Saras berdiri di depan pintu kamar Leona dengan perasaan cemas, sementara kedua anaknya yang sudah sangat mengantuk di biarkan merengek.
Wanita itu menggigiti kuku jarinya, bayangannya Leona dan Denis melakukan adegan ranjang memenuhi kepalanya.
"Mama, kami mengantuk," rengek Miko, terbiasa tidur siang di tambah lagi baru melakukan perjalanan membuat keduanya mengantuk.
Sebuah ide melintas di kepalanya. "Tunggu Miko,” kata Saras. “Minta Om Denis menemani Miko tidur, merengek atau menangis tidak papa, yang penting buat Om Denis bersama Miko dan Mayra ya," hasut Saras pada kedua anaknya.
Ceklek…
Tidak lama pintu kamar itu terbuka, Denis menampakan dirinya, rambut acak-acakan dengan kemeja yang tak terkancing sudah membuktikan jika keduanya tengah melakukan apa yang Sarah pikir.
"Saras, ada apa?" Denis menatap wanita itu, terlihat ada Miko dan Mayra memegangi kaki ibu mereka dengan deraian air mata.
Tidak lama Leona ikut menyusul, wanita itu menyembulkan kepalanya di samping Denis. "Mbak, ada apa?" tanya Leona heran.
"Maaf ganggu Leona, ini Miko dan Mayra terbiasa tidur dengan Papanya, karena Papanya sedang tidak ada disini jadi aku bingung," alibinya mencari alasan.
"Om, temani Miko tidur." Miko mendongak, anak itu memegangi lengan Denis.
Sontak saja Denis dibuat bingung dengan permintaan anak-anak itu, pria itu menatap Leona yang ada di sebelahnya.
"Biar ditemani mas Denis dulu mbak, siapa tahu mereka bisa tidur dengan anteng," Putus Leona akhirnya.
Dalam hati Saras bersorak riang, tidak sesulit yang dia bayangkan.
"Benar nggak apa-apa Leona, aku nggak enak ganggu kalian, tapi gimana lagi, Miko dan Mayra menangis terus," ujarnya.
Denis paham betul jika itu hanya alasan yang Saras buat.
"Kamu nggak apa-apa sayang?" Denis kembali menatap Leona, terlihat sang istri tersenyum, namun Denis tahu jika Leona terpaksa mengiyakan.
"Iya nggak apa-apa, aku tunggu kamu di kamar," putusnya.
"Makasih banyak ya Leona," ucap Saras, wanita itu menuntut Miko dan Mayra masuk ke kamar lain.
Sementara Denis mau tidak mau harus mengikuti rencana yang sudah Saras buat, entah apa yang sebenarnya wanita itu lakukan, Denis dibuat pusing karenanya.
"Aku coba bantu tidurin mereka ya, tunggu aku!" Denis melumat singkat bibir Leona sebelum ia menyusul Saras.
"Iya," jawabnya tanpa rasa curiga sama sekali.
Denis melempar senyuman pada istrinya itu. Lantas menyusul masuk setelah Leona menutup pintu kamar mereka.
"Ras, kamu apa-apaan sih?"
Denis menutup pintu kamar itu, ia menatap kesal pada Saras yang nampak santai saja. Bahkan kini wanita itu mengunci pintu.
"Mana yang lebih penting? Miko dan Mayra atau dia? Apa kamu lebih memilih memuaskan Leona dibanding menemani Miko dan Mayra?" tuduhnya.
Denis berdecak, keputusan salah karena dia setuju membawa mereka kemari, padahal ini bisa membahayakan rencana yang sudah disusunnya.
"Kamu jelas tahu apa tujuanku Ras, jangan kekanakan, kita sudah sepakat, seharusnya kamu bersabar dan membiarkan aku menyelesaikan semuanya, bukan malah bersikap seperti ini!" sahut Denis kesal.
"Aku tidak tahan mas, aku stress memikirkan kamu dan Leona, aku cemburu."
Saras memeluk tubuh Denis, dilihat dari sudut manapun Leona memang cantik, tentu ada ketakutan sendiri dalam hati Saras jika harus lebih lama menunggu. Dia takut jika akhirnya Denis tergoda dan melupakan tujuan utamanya.
Denis menghela napas dalam. Dia memahami betul perasaan Saras, hanya saja tak mungkin dia mengabaikan Leona, apalagi hubungan mereka baik-baik saja. Akan menjadi boomerang jika Denis mengubah sikapnya.
"Mama, ngantuk," ucap Mayra yang sudah sedari tadi menunggu Mamanya.
"Sana, tidurkan Mayra dan Miko dulu! Kasihan, mereka pasti lelah," bujuk Denis.
"Tunggu di sini! Jangan keluar dulu," rayu Saras dengan suara manjanya.
"Iya," jawab Denis singkat.
Saras bergegas mendekati anak-anaknya, wanita itu berusaha menidurkan Miko dan Mayra, kepalanya sudah dipenuhi berbagai rencana agar nanti Denis dan Leona tidak melakukan hubungan badan.
Sementara Denis menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa yang ada di dalam kamar. Laki-laki itu pun merasa was-was, jika sikap Saras terus seperti ini, cepat atau lambat Leona pasti akan tahu.
Sebisa mungkin Denis akan membujuk Saras agar segera pergi meninggalkan rumah itu.
Tidak butuh waktu lama sampai Miko dan Mayra terlelap. Saras bangkit dari ranjang dan mendekati Denis yang tengah melamun.
Wanita itu membuka kancing kemejanya satu per satu. Lantas melemparnya ke sembarang arah. Menyadari apa yang akan Saras lakukan membuat Denis panik.
"Ras, apa yang kamu lakukan?" tanya Denis syok.
"Melakukan apa yang ingin kamu dan Leona lakukan."
Dalam sekejap Saras bersimpuh di sela-sela paha Denis. Wanita itu menatap Denis dengan penuh gairah. Tangannya bergerak lincah membuka kancing celana Denis.
Jika sudah begini Denis hanya bisa pasrah, sulit baginya menolak Saras. Wanita itu pandai membuatnya bergairah, permainannya begitu lihai jika dibandingkan dengan Leona. Hanya saja, jiwa lelakinya selalu tak pernah puas bermain dengan satu wanita.
Mulut Saras melahap habis benda tumpul yang sudah begitu mengeras. Sontak hal itu membuat Denis memejamkan mata menikmati. Walaupun dalam hati ia pun takut jika tiba-tiba Leona datang ke sana.
"Kamu begitu hebat, Sayang," puji Denis, membuat Saras tersenyum simpul. Dia yakin setelah ini Denis tak akan menggagahi Leona. Dia akan membuat Denis lelah.
Detik berikutnya, Denis menuntut Saras untuk naik ke pangkuannya. Seperti tidak ada bosannya mereka terus bercumbu. Denis melahap habis daging kenyal yang ada di hadapannya.
Hal itu membuat Saras menggila, wanita itu seakan sengaja mengeluarkan suara erotisnya, dengan terus mendesah dan menyebutkan nama Denis. Namun Denis yang masih dalam keadaan waspada melahap bibir itu, dia tak mau jika ada yang mendengar suara Saras. Apa lagi kamar ini tidak kedap suara seperti kamarnya.
"Akkhh mass.. Aku mau ke-"
Denis kembali membungkam mulut Saras, keduanya mengubah posisi menuntaskan hasrat yang sama-sama hampir sampai di akhir.
Sementara, di kamar sebelah Leona baru saja selesai mandi, wanita itu mengenakan pakaian seksi untuk menarik perhatian Denis. Jujur dia sedikit kesal karena aktivitas mereka tadi harus terhenti, namun di sisi lain Leona jadi memiliki kesempatan untuk bersiap.
la menyemprotkan wewangian dikamarnya, tak lupa memoles wajahnya dengan make-up tipis. Hanya tinggal menunggu Denis kembali dari kamar sebelah, ia bisa mengurangi rindunya selama empat hari ini.
"Jangan seperti ini lagi Ras, apa kamu mau rencana dan pengorbanan yang sudah kamu lakukan berakhir sia-sia. Kamu tahu aku melakukan ini untuk kamu dan anak-anak kita, jadi jangan terlalu lama di sini, agar aku juga bisa bergerak cepat menyelesaikan semuanya," ucap Denis seraya mengenakan pakaiannya kembali.
"Kasih aku kepastian mas, kapan saat itu tiba? Sampai kapan lagi aku harus bertahan? Setiap kamu bersama dengannya, aku selalu gelisah, aku takut," sahut Saras.
Denis menghela napas dalam. Pria itu mendekati Saras. "Sedikit lagi, hanya tinggal perusahaan utama, aku harus mendapatkan itu untuk bekal anak-anak kita nanti, sabar ya?" Denis mengecup dahi Saras yang masih tergeletak diatas sofa tanpa sehelai benang pun.
Saras hanya bisa mengangguk, dan lagi-lagi harus menunggu semuanya selesai.
"Tolong jangan bercinta dengan Leona selama ada aku di sini," katanya dengan wajah memelas.
Denis mengangguk. "Aku keluar dulu."
Denis membuka pintu kamarnya dengan perlahan, aroma parfum yang sangat ia kenali menyeruak di indera penciumannya, begitu wangi sekali. Pandangan pria itu tertuju pada sosok cantik yang mengenakan gaun tipis berwarna pink, begitu kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Sejenak ia terdiam, mengamati dari ujung kaki hingga ujung rambut, nampak Leona melempar senyum manis kearahnya. Wanita itu berjalan menghampiri Denis yang masih termangu di ambang pintu."Mas, mereka udah tidur?" tanya Leona memastikan. Wanita cantik itu menggenggam lengan Denis, menuntun nya masuk lantas mengunci pintu kamar."Kenapa siang-siang pake baju gini?" tanya Denis bingung sendiri, mungkin jika dia dan Saras belum berbagi peluh, Denis akan langsung menerkam tubuh Leona, mengungkungnya diatas ranjang, bermandi keringat hingga mereka lelah. Tapi saat ini Denis bahkan tak lagi memiliki tenaga, dia sudah sangat lelah, apa lagi baru melakukan perjalanan jauh."Kamu nggak suka?" tanya Leona dengan raut s
Matahari menyelinap masuk lewat celah tirai, menyilaukan mata wanita cantik yang masih terpejam. la meraba sisi ranjang, mencari sosok gagah yang bisa dipeluknya, namun sayang tidak ada siapapun disana. Seketika Leona langsung terjaga, wanita itu terduduk diatas ranjang, menatap sekeliling mencari keberadaan suaminya."Mas," panggilnya dengan suara serak khas bangun tidur.Tidak mendapati jawaban dari Denis. Leona pun bangkit, ia membuka pintu toilet, namun tetap saja tidak ada Denis disana. "Kemana sih mas Denis?" tanya Leona heran. la membuka tirai gorden, seraya membuka pintu balkon, membiarkan udara segar masuk kedalam kamarnya. Samar-samar rungunya mendengar suara canda gurau dari arah bawah. Leona mendekati balkon, ia menilik ke arah kolam, nampak suaminya sedang berenang bersama Miko dan Mayra, ada pula Saras yang turut menyeburkan diri, padahal cuaca masih sangat pagi.Semula Leona tampak biasa saja, namun saat ia melihat Saras berenang mendekati suaminya ia mulai heran. En
"Aku berangkat ya." Denis mendekati Leona mengulurkan tangannya kehadapan istri mudanya itu. Sementara Saras hanya bisa menyaksikan, tak bisa ia melakukan hal yang sama, ternyata setiap hari Denis dan Leona akan bersikap manis seperti ini. Membayangkan saja sudah membuatnya muak."Iya, hati-hati ya mas," ucap Leona dengan senyum manisnya."Ras, Miko, Mayra, Om pergi dulu ya," seru Denis pada istri tua dan kedua anaknya."Iya Om," sahut mereka.Denis melempar senyuman pada Leona seraya mengusap pucuk kepalanya, dan setelah itu ia pergi menghampiri Tomy yang sudah menunggu.Tidak seperti biasanya, setiap akan pergi ke kantor Denis pasti akan mencium keningnya. Namun pagi ini suaminya berlalu begitu saja, padahal Leona sudah menunggu ciuman hangat sang suami."Pasti mas Denis malu," batin Leona. Wanita itu berlalu masuk, kembali mendekati Saras dan kedua anaknya yang masih duduk di meja makan."Mbak Saras nggak mau jalan-jalan?" tawar Leona.Saras yang tengah menyuapkan nasi ke mulut Ma
Jam makan siang Denis menemui salah satu perwakilan Perusahaan Dirgantara. Pria itu melenggang masuk kedalam resaturant dimana dia akan menemui seseorang. Di dampingi oleh Leo, pandangan pria itu mengedar kesana kemari mencari meja yang sudah dipesan. Seseorang yang ditunggu belum menampakan diri. "Itu kursinya pak," ucap Leo menunjuk salah satu meja kosong yang sudah ia pesan. "Mereka belum datang?" tanya Denis. "Belum, tidak apa-apa kita menunggu, lagi pula ini kesempatan emas Pak, bapak sudah menunggu selama dua tahun untuk bisa meyakinkan Dirgantara," sahut Leo. Denis mengangguk, benar apa yang Leo katakan, kesempatan ini tidak boleh ia sia-siakan. Jika sudah mendapat kerja sama dengan prusahaan itu, maka Denis bisa mengeksekusi tujuannya. Jarum jam ter
"Ini susunya, Sayang!" Leona menyerahkan botol susu pada Mayra yang tengah berbaring di pangkuan ibunya. "Maaf ya, Leona, jadi merepotkan kamu seperti ini," ujar Saras dengan raut wajah yang terasa begitu berat. Tak ada yang bisa membaca isi hati Saras. Seolah-olah di balik raut wajah berat tersebut, ia malah senang karena berhasil menjadikan Leona sebagai baby sister-nya. "Ah, tidak apa-apa, Mbak. Ini juga bagus, sekalian latihan untuk saya kalau nanti punya anak sendiri," sahut Leona dengan senyuman ikhlas. Saras hanya merespon dengan senyum sinis. "Tetaplah berharap sampai kamu lelah, karena tak akan pernah ada anak yang kamu harapkan itu," gumamnya dalam hati, penuh ejekan. "Mama, panas sekali!" Mayra tiba-tiba melemparkan botol susu itu ke lantai, membuat Saras dan Leona terkejut.
Leona membuka pintu kamarnya, matanya melototi ke sekeliling dengan tajam mencari sosok suaminya, Denis. Dia yakin sebelumnya Denis telah lebih dulu naik ke atas bersama Mayra, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya di sana. Leona menghela napas panjang, firasatnya mengatakan bahwa mungkin Denis tengah berada di kamar Saras. Tanpa pikiran panjang, langkah Leona bergegas menuju pintu kamar di sebelahnya. Baru saja tangan Leona hendak menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Denis muncul dengan cepat dari dalam kamar. "Leona, kamu sudah dari tadi di sini?" tanya Denis khawatir, ia takut seandainya Leona sejak tadi menguping perbincangan hangatnya bersama Saras. "Aku baru mau buka pintu. Aku kira kamu di kamar kita, ternyata kamu ada di sini," jawab Leona, bibirnya mengerucut merasakan keanehan yang terjadi. Denis menghela napas lega, kembali mengumpulkan tenaga dan p
Leona melangkah turun dari anak tangga, wajahnya berseri bagai cahaya matahari yang terpancar di senja hari. Tangannya terjalin erat dengan Denis. Senyum Leona yang tulus, mencerminkan harmoni dalam hubungan mereka. Sementara, di ujung meja, Saras tak bisa menahan iri melihat kedekatan keduanya. Denis, yang dulu begitu hangat dan perhatian terhadapnya, kini menjalin hubungan bahagia dengan wanita muda. Hati Saras mencelos dengan kepedihan. Sesekali pertanyaan muncul di pikirannya, "Apakah Denis benar-benar tak menaruh hati pada istri mudanya? Atau apakah ini hanyalah permainan waktu belaka?" Walau secara sadar Saras pun memahami, semua yang terjadi karena kesalahannya pula, itu mengapa Denis bisa bersama dengan Saras. "Mbak," sapa Leona dengan ramah, memecah lamunan Saras yang kelam. Saras mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Hai, Leona."
Denis meraba meja nakas, mencari ponselnya yang terdengar bergetar. Dengan mata setengah terbuka, pria itu membaca rangkaian kalimat yang dikirim melalui aplikasi chatting berwarna hijau. "Aku menunggumu di luar. Kalau kamu tidak keluar, aku akan mendatangi kamar kalian." Pesan singkat itu membuat Denis menghela napas panjang. Tak tahu untuk apa Saras memintanya keluar dilarut malam begini, padahal esok hari mereka akan menghabiskan waktu bersama. Karena sudah mengantuk, terpaksa pria itu mengabaikan saja, dan kembali meletakkan ponselnya di tempat semula. Baru saja kelopak matanya hendak tertutup, suara getaran kembali mengusik ketenangannya. Denis melirik pada Leona yang tidur dengan kepala bersandar di lengannya. Perlahan ia menggeser kepala Leona, lalu turun dari ranjang sambil membawa ponselnya. Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Denis membuka pint
Di sinilah Ferdy berada di ruang UGD. Pria tampan itu tengah di periksa dokter di dalam, dan setelah beberapa saat menunggu akhirnya sang dokter keluar juga.Leona menghampiri dokter itu lebih dulu dan bertanya pada sang dokter bagaimana keadaan suaminya. Tari dan Rendy mengikuti Leona dari belakang."Dok gimana keadaan suami saya" tanya Leona dengan wajah cemasnya.Dokter itu tersenyum dan menjawab pertanyaan Leona."Ibu tenang saja suami ibu tidak apa-apa hanya saja dia kekurangan asupan makanan dan membuat tubuhnya menjadi tak bertenaga. Apa sebelumnya suami ibu sering muntah" tanya sang dokter di akhir kalimat."Iya dok sejak saya hamil dia sering muntah di pagi hari dan suami saya juga gak nafsu makan dok" jawab Leona."Nah di situ kendalanya buk, suami ibu ini tengah mengalami yang namanya morning sikcnees setiap pagi atau nama lainnya sindrom couvade pada calon ayahnya, ini memang biasa terjadi buk di setiap pasangan yang
Dua bulan kemudianPagi-pagi sekali suara muntahan pria tampan memenuhi kamar mandi, ia tengah memuntahkan isi perutnya yang sama sekali tak mengeluarkan apa-apa yang keluar hanyalah cairan bening dan kental. Siapa lagi kalau bukan Ferdy ya Ferdy tengah mengalami morning sickness atau bisa di sebut sindrom couvade, morning sickness seharusnya Leona yang mengalami kini berbanding balik Ferdy lah yang mengalaminya, dua Minggu sudah Ferdy tak masuk kerja di karnakan tubuhnya yang tak bertenaga dan nafsu makan pun berkurang.Ya Leona tengah hamil anak pertamanya, dan morning sickness itu Ferdy yang mengalami bukan Leona, awalnya memang baik-baik saja tetapi saat kandungan Leona memasuki 2 Minggu mual muntah selalu menghampiri Ferdy tiap pagi. Leona terkadang merasa khawatir akan kondisi Ferdy yang semakin lama semakin lemas tak bertenaga Leona pernah menyuruhnya untuk pergi ke rumah sakit agar di berikan beberapa vitamin atau semacam obat agar Ferdy bisa bertenaga lagi
Ferdy mengemudi mobilnya dengan kecepatan sedang sembari tangannya mengelus puncak kepala sang istri, senyuman Ferdy tak pernah luntur sejak tadi pria tampan benar-benar sangat bahagia setelah dirinya menikahi wanita yang amat ia cintai, sebelum pulang. Leona meminta Ferdy mengantarkan dirinya ke makam sang ayah dan ibunya, wanita cantik itu merindukan orang tuanya, Ferdy dengan cepat mengiyakan ucapan sang istri.Sesampainya di pemakam, Ferdy dan Leona sama-sama turun dari mobil. Ferdy menggandeng tangan Leona menuju makam ayahnya yang bersebelahan dengan makam ibunya."Assalamualaikum Pah Mah "ucap Leona dan Ferdy yang saat ini sudah berada di tengah makam orang tuanya."Pah Mah, lihatlah Leona sekarang gak sendiri lagi. Leona udah ada yang jagain" ucap Leona pertama kali."Sekarang Papa sama Mama jangan sedih lagi liat Leona dari atas sana, Leona sekarang udah bahagia seperti yang pernah ayah bilang" ucap Leona dengan suara serak, Leona berusah
Tangan lebar nan kasar itu kini berada di bukit kembar Leona, Ferdy merasakan bukit Leona yang masih terasa padat dan berisi, dan perlahan tapi pasti Ferdy meremas bukit kembar Leona dengan lembut hingga membuat Leona sedikit melenguh di sela-sela lumatan bibir mereka. Setelah di rasa Leona kehabisan patokan oksigen, barulah Ferdy melepaskan tautan bibirnya dari bibir Leona. Leona menghirup udara sebanyak-banyaknya seakan udara di kamar mandi tidak cukup untuk dirinya.Ferdy belum menghentikan aksinya, kini kepalanya berada di ceruk leher sang istri dan kembali membuat tanda kepemilikan di sana, padahal tanda semalam belum hilang dan sekarang Ferdy memberikannya lagi.Leona menutup matanya merasakan Ferdy yang menghisap lehernya sedikit kuat dan itu membuat Leona meleguh karnanya apa lagi di tambah sensasi yang di berikan Ferdy yaitu meremas salah satu bukit kembar Leona."Ah Mas hentikan sudah cukup gumam Leona sambil menahan sesuatu yang bergej
Leona melebarkan matanya melihat pusaka Ferdy yang besar dan sedikit panjang.Leona meringis sendiri dalam hatinya. Apakah muat punya Ferdy masuk ke goa kenikmatannya, ah rasanya pasti menyakitkan tapi enak batin Leona.Perlahan Ferdy memposisikan tubuhnya di tengah-tengah paha Leona, "Kamu siap sayang?" tanya Ferdy.Leona mengangguk sebagai jawaban.Melihat anggukan sang istri. Pria tampan itu mulai meluruskan posisinya, dan perlahan tapi pasti pusaka yang sudah berdiri tegak itu mulai memasuki goa surganya."Gak usah di tutup matanya, ga usah malu. Teriak aja sayang, mendesah aja yah gak bakalan ada yang dengar kamar ini kedap suara kamu bisa teriak sekerasnya" ucap Ferdy.Sebelum melakukannya lagi Ferdy melumat bibir Leona, ia juga mulai memasukkan Pusakanya di goa kenikmatan istrinya kali ini Ferdy tidak pelan-pelan lagi, melainkan sekaligus sebab dirinya sudah penuhi oleh nafsu yang tertahan."Aahhh Mas enak banget"ucap
Ragu-ragu Leona mengangguk kecil, melihat anggukan sang istri. Ferdy mendekati Leona dan menyuruh istrinya itu membalikkan tubuh.Leona berbalik dengan wajahnya menghadap cermin wastafel sembari memandang Ferdy yang mulai membuka perlahan resleting gaun nya.Jantung Leona saat ini tidak sedang baik-baik saja, ia merasakan detak jantung yang begitu cepat serta keringat dingin di telapak tangannya, Leona benar-benar sangat gugup, apa lagi saat melihat Ferdy yang sudah melepaskan resleting gaun dan menatap punggungnya yang putih bersih tanpa noda."Putih banget kulit kamu sayang" ucap Ferdy pelan.Leona tersenyum malu mendengar perkataan sang suami.Ferdy mulai membuka gaun yang tak berlengan itu. Cara Ferdy membukanya yaitu dengan menurunkan gaun tersebut ke bawah tetapi sebelum melakukannya Leona menahan tangan Ferdy agar tak meneruskan membuka gaun tersebut."Kenapa sayang?" tanya Ferdy yang bingung."Kamu mau ngapain" tanya
Setelah ijab qobul disebutkan oleh Ferdy para tamu pun memberikan selamat pada kedua mempelai, kini Ferdy dan Leona berdiri di pelaminan, beberapa tamu masih ada yang belum memberikan selamat dan mereka juga menyempatkan diri menyalami Ferdy dan Leona lalu mengucapkan kata samawa pada kedua mempelai.Dan sebagian tamu juga ada yang sudah pulang dan ada yang masih betah di acara tersebut.Pak Anwar pun mendekati pengantin baru itu, " Selamat yah nak atas pernikahan kalian, bapak berharap kalian bahagia hingga maut memisahkan, Pak Ferdy saya titipkan nak Leona yah, sayangi dia" Ucap Pak Anwar sembari menepuk pundak Ferdy kemudian menyalami mereka berdua.Tari dan Rendy juga tak lupa memberikan selamat untuk Ferdy dan Leona, mereka berdua pun segera menghampiri sahabatnya itu."Selamat yah Leona sekarang kamu udah jadi istri Ferdy. Semoga pernikahan kalian samawa sampai kakek nenek" Ucap Tari pada Leona, tangan mereka saling bertautan di udara.
Satu bulan kemudian.......Dan satu minggu penuh Ferdy dan Leona habiskan untuk persiapan acara pernikahannya, dari fitting baju pengantin sampai dekorasi ballroom hotel yang mereka sewa satu minggu yang lalu.Dan hari itu pun tiba. Ferdy yang ingin menikahi Leona setelah perjuangan panjang yang ia lewati. Semua kesalah pahaman yang pernah singgah di sela-sela hubungannya, dan drama lainnya semua ia lewati. Dan akhirnya semua telah selesai.Semenjak kembalinya Leona di sisi Ferdy, lelaki tampan itu selalu tersenyum dan tampak sekali kebahagiaan di wajahnya sebab Leona yang selalu membuat Fedry tersenyum di saat-saat suka dukanya.Dan disinilah Leona sekarang tengah memandang baju pengantin dan di temani Tari ,sedari tadi ia menatap wajahnya di cermin, di saat hari bahagianya kedua orang tuanya sudah tidak ada jujur Leona begitu sangat merindukan kedua orang tuanya. Andai mereka masih hidup pasti ibu dan ayah Leona sangat bahagia anaknya menikah de
Setelah meninggalkan bandara, Ferdy berjalan dengan langkah berat menuju rumahnya. Langit senja mulai meredup, menambah suasana kelam yang menyelimuti hatinya. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi oleh kenangan bersama Leona, setiap tawa, tangis, dan kebahagiaan yang pernah mereka bagi.Sesampainya di rumah, Ferdy merasa hampa. Ia duduk di tepi tempat tidur, memegang foto Leona yang selalu ada di meja kecil di samping tempat tidur. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah, membasahi pipinya."Saat kamu pergi, Leona, aku merasa seperti kehilangan sebagian dari diriku. Tapi aku tahu, kamu memilih jalan ini untuk kebaikan kita berdua. Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari, takdir akan mempertemukan kita kembali," gumam Ferdy dengan suara bergetar.Beberapa hari berlalu, dan Ferdy mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Namun, hatinya tetap terasa kosong. Ia terus merindukan Leona, meskipun berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya di dep