“Hhhhuuufffppgghhh…” Aiza menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas tempat tidur yang tak lagi baru.
Melepaskan penat yang sudah seharian ini berdiri di halaman kampus IPTS Padangsidimpuan, yang mempersiapkan mahasiswa-siswinya untuk dilepas melaksanakan Program Kerja Lapangan.Aiza Firdaus Tarra, gadis cantik berhijab berusia 22 tahun, baru saja mendapat pengarahan dari pihak kampus.
Ia mendapat namanya tertera di sebuah Yayasan Sekolah Agama daerah Tapanuli Tengah, SMP Al-Muslimin Pandan.“Yah… selama PKL nanti, aku pasti akan berjauhan dengan bang Fadlan…” gumamnya.
Yah, Fadlan, pemuda berusia 23 tahun.
Dengan tinggi 1,8 meter dengan sikap yang cool. Akan tetapi, Aiza merasa bersyukur bisa menjadi teman dekat pemuda tersebut karena sikapnya yang cuek terhdap banyak wanita. Dan justru, kedekatan antara keduanya membuat Aiza menaruh hati dan menganggap kalau pemuda itu juga merasakan hal yang sama.Hanya saja Aiza tidak ingin meluahkan isi hatinya terlebih dahulu, ia memilih agar Fadlan sendiri yang mengungkapkan perasaannya.
Sedang asik berangan, suara sendu sang ibu pun memanggilnya untuk segera makan siang.“Aiza… mangan jolo ho, Inang…!” seru sang ibu dengan menggunakan Bahasa Daerah Tapanuli Selatan dari balik pintu kamarnya.
(Aiza makan, dulu, Nak!)“Olo, umak” balasnya.
(Iya, Bu)Nesya pun langsung beranjak dan bergegas melepaskan Almamaternya itu dan segera keluar dari dalam kamarnya.
“Mau kemana, Mak…?” tanya Aiza yang melihat ibu seperti akan berangkat.
“Mamak mau pergi ke tempat Tulangmu sebentar. Mau pinjam uangnya.
Semalam disuruhnya mamak datang menjemputnya,” ujar sang ibu dengan logat Bahasa Batak.(Tulang : saudara laki-laki dari ibu)“Oh iyalah, Mak.
Mau untukku yah, Mak? Karena mau berangkat itu…?” ujarnya.“Iya, Nak. Kaunya harapan mamak dah, Inang… Biar bisa kau sekolah bagus.
Semangat lah kau belajar yah, Nak. Kau tengoklah mamak sama ayahmu pun udah mulai tua. Jadi kaunya harapan mamak nanti membantu adikmu si Sofia…” ujar sang ibu menyemangati.“Do’akan mamak lah, Mak. Biar bisa aku sukses…”
“Aamiin…” keduanya pun berujar syukur dengan serentak.
“Yah sudah. Makanlah kau. Nanti sakit perutmu. Suka kalilah kau terlambat makan… mamak pergi dulu.
Tinggalkan sayur bulung gadung itu untuk si Sofia. Nanti butcut dia…” pesan sang ibu.(Sayur Bulung Gadung : daun ubi tumbuk. Masakan khas Tapanuli Selatan.)“Iya, Mak…” sahutnya melepas kepergian sang ibu.
Setelah wanita paruh baya itu pun berlalu, Aiza pun mengambil piringnya. Sambil menikmati makan siangnya sayur daun ubi tumbuk dan sambal teri dengan kacang, Aiza pun melanjutkan angan-angannya.“Ibu dan ayah sangat berharap banyak padaku, sebagai anak yang paling besar.
Aku ingin sukses jadi seorang guru seperti yang ku mau. Mamak dan Bapak pun udah semakin tua. Kapan lagi aku membuat mereka bangga…?” batinnya.Hingga tidak terasa air matanya pun turut mengekspresi tekad dalam hatinya itu.
Pak Ardi Firdaus, ayah Aiza yang kini berusia memasuki 50 tahun. Ia hanya bekerja sebagai buruh bangunan yang pekerjaannnya tidak tetap. Jika pekerjaannya banyak, keluarga mereka bisa sedikit untuk makan enak, dan sebagiannya bisa untuk ditabung.Akan tetapi, jika tidak ada pekerjaan, tabungan itu pun bisa dikorek habis, bahkan sampai berhutang di warung.
Sedang Bu Maya, wanita berusia 47 tahun itu hanya seorang penjual pecal keliling yang hasilnya bisa digunakan untuk biaya sekolah anak.
Akan tetapi, berjualan itu tidak selalu mendapatkan untung. Faktor cuaca sering menjadi kendala yang mempengaruhi pendapatan. Namun mereka tetap bersyukur dan berfikir optimis. Hingga tak jarang, mereka sering menyatakan harapan mereka pada Aiza, sebagai anak sulung. Agar Aiza bisa bersungguh-sungguh dalam menjalankan kuliahnya.“Helleh, tinggal makan saja pun tangis…” ujar Sofia, adik dari Aiza yang baru pulang sekolah, membuyarkan khayalan gadis itu.
“Ngapainnya kau kak…? Makan sambil nangis…?” ejek Sofia menahan tawa.“Apanya kau…? Iyalah sambil nangis meresapi hidup ini.
Sedihlah hatiku, sebentar lagi aku bakalan berangkat ke sibolga mau PKL. Jaranglah aku nanti makan masakan umak ini…?” jawabnya.“Hhhhmmm macam jauh kalilah Sibolga itu…?” sanggah Sofia.
“Bukan masalah jauhnya, dek.
Kau kan tahu aku harus irit biaya..? kalau sebentar-sebentar pulang, tentulah jadi banyak biaya itu…?” jelas Aiza pada adiknya yang masih duduk di kelas 1 SMA itu.“Iya juga yah…” jawab Sofia.
“Kak, ada lagi sayur bulung gadung itu…?” tanyanya pada Aiza.“Ada, makanlah kau.
Tapi kau ganti dulu bajumu sana…” perintah Aiza.“Olo dabo etek…”canda adiknya itu.
(Iyalah Tante…)“Inda etekmu au… kakakmu do au loak…” sambung Aiza membalas.
(Aku bukan tantemu, tapi kakakmu, bodoh…)“Hehehhehee…” Sofia pun terkekeh mendengarnya.
“Assalamu alaikum….” Terdengar suara sang ayah datang.
“Wa’ alaikum salam…” sahut Aiza menghentikan makanannya menyambut sang ayah.
“Eh, pulang Ayah…?” sapa Aiza.
“Iya, tapi nggak bawa bontot ayah tadi…” balas Pak Ardi.
“Kenapa…? Dimana rupanya Ayah kerja…?”tanya Aiza lagi karena biasanya sang ayah memang membawa bontot untuk bekal makan siang, jika pekerjaannnya agak jaug dari rumah.
“Ah, dekatnya. Dikampung sebelah, sama udak mu si Anto…” jelas sang ayah yang tangannya masih berdebu karena memengerjakan bangunan.
(Udak : panggilan untuk laki-laki yang usianya lebih muda dari ayah.)“Oh… makan sama-samalah kita gitu, adik pun baru pulangnya sekolah…”
“Mamakmu udah jadi pergi ke tempat tulangmu…?” tanya pak Ardi karena tidak melihat istrinya ada di sana.
“Iya, Yah. Baru pun pergi…” ujar Aiza.
“Sofia… cepatlah. Udah datang ayah, dek. Biar makan sama-sama kita…” seru Aiza memanggil sang adik.“Olo… ro ma au…” sahutnya.
(Yah aku datang)Sofia pun datang dan segera duduk bersila di hadapan kakaknya.
Menunggu sang ayah yang sedang membersihkan badannya. Tak lama kemudian, ketiganya pun menikmati makan siang bersama.Di sisi lain, Bu maya sudah sampai di rumah sang adik laki-lakinya.
“Ini kak, uangnya…” ujar Zainal, adik kandung Bu Maya.“Tarimo kasih da anggi… godang rasoki namu. Bulan depan, pas manjagit julo-jolo, langsung hu bayarkon pe…” ujar Bu Maya.
(Terima kasih, adikku. Semoga selalu banyak rejeki. Bulan depan, setelah menerima arisan, akan langsung saya bayarkan,…)Mendengar kalimat itu, istri Zainal pun menimpali.
“Betul dah eda… langsung dibayar. Karena kami juga punya keluarga. Punya kebutuhan. Lagian kenapalah harus pakai kuliah segala. Udahlah tahu hidup susah…” sahut Saripah dengan nada yang tidak mendukung.(Eda : panggilan untuk ipar perempuan)“Hhhuuussss… ulang songoni ho mangecet…” tegur Zainal pelan.
(Jangan bicara seperti itu,)Bu Maya pun menelan pahit-pahit apa yang ia dengar.
Ia tahu, sangat tidak mudah memberi pinjaman pada siapapun sekalipun itu untuk saudara sendiri. Namun mau bagaimana lagi, ia tidak ingin perjuangan Aiza yang tinggal sedikit lagi itu terhalang karena uang.“Iya eda. Langsung ku kembalikan pun nanti… Doakan kalian, bere kalian si Aiza itu bisa sukses yah…” ujar Bu Maya seraya memohon do’a restu.
“Olo kak. Dokkon tu bere Aiza semangat selalu…
(Iya, kak. Sampaikan pada keponakanku si Aiza untuk semangat selalu)” balas Zainal, pria berusia 40 tahun itu.“Olo, tarimo kasih sakali nai da, anggi. Anggo songoni attong, mulak ma jolo au. Harana accogot rakku barangkat ma ia tu Sibolga…
(Iya, sekali lagi terima kasih ya, Dik. Kalau begitu, saya pulang dulu. Karena besok, dia juga akan berangkat ke Sibolga)” Bu Maya pun berpamitan.“Iya, kak. Hati-hati… Kirim salam sekalian untuk Bang Ardi…” pesan Zainal.
Bu Maya pun mengangguk menanggapi, kemudian berlalu.Ia pun pulang dengan menggunakan becak vespa, kenderaan khas padangsidimpuan.Dalam perjalanan pulang, dengan hati yang masih sedih, ia terus beristigfar agar bisa melupakan kata-kata istri Zainal tadi.
Bagaimana pun, mereka sudah memberikan ia pinjaman uang sebesar 3 juta untuk Aiza.“Olo dainang… sukses maho saulakon. Sai sukses sai tunduk dah inang…
Doaku do tuho dainangku. Boru panggoaran…(Oh anakku… semoga kau sukses. Semakin sukses semakin menunduk yah, Nak. Doaku untukmu, Nak. Anak Pertamaku)” harap Bu Maya sambil menepiskan air matanya yang meletakkan harapan yang besar pada kesuksesan putrid sulung, harapannya.***
Sesampainya di rumah, seusai shalat magrib, Pak Ardi pun menyapa istrinya.“Biado…? Adong do lalu pinjaman i…?” tanyanya lagi.(Gimana…? Ada jadi pinjamannya?)“Adong, abang…”jawab Bu Maya dengan penuh semangat.(Ada, bang)“Alhamdulillah. Syukur madah… So leng lalu si Aiza na kehe i…” Pak Ardi berucap syukur mendengarnya.(Alhamdulillah, Syukurlah. Biar Aiza jadi juga pergi.)“Aizaaaa!” Bu Maya pun memanggil putrinya itu.“Iya, Maaaaak…” sahut Aiza yang segera menghampiri ayah dan ibunya dari dalam kamar.“Mana adikmu si Sofia…?”“Di kamar, Mak…”“Panggil dia ke sini…” suruh Bu Maya.Aiza pun segera mundur untuk memnaggil Sofia. Lalu keduanya pun mendekati ayah dan ibunya.“Apa, Mak…?” tanya si Sofia.“Aiza… ini uang untukmu yah, Nak. Ini ada 3 juta. Untunglah tulang Zainal kalian ada uang, dan mau meminjamkannya.Pandai-pandailah kau mengatur uang ini, Nak.Tadi pun, Tulang kau berpesan, k
Lebih dari 2 jam di perjalanan.Akhirnya, mereka pun sampai di tempat yang dimaksud.Kelima anak kuliah yang akan mengabdi di daerah tersebut, langsung memeriksa rumah kontrakan mereka yang sengaja mereka ambil tidak jauh dari lokasi sekolah, tempat mereka yang akan mengabdi selama 3 bulan itu.Yang sudah mereka perkirakan agar tidak banyak memakan biaya transportasi.Dan alamat kontrakan tersebut adalah di Kompleks Perumahan BTN Pandan Nomor 86.“Kiran, kau bilang kamarnya cuma 2 tapi ini kamarnya 3? Untunglah kita yah,” komentar Ria pada rekannya yang bernama Kiran.“Aku juga nggak tahu. Karena kawan yang ku tanya itu juga bilangnya cuma 2 kamar…” jelas Kiran.“Dan kamar mandinya juga ada 2…” balas Rosni dengan berbinar.“Iya kamar mandinya 2.Tapi nggak mungkinlah bisa kita pakai mandi kamar mandi yang di luar itu…” sahut Ainy.“Yah, setidaknya kamar mandi yang di luar itu masih bisa kita pergunakan kalau
Udara di pagi hari, masih terasa sangat sejuk. Kelima anggota PKL dari kampus IPTS Padangsidimpuan itu, sudah berada di sekolah se-pagi mungkin.Karena mereka sudah sepakat untuk hadir lebih awal di sekolah tersebut yang notabene memang salah satu sekolah yang memiliki disiplin tinggi di daerah itu.Terlebih karena sebelumnya juga tertera dalam peraturan bahwa Apel pagi akan selalu berlangsung pukul 07.15. Sehingga, Aiza dan temannya-temannya pun sudah berada di sekolah 10 menit sebelum jam 7 pagi.Berhubung karena mereka tahu tempat untuk mereka tidak tersedia, kelimanya pun hanya meletakkan tas mereka di salah satu ruang kelas. Dan sesuai aturan, mereka pun berbaris berjejer di samping beberapa orang guru-guru muda, yang juga sudah hadir di sana untuk menyambut para siswa di gerbang pintu sekolah.Tanpa banyak kalimat, mereka pun mengikuti apa yang dilakukan guru tersebut, yaitu saling bersalaman menyambut siswa-siswinya de
Sambil tersenyum ia pun mencoba membalas sambil berjalan menuju pondok kosong yang ada di hutan sekolah.Akan tetapi, karena terlalu semangat untuk membalasnya, Aiza tidak sengaja menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik sebuah mobil sedan berwarna hitam.“Alaaaa umaaak…” lontar Aiza tersentak, saat ia menubruk sesosok tubuh tinggi.Dan secara tidak sengaja, tangan Aiza berpegangan pada lengan kekar pria tersebut.“Kalau jalan lihat ke depan, jangan lihat layar HP. Bahaya…” tegur pria yang tingginya sekitar 15 centimeter lebih dari tinggi badan Aiza.Wajahnya tampak begitu datar tanpa ekspresi.“Eh… iya.. maaf, Pak…” ujar Aiza dengan gugup karena malu melihat pria itu atas kecerobohannya sendiri.“Awasss….!” Tepis pria itu dengan nada yang kurang bersahabat, meninggalkan Aiza yang masih bingung dengan keterkejutannya.“Ganteng-genteng cerewet huuuuuu…” gerutu Aiza ketika sosok itu hilang di baling tembok s
“Kamu ini anak PKL ‘kan?” tanya pria itu pada Aiza.Dengan sangat yakin, Aiza pun mengangguk mengiyakan.“Iya, saya anak PKL. Memangnya kenapa, Pak?” Aiza membenarkan.“Kamu nggak mau bertanya saya siapa?” tanya pria itu membuat Aiza merasa geli dengan pertanyaan tersebut.Namun, sebagai orang baru, tentu saja Aiza tetap bersikap rendah hati menanggapinya.“Maaf Pak. Saya memang belum tahu Bapak ini siapa, tapi yang saya tahu tadi Bapak mengantarkan Pak Rakib Salim, yah ‘kan?” dengan penuh keyakinan, Aiza pun melayani pertanyaan pria itu.“Iya, benar. Kamu… baru sehari di sini, udah 2x membuat saya kesal. Apa kamu tahu itu?” singgung pria itu lagi, memancing reaksi Aiza yang sebenarnya mulai kesal dengan pertanyaan itu.Aiza pun menggerutu dalam hatinya.“Ini orang kenapa yah? Aneh. Supir tapi sok bicara seperti ini?” batinnya.“Kamu dengar saya tanya apa?” suara pria itu kembali membuyarkan suara hatinya.“Eh iya, saya
Hari-hari pun berlalu begitu saja, hingga tidak terasa seminggu sudah berlalu.Semua proses yang mereka lewati di SMP swasta Almuslimin itu berjalan dengan sangat baik.Dan dalam seminggu saja, ada banyak kesan baik dan bermanfaat yang bisa mereka ambil dari sana.Mulai dari bimbingan cara membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang baik, cara menarik minat belajar siswa dengan strategi menarik, dan juga sikap sosial dari orang-orang di dalamnya.Memang, terasa begitu melelahkan.Namun semua itu terbayarkan dengan ilmu yang sudah mereka dapatkan.Hari itu, didampingi ibu Hj. Siti Mahanum, Riyan Qalbun Salim, begitu namanya terngiang di telinga kelima para mahasiswi yang sedang mengabdi di sekolah itu.Pria itu memanggil mereka berlima untuk segera menghadap ke ruangannya.Tentu saja, kelimanya pun memenuhi panggilan tersebut.“Adik-adik mahasiswi semua, Bapak Riyan memanggil kalian ke ruanga
Hati Aiza terasa lebih tenang setelah melihat keluarganya, walau hanya lewat video call.Apa lagi, karena wajah orang tua yang sangat ia cintai itu tidak merasa keberatan dengan apa yang ia keluhkan.Terlebih ketika ayahnya dengan wajah yang datar, menerka kalau pengeluaran mereka kemungkinan tidak sampai 1 juta untuk membuat sebuah taman yang dimaksud.“Teman-temanku benar. Kenapa aku harus segalau ini memikirkannya? Masih ada waktu untuk berfikir.Lagi pula, kenapa aku seperti keberatan? Ini kan memang sudah resiko?” batin gadis itu pun berontak.“Kamu mikirin apa?” tanya Ria temannya dalam satu kamar.“Ah,nggak. Barusan aku menelpon keluargaku. Aku menjelaskan ukuran taman itu pada ayahku. Ayahku seorang pekerja bangunan.Tentu dia tahu, berapa kira-kira dana yang akan kita keluarkan per orang.Setelah dihitung-hitung, ayahku bilang kemungkinan kita akan mengeluarkan uang 1 juta per orang untuk taman ukuran 7 meter
“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.Mau tidak mau, dari pada harus menambah masalah, akhirnya Aiza pun meninggalkan wanita itu.Aiza memberanikan diri untuk masuk ke gedung bagian yayasan.Tampak pintu ruangan khusus Pak Riyan itu terbuka lebar.Namun sepertinya, ada tamu yang sedang dilayani oleh pria itu. Aiza menunggu sesaat.Tidak berapa lama, Pak Riyan pun keluar dan Aiza mencegatnya membuat berpasang mata yang ada di sana memandangi Aiza yang tempak mendekati Pak Riyan.“Maaf, Pak. Di luar ada wanita bernama Cintya mau ketemu sama, Bapak…” Aiza pun mnyampaikan.“Kamu bilang kalau saya di sini…?” tanya pak Riyan.“I… iya Pak, sahut Aiza yang mulai ragu dengan mimik wajah pria itu.“Sial…” terdengar umpatan lirih dari mulut pria itu, membuat Aiza semakin tidak enak hati mendengarnya.Riyan langsung merogoh kantong meraih ponselnya.&nbs
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama