"Sudah enam bulan, Mbak. Sudah enam bulan aku tidak bertemu dengan putriku, aku sangat merindukan dia Mbak," ujar Azizah sambil menitikkan air mata yang terus saja meleleh.
Mbak Dina merasakan rasa sesak yang mulai memenuhi dadanya, tangannya bergetar sebelum segera menyeka air mata di pipi Azizah. "Kamu jangan nangis, Azizah. Hati Mbak sakit tiap kali lihat kamu nangis kayak gini. Sebentar lagi kamu akan keluar dari penjara, kamu akan segera bertemu dengan putrimu. Yang penting sekarang, kamu harus sembuh dulu agar kamu bisa keluar dari rumah sakit ini." Azizah menghela napas dalam-dalam, kemudian menatap air infus yang menetes dengan perlahan. Hatinya berbisik, 'Kenapa kamu begitu jahat, Mas? Padahal aku berada di dalam penjara itu semua demi kamu. Kamu khianati aku dan sekarang kamu juga melarang Mbak Dina membawa anak kita kemari, kenapa?' Azizah menatap kosong, seraya membayangkan suaminya yang sudah tega mengkhianatinya. 'Kamu bahkan tidak peduli lagi dengan keadaanku,' gumamnya dalam hati, pilu. Pandangan Azizah dan Mbak Dina tertuju pada pintu saat pintu terbuka dan seorang perawat masuk bersama dengan seorang dokter muda berwajah tampan. Azizah menelan ludah, jantungnya berdebar cemas seiring langkah sang dokter yang tengah memeriksa pasien di sebelahnya. "Bagaimana keadaannya, Buk? Apa kepalanya masih pusing?" tanya dokter muda itu dengan nada lembut. Azizah terkesima, matanya tak beranjak dari wajah dokter tersebut. Sementara itu, Mbak Dina tersenyum menggoda, "Dia tampan ya?" Azizah mengangguk, lalu menatap Mbak Dina. "Mbak, jika besok aku masih dirawat di sini, aku mohon, bujuk lagi Mas Heru agar dia mau mengizinkan Mbak membawa putriku ke sini untuk membesukku." Mbak Dina mengangguk lemah, seraya berusaha menghibur Azizah, "Iya, Azizah. Mbak akan usahakan." Di sela-sela percakapan mereka, sang dokter dengan senyum ramah menghampiri Azizah. "Halo, selamat pagi," sapanya. "Saya dokter Rendra, Ibu Azizah baru masuk semalam, ya? Keluhannya mual-mual, sesak napas sama sakit kepala, " ujarnya sambil membaca data yang ia pegang. "Bagaimana keadaan Ibu sekarang? " tanyanya dengan tatapan ramah. " Apa kepalanya masih sakit?" Azizah menggeleng lemah, "Kepalaku sudah membaik, Dok. Aku juga gak mual-mual lagi, hanya saja dadaku yang masih suka sesak, terus panas juga." Bibirnya bergetar, menyampaikan keluhan yang dirasakan tubuhnya. Dokter Rendra mengangguk-anggukkan kepalanya dengan empati, "Ibu harus makan, ya. Makannya sedikit-sedikit saja dengan jarak 2 jam, karena Bu Azizah menderita asam lambung kronis. Dan yang paling penting, Ibu jangan banyak pikiran, karena faktor pikiran itu sangat berpengaruh pada pasien yang menderita asam lambung." Dokter Rendra terus saja menjelaskan tentang apa yang harus dihindari Azizah sebelum ia berlalu pergi. "Tuh, kamu dengar itu. Kamu harus makan, Mbak suapin, ya? Mbak tadi masak ikan gurame kesukaan kamu," kata Mbak Dina penuh perhatian. Wanita itu segera membuka rantang yang ia bawa, lalu dengan hati-hati memindahkan makanan yang ia bawa ke dalam piring yang disediakan rumah sakit. "Ayo, Azizah. Biar Mbak suapin," ucap Mbak Dina seraya menggenggam tangan Azizah dengan lembut, mencoba meyakinkan dirinya. "Gak, Mbak. Azizah gak lapar," tolak Azizah lembut, matanya memandang Mbak Dina dengan harapan agar mengerti apa yang dia rasakan. "Kamu harus makan, Azizah. Kalau kamu gak makan, gimana kamu mau sembuh. Ayo buka mulutmu, makan sedikit aja," desak Mbak Dina, dengan nada cemas. Azizah mengangguk, membuka mulutnya dengan ragu. Lidahnya yang pahit membuat ia sama sekali tidak merasakan kenikmatan masakan kakak sepupunya itu. Bahkan saat ia menelannya, ia hampir saja memuntahkan makanan itu keluar. Mbak Dina segera mengulurkan segelas air, meminta Azizah untuk meminumnya. "Sudah, Mbak. Perut Azizah gak bisa dipaksa," ucap Azizah seraya menahan rasa mual. Mbak Dina hanya bisa menghela napas panjang dan menatap Azizah dengan iba. Drrghh ... Drrrghh ... Tiba-tiba saja ponsel Mbak Dina berdering. "Ini telepon dari mas kamu. Sebentar ya," kata Mbak Dina yang segera keluar untuk menerima panggilan masuk dari suaminya. Tak lama, ia kembali masuk dengan wajah yang nampak gelisah. "Maafin Mbak ya Azizah, Mbak gak bisa berlama-lama di sini. Mbak sudah diminta Mas Rudi untuk pulang." Azizah mengangguk mengerti. "Hm, iya, Mbak. Gak apa-apa, kok, makasih ya Mbak udah datang ke sini,"ujarnya dengan senyum lemah yang mencoba menyembunyikan kepedihan di hati. "Iya, kamu harus segera sembuh. Sekarang kamu istirahat, ya. Kamu juga harus makan yang teratur dan jangan lupa minum obat," ucap Mbak Dina lembut sambil mengusap lengan Azizah. Rasa khawatir terpancar dari matanya. "Mbak permisi dulu ya, Azizah," pamitnya dengan hati berat. Mbak Dina melangkah keluar dan menemui seorang polwan yang duduk di kursi tunggu di depan ruangan. "Titip Azizah ya, Bu," ucapnya singkat, lalu berlalu dengan tergesa-gesa. Ia menaiki motornya dan melajukan motor itu dengan kecepatan kencang, ingin segera kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, tangisan putra kecilnya menyambut kepulangannya. Rudi, suaminya, dengan wajah gusar menyambutnya, "Lama sekali kamu! Anak kita sudah bangun, dia nyariin kamu. Aku juga mau berangkat cari penumpang!" "Maaf, Pak," ucap Mbak Dina. Segera ia menggendong putranya yang masih berusia dua tahun, mencoba meredakan tangis anak kecil itu dengan pelukan hangatnya. "Ah, sudahlah," gerutu Rudi yang segera menyambar helm ojeknya, kemudian dengan laju kencang meninggalkan rumah. Tiba-tiba seorang tetangga berseru, "Makanya kamu itu jangan sibuk ngurusin Azizah, anak kamu tuh urusin! Sejak tadi nangis, ganggu orang aja." "Iya, nih. Azizah terus yang kamu urusin, dia itu penipu. Dia sudah merugikan kita semua, kamu jangan terlalu baik sama penjahat sepertinya," sambung warga yang lain dengan nada sinis. Mbak Dina hanya bisa tersenyum getir, menahan amarah dan rasa malu yang mendalam. Ia membawa putranya masuk ke dalam rumah, tak ingin meladeni ejekan tetangganya yang menusuk hati. *** Malam ini, Azizah hanya bisa memicingkan matanya sembari mencoba menutup telinganya rapat-rapat. Beberapa orang yang datang membesuk pasien di sebelahnya tak henti-hentinya membicarakan statusnya sebagai seorang narapidana. Mulutnya melafalkan dzikir pelan, berusaha meredam kegelisahan hati. Di luar, Indri, polwan yang bertugas mengawal Azizah, melangkah tergesa-gesa sambil menggenggam plastik belanjaannya. Dokter Rendra, yang kebetulan berpapasan dengannya, menegur dengan tiba-tiba, "Dari mana saja kamu?" "Astagfirullah, Abang," sahut Indri, terkejut. Ia mengusap dadanya yang bergemuruh, "Abang ngagetin Indri aja." "Habisnya, kamu kenapa buru-buru sekali?" goda dokter Rendra. "Iya, Bang. Aku udah ninggalin Azizah sejak tadi. Habis dari kantin, dan ini aku bawain Azizah roti gabin. Kan abang sendiri yang bilang kalau roti ini bagus untuk penderita asam lambung." Indri menjelaskan. Mendengar penjelasan Indri, Dokter Rendra terkejut dan mengerutkan dahinya. "Dia itu seorang narapidana, loh. Kok kamu peduli banget sama dia?" tanyanya sambil mengangkat satu alisnya dengan ekspresi skeptis. "Kasian, Bang. Dia sendirian, dan selama di rutan. Azizah itu terkenal sebagai wanita berhati baik," jelas Indri. Dokter Rendra tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Indri. "Mana ada orang baik masuk penjara," cibirnya sinis. Indri menghela napas berat, merasa tidak dimengerti. "Ah, ribet ngomong sama abang!" kesalnya, lalu berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkan dokter Rendra yang merupakan abang kandungnya itu. *** Kalau kalian suka jangan lupa divote yaDokter Rendra tersenyum sinis, menggelengkan kepala pelan sambil bergumam, "Ada apa dengan adikku yang satu ini?"Ia melangkah cepat menyusul Indri, kakinya terhenti ketika melihat Indri berdiri tegak di depan pintu, telinganya mendekat ke celah pintu seolah sedang menguping."Kenapa kamu menguping di sini?" Pertanyaan mendadak Rendra sontak membuat Indri terperanjat."Sttt," Indri menempelkan telunjuknya di bibir, meminta Rendra untuk diam, dan mengisyaratkan agar ikut mendengar.Mereka berdua pun menguping, segera menangkap percakapan beberapa orang yang asyik membahas keburukan Azizah karena statusnya sebagai narapidana."Aduh, padahal cantik dan muda loh dia," seru salah seorang."Eh, siapa sangka sih jadi narapidana."Wajah Indri mulai memerah kesal, ia menoleh ke Rendra lalu berbisik dengan nada jengkel, "Mereka nggak bosan-bosannya ya ngomongin keburukan Azizah?"Tanpa menunggu jawaban Rendra, Indri membuka pintu ruangan dengan keras, membuat mereka yang tengah asyik membicarak
Indri menghempaskan dirinya di kursi dengan wajah kesal setelah tiba di rumah, seakan memendam kemarahan yang tak terucapkan.Rendra hanya tersenyum getir sambil mengikuti langkah adiknya masuk ke rumah. Di tangan kanannya, tergenggam tas hitam yang dibawanya."Assalamualaikum," sapanya ringan, terasa menenangkan di tengah kebekuan suasana.Seorang wanita berjilbab dan berwajah teduh tengah duduk di sofa ruang tengah tak jauh dari Indri."Waalaikumsalam," sahut wanita itu dengan suara lembut nan menyejukkan, senyumannya terukir di bibir seakan membawa ketenangan. Tangannya terulur pada Rendra. "Kamu sudah pulang, Nak?"Rendra mengangguk sambil menjabat uluran tangan itu, mencium punggung telapak tangan wanita yang tak lain adalah ibunya dengan lembut lalu duduk di sampingnya."Itu, adik kamu kenapa bete gitu wajahnya?" tanya ibunya penasaran, matanya melirik-lirik ke arah Indri."Ngambek dia, Ma," jawab Rendra sambil menghela napas berat."Ngambek kenapa? Jarang-jarang loh, adikmu itu
"Gak! Aku nggak mungkin bisa menceraikan Azizah, " ucap Heru sambil menggelengkan kepalanya. "Kenapa tidak bisa? " tanya Ratna dengan mata yang melotot. Azizah sudah mengorbankan dirinya hanya untuk menyelamatkan Heru dari jeratan hukum, jika saja bukan karena Azizah, Heru sudah lama mendekam di penjara. Melihat suaminya yang hanya diam, Ratna mendengus kesal, " Kenapa tidak bisa? " ulangnya sambil menggebrak meja, mukanya merah padam karena marah. Heru tersentak, mengusap keringat dingin yang mulai membasahi dahinya. Ia tidak mungkin menjelaskan apa yang sudah Azizah lakukan untuk dirinya, pada istri barunya itu. "Aku ... aku, " ucapan Heru terputus, lidahnya mendadak kelu. Hal itu membuat Ratna semakin murka, " Jangan bilang kalau kamu masih mencintai istrimu itu, Mas?""Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja ... ""Hanya saja apa? " potong Ratna, " Jangan banyak alasan, Mas! Akui saja kalau kamu masih sangat mencintai istri pertamamu itu, makanya kamu tidak mau menceraikan dia.
Tapi bukannya keluar, Indri malah semakin bersemangat menggoda abangnya itu."Ciye ngamuk, kalau marah-marah gitu tandanya beneran. Abang beneran suka sama Azizah, hayo ngaku," kata Indri sembari mengedipkan matanya."Gak! Abang nggak akan mungkin suka sama seorang Narapidana! " tegas Rendra, meski ia seperti menusuk hatinya sendiri saat mengatakan itu."Oh, ya? Kalau gitu kenapa masih belum ngizinin Azizah keluar?""Em soal itu, dia ... ""Azizah sudah sembuh, dan dia sendiri yang memintaku untuk menyampaikan hal itu pada abang," ucap Indri.Rendra terdiam, napasnya tersengal-sengal akibat olokan adiknya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun mengangguk lesu. "Baiklah, dia sudah boleh pulang hari ini," kata Rendra, pasrah. Indri tersenyum puas. "Nah gitu dong, aku tinggal ngurus surat-suratnya," ucapnya sambil berlalu untuk mengurus dokumen kepulangan Azizah. Menghela napas panjang, Rendra mengusap wajahnya dengan kasar. Ada perasaan tidak rela yang muncul di hatinya dan ia sen
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
Melihat Heru yang hanya membeku, Azizah melangkah mendekat dan menaikkan nada bicaranya, "Dimana Nayla, Mas? Aku ingin bertemu dengannya!" Heru tersentak, lalu menyeringai kesal, "Kamu ini apa-apaan sih? Nayla tidak ada di sini, sebaiknya kamu segera pergi dari sini. Kita sudah bercerai, jangan ganggu aku lagi!" "Nggak, Mas. Aku nggak akan pergi sebelum bertemu dengan putriku," ucap Azizah tegas, matanya menunjukkan keberanian. "Nayla pasti ada di dalam, kan?" Ia ingin melangkah ke dalam rumah, namun Heru segera menghadangnya. "Nayla gak ada! Cepat pergi!" Heru membentak. Azizah tetap ngotot ingin bertemu dengan putri kecilnya yang sangat ia rindukan. Tangis di tenggorokannya tertahan saat ia berteriak, "Nayla! Ini Ibu, Nak. Ibu yakin kamu ada di dalam, keluar Nak. Ini Ibu," suaranya penuh kerinduan. Teriakan Azizah berhasil membuat Ratna keluar, wanita itu mendekat dengan kening berkerut dan wajah geram. "Apa-apaan ini?" tanyanya sambil menghunuskan tatapan tajam pada Azizah.
Kecemburuan yang dirasakan Mbak Dina semakin menjadi saja, terutama saat mereka tengah makan malam bersama. Suaminya, Rudi, semakin terang-terangan memperlihatkan perhatian berlebihan kepada Azizah."Kamu mau apa, Azizah? Biar Mas ambilkan," ucap Rudi dengan nada lembut, membuat jantung Mbak Dina berdegup kencang. "Apa kamu mau ikan goreng ini?" Azizah menggeleng cepat, seakan ingin menghindar dari kebaikan Rudi. "Tidak usah, Mas. Biar aku ambil sendiri saja," tolak Azizah. Namun, Rudi tetap bersikeras dan mengambilkan seekor ikan goreng dan meletakkannya di dalam piring Azizah."Nih, kamu makan yang banyak, ya," ucapnya dengan pandangan lembut yang semakin membuat emosi Mbak Dina terpancing. Mbak Dina tampak mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba mengendalikan rasa cemburunya. Terlebih Putranya, Nando, duduk di sampingnya dan ia tidak ingin membuat keributan di depan putranya yang masih kecil itu.Azizah pun merasa sangat canggung dan segera berinisiatif untuk mengakhiri sit