Memasuki minggu ke 3 pelaksanaan PKL.
“Biado? Ita cicil ma mulai bahan-bahan i? (Bagaimana? Bisa kita mulai mencicil bahab-bahan?)” ujar Rosni.“Keta, au pe atia adong dope epengku, (Ayo, mumpung uang ku juga maasih ada,)” sahut Ainy.
“Aku juga, uangku rasanya juga masih cukup,” sambung Aiza.
“Baguslah kalau begitu, biar kita kumpulkan uangnya beli semen sama pasir.
Tapi… kita tanya dulu besok kepala sekolah, kemana kita simpan nanti bahan-bahan itu…” ujar Kiran menimpali.“Paling nanti ujung-ujungnya diletakkan di ruang bendahara…” Ria pun tak kalah memberikan pendapat.
“Syukurlah uangku masih ada kalau untuk mencicil. Biar nanti ayah dan umakku nggak terlalu pusing nyari sisanya…” lirih suara Aiza.
“Berarti karena menyisakan uang untuk taman itu makanya nggak pernah kau jajan?” celutuk Ria.
“Itu kamu tahu… Aku bisa saja jajan ini-itu kalau nggak mikir ke sana,” sahut Aiza.
“Bope songoni… ulang ko makikittu tu dirimu, kelek… (Walaupun begitu, kamu jangan terlalu pelit untuk dirimu sendiri, teman…)” nasihat Rosni untuk Aiza.
“Aku nggak pelit sama diri sendiri. Cuma kalian kan tahu, dari awal dengar mau membuat taman itu, aku harus menyisakan uang untuk buat taman itu.
Dari pada nanti gara-gara aku kalian terkendala membuatnya, gimana” papar Aiza.“Nggak mungkin gara-gara kamu bikin taman pun jadi terkendala…” canda Ainy.
“Yah kan mana tahu… kalau memang nggak terkendala… itu artinya nanti pas aku nggak ada uang, aku bisa nebeng sama kalian… pinjam uang salah satu diantara kalian heheheh…” balas Aiza bercanda.
“Kalau memang bisa kenapa, nggak?
Kamunya aja yang terlalu membawa susah masalah taman itu…” ujar Kiran.“Hehehe, ternyata kalian memang bagian dari rejeki ku hehehe…” sorak Aiza.
“Madung mai, sholat ma ita jolo… (Sudahlah itu. Kita sholat dulu),” ajak Rosni pada teman-temannya karena memang sudah waktunya pelaksanaan sholat magrib.
***
Seperti biasanya selesai melaksanakan sholat magrib, mereka pun makan malam bersamanya.
“Eh, malam minggu nanti, kita ke pantai yuk?
Kita belum pernah 'kan ke pantai malam hari…” usul Ria sambil menikmati makanannya.“Boleh juga, kira-kira 1 becak cukup nggak buat kita berlima?
Biar irit hehehe…” celutuk Rosni.“Aku rasa cukup. 4 orang di dalam, 1 orang di belakang Pak Supir ahahaha…” jawab Ria.
“Kau yang di belakang supir,” jawab Aiza, Ainy, Rosni dan Kiran secara serentak, yang langsung membuat Ria terdiam.
“Aku?” tanyanya memastikan.
“Iyalah. Kaunya yang cocok di belakang abang-abang becak itu ahahahah…” celutuk Rosni.
“Lagian ‘kan kau yang mengajak… Jadi kau harus mengalah…” Kiran pun menimpali membuat yang lainnya hanya bisa cekikikan melihat ekspresi Ria yang lucu.
“Jadilah. Biarlah aku yang dibelakang abang-abang becak.
Biar senang kalian…” desahnya pasrah.“Okey, jadi mulai sekarang… kalau kita mau kemana-mana naik becak.
Ria yang harus dibelakang abang-abang becak yah?” titah Kiran kembali.“Roha-roha munu ma… (Suka hati kalian sajalah…)” pasrah Ria sambil terus menikmati makanannya tanpa merisaukan apa yang jadi bahan tertawaan teman-temannya itu.
Selesai menyantap makan malam itu, masing-masing mereka pun mengerjakan tugasnya masing-masing.
Ada yang sibuk mempersiapkan materi untuk disampaikan pada siswa besok. Ada yang sibuk membaca buka. Sedang Aiza yang baru saja membaringkan tubuhnya di lantai, langsung meraih ponselnya yang berdering itu.Matanya kian berbinar ketika melihat nama Fadlan ada di layar ponselnya.
“Assalamu ‘alaikum, Bang Fadlan…” sapa Aiza dengan suara selembut mungkin yang justru menarik perhatian teman-temannya.“Wa’alikum salam, Adinda… sehat kan?” sapa Fadlan dari seberang.
“Alhamdulillah, sehatlah, Bang…. Abang sendiri gimana?” tanya Aiza balik, tanpa peduli dengan tingkah Ria yang mengolok-olok cara bicaranya ke arah Rosni, Kiran dan Ainy yang hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat ejekan Ria tersebut.
“Alhamdulillah, Bang Fadlan juga sehat, Dik. Adinda udah sholat…?” tanya Fadlan lagi.
“Heheheh sholat Isya, belum, Bang…” ujar Aiza cengengesan.
“Lagi ngapain sekarang?” Fadlan terus memberi pertanyaan seperti sedang melakukan interview terhadap Aiza.
“Aku… aku nggak lagi ngapa-ngapain… Cuma lagi santai aja nih. Bareng sama teman-teman PKL…” jawab Aiza.
“Lagi mikirin abang dia, tuh…” celutuk Ria dengan sengaja bersuara keras untuk menggoda Aiza, membuat yang lainnya terus tertawa.
“Siapa itu, Dik?” tanya Fadlan yang ternyata mendengar suara asing selain suara Aiza.
“Biasa, bang… kawan PKL yang lagi iseng…” sahut Aiza sambil melirik Ria seolah pandangannya itu menyuruh Ria untuk tidak mengulangi kalimat seperti itu. Demi menjaga gengsi Aiza untuk mengakui, bahwa apa yang dikatakan Ria itu memang benar.
Aiza memang sedang memikirkan Fadlan.“Benar Dik Aiza sedang memikirkan abang?” ujar Fadlan memastikan.
“Eh hehehe…” AIza pun bingung harus bilang apa. Kalau ia mengatakan itu benar, itu sama dengan kalau ia tidak peduli dengan rasa gengsinya.
Tetapi, kalau dia bilang itu tidak benar, ia takut kalau Fadlan kecewa bahwa ternyata ia tidak memikirkan pemuda itu.“Nggak usah malu. Bang Fadlan juga lagi mikirin Dik Aiza kok.
Makanya abang langsung telpon ‘kan?” jelas Fadlan.Setidaknya kalimat Fadlan itu sudah mewakili isi hatinya.
Wajar memang kalau Fadlan mengatakan hal seperti itu, karena ia adalah laki-laki. Dan bagi Aiza tentu saja hal itu akan terasa memalukan, kalau seorang gadis lebih dahulu mengungkapkan hal yang sama.“Eeeuuummm… Bang Fadlan sendiri lagi ngapain?” tanya Aiza.
“Lagi nelpon…” jawab Fadlan spontan.
“Ahahaha… maksudnya, sebelum nelpon, abang lagi ngapain?” tanya Aiza lebih spesifik lagi.
“Oh… bilang dong. Nggak ada. Abang juga baru selesai sholat dan beres-beres tugas.
Lagi teringat sama kamu… yah langsung abang telepon. Oh ya, bagaimana PKL di tempatmu? Apa kamu suka tinggal di sana?” tanya Fadlan lagi.“Eeum… Lumayan seru juga. Ini kan udah masuk minggu ketiga.
Tadi, kami baru musyawarah untuk mencicil mau buat taman di sekolah ini…” jelas Aiza yang matanya tiba-tiba menangkap teman-temannya yang merasa geli dengan percakapan antara ia dan Fadlan di telpon itu.“Oh, kalian buat taman yah? Enak dong…” tukas Fadlan.
“Enak? Kenapa abang bilang enak?” tanya Aiza.
“Yah… kalau buat taman kan mending. Biayanya juga nggak terlalu mengkhawatirkan. Kami di sini disuruh buat gapura…” jelas Fadlan dengan nada berat..
“Gapura?” ulang Aiza.
“Iya…” Fadlan pun membenarkan.
“Berarti, membuat taman itu masih mendingan yah, Bang?” ujar Aiza akhirnya.
“Iya… itu sudah lumayan. Kalau kami di sini… jangan tanyakan berapa biaya per orangannya. Abang aja nanti harus pinjam uang si Yunita hehehe…” ujar Fadlan.
“Iya juga sih. Aku fikir tadi, cuma aku saja yang pusing dengan biaya keluar hehehe…” ujar Aiza.
“Nggak jugalah. Okey yah, Dik Aiza. Bang Fadlan masih ada kerjaan yang harus diselesaikan. Dik Aiza jaga kesehatan yah. Jangan lupa sholat Isya sebelum tidur…” ujar Fadlan memberi pesan.
“Iya, Bang… iya…” jawab Aiza.
Tak berapa lama, percakapan itu pun berakhir.“Udah selesai berobatnya?” tanya Kiran mengejek Aiza.
“Berobat? Berobat apa?” tanya Aiza yang tidak mengerti maksud ucapan temannya itu.
“Nelpon sama Bang Fadlan…” ejek mereka serentak dengan wajah yang dibuat-buat. Seketika rumah kontrakkan itu pun riuh dengan suara tawa mereka.
“Oooopppsss… pelankan suara kita, nggak enak didengar tetangga.
Bisa-bisa nanti rumah kita ada yang lempar karena keberatan dengar suara kita…” ujar Ainy mengingatkan.“Iya yah… apa lagi orang depan baru melahirkan… nanti anaknya nangis gara-gara suara kita…” Rosni pun menimpali.
“Makanya, ketawa itu jangan pake otot…” Aiza pun merasa punya kekuatan membalas ledekan keempatnya itu.
“Hhhhmmm… gara-gara Bang Fadlan…” celutuk Ria dengan gayanya yang lucu. Kembali yang lain hanya tertawa pelan melihat tingkahnya itu.
***
Riyan baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa, tepatnya di dekat sang ibu. Wajahnya menunjukkan rasa lelah bercampur rasa kesal. Karena itu, Bu Ria Salim pun menyapa putra bungsunya itu.“Kamu kenapa? Wajahnya kok kesal begitu?” tanya ibunya.“Gimana nggak kesal, Bu? Cintya mendatangi aku sampai ke sekolah…” umpatnya.“Memangnya kenapa? Nggak boleh? Dia kan calon istri kamu?” ujar wanita itu.Mendengar kalimat iunya itu, Riyan pun menoleh kepada ibunya.“Kenapa sih, Bu? Ayah sama ibu berharap sekali kalau Cintya itu bisa cocok sama aku? Ibu kan sudah tahu kalau aku sama sekali tidak suka dengan sikapnya yang manja dan keras kepala itu?” tuntutnya dengan perasaan semakin kesal. Namun Bu Ria menanggapinya dengan tersenyum.“Yah, perempuan dengan watak yang keras kan nggak semuanya buruk, Nak?” ujar Bu Ria berdalih.“Tapi, Bu… Cintya itu juga wanita yang nekad, dia bisa saja berbuat semaunya demi mengabulkan apa yang dia mau…” Riyan pun tet
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama