Hari-hari pun berlalu begitu saja, hingga tidak terasa seminggu sudah berlalu.
Semua proses yang mereka lewati di SMP swasta Almuslimin itu berjalan dengan sangat baik. Dan dalam seminggu saja, ada banyak kesan baik dan bermanfaat yang bisa mereka ambil dari sana. Mulai dari bimbingan cara membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang baik, cara menarik minat belajar siswa dengan strategi menarik, dan juga sikap sosial dari orang-orang di dalamnya.Memang, terasa begitu melelahkan.
Namun semua itu terbayarkan dengan ilmu yang sudah mereka dapatkan.Hari itu, didampingi ibu Hj. Siti Mahanum, Riyan Qalbun Salim, begitu namanya terngiang di telinga kelima para mahasiswi yang sedang mengabdi di sekolah itu.
Pria itu memanggil mereka berlima untuk segera menghadap ke ruangannya. Tentu saja, kelimanya pun memenuhi panggilan tersebut.“Adik-adik mahasiswi semua, Bapak Riyan memanggil kalian ke ruangan ini, tentu karena ada pesan yang ingin disampaikan…” ujar wanita paruh baya itu dengan penuh wibawa.
Aiza dan teman-temannya pun hanya bisa mengangguk mengerti.“Langsung saja, saya kataakan… Kalau kami sangat senang, menerima kehadiran kalian di sini. Oh ya, kalian sudah berapa lama bergabung dengan keluarga Almuslimin?” tanya pria itu yang baru terlihat setelah beberapa hari tidak kelihatan.
“Seminggu, Pak…” jawab mereka hampir serentak.
“Yah, saya senang karena kalian memilih Almuslimin sebagai tempat penelitian.
Baiklah, Ibu Kepala Sekolah, tentunya… adik-adik ini juga butuh penilaian hasil kerja mereka selama berada di sini. Untuk nilai akademik mereka bagaimana, Bu?” tanya pria itu pada pemimpin sekolah tersebut.“Yah, untuk penilaian akademik.
Masing-masing dari mereka sudah ada pamongnya yang akan selalu memandu mereka sesuai dengan jurusannya masing-masing…” jelas wanita itu.“Okey, good. Dan tentu adik-adik mahasiswi juga tahu, kalau bukan hanya nilai akademik yang akan kalian bawa dari sini, begitu ‘kan?” tanya pria itu pada Aiza dan temannya.
Lagi-lagi kelimanya mengangguk membenarkan.“Baiklah, untuk nilai pengabdian kalian di sekolah ini, saya terus terang saja meminta kalian secara langsung untuk membangun sebuah taman kecil di bagian pintu gerbang,” ujar Pak Riyan.
“Terserah kalian mau membangunnya dengan cara apa. Kalau kalian mau, nanti Ibu Kepala Sekolah bisa mmerintahkan kepada guru laki-laki untuk membantu mereka. Tapi kalian mengertikan dengan maksud saya?” sambungnya.“Iya, mengerti, Pak…” sahut mereka.
“Baik, kalau adik-adik punya pertanyaan dipersilahkan untuk bertanya,” ujar Ibu Kepala Sekolah memberi waktu.
Mendengar itu, Rosni dari Pendidikan Matematika yang duduk di antara rekannya yang lain, mengacungkan tangan untuk bertanya.
“Yah, silahkan…” ujar Pak Riyan pada gadis itu.
“Tadi untuk taman kecil yang Bapak maksud, ukurannya berapa dikali berapa yah, Pak?” tanyanya.
“Oh iya, saya minta nggak terlalu luas, hanya sekitar panjang 7 meter dengan lebar 70 centimeter saja.
Saya rasa itu sudah cukup. Bagaimana?” papar pria itu lagi. Seketika kelima mahasiswa itu pun terdiam. Masing-masing mereka menggambarkan ukuran yang tadi disebutkan oleh pemilik yayasan itu.Tampak wajah Aiza seperti sedang menanggung beban mendengar itu.
Dan langsung saja, hal itu mengundang reaksi anak si pemilik yayasan.“Hei, kamu? Kenapa? Apa kamu I gin menyampaikan sesuatu?” tanyanya pada Aiza. Seketika gadis itu terkejut.
“Eh, nggak, Pak. Saya… saya hanya sedang membayangkan ukuran taman yang Bapak sebutkan tadi,” tanggapnya.
“Okey, kalau nggak ada yang mau disampaikan lagi, kita bisa akhiri perundingan ini.
Kenapa saya terkesan mempercepat membahas ini, yah… agar adik-adik bisa mempersiapkan segala sesuatunya. Agar nanti kesannya tidak tergesa-gesa. Mengerti kan maksud saya?” ujarnya.“Ya, Pak…”terima mereka dengan serentak.
“Baiklah kalau begitu. Adik-adik bisa kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Harapan saya, semoga adik-adik bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah ini…” ujar pria itu menutup pembahasan mereka.
“Aamiin...” ujar mereka.
Beberapa saat setelah itu,
“Na mangua doho Aiza? Asi sip sajo ho? (kamu kenapa Aiza? Kok diam saja?)” tanya Ainy.Mendengar temannya menyapa, Aiza pun menoleh pada rekannya itu.
“Marsak au mambege i…( Aku pusing mendengarnya…)” ujar Aiza.
“Memangnya kenapa? Kamu keberatan dengan usulan Pak Riyan tadi?” tanya Ria.
“Keberatan sih nggak. Pusing mikirin dananya. Kalian nggak dengar panjang taman itu 7 meter dikali 70 centimeter.
Hayo, dan itu bukan dana yang sedikit…” jelas Aiza.“Tapi kan itu memang sudah resiko kita meninggalkan jejak di sekolah yang kita singgahi, sebagai bentuk pengabdian kita selama di sini,” jelas Kiran menambahi.
“Iya, kalian benar. Aku udah bilang kalau aku nggak keberatan.
Yang aku pusingkan sekarang ini. Bagaimana aku harus mendapatkan uangnya…” jelas Aiza.“Kita di sini kan masih seminggu. Itu kan nanti, kamu masih bisa bernafas untuk memikirkannya,” Rosni pun menimpali.
“Iya, Za. Kamu tenang dulu. Kamu kan tadi dengar, kenapa kita lebih cepat dikasih tahu, yah biar kita bisa berfikir untuk menyusun rencana membuat usulan itu…” sambung Ria.
Mendengar teman-temannya, Aiza pun menjadi lebih semangat.
“Iya yah. Kenapa aku langsung keberatan,” gumamnya.
“Nanti kita perhitungkan seperti apa pengeluaran kita untuk membuat taman itu,” ujar Rosni yang memang bagian Matematika.
“Iyaaaa kak Rooooos,” sahut Ria mencandai.
***
Sementara itu, di rumah Aiza.
“Inda pe na dong si Aiza manelpon? (Apa Aiza belum menelpon?)” sapa Pak Ardi pada istrinya.“Inda pe. Rakku sibuk ia na PKL i… (Belum. Mungkin dia sibuk dengan PKLnya…)” sahut Bu Maya.
“On kan ma sidung Magrib. Ma mulak ma ia dabo i. Telpon ma jolo sanga ma bia kabarna? (Ini kan sudah selesai Magrib. Pasti dia ssudah di rumah. Coba telpon, dan tanyakan kabarnya?)” usul pak Ardi.
“Sofia… ohh… Sofia…” panggil sang ibu pada putrid bungsunya.
“Iya, Mak…” sahut adik Aiza itu.
“Ngapain kau, Nak? Sudah sholat?” tanyanya lagi.
“Sudah, Mak. Baru saja. Kenapa, Mak?” tanya Sofia.
“Telponkan dulu kakakmu itu. Udah gimana kabarnya?” titah wanita yang masih dalam balutan mukenahnya yang tampak lusuh itu.
“Iya, Mak…” ujar Sofia sambil membawakan ponselnya itu pada ayah dan ibunya.
“Video call atau Cuma nelpon aja?” tanya Sofia memastikan.“Video call sajalah. Rindu mamak sama kakakmu,” ujarnya. Sofia pun langsung menghubungi kakaknya itu.
Tak lama kemudian, panggilan video itu pun tersambungkan.“Assalamu alaikum umakku tersayang…” sapa Aiza dari layar ponselnya.
“Wa ‘alaikum salam boruku. Sehatnya kau, Nak?” balas sang ibu.
Tampak sang ayah pun turut melihat putrinya yang sudah seminggu ini tidak berada di antara mereka.“Sehat, Mak. Orang mamak sehatnya?” tanya Aiza membalas.
“Sehat, Nak. Kenapa jarang kali nelpon mamak? Rindunya mamak dah…” tampak mata sang ibu berkaca-kaca.
“Aku juga rindunya, Mak. Gimanalah mau sering-sering pegang HP, Mak.
Sekolahnya ketat. Seharian di sekolah. Pulang ke rumah udah capek, Mak. Beres-beres rumah lagi…” jelas Aiza yang matanya juga tidak kalah berkaca-kaca mendengar kepedulian sang ibu padanya yang jauh.“Udah gimana PKL mu itu?” sambung sang ayah dari belakang sang ibu.
“Alhamdulillah, lancar Ayah… Tapi, kami mau mempersiapkan dana mau membangun taman…” jelas Aiza dengan berat hati untuk mengatakannya.
“Ooohh iya, tahu Ayah itu. Karena kemarin udah dibilang sama kawan ayah, kalau anakanya yang PKL dulunya juga begitu…” ujar Pak Ardi dengan tenang.
“Iya, ayah. Tapi kan itu butuh biaya…” sungut Aiza tertekan karena ia berfikir, pastilah ayah dan ibunya akan memikirkan pinjaman lagi untuknya.
“Iyalah, Nak. Membangun tamannya berapa kali berapa?” tanya sang ayah.
“Katanya panjang 7 meter kali lebar sekitar 70 centimeter…” papar Aiza. Mendengar penjelasan putrinya. Tampak ayahnya sedang menerka-nerka.
“7 meter dikali 7 centimeter. Tingginya berapa?” tanyanya lagi.
“Nggak terlalu tinggi kok ayah, paling tingginya sekitar 30 centimeter,” jelas Aiza.
Tampak sang ayah pun berfikir,
“Ooohhh paling habis sekitar 4 jutaanlah itu sudah termasuk upah tukang. Bagi 5 lah kalian. Kurang lebih 1 jutalah per orang…” terka sang ayah menjelaskan.***
Hati Aiza terasa lebih tenang setelah melihat keluarganya, walau hanya lewat video call.Apa lagi, karena wajah orang tua yang sangat ia cintai itu tidak merasa keberatan dengan apa yang ia keluhkan.Terlebih ketika ayahnya dengan wajah yang datar, menerka kalau pengeluaran mereka kemungkinan tidak sampai 1 juta untuk membuat sebuah taman yang dimaksud.“Teman-temanku benar. Kenapa aku harus segalau ini memikirkannya? Masih ada waktu untuk berfikir.Lagi pula, kenapa aku seperti keberatan? Ini kan memang sudah resiko?” batin gadis itu pun berontak.“Kamu mikirin apa?” tanya Ria temannya dalam satu kamar.“Ah,nggak. Barusan aku menelpon keluargaku. Aku menjelaskan ukuran taman itu pada ayahku. Ayahku seorang pekerja bangunan.Tentu dia tahu, berapa kira-kira dana yang akan kita keluarkan per orang.Setelah dihitung-hitung, ayahku bilang kemungkinan kita akan mengeluarkan uang 1 juta per orang untuk taman ukuran 7 meter
“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.Mau tidak mau, dari pada harus menambah masalah, akhirnya Aiza pun meninggalkan wanita itu.Aiza memberanikan diri untuk masuk ke gedung bagian yayasan.Tampak pintu ruangan khusus Pak Riyan itu terbuka lebar.Namun sepertinya, ada tamu yang sedang dilayani oleh pria itu. Aiza menunggu sesaat.Tidak berapa lama, Pak Riyan pun keluar dan Aiza mencegatnya membuat berpasang mata yang ada di sana memandangi Aiza yang tempak mendekati Pak Riyan.“Maaf, Pak. Di luar ada wanita bernama Cintya mau ketemu sama, Bapak…” Aiza pun mnyampaikan.“Kamu bilang kalau saya di sini…?” tanya pak Riyan.“I… iya Pak, sahut Aiza yang mulai ragu dengan mimik wajah pria itu.“Sial…” terdengar umpatan lirih dari mulut pria itu, membuat Aiza semakin tidak enak hati mendengarnya.Riyan langsung merogoh kantong meraih ponselnya.&nbs
Memasuki minggu ke 3 pelaksanaan PKL.“Biado? Ita cicil ma mulai bahan-bahan i? (Bagaimana? Bisa kita mulai mencicil bahab-bahan?)” ujar Rosni.“Keta, au pe atia adong dope epengku, (Ayo, mumpung uang ku juga maasih ada,)” sahut Ainy.“Aku juga, uangku rasanya juga masih cukup,” sambung Aiza.“Baguslah kalau begitu, biar kita kumpulkan uangnya beli semen sama pasir.Tapi… kita tanya dulu besok kepala sekolah, kemana kita simpan nanti bahan-bahan itu…” ujar Kiran menimpali.“Paling nanti ujung-ujungnya diletakkan di ruang bendahara…” Ria pun tak kalah memberikan pendapat.“Syukurlah uangku masih ada kalau untuk mencicil. Biar nanti ayah dan umakku nggak terlalu pusing nyari sisanya…” lirih suara Aiza.“Berarti karena menyisakan uang untuk taman itu makanya nggak pernah kau jajan?” celutuk Ria.“Itu kamu tahu… Aku bisa saja jajan ini-itu kalau nggak mikir ke sana,” sahut Aiza.“Bope songoni… ulang ko makikittu tu dirimu, kele
Riyan baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa, tepatnya di dekat sang ibu. Wajahnya menunjukkan rasa lelah bercampur rasa kesal. Karena itu, Bu Ria Salim pun menyapa putra bungsunya itu.“Kamu kenapa? Wajahnya kok kesal begitu?” tanya ibunya.“Gimana nggak kesal, Bu? Cintya mendatangi aku sampai ke sekolah…” umpatnya.“Memangnya kenapa? Nggak boleh? Dia kan calon istri kamu?” ujar wanita itu.Mendengar kalimat iunya itu, Riyan pun menoleh kepada ibunya.“Kenapa sih, Bu? Ayah sama ibu berharap sekali kalau Cintya itu bisa cocok sama aku? Ibu kan sudah tahu kalau aku sama sekali tidak suka dengan sikapnya yang manja dan keras kepala itu?” tuntutnya dengan perasaan semakin kesal. Namun Bu Ria menanggapinya dengan tersenyum.“Yah, perempuan dengan watak yang keras kan nggak semuanya buruk, Nak?” ujar Bu Ria berdalih.“Tapi, Bu… Cintya itu juga wanita yang nekad, dia bisa saja berbuat semaunya demi mengabulkan apa yang dia mau…” Riyan pun tet
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama