Share

TANGISAN DIBALIK JERUJI BESI
TANGISAN DIBALIK JERUJI BESI
Author: Reren Andespa

Bab 1

"Gak mungkin! Mas Heru gak mungkin menikah lagi, Mbak pasti bohong, kan?" Azizah berteriak histeris, matanya terbelalak tak percaya mendengar kabar dari seorang kerabat yang membesuknya di rutan. 

Sejak setahun lalu, ia terperangkap dalam jeruji besi karena kesalahan yang bukan berasal darinya, melainkan demi melindungi suaminya.

 "Mbak gak bohong, Azizah. Heru kemarin menikahi seorang janda kaya raya. Kalau kamu gak percaya, lihat ini." Wanita itu mengeluarkan sebuah foto dari dalam plastik makanan yang ia bawa dan menyodorkannya pada Azizah. 

 Azizah menatap foto tersebut dengan ekspresi kosong; dalam foto, suaminya berjabat tangan dengan pria lain dan tersenyum sumringah bersama wanita cantik di sisinya.

 Jantung Azizah berdegup kencang, perasaan sesak yang melumpuhkan bercampur dengan rasa terluka dan dikhianati. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya, jatuh membasahi foto tersebut. 

Dunianya terasa runtuh, semua ini bagai mimpi buruk yang mengejarnya; ia berharap bisa segera terbangun dari mimpi mengerikan ini.

"Kamu yang sabar, Azizah. Kamu harus kuat, kamu harus segera keluar dari sini, " ucap wanita itu, sambil mengusap pundak Azizah. 

Lalu seorang petugas rutan pun datang dan berkata dengan nada tegas, " Waktu kunjungan sudah habis! "

"Mbak, ini gak mungkin, kan? Mas Heru gak mungkin khianatin aku," kata Azizah dengan suara serak dan pipi memerah, mencoba menahan amarah dan kesedihan yang kian menguras energinya. Ia mengabaikan teriakan peringatan petugas rutan yang tegas. 

"Waktu kunjungan sudah habis!" ucap petugas lagi.

"Mbak yakin kamu wanita yang kuat, Azizah," ucap kerabatnya dengan lembut sambil memegang tangannya, memberi semangat sebelum berlalu pergi. 

Azizah menarik napas dalam, kemudian berdiri. Ia meraih makanan yang dibawa kerabatnya lalu melangkah gontai kembali ke dalam sel dengan tatapan layu.

 Saat kembali ke dalam sel, rekan-rekannya menyadari air mata yang masih basah di pipi Azizah. Mereka mendekat, penuh perhatian.

 "Apa apa, Azizah? Kenapa kamu menangis?" tanya Sri, rekan satu sel yang sangat akrab dengannya.

 Azizah menggeleng, menunduk. "Aku hanya merindukan putriku," sahutnya dengan suara parau, lalu mengusap pelan wajahnya yang mulai sembab. "Ini, kalian makanlah." Ia menyodorkan makanan pada teman-temannya yang disambut dengan senyum hangat dan ucapan terima kasih dari mereka.

***

Di tengah keheningan malam yang menyesakkan, Azizah tak mampu memejamkan matanya. Ia segera bangun, matanya terpaku pada rekan-rekan satu sel yang tengah terlelap dalam tidur. Tubuh Azizah menggigil, ia memeluk lututnya, mencoba mengendalikan guncangan isak tangis yang tak terbendung. 

Tetapi ia gagal, tangis itu pun pecah, menyapa keheningan, "Kenapa kamu jahat, Mas? Kenapa?" gumamnya pelan, penuh kekecewaan. 

Pikirannya pun melayang jauh, saat di mana ia terpaksa masuk penjara demi melindungi suaminya. 

Flashback On ... 

"Buruan, Azizah! Kita harus segera pergi dari sini," desak Heru, pada istrinya yang tengah menyusui putri kecil mereka yang masih berusia delapan bulan.

Keringat dingin bercucuran di keningnya, dan denyut nadi terasa lebih kencang dari biasanya.

"Ada apa, Mas? Mau kemana kita? Kenapa kamu terlihat gugup begitu?" Azizah menatap suaminya dengan kebingungan.

"Aku nggak punya waktu buat jelasin sekarang, Azizah. Sebentar lagi warga bakalan datang ke sini. Mereka mungkin akan marah dan bisa-bisa aku disakiti. Aku takut, Azizah. Aku nggak mau dipenjara!" Heru menarik napas dalam-dalam, wajahnya bahkan semakin pucat.

Azizah terdiam, menatap nanar suaminya. Pelan-pelan ia meletakkan putrinya di atas kasur, lalu mendekati Heru.

"Dipenjara? Maksudmu apa, Mas?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Azizah, aku ... aku ..." belum selesai ucapan Heru, terdengar suara warga dari luar yang meminta Heru keluar dari rumah.

"Keluar kamu, Heru!"

"Kamu harus bertanggung jawab, Heru!"

Azizah memperhatikan wajah suaminya yang semakin pucat, lalu bertanya dengan tegas, "Apa yang sudah kamu lakukan, Mas? Apa kamu sudah melakukan hal tercela?" mata Azizah memancarkan kekecewaan sekaligus kekhawatiran.

"Azizah, aku ... aku sudah menipu warga. Selama ini aku menjual emas palsu pada warga, dan ternyata salah satu warga tahu kalau emas yang aku jual itu palsu. Dia mengancam akan melaporkan aksiku ini pada warga dan polisi," ungkap Heru dengan wajah pucat pasi.

"Apa, Mas? Emas palsu?" Azizah membulatkan matanya, tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. "Sejak kapan kamu menjual emas, Mas? Kamu itu seorang guru, bukan penjual emas!" serunya, terkejut akan pekerjaan sampingan yang selama ini dijalankan suaminya tanpa sepengetahuannya.

"Maafkan aku, Azizah. Aku hanya berusaha untuk memperbaiki hidup kita, tapi gak tahu kalau akan berakhir seperti ini," Heru menunduk, bibirnya bergetar menahan isak.

"Kenapa kamu melakukan hal itu, Mas? Gajimu sudah lebih dari cukup untuk kehidupan kita sehari-hari, kamu gak perlu melakukan itu."

"Aku menyesal, Azizah. Tolongin aku, aku gak mau dipenjara," pinta Heru dengan nada getir sambil menunjuk ke arah putri mereka yang sedang tidur pulas.

"Coba kamu lihat putri kita, dia masih membutuhkan aku." Mata Heru berkaca-kaca, mengharapkan simpati dari istrinya.

"Kalau Mas sampai dipenjara, lalu bagaimana dengan putri kita? Sedangkan kamu tahu sendiri, kalau selama ini hanya Mas yang bekerja untuk mencari nafkah. Putri kita masih sangat kecil! "

Sementara itu, di luar rumah, warga mulai gusar dan memukul-mukul pintu dengan keras, menuntut Heru segera keluar.

"Kalau dia masih belum keluar, kita bakar saja rumah ini!" seru salah seorang warga, menyulut emosi warga lainnya yang ikut berseru.

Akhirnya, Heru terpaksa keluar bersama istrinya, Azizah, bersembunyi di belakang tubuh ramping Azizah.

Istrinya ini dikenal cantik dan salehah oleh warga, berpakaian tertutup dan memiliki suara merdu saat mengaji.

"Tenang, Bapak-bapak, Ibu-ibu," suara Azizah bergetar lemah, ia menggigit bibir bawahnya dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri.

"Azizah, kamu harus tahu apa yang sudah suami kamu itu lakukan!" seru seorang warga dengan sorot mata penuh kemarahan.

"Dia sudah menipu kami. Emas yang kami beli darinya hanyalah emas palsu, dia harus segera mengembalikan uang kami. Jika tidak, kami akan laporkan ini pada polisi!" ancam warga lain dengan keras, mengacungkan tinju yang gemetar.

"Tunggu!" teriak Heru, menunjukkan rasa cemasnya saat ia keluar dari balik tubuh Azizah. "Saya minta maaf, Bapak-bapak, Ibu-ibu, karena sejujurnya saya sendiri juga tidak tahu kalau emas yang saya jual itu emas palsu."

 Heru meneguk ludah, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia lalu menatap Azizah dengan tatapan tajam yang mencerminkan ketakutannya.

 "Dia, dia yang memintaku menjual emas itu!" ucap Heru sambil menuduh Azizah. "Ya, dialah orangnya. Dia sudah bosan hidup miskin, dia ingin bisa bergaya menjadi orang kaya raya. Jadi kalau ada yang perlu dipersalahkan, dialah orangnya!" Heru berbicara sambil mengacungkan jari telunjuknya pada wajah Azizah, istri yang tidak tahu apa-apa harus menanggung beban yang teramat berat karena perbuatan suaminya itu. 

 Flashback off ... 

 "Kamu jahat, Mas. Kamu jahat!" pekik Azizah sambil menangis histeris dan memukul-mukul lantai, meluapkan amarah dan kekecewaannya pada suaminya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status