Sambil tersenyum ia pun mencoba membalas sambil berjalan menuju pondok kosong yang ada di hutan sekolah.
Akan tetapi, karena terlalu semangat untuk membalasnya, Aiza tidak sengaja menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik sebuah mobil sedan berwarna hitam.“Alaaaa umaaak…” lontar Aiza tersentak, saat ia menubruk sesosok tubuh tinggi. Dan secara tidak sengaja, tangan Aiza berpegangan pada lengan kekar pria tersebut.“Kalau jalan lihat ke depan, jangan lihat layar HP. Bahaya…” tegur pria yang tingginya sekitar 15 centimeter lebih dari tinggi badan Aiza.
Wajahnya tampak begitu datar tanpa ekspresi.“Eh… iya.. maaf, Pak…” ujar Aiza dengan gugup karena malu melihat pria itu atas kecerobohannya sendiri.
“Awasss….!” Tepis pria itu dengan nada yang kurang bersahabat, meninggalkan Aiza yang masih bingung dengan keterkejutannya.
“Ganteng-genteng cerewet huuuuuu…” gerutu Aiza ketika sosok itu hilang di baling tembok salah satu bangunan yang ada. Setelah itu, ia sama sekali tidak ambil pusing dengan kalimat lelaki itu.
Aiza pun melanjutkan langkahnya yang sudah sedikit lagi untuk sampai di pondok hutan sekolah itu.
“Siapa bilang Aiza nggak kangen ngobrol sama bang Fadlan? Kangen banget tau,” jawabnya sambil tersenyum dengan harapan yang berbinar.Hanya dalam beberapa menit, balasan pesan itu pun datang,
“Kalau kangen, kenapa tadi malam Dik Aiza nggak balas chattingan dari abang?” tanya Fadlan.“Iya, Bang. Tadi malam Aiza dan kawan-kawan yang PKL ketiduran hehehe… maaf yah bang Fadlan.
Mudah-mudahan proses PKL ini secepatnya bisa selesai. Biar kita bisa ketemu lagi di kampus,” Aiza pun menuliskan harapannya di sana.“Aamiin,” hanya itu balasn selanjutnya dari sang pria idaman.
Aiza pun tersenyum menanggapi pesan chat tersebut.Beberapa kali, ia harus menggulir layar ponselnya, yang membuatnya semakin yakin kalau Fadlan memang menaruh hati atas perhatian-perhatiannya pria tersebut terhadapnya selama ini.
“Bang Fadlan selalu ngirim pesan yang manis.
Tapi sama sekali nggak pernah ungkapin cinta sama aku. Apa bang Fadlan masih belum berani mengatakannya karena kami masih sama-sama kuliah ya?” sejenak Aiza pun membatin mengingat Fadlan.Gadis yang masih berusia 21 tahunan itu, asyik menyendiri dan berkhayal suasana romantis yang terjadi di dalam kelas, saat Fadlan memandanginya ketika sedang bicara atau menjelaskan sesuatu, saat tangan mereka tidak sengaja saling bersentuhan ketika meraih alat tulis secara bersamaan dan kemudian mereka tertawa.
Tiba-tiba Pak Rakib Salim dan beberapa ajudannya pun keluar dari balik gedung.
Tepatnya keluar dari ruangan Kepala Sekolah. Tampak Ibu Hj. Siti Mahanum pun turut menghantarkan beliau mendekati mobil sedan berwarna hitam itu.Begitu juga dengan lelaki yang tadi sempat ia tabrak itu.
Dia berada di antara orang-orang penting itu.Aiza hanya memandangi mereka.“Sebenarnya Pria itu guru mata pelajaran apa? Kenapa tampangnya sepertinya nggak bisa ramah?” Aiza berkomentar sendiri memandangi pria itu. Dan secara tidak sengaja, pria yang juga akan masuk ke dalam mobil itu pun menagkap mata Aiza yang tertuju padanya. Seketika mengalihkan pun pandangan matanya. Dan pria itu pun masuk ke dalam mobil, yang justru membuat penilaian lain terhadap Aiza.“Ooooohhh jadi pria itu bukan guru…? Supir do lana? (Ternyata supir?),” gumam Aiza yang menganggap pria itu sebagai supir, karena pria itu duduk di bagian kemudi, dan bukan sebagai guru seperti yang ia fikir sebelumnya.Tak berapa lama, mobil itu pun berlalu. Aiza masih terduduk di pondok yang ada di hutan sekolah tersebut. Yang letaknya tidak jauh dari gerbang sekolah. Ia pun melirik jam di tangannya.“Masih ada 25 menit lagi, aku mau ngapain yah?” fikirnya. Ia pun teringat akan pesan kak Ayda untuk mempelajari materi kelas 8. Ia pun segera menuju ruang guru, meja Bu Ayda.Dengan sangat sungguh-sungguh, Aiza pun akhirnya menguasai materi tersebut. Dan ia bertekad, jika sewaktu-waktu Bu Ayda memintanya untuk terus terjun, Aiza merasa siap. 20 menit itu berlalu, dari sisa waktu sebelumnya. Itu berarti masih ada 5 menit lagi sebelum pergantian jam pelajaran. Ia pun segera keluar dari ruangan tersebut. Lagi-lagi ponselnya berdering. Saat ia lihat, ternyata telepon itu dari nomor ibunya.“Eh, mamakku nelpon,” gumamnya. Akan tetapi, belum sempat ia mengangkat telepon itu, lagi-lagi ia menubruk seseorang. Karena ia hampir terjerembab pada tanah lembab yang keluar dari lintasan jalan, tidak sengaja gadis itu menarik pergelangan tangan seseorang yang belum sempat ia lihat wajahnya.“Eeeehhh…” serunya. Dan saat ia tersadar, kalau ia sedang menarik tangan pria yang tadi juga ia tabrak.
“Astaga… ibu lagi, apa ibu nggak lihat jalan sama sekali yah…?” hardik pria itu menyebut Aiza dengan sebutan 'ibu'. Seketika Aiza melihat sekelilingnya, sepi. Setidaknya ia tidak terlalu malu jika ada yang melihat ia mendapat hardikan seperti itu.“Maaf, Pak. Sekali lagi saya minta maaf. Karena saya nggak lihat jalan. Ibu saya sedang menelpon,” Aiza mencoba menjelaskan dengan wajah yang mengiba.
Dan lagi-lagi pria itu kembali melanjutkan langkahnya dengan wajah yang kesal meninggalkan Aiza dengan masih bingung.
Sedang Aiza pun mengutuk dirinya sendiri. Karena masih di hari pertama, ia sudah 2 kali mendapatkan kesan yang tidak enak dengan pria yang sama. Dan ia pun menggerutu sendiri.“Bukannya tadi orang itu sudah pergi yah?” gumamnya mengingat kalau pria itu tadi sudah pergi.
“Kenapa dia masih di sini? Aku yang salah lihat, atau jangan-jangan dia kembar?” fikirannya pun mulai berkecamuk.
Ia memandangi ponselnya, panggilan dari ibunya pun tak lagi berdering.Ingin rasanya ia kembali menekan dial untuk memanggil kembali sang ibu, tetapi bel pergantian les pun kembali terdengar, bersamaan dengan munculnya kak Ayda.
“Bah, masih di sininya kau berdiri dari tadi, dek?” canda kak Ayda. Karena saat ia pergi dan kembali, ia mendapati Aiza masih berdiri di tempat yang sama.
“Ahahahahah nggak kak. Aku tadi udah kemana-mana.
Ke pondok yang sana, ke meja kak Ayda juga membahas sedikit materi untuk kelas 8 yang kakak bilang tadi,” jelas Aiza.“Oooohhh, bel pergantian les udah bunyi?” tanya Bu Ayda.
“Udah kak…”
“Udah udah. Ayo, kita masuk ke kelas. Kita nggak boleh terlambat,” pesan kak Ayda.
***
Selesai melaksanakan tugas Negara, masuk istirahat ke 2. Aiza pun mengikuti seniornya keluar dari dalam kelas.
“Bagaimana menurut kakak cara penjelasan saya tadi ke anak-anak?” tanya Aiza tentang pendapat seniornya mengenai penampilan perdananya.
“Kalau menurut kakak sih, itu sudah cukup baik sebagi kesan pertama, karena kamu sudah cukup menguasai kelas.
Tapi untuk closing, alangkah baiknya kalau kamu menanyakan suasana hati anak-anak setelah belajar bersama kamu. Apa mereka mengerti atau bagaimana, agar kamu tahu, ke depannya membuat strategi belajar itu seperti apa…” jelas Bu Ayda dengan cermat.“Hehehe, iya kak, mungkin karena masih grogi…” balas Aiza.
“Iya, itu hal yang biasa. Tapi ke depannya, kakak yakin pasti kamu bisa lebih baik,” ujarnya Bu Ayda menyemangati Aiza.
“Terima kasih kak…” ucapnya mendapat dukungan seperti itu.
Masih sambil berjalan, kembali Aiza melihat pria dengan kemeja putih yang sudah 2 kali bertubrukan dengannya tadi. Seketika Aiza terdiam.Bersamaan dengan itu, pria itu kembali melihat Aiza.
Ia sangat mengenali jas Almamater berwarna biru itu. Aiza dan pamongnya sama-sama akan melintasi lapangan yang mulai ramai di datangi anak-anak karena istirahat.“Za, kakak titip ini ke kelas yah?” pinta Bu Ayda.
“Ah iya, kak…” terimanya.
Aiza pun melanjutkan langkahnya menuju meja Bu Ayda yang ada di ruang guru. Sedang Bu Ayda pergi ke arah kantor pusat.Ketika sedikit lagi mendekati ruang guru, di hadapannya sudah berdiri pria itu.
“Hei anak PKL, sini kamu?” panggil pria itu.Aiza merasa kalau sikap pria itu terlalu berlebihan, karena yang ia ketahui pria itu hanya sebagai seorang sopir, namun ia tetap berusaha membalasnya.”Kenapa yah, Pak?” tanya Aiza balik, seketika pria itu mengernyitkan dahinya menanggapi ucapan Aiza yang terasa menantang itu.
“Kamu ini anak PKL ‘kan?” tanya pria itu pada Aiza.Dengan sangat yakin, Aiza pun mengangguk mengiyakan.“Iya, saya anak PKL. Memangnya kenapa, Pak?” Aiza membenarkan.“Kamu nggak mau bertanya saya siapa?” tanya pria itu membuat Aiza merasa geli dengan pertanyaan tersebut.Namun, sebagai orang baru, tentu saja Aiza tetap bersikap rendah hati menanggapinya.“Maaf Pak. Saya memang belum tahu Bapak ini siapa, tapi yang saya tahu tadi Bapak mengantarkan Pak Rakib Salim, yah ‘kan?” dengan penuh keyakinan, Aiza pun melayani pertanyaan pria itu.“Iya, benar. Kamu… baru sehari di sini, udah 2x membuat saya kesal. Apa kamu tahu itu?” singgung pria itu lagi, memancing reaksi Aiza yang sebenarnya mulai kesal dengan pertanyaan itu.Aiza pun menggerutu dalam hatinya.“Ini orang kenapa yah? Aneh. Supir tapi sok bicara seperti ini?” batinnya.“Kamu dengar saya tanya apa?” suara pria itu kembali membuyarkan suara hatinya.“Eh iya, saya
Hari-hari pun berlalu begitu saja, hingga tidak terasa seminggu sudah berlalu.Semua proses yang mereka lewati di SMP swasta Almuslimin itu berjalan dengan sangat baik.Dan dalam seminggu saja, ada banyak kesan baik dan bermanfaat yang bisa mereka ambil dari sana.Mulai dari bimbingan cara membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang baik, cara menarik minat belajar siswa dengan strategi menarik, dan juga sikap sosial dari orang-orang di dalamnya.Memang, terasa begitu melelahkan.Namun semua itu terbayarkan dengan ilmu yang sudah mereka dapatkan.Hari itu, didampingi ibu Hj. Siti Mahanum, Riyan Qalbun Salim, begitu namanya terngiang di telinga kelima para mahasiswi yang sedang mengabdi di sekolah itu.Pria itu memanggil mereka berlima untuk segera menghadap ke ruangannya.Tentu saja, kelimanya pun memenuhi panggilan tersebut.“Adik-adik mahasiswi semua, Bapak Riyan memanggil kalian ke ruanga
Hati Aiza terasa lebih tenang setelah melihat keluarganya, walau hanya lewat video call.Apa lagi, karena wajah orang tua yang sangat ia cintai itu tidak merasa keberatan dengan apa yang ia keluhkan.Terlebih ketika ayahnya dengan wajah yang datar, menerka kalau pengeluaran mereka kemungkinan tidak sampai 1 juta untuk membuat sebuah taman yang dimaksud.“Teman-temanku benar. Kenapa aku harus segalau ini memikirkannya? Masih ada waktu untuk berfikir.Lagi pula, kenapa aku seperti keberatan? Ini kan memang sudah resiko?” batin gadis itu pun berontak.“Kamu mikirin apa?” tanya Ria temannya dalam satu kamar.“Ah,nggak. Barusan aku menelpon keluargaku. Aku menjelaskan ukuran taman itu pada ayahku. Ayahku seorang pekerja bangunan.Tentu dia tahu, berapa kira-kira dana yang akan kita keluarkan per orang.Setelah dihitung-hitung, ayahku bilang kemungkinan kita akan mengeluarkan uang 1 juta per orang untuk taman ukuran 7 meter
“Tidak, kamu saja yang panggil. Kalau dia tidak mau, baru saya yang akan ke sana,” jelas wanita itu.Mau tidak mau, dari pada harus menambah masalah, akhirnya Aiza pun meninggalkan wanita itu.Aiza memberanikan diri untuk masuk ke gedung bagian yayasan.Tampak pintu ruangan khusus Pak Riyan itu terbuka lebar.Namun sepertinya, ada tamu yang sedang dilayani oleh pria itu. Aiza menunggu sesaat.Tidak berapa lama, Pak Riyan pun keluar dan Aiza mencegatnya membuat berpasang mata yang ada di sana memandangi Aiza yang tempak mendekati Pak Riyan.“Maaf, Pak. Di luar ada wanita bernama Cintya mau ketemu sama, Bapak…” Aiza pun mnyampaikan.“Kamu bilang kalau saya di sini…?” tanya pak Riyan.“I… iya Pak, sahut Aiza yang mulai ragu dengan mimik wajah pria itu.“Sial…” terdengar umpatan lirih dari mulut pria itu, membuat Aiza semakin tidak enak hati mendengarnya.Riyan langsung merogoh kantong meraih ponselnya.&nbs
Memasuki minggu ke 3 pelaksanaan PKL.“Biado? Ita cicil ma mulai bahan-bahan i? (Bagaimana? Bisa kita mulai mencicil bahab-bahan?)” ujar Rosni.“Keta, au pe atia adong dope epengku, (Ayo, mumpung uang ku juga maasih ada,)” sahut Ainy.“Aku juga, uangku rasanya juga masih cukup,” sambung Aiza.“Baguslah kalau begitu, biar kita kumpulkan uangnya beli semen sama pasir.Tapi… kita tanya dulu besok kepala sekolah, kemana kita simpan nanti bahan-bahan itu…” ujar Kiran menimpali.“Paling nanti ujung-ujungnya diletakkan di ruang bendahara…” Ria pun tak kalah memberikan pendapat.“Syukurlah uangku masih ada kalau untuk mencicil. Biar nanti ayah dan umakku nggak terlalu pusing nyari sisanya…” lirih suara Aiza.“Berarti karena menyisakan uang untuk taman itu makanya nggak pernah kau jajan?” celutuk Ria.“Itu kamu tahu… Aku bisa saja jajan ini-itu kalau nggak mikir ke sana,” sahut Aiza.“Bope songoni… ulang ko makikittu tu dirimu, kele
Riyan baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa, tepatnya di dekat sang ibu. Wajahnya menunjukkan rasa lelah bercampur rasa kesal. Karena itu, Bu Ria Salim pun menyapa putra bungsunya itu.“Kamu kenapa? Wajahnya kok kesal begitu?” tanya ibunya.“Gimana nggak kesal, Bu? Cintya mendatangi aku sampai ke sekolah…” umpatnya.“Memangnya kenapa? Nggak boleh? Dia kan calon istri kamu?” ujar wanita itu.Mendengar kalimat iunya itu, Riyan pun menoleh kepada ibunya.“Kenapa sih, Bu? Ayah sama ibu berharap sekali kalau Cintya itu bisa cocok sama aku? Ibu kan sudah tahu kalau aku sama sekali tidak suka dengan sikapnya yang manja dan keras kepala itu?” tuntutnya dengan perasaan semakin kesal. Namun Bu Ria menanggapinya dengan tersenyum.“Yah, perempuan dengan watak yang keras kan nggak semuanya buruk, Nak?” ujar Bu Ria berdalih.“Tapi, Bu… Cintya itu juga wanita yang nekad, dia bisa saja berbuat semaunya demi mengabulkan apa yang dia mau…” Riyan pun tet
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Melalu aplikasi hijau, Yunita mengajak Aiza untuk bertemu di kampus lebih awal. Katanya juga agar bisa lebih lama mengobrol sebelum kuliah dimulai. Dan akhirnya, Aiza pun berangkat ke kampus lebih awal setelah menyelesaikan pekerjaan rumah untuk membantu persiapan jualan ibunya.“Hai, Yun? Udah lama?” sapanya setelah melihat Yunita di tribun kampus yang mengadap ke lapangan.“Weesss, udah sampai ternyata…” sambutYunita.“Tumben kamu mau ke kampus lebih awal. Kenapa?” tanya Aiaza berbasa-basi.“Ah, nggak juga. Kebetulan… aku baru dapat judul buat skripsi aku nantinya…” sahut Yunita memberi tahu.“Pantesan semangat…” Aiza pun menaggapi.“Memangnya kamu belum ada buat judul?” tanya gadis itu lagi.“Aku juga baru mulai mengarang sendiri…” jawab Aiza.“Kan udah lumayan itu… Lagian yah, memang lebih baik kalau kita sendiri yang nyusun skripsi yah ‘kan? Soalnya aku dengar-dengar… nggak sedikit lho, mahasiswa yang mengalihkan skripsinya
Senin, pukul 1 siang. Setelah melaksanakan sholat Zuhur, Aiza pun bersiap untuk berangkat ke kampus. Selain untuk meniti ilmu, sekaligus untuk kembali menikmasti suasana kampus. Namun juga untuk bertemu dengan sang pria idaman. Dengan semangat yang memburu dan setelah meminta izin dari ibunya, Aiza pun berangkat ke kampus.Sesampainya di kampus,Aiza pun duduk terpaku di kursinya, sambil menantikan Fadlan yang belum datang. Tiba-tiba salah satu teman sekelasnya negur.“Eh, apa kabar Aiza? Gimana PKL nya?” tanya Rini.“Hhhhmmm sangat berkesan…” jawabnya sekenanya saja. “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Aiza.“Yah begitulah. Oh ya… kamu udah punya ide untuk judul skripsi, nggak?” tanya rekannya itu lagi.“Belum. Aku sama sekali belum ada ide. Lagian baru selesai PKL juga…” ujar Aiza.“Iya sih, tapi ‘kan kalau sudah punya ide atau judul, bisa kita ajuin lebih cepat. Syukur-syukur kalau pembimbing ACC…” jelas Rini.“Yah juga. Lebih cepat l
Setelah hampir, 3 jam perjalanan Aiza pun sampai di simpang lorong tempat tinggalnya. Ia pun lebih dahulu turun disbanding dengan teman-temannya yang sebagian masi akan melanjutkan perjalanan untuk beberapa saat lagi agar sampai ker umah masing-masing.“Aku duluan yah?” izinna pada temannya yang masih berada di dalam mobil.“Okey, sampai ketemu di kampus daaaahh…” ujar Rosni. Aiza pun mengangguk.Melihat barang-barangnya, ia yakin tak akan sanggup jika harus membawanya sendiri dari simpang sampai ke rumahnya. Sehingga ia pun menggunakan jasa tukang becak yang parkir tak jauh dari tempat ia berdiri, untuk mengangkut semua barang-barang itu.Tak sampai 5 menit, ia pun telah sampai di halaman.“Horeeee, kakak ku sudah datang,” sambut adiknya Sofia.“Boh, rindunya kau samaku?” canda Aiza membalas sambutan adiknya itu.“Rindulah. Nggak ada kawanku ribut, hehehehe…” balas Sofia.“Boh, udah sampainya kau, Nak?” Bu Maya pun meny
Tak banyak acara yang tersampaikan, akhirnya hari yang dinantikan itu pun tiba. Aiza dan keemapt temannya itu pun menerima laporan nilai Kepala Sekolah selama mereka bergabung menjadi keluarga Almuslimin.“Kami merasa senang, karena adik-adik semua sudah melakukan tugas dengan baik, sesuai dengan peraturan yang ada di sekolah ini. Tapi, kami juga merasa sedih, karena pada akhirnya detik-detik perpisahan pun akan terjadi antara adik-adik semua dengan kami di sini…” ujar Bu Hanum selaku pemimpin di sekolah tersebut.“Kami juga demikian, Bu…” sahut Rosni yang memang lebih lihai jika memberi balasan.“Bisa diterima dan diperlakukan sama dengan ibu-ibu yang lebih senior pastinya…” jawab Rosni.“Untuk itu, jika nanti adik-adik mahasiswi sudah keluar dari gerbang sekolah kita ini, saya berharap… agar kiranya diambil segala pengalaman yang baik yang ada di sekolah ini, dan yang buruknya ditinggalkan,” pesan Bu Hannum menambahi.Kelima mahasiswi itu
Keempat temannya itu hanya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Aiza. Namun Kiran pun mencoba membuka suara.“Setidaknya ‘kan kamu kasih tahu kek… kalau mau pergi kemana? Biar kami nggak terlalu khawatir sama kamu,” ujar Karin mengingatkan.“Iya, Za…” Ria pun membenarkan.“Kami ‘kan sempat berfikir kalau kamu nekad mengakhiri hidup gara-gara kejadian tadi siang…” celutuk Ria yang berhasil membuat Aiza tersenyum sambil geleng-geleng kepala.“Apa-apaan kalian sampai berfikir kalau aku akan nekad seperti itu?” sanggahnya yang merasa lucu dengan buah fikiran rekan-rekannya itu.“Yah ‘kan, kali aja…” sahut Ainy yang sejak tadi juga cemas.“Oh ya, Za. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa tahu alamat Pak Riyan? Kamu tahu dari mana?” ujar Rosni.”Aku tanya sama Pak Dion…” jawabnya datar.“Trus… Bagaimana? Kamu bilang apa sama Pak Riyan? Dan dia jawab apa?” desak Ainy yang mulai penasaran.“Kalian kok seperti mau demo ke aku,
Tampak Riyan pun menarik nafasnya setelah mengambil kesimpulan.“Sebenarnya, kamu tidak perlu datang ke sini…” ucap pria itu, hngga membuat Aiza yang tadi hanya tertunduk menunggu keputusan, kini mengangkat wajahnya.“Lebih baik kamu pulang sekarang, karena malam sudah semakin larut. Nggak baik anak gadis keluyuran. Apa lagi… kamau masih baru di sini. Lagian, sepertinya hujan juga akan turun…” ujar Riyan dengan nada yang lebih tenang, tidak seperti biasanya, yang juga membuat Aiza terheran.Namun, gadis itu masih terdiam dan bicara di dalam hatinya.“Apa Pak Riyan mengusirku secara halus?” fikir Aiza.“Saya cuma minta sama kamu, untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.Jangan terlalu ceroboh seperti yang sudah beberapa kali terjadi dengan saya…” sambung Riyan.“Lalu… bagaimana dengan nilai teman-teman saya itu,Pak?” tanya Aiza meunggu kepastian.“Itu urusan nanti. ‘Kan masih ada waktu…” jelas Pak Riyan.“Tapi Pak… saya mohon…”
Selesai melaksanakan sholat magrib, Aiza masih saja menunjukkan wajah yang diselimuti kesedihan itu.Bahkan saat makan malam pun ia tampak tak berselera.“Kamu jangan gitu, Za. Setidaknya kau harus makan. Masalah tadi jangan terlalu dibawa ke hati…” nasihat Rosni.“Maafin aku, Za. Kalau kata-kataku siang tadi membuat kamu tersinggung…” simpuh Ria.“Nggak. Aku nggak marah kok. Aku sedih aja, kalau karena aku, nilai kalian jadi ikutan buruk…” sahut Aiza akhirnya mengeluarkan suara yang sejak tadi terdiam.“Kan kita sudah sepakat. Masalah nilai, mau dikasih super buruk yah buruk sama-sama…” Ainy mengingatkan.“Coba kamu fikir, Za… Anggaplah Pak Riyan itu meminta Bu Hanum untuk memberi nilai yang buruk untuk kita, padahal selama ini kita sudah berusaha keras untuk memberikan yang terbaik. Tentu Bu Hanum akan tanya alasan Pak Riyan kenapa ingin memb
Akhirnya, pelaksanaan PKL itu masuk pada bulan ketiga. Itu artinya, masa-massa terakhir di sekolah Almuslimin juga akan berakir.Yah, walaupun di masa terakhir itu, seperti biasanya mereka akan memerlukan dana ekstra.Aiza terpaku melihat taman yang sedang dibangun dengan menggunakan jasa tukang bangunan. 2 orang tukang itu mereka dapatkan dari bantuan salah seorang guru senior di sekolah itu juga.“Kamu kenapa Za? Kok sedih kayak gitu? Karena PKL mau selesai yah?” tebak Ainy.“Salah satunya sih iya, Ny. Apa lagi udah terlalu dekat sama anak-anak yah kan?” jawab Aiza.“Kalau itu salah satunya, berarti masih ada hal lain yang bikin kamu segalau ini… kenapa?” tanya Ainy lagi.Aiza menarik nafasnya dalam-dalam. Ia pun segera menjatuhkan tubuhnya, di atas papan yang sengaja di topangkan pada sebuah pohon, yang memang disengaja untuk tempat duduk.“Sebenarnya sih bukan masalah, cuma yah gimana yah mau bilangnya.Aku bukan dari keluarg
Jarum jam di tangannya menunjukkan beberapa menit melewati jam 10. Tanpa ada alasan yang tepat, hati Aiza terasa tidak bisa tenang.Fikirannya terus tertuju pada sosok Fadlan yang sebenarnya tidak terikat hubungan dengannya. Hanya saja, selama ini, Fadlan sudah memberikan ruang yang membuat ia terlalu nyaman.“Kenapa yah, fikiran aku ke Bang Fadlan terus? Apa terjadi sesuatu pada bang Fadlan yah? Bagaimana kalau aku hubungi duluan? Eh nggak. Ini kan masih jam sekolah.Jangan-jangan dia sibuk. Nanti, di terganggu gara-gara aku menghubunginya?” fikir Aiza yang menunda untuk lebih dahulu menghubungi pemuda idamannya itu.Sebenarnya hari itu, jadwal mengajar pamong Aiza tidak ada.Namun, karena mereka diharuskan berada di sekolah, Aiza pun tetap hadir.Setidaknya selalu ada ilmu yang baik yang bisa ia dapatkan di sana.Dari ppada harus berdiam diri di rumah. Apa lagi kalau harus sendirian.Tapi bagaimana pun, bisa bersama