“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.
Mau tidak mau, dari pada harus menambah masalah, akhirnya Aiza pun meninggalkan wanita itu.
Aiza memberanikan diri untuk masuk ke gedung bagian yayasan.Tampak pintu ruangan khusus Pak Riyan itu terbuka lebar.
Namun sepertinya, ada tamu yang sedang dilayani oleh pria itu. Aiza menunggu sesaat.Tidak berapa lama, Pak Riyan pun keluar dan Aiza mencegatnya membuat berpasang mata yang ada di sana memandangi Aiza yang tempak mendekati Pak Riyan.
“Maaf, Pak. Di luar ada wanita bernama Cintya mau ketemu sama, Bapak…” Aiza pun mnyampaikan.
“Kamu bilang kalau saya di sini…?” tanya pak Riyan.
“I… iya Pak, sahut Aiza yang mulai ragu dengan mimik wajah pria itu.
“Sial…” terdengar umpatan lirih dari mulut pria itu, membuat Aiza semakin tidak enak hati mendengarnya.
Riyan langsung merogoh kantong meraih ponselnya. Melihat itu, Aiza pun langsung permisi untuk meninggalkan pria yang masih memandangi ponselnya itu.Sambil terus melangkah, Riyan juga ternyata berjalan seiring langkah Aiza di depannya, seolah ia sedang mengejar gadis itu.
“Lain kali kalau wanita itu datang, bilang saja kalau saya tidak ada…” gerutunya melewati Aiza.
Aiza hanya bisa membatin dengan sikap 2 orang itu.
“Iiiisssss… nggak yang laki-laki nggak yang perempuan, sama aja sombongnya. Bikin orang serba salah. Huuuhhh, kalian itu memang cocok. Semoga langgeng…” rungutnya dengan kesal.Ia pun membalikkan tubuhnya seiring dengan dering ponsel dari dalam kantong jas almamaternya.
Tampak nama Fadlan terpampang di layar gawainya. Sekilas ia lupa akan rasa kesal berubah menjadi senyum di bibirnya.“Assalamu alaikum bang Fadlan?” sapanya dengan suara yang lembut.
“Wa’ alaikum salam, Za. Apa bang Fadlan mengganggu?” balas pemuda itu darii seberang sana.
“Nggak kok. Kebetulan sekali, Aiza lagi free less. Sesuai dengan jadwal pamong Aiza. Bang Fadlan sendiri? Memangnya nggak ke sekolah?” tanya Aiza.
“Kebetulan juga bang Fadlan lagi nggak ada les. Menunggu les berikutnya…” jelas Fadlan.
“Tumben bang Fadlan nelpon di jam kerja hehehe…”
“Iya, habisnya. Bang Fadlan kangen sama adik. Udah berjauhan begini, kamu malah makin jarang hubungi bang Fadlan.
Kamu nggak ketemu sama cowok yang bisa ngalahin perhatian bang Fadlan kan?” tanya Fadlan dengan nada curiga.“Ahaha, nggaklah. Bang Fadlan masih ada di urutan pertama sebagai cowok yang paling perhatian buat aku…” balas Aiza.
“Kamu bisa aja bikin bang Fadlan tambah kangen. Oh iya, ternyata di tempat PKL bang Fadlan ini, ada teman akrab kamu lho. Namanya Yunita…” ujar Fadlan.
“Ah iya, anak Bahasa Indonesia yah, bang?” Aiza memastikan.
“Yah, dia anak bahasa Indonesia…” jawab Fadlan.
“Iya, bang Fadlan. Dia teman baik aku. Teman curhat aku malah. Tapi aku kok nggak tahu ya kalau dia juga PKL ke Panyabungan sama kayak abang?” tanya Aiza heran.
“Iya, kemarin katanya dia dialihkan, karena di sekolah yang ia pilih itu terlalu banyak peserta PKLnya…” jelas Fadlan.
“Ooohhh, aku kok nggak tahu yah, hehehe…”
“Yah, mungkin lupa ngasi tahu karena terlalu sibuk…” jawab Fadlan.
“Iya juga sih. Dia itu anaknya baik…” jelas Aiza.
“Iya, enak diajak ngobrol… sama kayak kamu…
Jadi pengen cepat selesai PKL biar langsung ketemu. Kalau aja bisa, bang Fadlan pengen peluk… ahahaha…” canda Fadlan dari kejauhan.“Bisa aja, gombalnya…” sanggah Aiza dengan manja.
“Abang nggak gombal, Dik. Tapi yah sudah lah kalau nggak percaya.
Yang penting di sana kamu baik-baik. Jangan sampai bang Fadlan punya saingan yang lebih perhatian sama kamu hhhmmm…” suara Fadlan tampak memelas.“Bang Fadlan sangat tahu aku. Aiza juga nggak terlalu mudah jatuh hati sama laki-laki.
Yah udah kalau begiitu, nanti kita sambung lagi ngombrolnya. Karena Aiza harus pencet bel untuk istirahat dulu,” ujar Aiza melihat jarum jam di tangannya.Tak berapa lama, telepon itu pun ditutup. Betapa terkejutnya ia, saat akan berbalik, ia melihat Pak Riyan ada di sebelahnya.
“Eehhh,”“Kenapa?” tanya Pak Riyan.
“Bapak kenapa berdiri di samping saya?” tanya Aiza gugup.
“Saya nungguin kamu selesai nelpon.
Apa tadi kamu bilang? Kamu tidak mudah jatuh hati sama laki-laki?” Pak Riyan mengulang kalimat Aiza untuk Fadlan di telpon tadi.Ingin rasanya Aiza mengumpat di depan pria itu.
“Apa-apaan orang ini? Peduli amat sama pembicaraan orang? Apa ada yah orang yayasan yang suka nguping pembicaraan orang lain?” batin Aiza.“Kenapa? Kamu nggak suka saya bicara seperti itu?” tanya Riyan.
“Langsung saja, Bapak tadi mau bilang apa sama saya?” tanya Aiza.
Riyan bisa menebak kekesal di hati gadis itu karenanya.“Saya mau bilang, lain kali kalau perempuan tadi nyari saya, bilang nggak ada.
Saya nggak suka kalau dia datang ke sini cuma akan mengganggu pekerjaan saya dan merusak mood saya,” papar Riyan yang langsung saja pergi meninggalkan Aiza.Gadis itu masih terbengong di tempatnya berpijak.
“Mereka yang punya masalah, tapi nyampeinnya ke aku. Yang tadi katanya caalon istri? Ini reaksinya seperti ini? Hahaha… terserah lah. Mau kalian jungkir balik pun aku nggak perduli. Yang satu keras kepala yang satunya sombong amat… Hhuuuuhhhh…” Aiza pun melepaskan nafasnya dengan lega, dan segera menekan bel istirahat.***
“Kamu kok kelihatannya kesal sekali? Kenapa?” tanya Kiran pada Aiza ketika kelimanya akan pulang ke rumah.
“Nggak tahu. Tiap ketemu sama Pak Riyan, bawaannya pengen angkat batu dan lempar ke mukanya…” jawab Aiza dengan ketus membuat teman-temanya yang mendengar itu saling pandang.
“Sadis amat? Kamu ingatkan kalau dia itu orang yayasan?” tanya Rosni.
“Iya kak Ros. Aku nggak mungkin lupa. Kalian nggak lihat gimana tadi aku hampir lompat dari gerbang karena mobilnya mau lewat?” ujar Aiza kesal mengingat kejadian beberapa menit sebelum mereka meninggalkan gerbang sekolah.
“Mencintalah sekedarnya, kelak ada waktunya kau aakan membenci.
Dan membencilah seadanya, karena kelak, kau juga akan mencintai…” sindir Ria.“Memangnya kenapa sampai sekesal itu?” tanya Ainy.
Aiza pun menceritakan kejadian hari ini pada tema-temannya sambil berjalan menuju rumah kontrakan mereka. Sesekali ada yang tertawa menanggapi apa yang diceritakan oleh Aiza.
“Tapi, kok sama aku Pak Riyan nggak pernah seperti itu yah?” tanya Rosni.
“Iya, aku juga, setidaknya ada kesan berdua walau hanya 1 menit untuk diingat2 yah kan?” sambung Ria dengan wajah penuh harap.
“Jangan-jangan, Pak Riyan memang nggak suka sama perempuan yang kamu certain tadi…” Kiran piun menggapi.
“Bagaimana nggak suka? Jelas sekali kakak itu bilang, kalau dia adalah calon istrinya Pak Riyan,” jelas Aiza.
“Yah, bisa jadi kan itu memang perjodohan.
Orang kaya suka begitu lah. Terus pas dijodohin malah nggak cocok,” Ria pun menyetujui.“Bodo amat. Tapi yang jelas aku beneran kesal,” gerutu Aiza.
“Jangan gitu. Mereka kan belum menikah, bisa aja nggak jadi nikah.
Nah mana tahu kan jodoh sebenarnya Pak Riyan itu kamu Za…” goda Rosni hingga teman-temannya yang lain pun tertawa menanggapi ejekan itu.“Nggak. Dia buka tipe aku. Lagian aku juga udah ada bang Fadlan yang karakternya bertolak belakang dengan Pak Riyan yang keras kepala itu…” papar Aiza hingga membawa nama Fadlan agar teman-temannya tahu kalau ia justru punya hubungan dengan seseorang.
“Tapi kan, kamu sama Fadlan itu nggak pacaran? Kalau pun pacaran belum tentu juga berjodoh? Sudahlah, kamu nikmati saja perhatian si Fadlan dan kamu bayangin saja, siapa tahu Pak Riyan memang punya hati sama kamu ahahahaha,” sambung Ria ketika mereka juga sudah sampai di depan pintu rumah mereka yang sudah di kontark itu.
Aiza hanya bisa merengut menanggapi ejekan teman-temannya yang masih tertawa karenanya.
***
Memasuki minggu ke 3 pelaksanaan PKL.“Biado? Ita cicil ma mulai bahan-bahan i? (Bagaimana? Bisa kita mulai mencicil bahab-bahan?)” ujar Rosni.“Keta, au pe atia adong dope epengku, (Ayo, mumpung uang ku juga maasih ada,)” sahut Ainy.“Aku juga, uangku rasanya juga masih cukup,” sambung Aiza.“Baguslah kalau begitu, biar kita kumpulkan uangnya beli semen sama pasir.Tapi… kita tanya dulu besok kepala sekolah, kemana kita simpan nanti bahan-bahan itu…” ujar Kiran menimpali.“Paling nanti ujung-ujungnya diletakkan di ruang bendahara…” Ria pun tak kalah memberikan pendapat.“Syukurlah uangku masih ada kalau untuk mencicil. Biar nanti ayah dan umakku nggak terlalu pusing nyari sisanya…” lirih suara Aiza.“Berarti karena menyisakan uang untuk taman itu makanya nggak pernah kau jajan?” celutuk Ria.“Itu kamu tahu… Aku bisa saja jajan ini-itu kalau nggak mikir ke sana,” sahut Aiza.“Bope songoni… ulang ko makikittu tu dirimu, kele
Riyan baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa, tepatnya di dekat sang ibu. Wajahnya menunjukkan rasa lelah bercampur rasa kesal. Karena itu, Bu Ria Salim pun menyapa putra bungsunya itu.“Kamu kenapa? Wajahnya kok kesal begitu?” tanya ibunya.“Gimana nggak kesal, Bu? Cintya mendatangi aku sampai ke sekolah…” umpatnya.“Memangnya kenapa? Nggak boleh? Dia kan calon istri kamu?” ujar wanita itu.Mendengar kalimat iunya itu, Riyan pun menoleh kepada ibunya.“Kenapa sih, Bu? Ayah sama ibu berharap sekali kalau Cintya itu bisa cocok sama aku? Ibu kan sudah tahu kalau aku sama sekali tidak suka dengan sikapnya yang manja dan keras kepala itu?” tuntutnya dengan perasaan semakin kesal. Namun Bu Ria menanggapinya dengan tersenyum.“Yah, perempuan dengan watak yang keras kan nggak semuanya buruk, Nak?” ujar Bu Ria berdalih.“Tapi, Bu… Cintya itu juga wanita yang nekad, dia bisa saja berbuat semaunya demi mengabulkan apa yang dia mau…” Riyan pun tet
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama