Sesampainya di rumah, seusai shalat magrib, Pak Ardi pun menyapa istrinya.
“Biado…? Adong do lalu pinjaman i…?” tanyanya lagi.(Gimana…? Ada jadi pinjamannya?)“Adong, abang…”jawab Bu Maya dengan penuh semangat.
(Ada, bang)“Alhamdulillah. Syukur madah… So leng lalu si Aiza na kehe i…” Pak Ardi berucap syukur mendengarnya.
(Alhamdulillah, Syukurlah. Biar Aiza jadi juga pergi.)“Aizaaaa!” Bu Maya pun memanggil putrinya itu.
“Iya, Maaaaak…” sahut Aiza yang segera menghampiri ayah dan ibunya dari dalam kamar.
“Mana adikmu si Sofia…?”
“Di kamar, Mak…”
“Panggil dia ke sini…” suruh Bu Maya.
Aiza pun segera mundur untuk memnaggil Sofia. Lalu keduanya pun mendekati ayah dan ibunya.“Apa, Mak…?” tanya si Sofia.
“Aiza… ini uang untukmu yah, Nak. Ini ada 3 juta. Untunglah tulang Zainal kalian ada uang, dan mau meminjamkannya.
Pandai-pandailah kau mengatur uang ini, Nak. Tadi pun, Tulang kau berpesan, kau harus selalu semangat. Jangan kau sia-siakan sekolahmu yang tinggal sedikit lagi itu…” Bu maya pun menyampaikan pesan adik laki-lakinya itu untuk Aiza.“Iya, Mak…” jawab Aiza. Ia bisa merasakan nada-nada kasih seorang ibu terhadap dirinya yang besok akan segera berangkat untuk melaksanakan PKL selama 3 bulan itu.
“Dan pesan ayah, jangan pernah tinggalkan sholat yah, Nak.
Jaga diri baik-baik di sana,” Pak Ari turut menambahi.“Terima kasih, Ayah…” hanya itu yang bisa dijawab oleh Aiza.
“Kehe ma kakak ‘kan, Mak? Nadoon be donganku marbada…
(Kakak pergi yah, Mak. Aku nggak punya teman berantem lagi.)” ujar Sofia meledek dengan menjulurkan lidahnya pada sang kakak.“Rassoh ma di ho. Giot marbada sajo ma giot mu… Tu halak i nangge barani ho weeeekkk
(Rasakan sendiri. Sibuk nyari gara-gara saja yang kau mau. Sama orang lain kamu nggak berani, weeeekkk.)” Aiza pun tak mau kalah membalas candaan sang adik.Melihat candaan kedua putrinya, Pak Ardi dan Bu Maya hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Pala pasuo, marbada sajo hamu. Pala dao, jalak-jalak…” celutuk sang ibu.
(Kalau ketemu kerjaan kailian ribut saja. Sekali jauh, saling mencari…)“Madung, mai. Keta mangan jolo. Madung malean ayah…
(Sudahlah sudah. Ayo, kita makan dulu. Ayah sudah lapar.)” ajak sang ayah, sambil melipat kain sarung yang ia kenakan untuk sholat magrib tadi.Istri dan kedua putrinya itu pun segera bergegas untuk menikmati makan malam bersama.***
Tepat jam 10 pagi, di hari Minggu. 4 temannya yang lain sudah berada di dalam minibus, datang menjemput Aiza yang sudah janjian untuk berangkat bersama.
“On ma rakku mobil nai, (Ini mungkin mobilnya)” ujar Bu Wati melihat Minibus tipe L300 berhenti di depan halte simpang Kampung Kelapa. Tempat mereka sudah menunggu.
“Ayo, Za…!” Seru Kiran dari dalam mobil.
“Iya, Mak. Itu kawan-kawanku…” balas Aiza melihat keempat sahabatnya sudah berada di dalam mobil tersebut.
Dengan penuh semangat, ayah, ibu dan adiknya pun menghantar kepergian Aiza.
Pak sopir pun keluar dari dalam mobil untuk mengangkat dan menyusun barang-barang Aiza ke bagasi. Sedang Aiza pun bersalaman dengan ayah dan ibunya.“Pade-pade ho dainang na mar sikola i..? (Baik-baik yang sekolah ya, Nak)” pesan ayah dan ibunya hampir serentak.“Olo umak, ayah… Adek ligi-ligi umak dohot ayah dah. Kehe kakak jolo. Tolongi umak i pamasak jagal da, Anggi!
(Iya ayah, mak… Adek juga lihat-lihat ayah dan ibu yah. Kakak pergi dulu. Bantuin ibu jualan yah, dek!)” Aiza pun tak lupa memberi pesan pada Adiknya.“Madung do…?” tanya pak Supir.
(Sudah siap?)“Sudah Pak Supir. Hati-hati dah…” Pak Ardi pun memberi pesan pada Pak Sopir yang akan membawa putrinya itu.
Tak lama kemudian, perjalanan pun dimulai.
Aiza pun berangkat bersama keempat teman PKL nya, Ainy, Ria, Rosni dan Kiran. Kelima gadis itu pun berangkat ke tempat baru untuk mengabdi selama 3 bulan di tempat baru.Sebelumnya, Aiza juga tidak terlalu kenal dengan keempat temannya ini.
Aiza pun baru mengenal mereka saat pembagian tempat PKL. Ditambah lagi, karena mereka yang diutus ke sana juga berbeda bidang. Aiza dari Pendidikan Bahasa Inggris. Ria dari Pendidikan IPS Ekonomi. Ainy dari Pendidikan Biologi. Rosni dari Pendidikan Matematika. Sedangkan Kiran dari Pendidikan Fisika.Baru saja beberapa menit, minibus itu berjalan, salah satu dari mereka pun membuka pembicaraan.
“Kiran, gimana rumah kontrakan yang kau bilang kemarin…? Berapa jadi…?” tanya Ria, anak dari Pendidikan Ekonomi.“Ah iya, katanya 6 juta setahun nggak kurang…” sahut gadis bernama Kiran itu.
“Mahal juga yah ternyata…?” komentar Ria.
“Iya, Say. Di Sibolga itu kontrakan memang mahal-mahal.
Itu juga udah lumayan. Kan kita Cuma ambil 3 bulan…?” sahut Kiran.“Berarti 6 juta dibagi 4 jadi 1 juta 500 ribu yah…?” sahut Rosni yang dari Pendidikan Matematika.
“Kenapa jadi bagi empat…?” tanya Ainy bingung.
“Iyalah, 1 tahun kan 12 bulan. Dan tiga bulan itu seperempat dari setahun.
Jadi harganya 1 juta 500…” jelas Rosni.“Oh iya yah…” Ainy pun segera tanggap.
“Berarti, 1 juta 500 itu dibagi 5.
Masing-masing kita 300 ribu yah…?” Aiza pun turut berkomentar.“Yap. Nantilah di sana kita bahas. Tapi kayaknya kita harus sabar-sabar yah.
Karena kamarnya Cuma ada 2. Jadi mau nggak mau kita harus maklum dengan situasi kita…” Kiran yang sepertinya lebih dewasa pun mengingatkan akan situasi di sana.“Iya deh. Pokoknya dalam kondisi apapun di sana, kita harus kompak.
Kita semua juga baru saling kenal dan sama-sama perantau di sana. Jadi, seperti pengalaman-pengalaman senior sebelumnya, kita nggak boleh ribut hanya karena hal-hal yang nggak penting…” Aiza pun menanggapi.“Okey yah. Nanti di sana kita bahas.
Aku kalau diperjalanan nggak bisa ngobrol banyak. Jadi, harus tidur,” ujar Ainy.“Hehehe.. iya…” sahut Ria.
Masing-masing pun mengambil posisi. Ada yang tidur, ada yang main HP.
Begitu juga dengan Aiza, ia sibuk memandangi ke sekeliling perjalanan yang dilewati. Angannya pun melayang jauh akan pantai Sibolga yang sering ia dengar dari orang-orang. Namun kembali lagi, ia teringat akan pesan ayah dan ibunya.Mimik wajah orang tuanya terus membayang dalam ingatannya.
“3 bulan ke depan, aku akan berpisah dengan mamak, ayah, dan juga sofia. Aku akan merindukan kalian semua. Walaupun Sibolga itu memang tidak terlalu jauh.Ayah… ibu… aku tahu bahu kalian terlalu kuat untuk memperjuangkan anak-anakmu. Aku janji, aku akan membanggakan ayah dan ibu dan nantinya. Do’akan anakmu, ayah… ibu…” Aiza kembali membatin. Hingga tidak terasa kembali juga air mata itu mengiringi perjalanannya.Sibolga dan kota Padangsidimpuan memang bukanlah jarak yang jauh.
Hanya butuh 2-3 jam untuk menempuhnya. Namun untuk para pejuang nilai, jarak itu sangat berarti. Karena harus berpisah dengan keluarga yang ia cinta.Sedang sibuk berangan, tiba-tiba ponselnya pun berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk ke HPnya.
Seketika wajahnya berbinar. Karena pesan itu adalah dari pria pujaan hatinya, Fadlan.“Assalamu alikum, Adik Aiza…? Sudah jadi berangkatnya, Dik?” sapa Fadlan dalam pesan WA.
“Wa’alaikum salam bang Fadlan. Sudah. Ini baru berangkat setengah jam yang lalu,” balas Aiza.
“Hati-hati di sana yah, Dek Aiza. Bang Fadlan pasti kangen sama Dik Aiza,” pesan sang pria idaman itu lagi.
“Hehehe, iya Bang Fadlan. Aiza juga pasti kangen 3 bulan nggak ketemu,” ketiknya lagi.
“Okey yah. Selamat bertugas. Karena Bang Fadlan juga akan berangkat ke tempat PKL Bang Fadlan di Panyabungan,” balasnya lagi.
“Semoga nilai kita memuaskan yah, Bang,” harap Nesya.
“Amiiin… Iya dek. Assalamu ‘alaikum…”
“Wa’alaikumsalam Bang,”
Percakapan via WA itu pun segera berakhir, meninggalkan binar di wajah Aiza.
Yah, sifat Fadlan yang manis sering membuat Aiza untuk tersenyum sendiri. Pemuda yang tinggi dengan gayanya yang cool selalu hadir menemani mimpi-mimpi Aiza. Ia pun menyandarkan kepalanya di bahu kursi, hingga ia pun terlelap sepanjang perjalanan itu.***
Lebih dari 2 jam di perjalanan.Akhirnya, mereka pun sampai di tempat yang dimaksud.Kelima anak kuliah yang akan mengabdi di daerah tersebut, langsung memeriksa rumah kontrakan mereka yang sengaja mereka ambil tidak jauh dari lokasi sekolah, tempat mereka yang akan mengabdi selama 3 bulan itu.Yang sudah mereka perkirakan agar tidak banyak memakan biaya transportasi.Dan alamat kontrakan tersebut adalah di Kompleks Perumahan BTN Pandan Nomor 86.“Kiran, kau bilang kamarnya cuma 2 tapi ini kamarnya 3? Untunglah kita yah,” komentar Ria pada rekannya yang bernama Kiran.“Aku juga nggak tahu. Karena kawan yang ku tanya itu juga bilangnya cuma 2 kamar…” jelas Kiran.“Dan kamar mandinya juga ada 2…” balas Rosni dengan berbinar.“Iya kamar mandinya 2.Tapi nggak mungkinlah bisa kita pakai mandi kamar mandi yang di luar itu…” sahut Ainy.“Yah, setidaknya kamar mandi yang di luar itu masih bisa kita pergunakan kalau
Udara di pagi hari, masih terasa sangat sejuk. Kelima anggota PKL dari kampus IPTS Padangsidimpuan itu, sudah berada di sekolah se-pagi mungkin.Karena mereka sudah sepakat untuk hadir lebih awal di sekolah tersebut yang notabene memang salah satu sekolah yang memiliki disiplin tinggi di daerah itu.Terlebih karena sebelumnya juga tertera dalam peraturan bahwa Apel pagi akan selalu berlangsung pukul 07.15. Sehingga, Aiza dan temannya-temannya pun sudah berada di sekolah 10 menit sebelum jam 7 pagi.Berhubung karena mereka tahu tempat untuk mereka tidak tersedia, kelimanya pun hanya meletakkan tas mereka di salah satu ruang kelas. Dan sesuai aturan, mereka pun berbaris berjejer di samping beberapa orang guru-guru muda, yang juga sudah hadir di sana untuk menyambut para siswa di gerbang pintu sekolah.Tanpa banyak kalimat, mereka pun mengikuti apa yang dilakukan guru tersebut, yaitu saling bersalaman menyambut siswa-siswinya de
Sambil tersenyum ia pun mencoba membalas sambil berjalan menuju pondok kosong yang ada di hutan sekolah.Akan tetapi, karena terlalu semangat untuk membalasnya, Aiza tidak sengaja menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik sebuah mobil sedan berwarna hitam.“Alaaaa umaaak…” lontar Aiza tersentak, saat ia menubruk sesosok tubuh tinggi.Dan secara tidak sengaja, tangan Aiza berpegangan pada lengan kekar pria tersebut.“Kalau jalan lihat ke depan, jangan lihat layar HP. Bahaya…” tegur pria yang tingginya sekitar 15 centimeter lebih dari tinggi badan Aiza.Wajahnya tampak begitu datar tanpa ekspresi.“Eh… iya.. maaf, Pak…” ujar Aiza dengan gugup karena malu melihat pria itu atas kecerobohannya sendiri.“Awasss….!” Tepis pria itu dengan nada yang kurang bersahabat, meninggalkan Aiza yang masih bingung dengan keterkejutannya.“Ganteng-genteng cerewet huuuuuu…” gerutu Aiza ketika sosok itu hilang di baling tembok s
“Kamu ini anak PKL ‘kan?” tanya pria itu pada Aiza.Dengan sangat yakin, Aiza pun mengangguk mengiyakan.“Iya, saya anak PKL. Memangnya kenapa, Pak?” Aiza membenarkan.“Kamu nggak mau bertanya saya siapa?” tanya pria itu membuat Aiza merasa geli dengan pertanyaan tersebut.Namun, sebagai orang baru, tentu saja Aiza tetap bersikap rendah hati menanggapinya.“Maaf Pak. Saya memang belum tahu Bapak ini siapa, tapi yang saya tahu tadi Bapak mengantarkan Pak Rakib Salim, yah ‘kan?” dengan penuh keyakinan, Aiza pun melayani pertanyaan pria itu.“Iya, benar. Kamu… baru sehari di sini, udah 2x membuat saya kesal. Apa kamu tahu itu?” singgung pria itu lagi, memancing reaksi Aiza yang sebenarnya mulai kesal dengan pertanyaan itu.Aiza pun menggerutu dalam hatinya.“Ini orang kenapa yah? Aneh. Supir tapi sok bicara seperti ini?” batinnya.“Kamu dengar saya tanya apa?” suara pria itu kembali membuyarkan suara hatinya.“Eh iya, saya
Hari-hari pun berlalu begitu saja, hingga tidak terasa seminggu sudah berlalu.Semua proses yang mereka lewati di SMP swasta Almuslimin itu berjalan dengan sangat baik.Dan dalam seminggu saja, ada banyak kesan baik dan bermanfaat yang bisa mereka ambil dari sana.Mulai dari bimbingan cara membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang baik, cara menarik minat belajar siswa dengan strategi menarik, dan juga sikap sosial dari orang-orang di dalamnya.Memang, terasa begitu melelahkan.Namun semua itu terbayarkan dengan ilmu yang sudah mereka dapatkan.Hari itu, didampingi ibu Hj. Siti Mahanum, Riyan Qalbun Salim, begitu namanya terngiang di telinga kelima para mahasiswi yang sedang mengabdi di sekolah itu.Pria itu memanggil mereka berlima untuk segera menghadap ke ruangannya.Tentu saja, kelimanya pun memenuhi panggilan tersebut.“Adik-adik mahasiswi semua, Bapak Riyan memanggil kalian ke ruanga
Hati Aiza terasa lebih tenang setelah melihat keluarganya, walau hanya lewat video call.Apa lagi, karena wajah orang tua yang sangat ia cintai itu tidak merasa keberatan dengan apa yang ia keluhkan.Terlebih ketika ayahnya dengan wajah yang datar, menerka kalau pengeluaran mereka kemungkinan tidak sampai 1 juta untuk membuat sebuah taman yang dimaksud.“Teman-temanku benar. Kenapa aku harus segalau ini memikirkannya? Masih ada waktu untuk berfikir.Lagi pula, kenapa aku seperti keberatan? Ini kan memang sudah resiko?” batin gadis itu pun berontak.“Kamu mikirin apa?” tanya Ria temannya dalam satu kamar.“Ah,nggak. Barusan aku menelpon keluargaku. Aku menjelaskan ukuran taman itu pada ayahku. Ayahku seorang pekerja bangunan.Tentu dia tahu, berapa kira-kira dana yang akan kita keluarkan per orang.Setelah dihitung-hitung, ayahku bilang kemungkinan kita akan mengeluarkan uang 1 juta per orang untuk taman ukuran 7 meter
“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.Mau tidak mau, dari pada harus menambah masalah, akhirnya Aiza pun meninggalkan wanita itu.Aiza memberanikan diri untuk masuk ke gedung bagian yayasan.Tampak pintu ruangan khusus Pak Riyan itu terbuka lebar.Namun sepertinya, ada tamu yang sedang dilayani oleh pria itu. Aiza menunggu sesaat.Tidak berapa lama, Pak Riyan pun keluar dan Aiza mencegatnya membuat berpasang mata yang ada di sana memandangi Aiza yang tempak mendekati Pak Riyan.“Maaf, Pak. Di luar ada wanita bernama Cintya mau ketemu sama, Bapak…” Aiza pun mnyampaikan.“Kamu bilang kalau saya di sini…?” tanya pak Riyan.“I… iya Pak, sahut Aiza yang mulai ragu dengan mimik wajah pria itu.“Sial…” terdengar umpatan lirih dari mulut pria itu, membuat Aiza semakin tidak enak hati mendengarnya.Riyan langsung merogoh kantong meraih ponselnya.&nbs
Memasuki minggu ke 3 pelaksanaan PKL.“Biado? Ita cicil ma mulai bahan-bahan i? (Bagaimana? Bisa kita mulai mencicil bahab-bahan?)” ujar Rosni.“Keta, au pe atia adong dope epengku, (Ayo, mumpung uang ku juga maasih ada,)” sahut Ainy.“Aku juga, uangku rasanya juga masih cukup,” sambung Aiza.“Baguslah kalau begitu, biar kita kumpulkan uangnya beli semen sama pasir.Tapi… kita tanya dulu besok kepala sekolah, kemana kita simpan nanti bahan-bahan itu…” ujar Kiran menimpali.“Paling nanti ujung-ujungnya diletakkan di ruang bendahara…” Ria pun tak kalah memberikan pendapat.“Syukurlah uangku masih ada kalau untuk mencicil. Biar nanti ayah dan umakku nggak terlalu pusing nyari sisanya…” lirih suara Aiza.“Berarti karena menyisakan uang untuk taman itu makanya nggak pernah kau jajan?” celutuk Ria.“Itu kamu tahu… Aku bisa saja jajan ini-itu kalau nggak mikir ke sana,” sahut Aiza.“Bope songoni… ulang ko makikittu tu dirimu, kele
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama