Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.
Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.
Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.
Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir. Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana. Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian. Tapi bagaimana pun, bisa bersama dengan teman-teman PKL-nya jauh akan membuat hatinya lebih waras.“Hhhhmmmm bagaimana kalau aku chat ke Yunita saja untuk menanyakan Bang Fadlan yah?” kembali hatinya tersentuh.
Teringat akan sahabatnya yang ternyata juga berada dalam satu instansi yang sama dengan sang pujaan.Aiza pun segera merogoh kantong Almamater warna birunya itu untuk mengambil ponselnya. Segera ia mengetik isi hatinya di sana.
“Assalamu ‘alaikum, Yun? Apa khabar? Sibuk banget yah, sampai nggak bisa kasi kabar ke aku?” tanya Aiza berbasa-basi. Namun sudah 2 menit, pesan itu masih belum ada balasan.Sambil menunggu balasan dari sahabatnya itu, kembali Aiza mendekati pondok di dekat hutan sekolah, yang hanya akan ramai kalau siswa-siswi sedang tidak belajar, alias istirahat.
Baru saja ia akan duduk, tiba-tiba suara seseorang mengejutkannya.
“Hei… sini kamu!” suara tegas itu diarahkan padanya. Aiza pun langsung menoleh pada si pemilik suara khas itu.“Saya, Pak?” tanya Aiza pada sosok Pak rayhan yang ternyata berdiri tak jauh dari tempat Aiza.
“Iya, kamu!. Siapa lagi…” jelas pria bertubuh tinggi, yang jika diukur, kemungkinan 15 centimeter lebih tinggi dari Aiza.
Gadis itu pun menurut dan mendekat ke arahnya. Namun, dipanggil dengan kalimat seperti itu, membuat Aiza menggerutu sendiri.
“Hhhhmm kalau bukan karena anak Pak Rakib, nggak mau aku menuruti panggilanmu.
Cara memanggil saja, udah seperti memanggil anak kecil saja,” gerutu Aiza dalam hatinya. Namun wajahnya beusaha untuk tetap berusaha tenang mendekati pria yang sikapnya tampak dingin itu.“Kenapa kamu sendirian di situ?” omel Riyan ketika Aiza akan mendekat beberapa lngkah lagi.
“Eh, saya…” belum sempat Aiza menjelaskan, Riyan sudah langsung beralih ke kalimat yang lain.
“Oh ya, sampaikan juga nanti sama teman-teman kamu yang lainnya, kalau tamannya sudah mulai dibangun, sekalian saja buatkan bunga-unga di taman itu.
Kalian taulah bunga yang cocok untuk taman seperti itu, yah ‘kan? Biar suasananya tampak lebih ceria. Kamu mengertikan maksud saya?” tanya Riyan menegaskan.Akan tetapi Aiza tidak langsung menjawab.
Justru perintah yang ia dengar barusan itu, memancing batinnya untuk mengomel.“Bunga? Apa bunganya juga harus dibeli?
Nggak tahu apa kalau anak PKL itu juga masih tanggungan orang tua? Belum punya penghasilan sendiri? Seenaknya saja ngasih perintah. Dasar orang kaya… Dia fikir semua orang itu selalu punya uang seperti dia?” fikir Nesya.“Hei? Kenapa jadi melamun? Kamu dengar nggak saya bilang apa?” tanya Riyan yang membuyarkan fikirannya
“Eh iya, Pak. Saya dengar..." jawabnya spontan.
"Bagus. Tadi saya nggak sengaja lihat kamu di sana.
Kelihatan sekali hobby kamu suka melamun. Jangan sendirian di pondok itu Apa lagi melamun. Sama saja kamu mengundang perhatian. Kalau kamu kesurupan bagaimana?” ujar Riyan.Seketika tubuh Aiza langsung bergidik mendengar kata ‘kesurupan’ dari pria itu
“I.. iya, maaf, Pak…” hanya kalimat itu yang bisa ia lontarkan pada Riyan.“Sudah. Memangnya kamu nggak ke kelas hari ini?” tanya Riyan.
Aiza yang baru saja menunduk, kembali mengangkat wajahnya untuk menoleh pada pria itu.“Ng… nggak, Pak. Hari ini saya nggak mengajar. Tapi… memang diwajibkan harus ke sekolah. Secepat kilat, Aiza memberi jawaban, untuk memberi penjelasan.
“Kalau begitu, saya pergi dulu, Pak…. Permisi,” pamit Aiza setelah mendapat anggukan pelan dari pria itu.
***
“Za, tadi aku lihat kamu lagi sama Pak Riyan. Kalian udah baikan? Lagi ngobrolin apa?” tuding Ria yang baru saja masuk ke ruang guru, setelah bel istirahat ke 2 berbunyi.“Siapa yang ngobrol sama dia? Males juga bisa ngobrol sama dia?” lirih suara Aiza agar tidak kedengaran sama guru-guru yang juga mengambil posisi masing-masing di ruangan itu.
“Lho, kenapa males? Bangga tau… ngobrol sama laki-laki seperti itu. Ganteng lagi…” komentar Ria.
“Ganteng kalau sama seperti gunung es, ‘kan sama aja? Masa cara dia manggil aku, seperti sedang memanggil anak kecil, ” rungut Aiza yang masih menunjukkan muka masam kalau harus diingatkan tentang Pak Riyan yang sepertinya selalu membuatnya merasa tidak nyaman mendengar kalimat laki-laki itu.
“Gunung es? Apa dia se-cool itu? Hhhmmm pantasan saja dia sudah membekukan hatiku hehehehe…” kekeh Ria dengan nada yang pelan yang justru membuat AIza melirik sinis kea rah teman sekamarnya itu.
“Mentel doma hooo… ( Kecentilan sekali kamu…)” ledek Aiza.
“Maafkan aku yang jomblo ini, Za.
Wajar aku mentel, tapi sayangnya Pak Riyan nggak pernah terlihat sedang melirik seseorang. Dan andaikan yang dia lirik itu aku… astaga… seketika kehidupanku runtuh…” dengan gaya kegilaannya yang semakin membuat Aiza ingin muntah tapi akhirnya tertawa pelan, karena takut yang ada di ruangan itu menatap heran ke arah mereka.“Mate ma... (mampuslah…)” celutuk Aiza menanggapi sikap Ria yang berlebihan itu.
“Tapi memang tadi Pak Riyan meminta sekalian buat bunga kalau taman itu sudah selesai.
Tapi dia nggak bilang bunga apa. Dia cuma yakin kita tahu bunga apa yang dia maksud, yang pas untuk di buat di taman itu nanti…” ujar Aiza menjelaskan.“Ooohhh bunga apa lagi kalau bukan bunga pagar? Apa susahnya?
Kan taman itu memnag di buat di dekat pagar?” ujar Ria.“Iya yah? Benar juga. Tentulah yang dia maksud itu bunga pagar…”Aiza pun setuju dengan pendapat teman yang rada ada gila-gilanya itu, tapi sekali ngasi usulan memang masuk akal.
“Kalian lagi bahas apa?” suara Kiran menghampiri.
“Bahas bunga…” jawab Aiza.
“Bunga apa? Bunga Bank?” canda Kiran lagi.
“Bank apanya? Bangkrut iya…” celutuk Ria.
“Bunga untuk taman nanti, pesan Pak Riyan,” jawab Aiza memberitahu.
“Tadinya aku fikir kita cuma bikin taman aja,” tambahnya lagi.“Wajarlah kalau Pak Riyan minta bunga untuk taman.
Gimana lagi kalau sekalian dia minta dibuat kolam?” ujar Kiran mengada-ada.“Itu dia, aku juga bilang, kalau bunga untuk taman, bagus kita ambil bunga yang ada di depan rumah kontrakan kita.
Kan cocok untuk bunga pagar?” jelas Ria lagi.“Hhhhmmm betul juga. Kan lumayan biar kita nggak perlu beli bunga lagi.
Jaman sekarang harga bunga taman itu lebih mahal dari bunga Bank, yah kan?” Kiran pun menekankan.“Ooohhh… aku harap PKL ini cepat selesai. Rasanya uang terus yang harus keluar…” ujar Aiza dengan wajah yang pasrah.
“Hhhmmm itu ‘kan sudah resiko, Sayang…” sambung Ria.
“Iya, tapi kalau lebih lama lagi seperti ini, tentu akan memakan biaya yang lebih banyak lagi,” rungut Aiza.
“Yah, kasihan anak orang… belum 3 bulan di perantauan udah stress, hahaha” ledek Ria pada Aiza.
“Sudahlah, sudah. Bentar lagi kan kita pulang ke rumah. Besok juga libur. Nanti malam jadi ‘kan ke pantai?
Biar Anak Pak Ardi yang udah hang ini, nggak jadi gila gara-gara mikirin PKL yang nggak selesai ahahaha…” sambung Kiran.“Oh iya, dong… dari kemarin aku juga udah pengen ke pantai malam…” sahut Ria setuju.
***
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama