "Kenapa katanya? Buat apa dipertahankan pernikahan toxic kayak gitu?" Pandangannya semakin lekat menatapku, Dan tangannya mmb3lai pucuk kepalaku yang tertutup hijab. "Mas Febi takut sama Papinya, karena Beliau tak menginginkan perc3 raian. Papi merasa bertanggung jawab atas hidupku setelah ibuku tiada, apalagi aku sekarang hidup seb4 tang kara," paparku lirih." Ya udah, kamu tidur sekarang! Dah malam noh. Kamu gak usah takut, aku akan menjagamu di sini dan aku tidak akan berbuat macam-macam sama kamu," ucapnya dengan senyum meneduhkan.Tak terasa tengah malam aku terjaga dari tidurku, karena ingin buang air kecil. "Ratna, mau ngapain?" Suara itu terdengar nyaring hingga aku terlonjak kaget dan segera menoleh."Aku mau ke to
"Oh, jadi, diam-diam loe naksir Ratna? Sejak kapan?" Mas Febi mendorong kasar tubuh Mas Very hingga mundur beberapa langkah."Lo tidak perlu tahu."Mas Very menatap nyalang ke arah suamiku."Loe mau jadi pahlawan kesiangan?" Kini Mas Febi mendekati Mas Very seolah ingin menantang."Aku hanya ingin melindungi orang yang aku sayang, apakah itu salah?" "Kamu tanya? Kamu bertanya-tanya? Hei bro, Ratna itu istri gue, lo gak berhak dan gak perlu melakukan itu. Itu biar menjadi urusan gue!" "Mas Febi ... sudah, jangan berantem! Ini kantor, gak enak dilihat orang," ucapku melerai perdebatan sengit mereka." Dan kamu __ Mentang-mentang aku tidak pernah menyentuhmu, lantas kamu godain temenku minta dib3lai, iya?! Dasar perempuan gatal!' Lelaki yang bergelar suami itu kini murka dengan tatapan nyalang ke arahku seraya menggerak-gerakkan telunjuknya tepat di depan wajahku kemudian berlalu pergi menuruni anak tangga.Kenapa dia ngomong seperti itu di depan sahabatnya, dan ini tempat umum. Kala
Buuugghh!!Bogem mentah spontan melayang ke pipi Very hingga membuatnya tersungkur di lantai. Tangan kekarnya mampu membuat darah segar keluar dari sudut bibirnya."Apa loe bilang? Ayo, ngomong sekali lagi! Biar gue hajar loe sampe bonyok!" Kedua tangan Febi mencengkeram kerah kemeja Very dengan tatapan nyalang penuh amarah."Gue ngomong apa adanya. Dari pada loe sia-siakan Ratna dengan tidak memenuhi haknya, lebih baik loe lepasin aja dia." "Gak usah loe ceramahin gue! Lebih baik diam!" Kedua tangan Febi mendorong kasar dada bidang lelaki yang dibawah cengkeramannya hingga dia terlentang di lantai granit berwarna cokelat susu itu Suami dari Ratna itu berlalu meninggalkan Very yang masih tergeletak di lantai begitu saja lalu beranjak menuju ruangannya. "Pak, Bapak kenapa mulutnya berdarah? Siapa yang melakukannya?" tegur sekertarisnya di kantor yang biasa ia panggil dengan nama Amanda. Dia melintas di depannya. Tangannya dengan sigap menyeka darah yang mengalir di sudut bibir Ve
"Ratna! Dengarkan aku baik-baik! Aku terpaksa nikahi kamu ya! Jadi, kamu jangan kepedean merasa aku bakal mencintaimu dan memperlakukanmu seperti seorang istri pada umumnya. Pernikahan kita hanya sebatas di atas kertas, tidak lebih!" Wajah lelaki yang dua pekan lalu telah menghalalkanku begitu sinis dengan tatapan mata elang yang siap menerkam mangsanya.Dengan buru-buru ia melepas jas hitam berikut kemeja putih yang telah dipakainya saat kerja tadi. Lalu melemparkannya sembarang di atas kasur. Dan segera berganti baju dengan baju santai.Aku terdiam, tertunduk pilu menatap kebaya putih yang hari itu aku kenakan usai acara paling sakral di dalam hidup. Aku terpaku di sisi ranjang dengan dada yang bergetar, mengabaikan ucapannya yang tidak enak didengar. Pantas saja selama dua pekan kami menikah, sikapnya selalu dingin dan cenderung kasar. Ya, ternyata dia menikahiku karena terpaksa. Harusnya aku menolak saja dulu.Bukan pernikahan seperti ini yang kuharapkan. Bahkan, bermimpi pun aku