Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.
Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.
“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.
“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.
“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.
Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.
“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.
Aku bukan dari keluarga yang selalu ada uang untuk membayar apapun. Kemarin aku baru dapat kiriman dari orang tuaku. Adikku bilang sebagian dari kiriman itu adalah hasil pinjaman… Wajar kalau aku kasihan melihat orang tuaku… Jangan-jangan, pinjaman yang sebelumnya juga belum lunas…” ujar Aiza dengan suara lirih.Ainy pun tersenyum mendengar penjelasan temannya itu.
“Hidup itu semuanya sama, Za.
Tingkat kesulitannya yang berbeda.Kamu sedih karena memikirkan hutang orang tua. Aku mengerti, mungkin maksud kamu… gali lobang tutup lobang yah kan…” lanjut Ainy.“Yah begitulah. Andai saja… selesai kuliah nanti, aku bisa langsung dapat kerja. Biar aku bisa bantu orang tua untuk membayar hutang…” harap Aiza.
“Bukan kamu saja yang merasakan hal seperti itu, Za.
Aku juga sama seperti kamu. Cuma mungkin prosesnya berbeda. Orang tuaku juga, harus menjual sebidang tanah untuk keperluanku saja… belum lagi keperluan adik-adikku…” jelas Ainy. Mendengar itu, hati Aiza pun tersentuh.“Oh ya? Euumm iya yah… tapi kamu masih enak , masih ada yang dijual.
Lah, aku? kalau misalnya orang tuaku nggak bisa bayar, tentu akan menambah masalah. Kalau uangnya dipinjam sama saudara, tentu akan membuat perselisihan antar-saudara. Kalau minjam dari orang lain, bisa saja kan nantinya dipermalukan seperti yang di filem-filem itu…” desis Aiza membuat Aizy pun cengengesan.“Kamu kalau mikir itu ketingian…”celutuk Ainy.
“Ya, maaf… imajinasi aku langsung melayang tinggi…”sanggah Aiza.
“Iya… tapi jangan terlalu berfikiran seperti itu. Berfikir positif aja, karena terkadang, fikiran positif itu yang mendekatkan kita dengan hal-hal yang positif.
Coba fikir, orang tua kamu bisa dapat pinjaman… bukankah itu bagian dari rejeki juga?” Ainy pun mengingatkan.“Iya juga sih…” sahut Aiza setuju.
“Nah, gitu aja mikirnya. Coba kalau pinjaman pun nggak dapat?”
“Makasih, Ny… selama mengenal kalian, rasanya aku banyak mengerti arti pertemanan…” salut Aiza.
“Hhhmmm, baguslah. Itu artinya, pertememanan kita juga rejeki… yah ‘kan?” ucap Ainy.
Keduanya pun hanya bisa tersenyum.Tak berapa lama, Ria pun mendekat,
“Wah, sudah mulai dikerjakan ternyata…” lontarnya tiba-tiba.“Yaiyalah. Lebih cepat kan lebih bagus…” komentar Ainy.
“Kamu baru keluar kelas yah?”tanyanya.
“Iya. Tadi aku sekalian mengembalikan buku yang aku pinjam dari perpustakaan, makanya aku agak lamaan.
Oh ya, kak Ros dan Kiran kemana?” tanya Ria.Belum sempat ada yang menjawa, tiba-tiba Kiran dan Rosni pun turun dari sebuah becak yang berhenti di depan gerbang sekolah.
“Tuh, panjang umur…” celutuk Aiza melihat orang yang baru saja ditanyakan Ria.
“Kalian baru dari mana?” tanya Ria.
“Baru temani Rosni dari ATM…” sahut Kiran.
“Wah, kalian nggak bilang-bilang mau keluar. ‘Kan harusnya bisa titip makanan…” keluh Ria.
“Makanan aja pun yang kau tahu…” omel Rosni sambil menyodorkan sebuah kantongan berwarna biru.
“Nih, tadi aku beliin ini. Nggak tahu yah kalian suka atau nggak…” ujar Rosni. Segera mereka menyerbu benda itu. Ternyata kantongan itu berisi beberapa kue.“Widiiihhh, makasih banyak kak Ros, semoga selalu banyak rejeki…” ujar Ria cengengesan.
Aiza pun berdiri, untuk membukakan saos sachet utuk sebuah risoles yang akan dia makan.
Namun tiba-tiba ujung saos itu menyembur mengenai kemeja putih seseorang yang tiba-tiba melintas di dekatnya.“Astaga…” lirih Rosni.
“Mampus…” umpat Ria.
Suasana pun langsung hening.
Tak ada yang berani mengeluarkan suara. Kunyahan yang ada di dalam mulut masing-masing pun seketika ingin tertelan bulat-bulat.Mereka menyembunyikan makanannya dari hadapan pria itu.
Ternyata seseorang yang sedang mengenakan kemeja putih itu adalah Pak Riyan, yang baru saja memarkirkan mobil hitamnya di depan gerbang sekolah, dan akan menuju ke ruangannya.
Sedang Aiza hanya bisa tertegun melihat kemeja yang dikenakan Pak Riyan.
Wajah gadis itu merona menahan malu atas kecerobohannya itu.“Sudah?” tegur Riyan dengan nada kesal melihat lengan kemejanya itu dinodai saos.
“Maaf, Pak…” hanya itu yang spontan keluar dari mulut Aiza.
“Selalu… selalu… dan selalu kamu dan kecerobohan kamu itu…” gertaknya.
Meski dengan nada yang pelan, namun sempat mengundang perhatian orang-orang sekitar, terutama 2 pekerja bangunan yang sedang membuat taman itu.Riyan bisa melihat rasa bersalah di wajah Aiza. Namun, ia tidak ingin menurunkan wibawanya di depan gadis-gadis itu.
“Apa kalian tidak bisa makan di tempat yang lebih baik, sampai harus makan di jalanan seperti ini…?” ucapnya tegas.
Kelima anak PKL itu hanya bisa terdiam.“Kami… minta maaf yah, Pak…” sahut Aiza dengan nada memelas.
“Anak-anak saja tahu kalau makan berdiri itu nggak baik. Masa kamu makan sambil berdiri…” Riyan penunjukkan rasa kesalnya.
“Itu tadi…” Aiza pun tergugup.
“Udah nggak usah banyak bicara… Mungkin begini cara kalian untuk meninggalkan kesan di sekolah ini.
Tapi kalian harus ingat… karena hal ini…. saya bisa saja memberi nilai yang buruk untuk hasil kerja kalian…” ucap Riyan mengancam yang segera beranjak meninggalkan kelima gadis yang kebingungan mendengar kalimat itu.“Ya… ya… aduh…” cemas mereka hampir serentak.
“Aaahhh…” Aiza memukul kepalanya dan mengutuk dirinya.
“Addduuuuuhhh, gimana ini? Pak Riyan mengancam kita…” ujar Rosni yang juga cemas.
“Aku… ini semua salahku.
Apa aku harus mendatanginya dan minta maaf…?” raut kesedihan pun menghiasi wajah Aiza menahan tangis.“Kau sudah bilang maaf berkali-kali tadi… tapi sepertinya pak Riyan kesal sekali…” sahut Ainy.
“Kok bisa sih saos kamu menyembur gitu?” lontar Ria yang semakin membuat hati Aiza merasa bersalah.
“Sudahlah, nggak usah terlalu ditanggapi.
Wajar orang kesal ngomongnya jadi berserakan gitu… Siapa tahu juga, sebelumnya Pak Riyan memang sudah kesal…” sambung Kiran mencoba menenangkan.“Iya, tapi bagaimana kalau nilai kita beneran buruk? Sia-sia dong usaha kita selama di sini,” ujar Ria cemas.
Aiza kembali ke tempat duduknya dengan gerakan yang lemas, mendengar kalimat Ria yang seolah menyindirnya.
“Aku minta maaf… ini semua gara-gara aku…” ujar Aiza.“Aku juga yang salah… kenapa aku membeli makanan yang akhirnya bikin sial ini…” gerutu Rosni.
“Hhuuusssss… jangan bilang begitu.
Semua makan itu rejeki. Nggak ada yang bikin sial. Bagus-bagus kalau bicara…” sanggah Kiran.“Ini semua salah kita semua kok…”Akhirnya Ria pun memilih untuk menyalahkan semua.
“Kalau kita nggak makan di jalanan begini, nggak mungkin semua jadi seperti ini…” ucapnya.“Yah, bagaimana pun kita nggak boleh saling menyalahkan.
Kita akui kesalahan kita secara bersama.Masalah nilai yah sudahlah, yang penting kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Ini hanya kesalahan di luar dugaan yang kapan saja bisa terjadi. Sudah Za… kamu nggak perlu menangis… Kita udah jalani semua sama-sama… jadi masalah nilai yah itulah nilai kita bersama…” Ainy pun berusaha menguatkan Aiza agar tidak terpuruk sendirian gara-gara saos.Namun bagaimana pun, Aiza masih terus menitikkan air matanya tanpa suara.Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
“Hhhhuuufffppgghhh…” Aiza menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas tempat tidur yang tak lagi baru.Melepaskan penat yang sudah seharian ini berdiri di halaman kampus IPTS Padangsidimpuan, yang mempersiapkan mahasiswa-siswinya untuk dilepas melaksanakan Program Kerja Lapangan.Aiza Firdaus Tarra, gadis cantik berhijab berusia 22 tahun, baru saja mendapat pengarahan dari pihak kampus.Ia mendapat namanya tertera di sebuah Yayasan Sekolah Agama daerah Tapanuli Tengah, SMP Al-Muslimin Pandan.“Yah… selama PKL nanti, aku pasti akan berjauhan dengan bang Fadlan…” gumamnya.Yah, Fadlan, pemuda berusia 23 tahun.Dengan tinggi 1,8 meter dengan sikap yang cool. Akan tetapi, Aiza merasa bersyukur bisa menjadi teman dekat pemuda tersebut karena sikapnya yang cuek terhdap banyak wanita.Dan justru, kedekatan antara keduanya membuat Aiza menaruh hati dan menganggap kalau pemuda itu juga merasakan hal yang sama.
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama