Share

Bab 4

"Sudah enam bulan, Mbak. Sudah enam bulan aku tidak bertemu dengan putriku, aku sangat merindukan dia Mbak," ujar Azizah sambil menitikkan air mata yang terus saja meleleh.

 Mbak Dina merasakan rasa sesak yang mulai memenuhi dadanya, tangannya bergetar sebelum segera menyeka air mata di pipi Azizah. 

"Kamu jangan nangis, Azizah. Hati Mbak sakit tiap kali lihat kamu nangis kayak gini. Sebentar lagi kamu akan keluar dari penjara, kamu akan segera bertemu dengan putrimu. Yang penting sekarang, kamu harus sembuh dulu agar kamu bisa keluar dari rumah sakit ini." 

 Azizah menghela napas dalam-dalam, kemudian menatap air infus yang menetes dengan perlahan. Hatinya berbisik, 'Kenapa kamu begitu jahat, Mas? Padahal aku berada di dalam penjara itu semua demi kamu. Kamu khianati aku dan sekarang kamu juga melarang Mbak Dina membawa anak kita kemari, kenapa?' Azizah menatap kosong, seraya membayangkan suaminya yang sudah tega mengkhianatinya.

'Kamu bahkan tidak peduli lagi dengan keadaanku,' gumamnya dalam hati, pilu. 

Pandangan Azizah dan Mbak Dina tertuju pada pintu saat pintu terbuka dan seorang perawat masuk bersama dengan seorang dokter muda berwajah tampan. 

Azizah menelan ludah, jantungnya berdebar cemas seiring langkah sang dokter yang tengah memeriksa pasien di sebelahnya. 

"Bagaimana keadaannya, Buk? Apa kepalanya masih pusing?" tanya dokter muda itu dengan nada lembut.

Azizah terkesima, matanya tak beranjak dari wajah dokter tersebut. Sementara itu, Mbak Dina tersenyum menggoda, "Dia tampan ya?"

 Azizah mengangguk, lalu menatap Mbak Dina. "Mbak, jika besok aku masih dirawat di sini, aku mohon, bujuk lagi Mas Heru agar dia mau mengizinkan Mbak membawa putriku ke sini untuk membesukku."

 Mbak Dina mengangguk lemah, seraya berusaha menghibur Azizah, "Iya, Azizah. Mbak akan usahakan."

 Di sela-sela percakapan mereka, sang dokter dengan senyum ramah menghampiri Azizah. "Halo, selamat pagi," sapanya.  "Saya dokter Rendra, Ibu Azizah baru masuk semalam, ya? Keluhannya mual-mual, sesak napas sama sakit kepala, " ujarnya sambil membaca data yang ia pegang. 

"Bagaimana keadaan Ibu sekarang? " tanyanya dengan tatapan ramah. " Apa kepalanya masih sakit?"

Azizah menggeleng lemah, "Kepalaku sudah membaik, Dok. Aku juga gak mual-mual lagi, hanya saja dadaku yang masih suka sesak, terus panas juga." Bibirnya bergetar, menyampaikan keluhan yang dirasakan tubuhnya.

 Dokter Rendra mengangguk-anggukkan kepalanya dengan empati, "Ibu harus makan, ya. Makannya sedikit-sedikit saja dengan jarak 2 jam, karena Bu Azizah menderita asam lambung kronis. Dan yang paling penting, Ibu jangan banyak pikiran, karena faktor pikiran itu sangat berpengaruh pada pasien yang menderita asam lambung." 

Dokter Rendra terus saja menjelaskan tentang apa yang harus dihindari Azizah sebelum ia berlalu pergi.

"Tuh, kamu dengar itu. Kamu harus makan, Mbak suapin, ya? Mbak tadi masak ikan gurame kesukaan kamu," kata Mbak Dina penuh perhatian. 

Wanita itu segera membuka rantang yang ia bawa, lalu dengan hati-hati memindahkan makanan yang ia bawa ke dalam piring yang disediakan rumah sakit.

 "Ayo, Azizah. Biar Mbak suapin," ucap Mbak Dina seraya menggenggam tangan Azizah dengan lembut, mencoba meyakinkan dirinya.

 "Gak, Mbak. Azizah gak lapar," tolak Azizah lembut, matanya memandang Mbak Dina dengan harapan agar mengerti apa yang dia rasakan.

"Kamu harus makan, Azizah. Kalau kamu gak makan, gimana kamu mau sembuh. Ayo buka mulutmu, makan sedikit aja," desak Mbak Dina, dengan nada cemas. 

 Azizah mengangguk, membuka mulutnya dengan ragu. Lidahnya yang pahit membuat ia sama sekali tidak merasakan kenikmatan masakan kakak sepupunya itu. Bahkan saat ia menelannya, ia hampir saja memuntahkan makanan itu keluar. 

Mbak Dina segera mengulurkan segelas air, meminta Azizah untuk meminumnya. 

"Sudah, Mbak. Perut Azizah gak bisa dipaksa," ucap Azizah seraya menahan rasa mual. 

Mbak Dina hanya bisa menghela napas panjang dan menatap Azizah dengan iba.

 Drrghh ... 

Drrrghh ... 

Tiba-tiba saja ponsel Mbak Dina berdering. "Ini telepon dari mas kamu. Sebentar ya," kata Mbak Dina yang segera keluar untuk menerima panggilan masuk dari suaminya.

 Tak lama, ia kembali masuk dengan wajah yang nampak gelisah. "Maafin Mbak ya Azizah, Mbak gak bisa berlama-lama di sini. Mbak sudah diminta Mas Rudi untuk pulang."

Azizah mengangguk mengerti. "Hm, iya, Mbak. Gak apa-apa, kok, makasih ya Mbak udah datang ke sini,"ujarnya dengan senyum lemah yang mencoba menyembunyikan kepedihan di hati.

"Iya, kamu harus segera sembuh. Sekarang kamu istirahat, ya. Kamu juga harus makan yang teratur dan jangan lupa minum obat," ucap Mbak Dina lembut sambil mengusap lengan Azizah.

 Rasa khawatir terpancar dari matanya. "Mbak permisi dulu ya, Azizah," pamitnya dengan hati berat. 

 Mbak Dina melangkah keluar dan menemui seorang polwan yang duduk di kursi tunggu di depan ruangan. "Titip Azizah ya, Bu," ucapnya singkat, lalu berlalu dengan tergesa-gesa. 

Ia menaiki motornya dan melajukan motor itu dengan kecepatan kencang, ingin segera kembali ke rumah. 

Sesampainya di rumah, tangisan putra kecilnya menyambut kepulangannya. 

Rudi, suaminya, dengan wajah gusar menyambutnya, "Lama sekali kamu! Anak kita sudah bangun, dia nyariin kamu. Aku juga mau berangkat cari penumpang!"

"Maaf, Pak," ucap Mbak Dina. Segera ia menggendong putranya yang masih berusia dua tahun, mencoba meredakan tangis anak kecil itu dengan pelukan hangatnya. 

 "Ah, sudahlah," gerutu Rudi yang segera menyambar helm ojeknya, kemudian dengan laju kencang meninggalkan rumah.

 Tiba-tiba seorang tetangga berseru, "Makanya kamu itu jangan sibuk ngurusin Azizah, anak kamu tuh urusin! Sejak tadi nangis, ganggu orang aja."

 "Iya, nih. Azizah terus yang kamu urusin, dia itu penipu. Dia sudah merugikan kita semua, kamu jangan terlalu baik sama penjahat sepertinya," sambung warga yang lain dengan nada sinis. 

 Mbak Dina hanya bisa tersenyum getir, menahan amarah dan rasa malu yang mendalam. Ia membawa putranya masuk ke dalam rumah, tak ingin meladeni ejekan tetangganya yang menusuk hati.

***

Malam ini, Azizah hanya bisa memicingkan matanya sembari mencoba menutup telinganya rapat-rapat. Beberapa orang yang datang membesuk pasien di sebelahnya tak henti-hentinya membicarakan statusnya sebagai seorang narapidana. 

Mulutnya melafalkan dzikir pelan, berusaha meredam kegelisahan hati. 

 Di luar, Indri, polwan yang bertugas mengawal Azizah, melangkah tergesa-gesa sambil menggenggam plastik belanjaannya.

 Dokter Rendra, yang kebetulan berpapasan dengannya, menegur dengan tiba-tiba, "Dari mana saja kamu?"

"Astagfirullah, Abang," sahut Indri, terkejut. Ia mengusap dadanya yang bergemuruh, "Abang ngagetin Indri aja."

 "Habisnya, kamu kenapa buru-buru sekali?" goda dokter Rendra.

"Iya, Bang. Aku udah ninggalin Azizah sejak tadi. Habis dari kantin, dan ini aku bawain Azizah roti gabin. Kan abang sendiri yang bilang kalau roti ini bagus untuk penderita asam lambung." Indri menjelaskan. 

 Mendengar penjelasan Indri, Dokter Rendra terkejut dan mengerutkan dahinya. "Dia itu seorang narapidana, loh. Kok kamu peduli banget sama dia?" tanyanya sambil mengangkat satu alisnya dengan ekspresi skeptis.

 "Kasian, Bang. Dia sendirian, dan selama di rutan. Azizah itu terkenal sebagai wanita berhati baik," jelas Indri. 

 Dokter Rendra tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Indri. "Mana ada orang baik masuk penjara," cibirnya sinis. 

Indri menghela napas berat, merasa tidak dimengerti. "Ah, ribet ngomong sama abang!" kesalnya, lalu berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkan dokter Rendra yang merupakan abang kandungnya itu.

***

Kalau kalian suka jangan lupa divote ya

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status