Share

TERNYATA AKU YANG KEDUA
TERNYATA AKU YANG KEDUA
Author: Gavriel

1

“Udah dua tahun menikah, masa belum punya anak juga?” 

Leona langsung terdiam mendengar ujaran salah satu temannya. Dia selalu merasa tidak nyaman jika teman-temannya mulai membicarakan soal anak. 

“Masa kamu kalah sama Nina sih? Dia baru nikah bulan lalu, sekarang udah hamil loh.” 

“Bener. Bahkan Alia udah hamil anak ketiga. Kamu kapan, Leona?” 

Leona menelan ludah. Ia menggigit bagian dalam pipinya sembari berpikir bagaimana cara keluar dari pembicaraan yang tak ia sukai ini. 

“Aku—” 

“Denis kurang memuaskan di ranjang ya? Atau jangan-jangan, kamu mandul?”

Deg! 

Jantung Leona seolah mencelus mendengar pertanyaan yang lebih seperti tuduhan itu. 

“Mending kamu sama Denis periksa ke dokter aja deh, Na.” 

“Iya, betul. Soalnya kalau sama-sama subur, harusnya cepat dapat momongan.” 

Telinga Leona seakan berdenging mendengar suara teman-temannya yang semakin lama semakin tumpang tindih. Memberinya saran agar cepat mendapatkan anak. 

Tapi, bagaimana bisa hamil jika suaminya sendiri tak menginginkan hal yang sama? 

Leona sebenarnya sudah lama ingin punya anak. Bahkan di awal pernikahannya dengan Denis, Leona sudah mengutarakan keinginan tersebut pada suaminya. Hanya saja, Denis selalu memintanya untuk bersabar. 

Dua tahun sudah berlalu, dan Denis masih memintanya untuk sabar. 

Leona sudah tidak betah berada di perkumpulan itu. Niatnya untuk bersenang-senang berakhir dengan perasaan tak nyaman karena teman-temannya sibuk membicarakan soal perkembangan anak-anak mereka masing-masing. Leona merasa tersingkirkan, sebab hanya dirinya yang belum punya anak di antara semua temannya. 

Bukan sekali dua kali hal ini terjadi. Saat berkumpul bersama keluarga suaminya pun, Leona kerap mendengar pembicaraan serupa. 

Saat pulang ke rumah, Leona kembali membicarakan kegelisahannya pada suaminya yang tengah fokus pada layar laptop. 

"Mas, apa kita masih mau nunda punya momongan?" tanya Leona. 

Laki-laki itu mendongak, lantas menutup laptopnya dan menghampiri Leona yang duduk di atas ranjang.

"Kamu kan tahu aku masih harus membangkitkan perusahaan Papamu yang hampir bangkrut. Aku takut kalau kita punya anak sekarang, aku nggak bisa nemenin kamu.” 

Leona menghela napas pelan mendengar jawaban Denis.

“Sabar ya, sampai semuanya normal seperti dulu lagi. Nanti setelah itu, baru kita program punya anak. Sekarang juga aku masih sering keluar kota ninggalin kamu kan.”

Selalu itu yang Denis katakan. Usianya sudah menginjak 27 tahun, tapi Denis masih saja melarangnya untuk hamil. Dengan alasan perusahaan. 

Mereka menikah dua tahun lalu, almarhum ayah Leona lah yang meminta Denis menikahi putrinya, sebab Leona tidak memiliki keluarga lain. 

Leona tak paham soal bisnis, sehingga ia hanya diam di rumah setelah menikah dengan suaminya. 

"Tapi aku nggak nyaman Mas. Setiap kumpul sama keluargamu, semua adik Mas udah punya anak, sementara Mas anak tertua belum juga punya anak," kata Leona. “Belum lagi teman-temanku juga selalu menyindirku karena nggak kunjung hamil.”

Denis menghela napas dalam. “Tidak perlu dipikirkan. Yang penting kita berdua bahagia, iya kan?” 

Leona tak bisa membantah. Ia bahagia bersama Denis, tapi di sisi lain ia juga ingin merasakan menjadi seorang ibu. 

"Bukankah kita sudah sepakat, Na? Kita akan punya anak setelah usaha Papa kembali normal, atau minimal perusahaan tidak seperti saat ini lagi," kata Denis lagi.

Denis memang pandai menyakinkan Leona, wanita itu selalu saja luluh dengan semua ucapan suaminya. 

"Diminum ya pilnya." Denis memberikan pil KB yang ada di atas nakas. 

Setiap malam ia akan selalu memastikan wanita itu meminum obat tersebut.

Dengan malas, Leona menerima pemberian Denis. Sebelum akhirnya mereka tidur.

Paginya, Leona bangun dan meraba sisi ranjang mencari keberadaan suaminya. Namun, tidak mendapati siapa pun di sana. 

Pandangan Leona terarah pada sebuah koper yang biasa suaminya gunakan jika hendak pergi keluar kota.

Perasaan Leona tiba-tiba tak enak, jika sudah begini itu artinya Denis akan pergi. Padahal baru tiga hari yang lalu laki-laki itu kembali dari Surabaya untuk perjalanan bisnis. Namun, kali ini ia sudah harus pergi lagi. Entah berapa lama.

"Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Denis yang baru saja keluar dari kamar mandi. 

"Kamu udah mau pergi lagi, Mas?" Leona balik bertanya. Nada suaranya terdengar lesu.

Denis mendekat, pria itu mengecup pelipis Leona dengan sayang. "Ada panggilan darurat dari Malang, Leona. Aku harus ke sana, karena ada investor Jepang yang mau datang dan meninjau proyek di sana.” 

Leona terdiam. Saat hendak mengatakan sesuatu, Denis lebih dulu menyela.

“Kalau mereka deal dan jadi investor, aku bakal beliin tiket kamu liburan ke luar negeri," tawar Denis, membuat sebuah senyum menghiasi bibir Leona.

"Beneran, Mas? Janji kita bakal liburan?"

"Bukan kita. Tapi kamu aja. Kamu tahu aku nggak bisa libur, Leona."

Senyuman di bibir wanita cantik itu luruh seketika. Ia terduduk lesu dan hanya memperhatikan suaminya yang sedang bersiap. 

Selama menikah, Denis memang tidak pernah menuntut apapun darinya, laki-laki itu bertanggung jawab penuh untuk semua kebutuhan dan kemauan Leona. Hanya saja, jika soal anak dan pergi berdua, Denis selalu menolak, masih dengan alasan pekerjaan.

"Pakein dasiku, Leon." Denis memberikan dasi pada istrinya.

Meski masih kecewa, Leona tetap bangkit dan memasangkan dasi itu di leher suaminya. 

Denis selalu terlihat tampan di mata Leona. Baginya, pria itu adalah pahlawan yang menolongnya dari keterpurukan. Apalagi Denis orang kepercayaan sang ayah.

"Udah." 

Denis lantas melumat bibir Leona singkat. "Makasih sayang," ucapnya, yang langsung mengenakan jas.

"Kamu nggak sarapan dulu mas?"

Denis menggeleng. "Nanti sarapan di bandara aja." 

Leona mengikuti Denis yang sedang mengenakan sepatu. Setelahnya mereka berjalan beriringan menuju lantai satu. 

Rumah sebesar itu, hanya Denis dan Leona yang menempati, serta dua ART, satu sopir dan satu security. Tentu semua yang bekerja di sana adalah orang pilihan Denis.

“Mas berangkat ya.” 

Leona mengangguk dan mencium punggung tangan suaminya, sebelum pria itu berlalu masuk ke dalam mobil. 

Hanya lambaian tangan yang mengiringi kepergian Denis. Sebenarnya, ingin sekali Leona ikut kemana pun Denis pergi. Tapi suaminya itu selalu berhasil mencegah dengan berbagai alasan. 

Di sisi lain, di dalam mobil itu, Denis berkata kepada sopirnya. 

"Ingat, pantau ke mana pun Nyonya pergi. Jangan biarkan dia pergi sendiri." 

"Baik, Tuan."

Tangan Denis lantas terulur mengeluarkan ponsel dari dalam kopernya. Ponsel yang tidak Leona ketahui keberadaannya. 

Dengan cepat Denis kembali mengaktifkan ponsel itu, dan menghubungi seseorang yang akan dia temui. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu seseorang di seberang sana menjawab. 

Dan sebuah senyum terukir di bibir pria itu ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status