Suara sendok saling beradu di tengah makan siang yang canggung.
"Tante Leona, Mayra mau ikan lagi dong." Gadis kecil itu mengalihkan perhatian semua orang.
Bagaimana tidak, ada Saras di sebelahnya, namun ia menyerukan nama Leona.
"Ehh, kan ada Mama disini, Mayra nggak boleh gitu, itu namanya nggak sopan," ucap Denis.
Biasanya Mayra akan sungkan jika melihat orang baru, namun sedari tadi Denis melihat jika anak-anaknya sama sekali tidak takut pada Leona.
Saras tampak menggeram, kesal melihat sikap Denis yang membela Leona.
"Maaf ya Leona, keberadaan anak-anakku jadi mengganggu kalian," ucap Saras dengan tatapan tertuju pada Denis, wanita itu seakan memberi sindiran.
Sementara Denis yang menyadari itu hanya bisa menghela napas.
"Nggak apa-apa mbak, lagian hal wajar, mungkin karena Mayra lihat ikannya ada di depan aku," sahut Leona dengan senyum manisnya.
"Aku jadi nggak enak ngerepotin kalian seperti ini, Miko dan Mayra memang sangat dimanja oleh Papanya, jadi kadang mereka belum bisa menempatkan diri, harap maklum ya Ra, namanya masih anak-anak," ucap Saras lagi.
Sudut bibir Leona terangkat. "Jangan sungkan mbak, aku suka anak-anak, lagian mereka masih kecil, aku maklum kok. Oh ya, kemana Papanya mbak, kok nggak di ajak liburan ke Jakarta?"
Saras dan Denis saling tatap, Leona sendiri memang tidak memperhatikan gerak-gerik keduanya, ia masih sibuk memberikan ikan pada Mayra, lantas kembali melanjutkan makannya.
"Suami saya..." Saras tersenyum ke arah Denis, membuat pria itu melotot.
"Suami mbak kemana?" Leona mendongak menatap Saras.
Ekspresi Denis berubah panik, pria itu tertunduk kembali menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.
"Dia sedang ada pekerjaan di luar kota Leona," jawab Saras.
Makan siang penuh ketegangan itu akhirnya berakhir juga, Tuti dan Sulis membereskan meja makan setelah tadi Leona meminta keduanya menyiapkan kamar untuk Saras.
"Mbak, udah siang, barang kali Miko dan Mayra mau istirahat," ucap Leona kemudian.
"Mayra, Miko, kalian istirahat dulu ya, Om juga mau istirahat, nanti kalau sudah bangun tidur, kita berenang!" bujuk Denis.
Kompak keduanya mengangguk patuh, walau Saras sendiri sangat berharap jika anak-anaknya meminta Denis menemani.
"Bik, tolong anter mereka kekamar ya, saya dan tuan mau istirahat juga," ucap Leona pada Sulis.
"Siap Nyah," sahut Sulis seraya membawa koper milik Saras menuju lantai dua.
Sebenarnya tadi Leona sudah menyiapkan kamar tamu di lantai satu, tapi entah mengapa tiba-tiba Saras mengatakan jika anak-anaknya ingin tidur di lantai dua. Alhasil Leona meminta Sulis membersihkan kamar tamu di sebelah kamarnya dan Denis.
Semenjak kedatangannya bersama Denis, Tuti sama sekali tak henti memperhatikan Saras dan anak-anaknya. Ada rasa curiga dalam hati wanita paruh baya itu. Dia merasa janggal dengan sikap anak-anak Saras pada Denis, biasanya Arya—anak Dini, keponakan Denis—yang sering datang kemari saja tidak selengket itu pada pamannya.
"Ini kamarnya buk." Sulis membuka pintu kamar di sisi kamar utama.
Pandangan Saras mengedar, menilik setiap penjuru kamar. Rumah ini terlalu mewah, sangat jauh jika dibandingkan dengan rumah yang dia dan anak-anaknya tempati. "Apa sebelah kamar Leona dan Denis?" tanya Saras seraya menunjuk pintu di sebelahnya.
"Iya buk, ini kamar utama milik Nyonya, masih ada kamar lain, kamar yang dulunya milik ayah Nyonya Leona," jawab Sulis.
Saras manggut-manggut, lantas ia berlalu masuk menyusul kedua anaknya yang nampak sudah berbaring di atas ranjang empuk itu.
"Mama, kamarnya bagus," ucap Miko.
"Iya, Miko suka tinggal disini?" tanya Saras, tentu saja pertanyaan Saras mendapat anggukan dari kedua anaknya.
Samar-samar Saras mendengar suara suaminya tengah mengobrol, disusul suara pintu yang ditutup. Saras yakin jika Denis dan Leona baru saja masuk ke dalam kamar mereka.
Saras menempelkan telinganya di dinding, dia ingin mendengar apa yang sedang terjadi di kamar sebelah, namun sayang, tak ada suara apapun.
"Mama, Mama sedang apa?" tanya Miko heran.
"Shhh.. Diam, kalian tidur sana!" bentak Saras yang kembali mengulangi aksinya.
Di kamar sebelah, Denis menahan tengkuk Leona. Pria itu menyatukan bibir mereka.
Dua tahun hidup bersama, bohong jika Denis tidak memiliki perasaan apapun pada Leona. Apalagi Leona begitu cantik, kulitnya putih, badannya bagus, sungguh laki-laki manapun akan terpesona karenanya.
Mendapati serangan mendadak dari sang suami membuat Leona tersenyum simpul, tanpa ragu ia membalas lumatan suaminya. Usianya sebentar lagi menginjak 30 tahun, tentu sebagai wanita dewasa yang sudah pernah merasakan hubungan suami istri, Leona pun kerap kali merindukan suaminya.
Tangan Leona bergerak aktif membuka satu persatu kancing baju Denis, hampir empat hari tak bertemu, membuat Leona rindu akan sentuhan laki-laki itu.
Sekali hentakan Denis menggendong tubuh Leona, pria itu membawanya bak anak koala, tanpa melepaskan pagutan bibir mereka. Denis mendekati ranjang, laki-laki manapun tak akan bisa menolak jika dihadapkan pada hal seperti ini, toh Leona juga istri sahnya.
Napas keduanya terengah, Denis membaringkan Leona diatas ranjang, pria itu sejenak memberi jeda, membiarkan sang istri menghirup udara sebanyak-banyaknya. Sebelum dia kembali melanjutkan aktivitasnya.
Tatapan keduanya saling beradu, Leona membelai dada suaminya, kemeja yang ia kenakan sudah terlempar diatas lantai, menyisakan celana panjang yang masih menutup bagian bawahnya.
"Aku kangen sayang," bisik Denis seraya menyesap leher Leona, membuat wanita itu menggelinjang.
"Mass..hh.."
Ini lah mengapa Leona tidak pernah menaruh curiga, sebab setiap habis bepergian Denis selalu memuaskan dirinya, pria itu pasti akan mengatakan hal-hal manis yang membuat Leona tak pernah berpikir macam-macam.
"Emmm.. Sekarang ya." Denis menyingkap dress yang Leona kenakan, bulatan benda kenyal tersaji di hadapannya.
Leona sendiri tidak menjawab, tangannya bergerak nakal mengusap sesuatu yang sudah menyembul di balik celana Denis. Hingga suara ketukan di luar mengejutkan keduanya.
Tok.. tok.. tok..
"Mas, ada orang…" Leona menahan dada suaminya, menjauhkan wajah pria itu dari dadanya.
"Biarin sayang, aku udah nggak tahan," bantahnya dan kembali melahap benda kenyal itu.
Kembali suara ketukan mengganggu aktivitas mereka. Namun, kali ini Leona benar-benar menahan suaminya. "Mas, udah dulu, barang kali itu mbak Saras, kalau bibik nggak mungkin berani," ujarnya.
Seketika Denis seolah tersadar. Ia terjingkat kaget, lalu segera memungut kemejanya dan merapikan dress Leona.
Entah mengapa … wajah suaminya tampak memucat panik.
Leona memiringkan kepala heran. Mengapa suaminya bersikap seperti orang yang baru saja terpergok melakukan sesuatu yang salah?
Padahal kan mereka suami istri yang sah.
"Aku buka dulu ya," ujar Denis, meninggalkan Leona yang bergeming di atas kasur dengan pikiran berkecamuk.
Saras berdiri di depan pintu kamar Leona dengan perasaan cemas, sementara kedua anaknya yang sudah sangat mengantuk di biarkan merengek. Wanita itu menggigiti kuku jarinya, bayangannya Leona dan Denis melakukan adegan ranjang memenuhi kepalanya. "Mama, kami mengantuk," rengek Miko, terbiasa tidur siang di tambah lagi baru melakukan perjalanan membuat keduanya mengantuk.Sebuah ide melintas di kepalanya. "Tunggu Miko,” kata Saras. “Minta Om Denis menemani Miko tidur, merengek atau menangis tidak papa, yang penting buat Om Denis bersama Miko dan Mayra ya," hasut Saras pada kedua anaknya.Ceklek…Tidak lama pintu kamar itu terbuka, Denis menampakan dirinya, rambut acak-acakan dengan kemeja yang tak terkancing sudah membuktikan jika keduanya tengah melakukan apa yang Sarah pikir."Saras, ada apa?" Denis menatap wanita itu, terlihat ada Miko dan Mayra memegangi kaki ibu mereka dengan deraian air mata.Tidak lama Leona ikut menyusul, wanita itu menyembulkan kepalanya di samping Denis. "Mb
Denis membuka pintu kamarnya dengan perlahan, aroma parfum yang sangat ia kenali menyeruak di indera penciumannya, begitu wangi sekali. Pandangan pria itu tertuju pada sosok cantik yang mengenakan gaun tipis berwarna pink, begitu kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Sejenak ia terdiam, mengamati dari ujung kaki hingga ujung rambut, nampak Leona melempar senyum manis kearahnya. Wanita itu berjalan menghampiri Denis yang masih termangu di ambang pintu."Mas, mereka udah tidur?" tanya Leona memastikan. Wanita cantik itu menggenggam lengan Denis, menuntun nya masuk lantas mengunci pintu kamar."Kenapa siang-siang pake baju gini?" tanya Denis bingung sendiri, mungkin jika dia dan Saras belum berbagi peluh, Denis akan langsung menerkam tubuh Leona, mengungkungnya diatas ranjang, bermandi keringat hingga mereka lelah. Tapi saat ini Denis bahkan tak lagi memiliki tenaga, dia sudah sangat lelah, apa lagi baru melakukan perjalanan jauh."Kamu nggak suka?" tanya Leona dengan raut s
Matahari menyelinap masuk lewat celah tirai, menyilaukan mata wanita cantik yang masih terpejam. la meraba sisi ranjang, mencari sosok gagah yang bisa dipeluknya, namun sayang tidak ada siapapun disana. Seketika Leona langsung terjaga, wanita itu terduduk diatas ranjang, menatap sekeliling mencari keberadaan suaminya."Mas," panggilnya dengan suara serak khas bangun tidur.Tidak mendapati jawaban dari Denis. Leona pun bangkit, ia membuka pintu toilet, namun tetap saja tidak ada Denis disana. "Kemana sih mas Denis?" tanya Leona heran. la membuka tirai gorden, seraya membuka pintu balkon, membiarkan udara segar masuk kedalam kamarnya. Samar-samar rungunya mendengar suara canda gurau dari arah bawah. Leona mendekati balkon, ia menilik ke arah kolam, nampak suaminya sedang berenang bersama Miko dan Mayra, ada pula Saras yang turut menyeburkan diri, padahal cuaca masih sangat pagi.Semula Leona tampak biasa saja, namun saat ia melihat Saras berenang mendekati suaminya ia mulai heran. En
"Aku berangkat ya." Denis mendekati Leona mengulurkan tangannya kehadapan istri mudanya itu. Sementara Saras hanya bisa menyaksikan, tak bisa ia melakukan hal yang sama, ternyata setiap hari Denis dan Leona akan bersikap manis seperti ini. Membayangkan saja sudah membuatnya muak."Iya, hati-hati ya mas," ucap Leona dengan senyum manisnya."Ras, Miko, Mayra, Om pergi dulu ya," seru Denis pada istri tua dan kedua anaknya."Iya Om," sahut mereka.Denis melempar senyuman pada Leona seraya mengusap pucuk kepalanya, dan setelah itu ia pergi menghampiri Tomy yang sudah menunggu.Tidak seperti biasanya, setiap akan pergi ke kantor Denis pasti akan mencium keningnya. Namun pagi ini suaminya berlalu begitu saja, padahal Leona sudah menunggu ciuman hangat sang suami."Pasti mas Denis malu," batin Leona. Wanita itu berlalu masuk, kembali mendekati Saras dan kedua anaknya yang masih duduk di meja makan."Mbak Saras nggak mau jalan-jalan?" tawar Leona.Saras yang tengah menyuapkan nasi ke mulut Ma
Jam makan siang Denis menemui salah satu perwakilan Perusahaan Dirgantara. Pria itu melenggang masuk kedalam resaturant dimana dia akan menemui seseorang. Di dampingi oleh Leo, pandangan pria itu mengedar kesana kemari mencari meja yang sudah dipesan. Seseorang yang ditunggu belum menampakan diri. "Itu kursinya pak," ucap Leo menunjuk salah satu meja kosong yang sudah ia pesan. "Mereka belum datang?" tanya Denis. "Belum, tidak apa-apa kita menunggu, lagi pula ini kesempatan emas Pak, bapak sudah menunggu selama dua tahun untuk bisa meyakinkan Dirgantara," sahut Leo. Denis mengangguk, benar apa yang Leo katakan, kesempatan ini tidak boleh ia sia-siakan. Jika sudah mendapat kerja sama dengan prusahaan itu, maka Denis bisa mengeksekusi tujuannya. Jarum jam ter
"Ini susunya, Sayang!" Leona menyerahkan botol susu pada Mayra yang tengah berbaring di pangkuan ibunya. "Maaf ya, Leona, jadi merepotkan kamu seperti ini," ujar Saras dengan raut wajah yang terasa begitu berat. Tak ada yang bisa membaca isi hati Saras. Seolah-olah di balik raut wajah berat tersebut, ia malah senang karena berhasil menjadikan Leona sebagai baby sister-nya. "Ah, tidak apa-apa, Mbak. Ini juga bagus, sekalian latihan untuk saya kalau nanti punya anak sendiri," sahut Leona dengan senyuman ikhlas. Saras hanya merespon dengan senyum sinis. "Tetaplah berharap sampai kamu lelah, karena tak akan pernah ada anak yang kamu harapkan itu," gumamnya dalam hati, penuh ejekan. "Mama, panas sekali!" Mayra tiba-tiba melemparkan botol susu itu ke lantai, membuat Saras dan Leona terkejut.
Leona membuka pintu kamarnya, matanya melototi ke sekeliling dengan tajam mencari sosok suaminya, Denis. Dia yakin sebelumnya Denis telah lebih dulu naik ke atas bersama Mayra, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya di sana. Leona menghela napas panjang, firasatnya mengatakan bahwa mungkin Denis tengah berada di kamar Saras. Tanpa pikiran panjang, langkah Leona bergegas menuju pintu kamar di sebelahnya. Baru saja tangan Leona hendak menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Denis muncul dengan cepat dari dalam kamar. "Leona, kamu sudah dari tadi di sini?" tanya Denis khawatir, ia takut seandainya Leona sejak tadi menguping perbincangan hangatnya bersama Saras. "Aku baru mau buka pintu. Aku kira kamu di kamar kita, ternyata kamu ada di sini," jawab Leona, bibirnya mengerucut merasakan keanehan yang terjadi. Denis menghela napas lega, kembali mengumpulkan tenaga dan p
Leona melangkah turun dari anak tangga, wajahnya berseri bagai cahaya matahari yang terpancar di senja hari. Tangannya terjalin erat dengan Denis. Senyum Leona yang tulus, mencerminkan harmoni dalam hubungan mereka. Sementara, di ujung meja, Saras tak bisa menahan iri melihat kedekatan keduanya. Denis, yang dulu begitu hangat dan perhatian terhadapnya, kini menjalin hubungan bahagia dengan wanita muda. Hati Saras mencelos dengan kepedihan. Sesekali pertanyaan muncul di pikirannya, "Apakah Denis benar-benar tak menaruh hati pada istri mudanya? Atau apakah ini hanyalah permainan waktu belaka?" Walau secara sadar Saras pun memahami, semua yang terjadi karena kesalahannya pula, itu mengapa Denis bisa bersama dengan Saras. "Mbak," sapa Leona dengan ramah, memecah lamunan Saras yang kelam. Saras mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Hai, Leona."