Dokter Rendra tersenyum sinis, menggelengkan kepala pelan sambil bergumam, "Ada apa dengan adikku yang satu ini?"
Ia melangkah cepat menyusul Indri, kakinya terhenti ketika melihat Indri berdiri tegak di depan pintu, telinganya mendekat ke celah pintu seolah sedang menguping. "Kenapa kamu menguping di sini?" Pertanyaan mendadak Rendra sontak membuat Indri terperanjat. "Sttt," Indri menempelkan telunjuknya di bibir, meminta Rendra untuk diam, dan mengisyaratkan agar ikut mendengar. Mereka berdua pun menguping, segera menangkap percakapan beberapa orang yang asyik membahas keburukan Azizah karena statusnya sebagai narapidana. "Aduh, padahal cantik dan muda loh dia," seru salah seorang. "Eh, siapa sangka sih jadi narapidana." Wajah Indri mulai memerah kesal, ia menoleh ke Rendra lalu berbisik dengan nada jengkel, "Mereka nggak bosan-bosannya ya ngomongin keburukan Azizah?" Tanpa menunggu jawaban Rendra, Indri membuka pintu ruangan dengan keras, membuat mereka yang tengah asyik membicarakan Azizah sontak terdiam, saling tatap satu sama lain. Dokter Rendra berdiri di luar pintu, memandangi adiknya dari kejauhan. Ia memperhatikan cara Indri merawat Azizah dengan penuh kelembutan dan empati. Tak lama kemudian, seorang polwan datang menggantikan Indri untuk menjaga Azizah. Polwan tersebut melambaikan tangan kepada Rendra sebelum masuk ke dalam ruangan tempat Azizah dirawat. Dokter Rendra masih menatap ke dalam ruangan lewat jendela kaca, hingga Indri keluar dan terkejut melihat kakaknya itu masih berdiri di luar. "Abang masih di sini? Indri pikir, Abang udah pulang," ujar Indri heran. "Nanggung, tadinya abang mau pulang. Tapi abang kepikiran sama kamu, kamu kan gak bawa kendaraan," sahut Rendra sambil tersenyum kecil. "Iya. Tapi biasanya juga Indri naik taxi online," jawab Indri, menyeringai polos sambil mengernyitkan dahinya kemudian melaju pergi. Rendra melangkah mendekati adiknya, "Pacar kamu ke mana?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi. "Putus! Udah enggak usah omongin dia lagi, bang!" bentak Indri. Rendra terkekeh. "Oh, jadi adik abang yang satu ini jomblo sekarang ya?" ujarnya sambil mengacak rambut pendek Indri. Indri berhenti sejenak dan menatap tajam abangnya, seraya bersuara ketus, "Lah, kayak abang punya pacar aja!" ejeknya, lalu melanjutkan langkahnya. Keduanya melanjutkan perjalanan, beriringan menuju mobil Rendra yang terparkir. Mereka masuk ke dalam mobil, kemudian berangkat meninggalkan rumah sakit. Dalam perjalanan, Rendra menyadari adiknya yang terlihat termenung. "Kamu kenapa diam?" tanya Rendra penasaran. Indri menoleh, "Lagi mikirin Azizah, Bang. Hidupnya malang banget," ujarnya, suara penuh kepedihan. Rendra mengernyitkan kening, "Malang kenapa?" tanyanya ingin tahu lebih banyak. Indri menarik napas dalam-dalam, meresapi setiap pikiran yang melintas di kepalanya. Lalu, ia menjawab dengan lembut, "Entah kenapa, aku merasa Azizah gak bersalah. Soalnya, hingga detik ini, aku dan teman-teman tetap gak percaya kalau Azizah itu orang jahat. Selama di rutan, dia baik banget lho. Rajin ibadah, dan wajahnya pun terpancar cahaya." "Indri, Indri," sahut Rendra dengan nada datar, "kalau dia gak jahat, dia gak bakal masuk penjara. By the way, boleh dong abang tahu, dia terlibat kasus apa?" Indri mengerutkan dahi, "Kasus penipuan. Suaminya menjual emas palsu. Waktu ketahuan, warga langsung menggrebek rumah mereka. Di persidangan, suaminya mengaku terpaksa melakukan itu karena desakan Azizah. Dan, emas-emas palsu itu dia dapatkan dari Azizah juga." "Nah, itu udah jelas. Dia penipu, Indri," ujar Rendra tegas. Tapi, wajah Indri tampak semakin tidak terima. "Gak, Bang. Aku bisa melihat ketulusan di mata Azizah, bahkan saat jaksa penuntut umum juga menuntut suaminya. Azizah meminta suaminya itu untuk dibebaskan dari semua dakwaan, karena suaminya merupakan tulang punggung keluarga dan mereka memiliki seorang anak yang masih balita." Indri membenarkan posisi duduknya di dalam mobil, raut wajahnya penuh kekhawatiran, lalu melanjutkan, "Dan abang harus tahu ni, ya. Sudah beberapa bulan belakangan, suami Azizah gak pernah datang lagi untuk membesuk Azizah di rutan. Biasanya, suaminya itu sering kali datang berkunjung dengan membawa putri kecil mereka." "Dan aku juga baru tahu dari temanku, ia sempat mendengar pembicaraan antara Azizah dan kerabatnya. Kerabat Azizah memberitahu kalau suami Azizah baru saja menikah dengan wanita lain." Mata Indri mulai berkaca-kaca, dan suaranya bergetar. "Apa kamu serius?" tanya Rendra, tak percaya, matanya terbelalak. Indri mengangguk, "Bukankah itu kejam sekali?" Isakannya terdengar pelan. "Dan tadi, Azizah juga sempat cerita padaku, Bang. Kalau dia sangat merindukan putrinya, bahkan sesekali aku melihatnya menangis." "Hm, semoga saja besok saudaranya akan membawa putrinya datang membesuk." Rendra menghela napas panjang lalu menatap ke arah Indri. "Wah, wah, abang nggak nyangka kamu seperhatian itu sama seorang narapidana," ucapnya dengan nada mencemooh. Indri yang merasa kesal mendengar celaan Renda, tiba-tiba saja memukul lengan kakaknya dengan keras. "Dasar nggak punya hati!" umpat Indri dengan wajah yang memerah karena kesal. Rendra hanya terkekeh sambil terus melajukan mobilnya. Namun, dalam hati ia bergumam,"Kasihan sekali wanita itu." ***Indri menghempaskan dirinya di kursi dengan wajah kesal setelah tiba di rumah, seakan memendam kemarahan yang tak terucapkan.Rendra hanya tersenyum getir sambil mengikuti langkah adiknya masuk ke rumah. Di tangan kanannya, tergenggam tas hitam yang dibawanya."Assalamualaikum," sapanya ringan, terasa menenangkan di tengah kebekuan suasana.Seorang wanita berjilbab dan berwajah teduh tengah duduk di sofa ruang tengah tak jauh dari Indri."Waalaikumsalam," sahut wanita itu dengan suara lembut nan menyejukkan, senyumannya terukir di bibir seakan membawa ketenangan. Tangannya terulur pada Rendra. "Kamu sudah pulang, Nak?"Rendra mengangguk sambil menjabat uluran tangan itu, mencium punggung telapak tangan wanita yang tak lain adalah ibunya dengan lembut lalu duduk di sampingnya."Itu, adik kamu kenapa bete gitu wajahnya?" tanya ibunya penasaran, matanya melirik-lirik ke arah Indri."Ngambek dia, Ma," jawab Rendra sambil menghela napas berat."Ngambek kenapa? Jarang-jarang loh, adikmu itu
"Gak! Aku nggak mungkin bisa menceraikan Azizah, " ucap Heru sambil menggelengkan kepalanya. "Kenapa tidak bisa? " tanya Ratna dengan mata yang melotot. Azizah sudah mengorbankan dirinya hanya untuk menyelamatkan Heru dari jeratan hukum, jika saja bukan karena Azizah, Heru sudah lama mendekam di penjara. Melihat suaminya yang hanya diam, Ratna mendengus kesal, " Kenapa tidak bisa? " ulangnya sambil menggebrak meja, mukanya merah padam karena marah. Heru tersentak, mengusap keringat dingin yang mulai membasahi dahinya. Ia tidak mungkin menjelaskan apa yang sudah Azizah lakukan untuk dirinya, pada istri barunya itu. "Aku ... aku, " ucapan Heru terputus, lidahnya mendadak kelu. Hal itu membuat Ratna semakin murka, " Jangan bilang kalau kamu masih mencintai istrimu itu, Mas?""Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja ... ""Hanya saja apa? " potong Ratna, " Jangan banyak alasan, Mas! Akui saja kalau kamu masih sangat mencintai istri pertamamu itu, makanya kamu tidak mau menceraikan dia.
Tapi bukannya keluar, Indri malah semakin bersemangat menggoda abangnya itu."Ciye ngamuk, kalau marah-marah gitu tandanya beneran. Abang beneran suka sama Azizah, hayo ngaku," kata Indri sembari mengedipkan matanya."Gak! Abang nggak akan mungkin suka sama seorang Narapidana! " tegas Rendra, meski ia seperti menusuk hatinya sendiri saat mengatakan itu."Oh, ya? Kalau gitu kenapa masih belum ngizinin Azizah keluar?""Em soal itu, dia ... ""Azizah sudah sembuh, dan dia sendiri yang memintaku untuk menyampaikan hal itu pada abang," ucap Indri.Rendra terdiam, napasnya tersengal-sengal akibat olokan adiknya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun mengangguk lesu. "Baiklah, dia sudah boleh pulang hari ini," kata Rendra, pasrah. Indri tersenyum puas. "Nah gitu dong, aku tinggal ngurus surat-suratnya," ucapnya sambil berlalu untuk mengurus dokumen kepulangan Azizah. Menghela napas panjang, Rendra mengusap wajahnya dengan kasar. Ada perasaan tidak rela yang muncul di hatinya dan ia sen
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
Melihat Heru yang hanya membeku, Azizah melangkah mendekat dan menaikkan nada bicaranya, "Dimana Nayla, Mas? Aku ingin bertemu dengannya!" Heru tersentak, lalu menyeringai kesal, "Kamu ini apa-apaan sih? Nayla tidak ada di sini, sebaiknya kamu segera pergi dari sini. Kita sudah bercerai, jangan ganggu aku lagi!" "Nggak, Mas. Aku nggak akan pergi sebelum bertemu dengan putriku," ucap Azizah tegas, matanya menunjukkan keberanian. "Nayla pasti ada di dalam, kan?" Ia ingin melangkah ke dalam rumah, namun Heru segera menghadangnya. "Nayla gak ada! Cepat pergi!" Heru membentak. Azizah tetap ngotot ingin bertemu dengan putri kecilnya yang sangat ia rindukan. Tangis di tenggorokannya tertahan saat ia berteriak, "Nayla! Ini Ibu, Nak. Ibu yakin kamu ada di dalam, keluar Nak. Ini Ibu," suaranya penuh kerinduan. Teriakan Azizah berhasil membuat Ratna keluar, wanita itu mendekat dengan kening berkerut dan wajah geram. "Apa-apaan ini?" tanyanya sambil menghunuskan tatapan tajam pada Azizah.
Kecemburuan yang dirasakan Mbak Dina semakin menjadi saja, terutama saat mereka tengah makan malam bersama. Suaminya, Rudi, semakin terang-terangan memperlihatkan perhatian berlebihan kepada Azizah."Kamu mau apa, Azizah? Biar Mas ambilkan," ucap Rudi dengan nada lembut, membuat jantung Mbak Dina berdegup kencang. "Apa kamu mau ikan goreng ini?" Azizah menggeleng cepat, seakan ingin menghindar dari kebaikan Rudi. "Tidak usah, Mas. Biar aku ambil sendiri saja," tolak Azizah. Namun, Rudi tetap bersikeras dan mengambilkan seekor ikan goreng dan meletakkannya di dalam piring Azizah."Nih, kamu makan yang banyak, ya," ucapnya dengan pandangan lembut yang semakin membuat emosi Mbak Dina terpancing. Mbak Dina tampak mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba mengendalikan rasa cemburunya. Terlebih Putranya, Nando, duduk di sampingnya dan ia tidak ingin membuat keributan di depan putranya yang masih kecil itu.Azizah pun merasa sangat canggung dan segera berinisiatif untuk mengakhiri sit
"Haduh, kalau aku cerita sama abang, takutnya abang gak akan percaya," keluh Indri. "Abang kan gitu, selalu saja menyebut Azizah itu orang jahat hanya karena statusnya yang narapidana." Rendra melirik adiknya, lalu mengambil kursi rias milik Indri dan membawanya ke samping adiknya agar mereka bisa duduk berhadapan. "Abang mohon, cerita sama abang. Memangnya apa yang dikatakan Sri padamu?" desak Rendra, wajahnya terlihat penasaran. "Nah, begini, Bang. Di hari kebebasan Azizah kemarin, semua tahanan satu sel Azizah nampak sedih. Terutama Sri, hingga saat jam makan siang, dia gak mau ikut makan." Indri mengecup bibirnya, mengingat keadaan tersebut. "Sri berdiam diri di dalam sel. Pas aku tanyain, dia pun menceritakan semuanya." Indri menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Azizah masuk penjara hanya demi melindungi suaminya, Bang. Azizah bukanlah penipu, tapi suaminya lah yang penipu. Azizah rela mengakui perbuatan yang dilakukan suaminya itu hanya karena ingin putrinya, Nay