Hati Aiza terasa lebih tenang setelah melihat keluarganya, walau hanya lewat video call.
Apa lagi, karena wajah orang tua yang sangat ia cintai itu tidak merasa keberatan dengan apa yang ia keluhkan.Terlebih ketika ayahnya dengan wajah yang datar, menerka kalau pengeluaran mereka kemungkinan tidak sampai 1 juta untuk membuat sebuah taman yang dimaksud.
“Teman-temanku benar. Kenapa aku harus segalau ini memikirkannya? Masih ada waktu untuk berfikir.
Lagi pula, kenapa aku seperti keberatan? Ini kan memang sudah resiko?” batin gadis itu pun berontak.“Kamu mikirin apa?” tanya Ria temannya dalam satu kamar.
“Ah,nggak. Barusan aku menelpon keluargaku. Aku menjelaskan ukuran taman itu pada ayahku. Ayahku seorang pekerja bangunan.
Tentu dia tahu, berapa kira-kira dana yang akan kita keluarkan per orang. Setelah dihitung-hitung, ayahku bilang kemungkinan kita akan mengeluarkan uang 1 juta per orang untuk taman ukuran 7 meter dikali 70 centimeter itu…” papar Aiza.“Oooh, iya. Kita memang paling mengeluarkan uang segitu. Dari senior sebelumnya, mereka juga mengeluarkan kocek sekitar segitu juga kok…” jawab Ria dengan simple.
“Aku cuma mikir. Kita di sini baru seminggu. Masih ada sekitar 10 minggu lagi.
Apa kira-kira, uang aku masih cukup untuk pengeluaran buat taman itu nanti yah?” gumam Aiza yang sengaja jelas terdengar di telinga temannya itu.“Perasaan dari tadi galaumu karena memikirkan taman saja?
Apa nggak ada yang perlu kamu cemasin selain itu? Kita kan tadi sudah bahas kalau membuat taman itu masil lama. Kamu juga barusan bilang kalau kita di sini juga baru seminggu…” Ria kembali mengingatkan Aiza.“Iya sih memang. Tapi… maksud aku biar nggak terlalu memberatkan orang tua, Ria…” Aiza pun menyampaikan pendapatnya.
“Nggak salah sih, Za kalau kamu berfikir seperti itu. Cuma yah… kan nanti bisa difikin nanti.
Ingat kamu masih harus PKL lama. Kalau gara-gara memikirkan hal itu, besok kamu sakit, gimana?” ujar Ria.“Hopedah….( Kamu ini...)” sahut Aiza memelas pada temannya itu.
“Makanya. Jangan mikir yang aneh-aneh dulu…” sanggah Ria.
“Eh, ngomong-ngomong… Pak Riyan itu keren yah…?” jujar Ria.
“Nggak, biasa ajah…” jawab Aiza tabgkas dan singkat.
“Hhhhmmm… itu kan menurut kamu. Kalau menurut aku sih, Pak Riyan itu memang ganteng. Masih muda udah bakal menggantikan ayahnya…”
“Selama kita masih di sini, aku berharapnya Pak Rakib yang masih memimpin…” tukas Aiza.
Ria pun menoleh.“Memangnya kenapa? Kok sepertinya kamu nggak suka sekali mlihat Pak Riyan?” tanya Ria.
“Nggak sih, aku cuma nggak terlalu tertarik lihat pria sok cool…” jawab Aiza.
“Ooohh, itu artinya kita berbeda selera.
Kalau aku sih, suka banget sama pria yang macho dan cool. Dengan sikap yang tegas seperti itu, membuat banyak wanita hanya bisa mengagumi dalam diam. Dan sudah tentu, dia nggak akan menanggapi banyak perempuan. Berbeda dengan lelaki yang terlalu ramah pada banyak wanita. Bisa jadi itu kata lain dari pecicilan…” Ria menjelaskan pendapatnya.“Nggak juga. Ada kok pria yang juga cool tapi bisa menyapa banyak orang dengan tegas tapi lembut…” sanggah Aiza.
“Kamu lagi jatuh cinta, ya?
Sepertinya kamu sedanag memuji seseorang?” curiga Ria.Mendapat pertanyaan seperti itu, Aiza pun gelagapan untuk memberi jawaban.
“Eeh, nggak juga…” elaknya.“Hhhmmm, ini nih muka orang yang mau mengelak. Hehehe…” ledek Ria.
“Apa sih,” Aiza pun menahan tawanya.
“Aku benarkan? Kamu udah punya pacar, makanya kamu nggak terlalu tertarik menanggapi cowok seperti Pak Riyan…” Ria pun membenarkan.
“Aku nggak punya pacar. Hanya saja, lagi dekat…” sanggah Aiza.
“ P D K T, maksudnya…?” tanya Ria menegaskan.
“Yah, begitulah. Tapi jujur saja, aku berharapnya jangan ada kata pacaran.
Aku ingin seperti yang di filem-filem itu. Nggak ada pacaran, tiba-tiba nikah…” ujar aiza berharap.“Iya sih. Tapi itukan filem, Za. Butuh scenario yang panjang.
Berbeda dengan kenyataannya. Hanya sebagian kecil yang terjadi seperti itu dan berakhir dengan bahagia. Pada kehidupan nyata, kalau kita nggak kenal baik-buruknya seseorang, susah juga kan?” Ria pun menanggapi.“Sepertinya kalau urusan seperti itu, kamu sudah hafal yah hehehe…” canda Aiza.
“Nggak juga, cuma mengikuti situasi aja,” ujar Ria.
“Lalu, hubungan kamu dengan cowok itu, bagaimana?” tanya Ria lagi.
“Yah begitulah. Dibilang pacaran sih nggak.
Tapi rasanya kalau bareng sama dia yah begitu, nyaman saja…” jelas Aiza.“Laki-laki memang pandai sekali membuat para wanita merasa nyaman.
Ntar kalau udah nyaman, ditinggal begitu saja tanpa alasan. Si perempuan mau marah pun nggak bisa, karena memang nggak ada hubungan yang khusus… Yah, cinta memang sering membuat orang melemah, Za hehehhe…”“Puitis sekali kamu…” goda Aiza pada temannya itu.
“Sudah ah, ayo kita makan dulu. Pasti yang lain sudah menunggu…” ajak Ria.
Keduanya pun segera keluar kamar untuk menyantap hidangan makan malam yang dimasak oleh rekan mereka yang mendapat giliran memasak.***
Hari itu, Aiza yang sedang free les sesuai dengan jadwal mengajar pamongnya, sedang duduk di pondok yang ada di hutan sekolah.
Sambil mengamati tempat yang anntinya aknan mereka ubah menjadi sebuah taman.Tiba-tiba seorang wanita dengan perawakan yang gaul berdiri di depan gerbang sambil terus menghubungi ponselnya.
Tampak wanita itu kesal, sepertinya karena orang yang dihubungi tak kunjung mengangkat panggilannya.Melihat wanita tersebut yang hanya sekedar melilitkan sebuah kerudung di lehernya, Aiza pun mendekati.
Aiza mengira kalau wanita di hadapannya itu adalah tamu, ataupun wali dari seorang siswa di sekolah itu. Karena untuk menganggap wanita itu sebagai orang tua siswa, sepertinya wanita itu terlalu muda.
“Maaf, Bu. mau bertemu siapa yah?” sapa Aiza dengan ramah seperti yang sudah disarankan agar selalu memberi pelayanan yang baik, pada siapa pun yang akan berkunjung di sekolah itu.
“Ibu, ibu. Apa tampang saya seperti ibu-ibu?” dengan suara yang pelan, namun terkesan kasar wanita itu menanggapi sapaan Aiza. Akan tetapi dengan sangat tahu diri sebagai orang baru, Aiza tetap menanggapi wanita itu dengan baik.
“Ah, maaf kak. Kakak ini mau ketemu siapa?” tanya Aiza memperbaiki kalimatnya.
“Saya mau ketemu Riyan? Apa dia ada di sini?” tanya wanita itu.
Mendengar nama ‘Riyan’ disebut, seketika Aiza merasa mual.“Oh Pak Riyan…? Ada perlu apa, Bu?” tanya Aiza lagi.
Akan tetapi, wanita itu tidak langsung menjawab. Justru matanya mempreteli Aiza dari atas sampai kaki dengan almamater berwarna biru di tubuh gadis itu.“Kamu nggak perlu tahu, aku ada urusan apa. Kamu panggilkan Riyan dulu.
Katakan kalau saya menunggunya di gerbang ini…” tukasnya memberi perintah. Akan tetapi, Aiza tampak tidak sabar dengan cara wanita tersebut.“Maaf, anda bukan atasan saya. Bagaimana mungkin anda bisa menyuruh-nyuruh saya seperti ini?
Lagian, saya harus bilang apa kepada Pak Riyan kalau beliau bertanya siapa yang sedang menunggunya?” jawab Aiza.Mendengar itu, wanita tersebut semakin kesal.
“Katakan padanya, kalau Cintya sedang menunggunya. Saya calon istrinya. Jadi, mau nggak mau, sebentar lagi saya juga akan jadi atasan kamu. Jadi, kamu harus terima. Lagian, anak PKL sombong sekali cara bicaramu…” ujarnya ketus.“Maaf, kak. Justru saya terlalu tahu diri kalau saya anak PKL.
Makanya saya menegur kakak ke sini. Saya tidak tahu kalau, kakak ni adalah calon istrinya. Kenapa kakak nggak langsung s aja temui Pak Riyannya?” jawab Aiza melunak mengingat wanita itu adalah calon istri seperti yang disebutkan.“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.
“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.Mau tidak mau, dari pada harus menambah masalah, akhirnya Aiza pun meninggalkan wanita itu.Aiza memberanikan diri untuk masuk ke gedung bagian yayasan.Tampak pintu ruangan khusus Pak Riyan itu terbuka lebar.Namun sepertinya, ada tamu yang sedang dilayani oleh pria itu. Aiza menunggu sesaat.Tidak berapa lama, Pak Riyan pun keluar dan Aiza mencegatnya membuat berpasang mata yang ada di sana memandangi Aiza yang tempak mendekati Pak Riyan.“Maaf, Pak. Di luar ada wanita bernama Cintya mau ketemu sama, Bapak…” Aiza pun mnyampaikan.“Kamu bilang kalau saya di sini…?” tanya pak Riyan.“I… iya Pak, sahut Aiza yang mulai ragu dengan mimik wajah pria itu.“Sial…” terdengar umpatan lirih dari mulut pria itu, membuat Aiza semakin tidak enak hati mendengarnya.Riyan langsung merogoh kantong meraih ponselnya.&nbs
Memasuki minggu ke 3 pelaksanaan PKL.“Biado? Ita cicil ma mulai bahan-bahan i? (Bagaimana? Bisa kita mulai mencicil bahab-bahan?)” ujar Rosni.“Keta, au pe atia adong dope epengku, (Ayo, mumpung uang ku juga maasih ada,)” sahut Ainy.“Aku juga, uangku rasanya juga masih cukup,” sambung Aiza.“Baguslah kalau begitu, biar kita kumpulkan uangnya beli semen sama pasir.Tapi… kita tanya dulu besok kepala sekolah, kemana kita simpan nanti bahan-bahan itu…” ujar Kiran menimpali.“Paling nanti ujung-ujungnya diletakkan di ruang bendahara…” Ria pun tak kalah memberikan pendapat.“Syukurlah uangku masih ada kalau untuk mencicil. Biar nanti ayah dan umakku nggak terlalu pusing nyari sisanya…” lirih suara Aiza.“Berarti karena menyisakan uang untuk taman itu makanya nggak pernah kau jajan?” celutuk Ria.“Itu kamu tahu… Aku bisa saja jajan ini-itu kalau nggak mikir ke sana,” sahut Aiza.“Bope songoni… ulang ko makikittu tu dirimu, kele
Riyan baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa, tepatnya di dekat sang ibu. Wajahnya menunjukkan rasa lelah bercampur rasa kesal. Karena itu, Bu Ria Salim pun menyapa putra bungsunya itu.“Kamu kenapa? Wajahnya kok kesal begitu?” tanya ibunya.“Gimana nggak kesal, Bu? Cintya mendatangi aku sampai ke sekolah…” umpatnya.“Memangnya kenapa? Nggak boleh? Dia kan calon istri kamu?” ujar wanita itu.Mendengar kalimat iunya itu, Riyan pun menoleh kepada ibunya.“Kenapa sih, Bu? Ayah sama ibu berharap sekali kalau Cintya itu bisa cocok sama aku? Ibu kan sudah tahu kalau aku sama sekali tidak suka dengan sikapnya yang manja dan keras kepala itu?” tuntutnya dengan perasaan semakin kesal. Namun Bu Ria menanggapinya dengan tersenyum.“Yah, perempuan dengan watak yang keras kan nggak semuanya buruk, Nak?” ujar Bu Ria berdalih.“Tapi, Bu… Cintya itu juga wanita yang nekad, dia bisa saja berbuat semaunya demi mengabulkan apa yang dia mau…” Riyan pun tet
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama