Petugas bergegas masuk ke ruangan sel. Satu di antara mereka, seorang polwan, berjongkok di samping Azizah yang terkulai lemas dan berusaha menyadarkannya dengan mengipaskan minyak kayu putih di dekat hidungnya.
Sri serta rekan-rekannya mengawasi dengan penuh harap, dan bersama-sama melepaskan napas lega saat Azizah perlahan membuka matanya. Namun, kondisi Azizah masih tampak mengkhawatirkan. Napasnya tersengal-sengal dan terlihat ia kesulitan untuk bernapas. "Apa yang kamu rasakan, Azizah?" tanya Sri, wajahnya dipenuhi rasa prihatin. "Dadaku ... dadaku sesak," sahut Azizah seraya mengusap dadanya, berusaha menarik napas sedalam-dalamnya. Sri menatap petugas polisi dengan pandangan memelas. "Azizah memiliki riwayat asam lambung. Tolong bawa dia ke rumah sakit. Tolong!" pintanya dengan nada memelas. Mengangguk mengerti, petugas saling bertukar pandang, lalu segera membawa Azizah keluar dari sel. Mereka bergegas menuju Rumah Sakit Bhayangkara dengan sebuah ambulans. Begitu tiba, Azizah langsung mendapatkan penanganan dari petugas yang berjaga. Selang oksigen segera dipasangkan di hidungnya, membantu mengembalikan pernapasan Azizah yang tersengal. Azizah terbaring lemah di tempat tidur, menatap selang infus yang terhubung ke tangannya. Setelah menjalani pemeriksaan, ia akhirnya dimasukkan ke ruang rawat inap. Azizah menoleh ke arah polwan yang berdiri di sampingnya, kemudian berkata dengan suara parau, "Tenang saja, Bu. Aku nggak akan kabur." Polwan itu tersenyum lembut, memegang tangan Azizah. "Aku hanya menjalankan tugas, Azizah. Temanku sudah menghubungi suamimu," ujarnya mencoba memberi semangat. Azizah mendesah, "Jangan menghubunginya, dia nggak akan datang," sahutnya dengan suara serak. Tiba-tiba, dua suster masuk ke ruangan dengan membawa obat berupa sirup dan alat suntik. Suster yang satu menyuntikkan obat ke botol infus, sementara yang lain meletakkan sirup dan obat pil di atas nakas. "Ini obat yang harus ibu minum, ibu harus isi perut, ya," katanya lembut sambil menjelaskan aturan pemakaian obat sebelum meninggalkan ruangan. Azizah terbaring lemah di ruangan yang juga menampung pasien lain. Terdapat seorang polwan yang berdiri di sisinya, membuat Azizah menjadi pusat perhatian dan cibiran sinis. "Kamu mau makan apa, Azizah?" tanya sang polwan dengan perhatian. Azizah menggeleng lemah, matanya layu. "Lidahku rasanya pahit sekali. Aku hanya ingin masa hukumanku cepat habis," keluhnya. Polwan tersebut tersenyum, menepuk bahu Azizah dengan lembut. "Bersabarlah," ujarnya penuh kasih sayang. "Hanya tinggal tiga bulan lagi, setelah itu kamu akan menghirup udara bebas." Azizah menelan ludah, perasaan cemas dan haru bercampur menjadi satu. Tiga bulan terasa begitu lama, namun ia sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan putrinya, Nayla, dan merangkulnya erat dalam dekapannya. *** "Apa? Azizah dilarikan ke rumah sakit?" Heru mengejapkan mata tak percaya, detak jantungnya mulai berdebar kencang. "Ok, Pak. Terima kasih informasinya," ujarnya, lalu mematikan panggilan yang baru saja diterimanya. Istrinya, Ratna, mendekat dengan tatapan tajam dan sinis. "Ada apa, Mas?" tanyanya dengan nada ketus. Heru menelan ludah, kemudian menjelaskan pada istrinya bahwa Azizah dilarikan ke rumah sakit. "Kamu gak boleh besuk wanita itu! Aku gak suka!" tegas Ratna, mengepalkan tangannya, wajahnya semakin memerah. "Iya, Ratna. Tapi seenggaknya, aku harus memberitahukan hal ini pada Mbak Dina. Biar Mbak Dina yang nemenin Azizah di rumah sakit." Heru berusaha tenang menjawab. "Ini sudah malam," potong Ratna dengan suara dingin. "Kamu bisa memberitahukannya besok pagi, sekarang sebaiknya kita tidur. Ayo!" Heru mengangguk, menghela napas panjang, kemudian beranjak dari kursi untuk melangkah menuju kamar. Keesokan paginya, dengan diiringi istrinya yang tetap bersikap dingin, Heru mendatangi rumah Mbak Dina. Ia memberitahu satu-satunya kerabat yang dimiliki oleh Azizah tentang keadaan Azizah saat ini, berharap agar ada yang bisa menemani dan membantu istrinya itu selama berada di rumah sakit. "Kalau begitu, ayo kita ke rumah sakit sekarang," ajak Mbak Dina. "Enak saja, kalau mau ke rumah sakit. Ke rumah sakit saja sendiri, jangan ajak suamiku!" sindir Ratna dengan tangan yang melintir sejenak di pinggangnya. Mbak Dina menatap Ratna tajam, kedua alisnya berkerut menyatu, "Heh, Ratna! Kamu jangan keterlaluan, ya. Azizah itu masih istri sah Heru," katanya dengan nada tegas. "Sedangkan kamu itu hanya istri sirih!" Ratna mempertahankan sikap angkuhnya, "Lalu apa masalahnya? Setidaknya aku ini bukan penjahat seperti wanita itu!" ucapnya sambil menarik napas dengan keras. Mbak Dina terdiam, napasnya tersengal. Ia masih belum tahu bahwa selama ini Azizah tidak bersalah karena Azizah menyembunyikan semua kebenaran itu darinya. "Kalau begitu, izinkan aku untuk membawa Nayla bersamaku. Azizah sangat merindukan Nayla, dia pasti akan senang jika aku membawa Nayla ke rumah sakit," pintanya dengan nada lembut. Saat Heru hendak menjawab, Ratna segera menyela, "Nggak bisa! Rumah sakit itu bukanlah tempat yang aman untuk Nayla, dia bisa saja sakit kalau sampai masuk ke dalam rumah sakit." ujarnya sambil mengepal tinju di samping tubuhnya. Ratna menggandeng tangan suaminya, "Ayo, Mas! Kita pulang." Sementara itu, Mbak Dina menatap punggung Heru yang menjauh, mengusap wajahnya dengan gerakan kasar, kemudian kembali masuk ke dalam rumah. "Ada apa, Bu?" tanya suaminya, mencium ketidaknyamanan yang terpancar dari wajah istrinya. "Ibu harus ke rumah sakit, Pak. Azizah dirawat di sana," sahutnya seraya menghela napas. Suaminya mencibir, "Kamu masih saja peduli padanya. Dia sudah membuat malu keluarga kita, seluruh warga membencinya, Bu!" "Tapi aku ini satu-satunya keluarga yang dimiliki Azizah. Bahkan hingga saat ini, aku masih yakin kalau adik sepupuku itu tidak bersalah!" tegas Mbak Dina, raut mukanya menunjukkan kepercayaan yang tak goyah. Suaminya kembali menyerang, "Kalau dia tidak bersalah, dia gak akan dihukum! Tapi apa? Sudah setahun dia mendekam di penjara." Mbak Dina berusaha menenangkan diri, "Cukup, Pak. Aku tidak ingin berdebat denganmu, aku harus pergi," katanya. Ia masuk ke dalam dapur, memasukkan beberapa menu ke dalam rantang, mencoba mengabaikan ocehan dari suaminya. Ia segera mengambil helm dan meninggalkan rumah dengan langkah tegap, mengendarai motor menuju rumah sakit, yakin akan kebenaran hatinya sendiri. Sesampainya di rumah sakit, ia bergegas menemui petugas untuk menanyakan keberadaan ruangan Azizah. Setelah memperoleh informasi yang dibutuhkan, langkah kakinya terasa ringan menuju ruangan tersebut. "Azizah?" seru Mbak Dina begitu melihat sosok yang dicarinya. Azizah menoleh, matanya memancarkan kelegaan, "Mbak Dina, Mbak datang?" Dalam sekejap, Mbak Dina sudah berada di samping ranjang Azizah, meletakkan rantang yang dibawanya di atas nakas. "Azizah, aku keluar dulu, ya," ujar sang polwan sebelum meninggalkan mereka berdua. "Bagaimana Mbak tahu aku di sini?" tanya Azizah penasaran. Mbak Dina tersenyum pahit sambil duduk di sisi Azizah, lalu memijit lengan gadis itu dengan lembut, "Heru datang memberitahu kalau kamu dirawat di sini." Azizah menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata, "Kenapa Mbak nggak bawa Nayla?" Wajahnya sedih seketika. "Tadinya Mbak ingin membawanya, tapi mereka tidak mengizinkan. Katanya Nayla bisa saja sakit jika mbak ajak ke sini." Air mata Azizah pun tak mampu tertahan lagi, "Aku merindukan putriku itu, Mbak. Aku ingin memeluknya." ***"Sudah enam bulan, Mbak. Sudah enam bulan aku tidak bertemu dengan putriku, aku sangat merindukan dia Mbak," ujar Azizah sambil menitikkan air mata yang terus saja meleleh. Mbak Dina merasakan rasa sesak yang mulai memenuhi dadanya, tangannya bergetar sebelum segera menyeka air mata di pipi Azizah. "Kamu jangan nangis, Azizah. Hati Mbak sakit tiap kali lihat kamu nangis kayak gini. Sebentar lagi kamu akan keluar dari penjara, kamu akan segera bertemu dengan putrimu. Yang penting sekarang, kamu harus sembuh dulu agar kamu bisa keluar dari rumah sakit ini." Azizah menghela napas dalam-dalam, kemudian menatap air infus yang menetes dengan perlahan. Hatinya berbisik, 'Kenapa kamu begitu jahat, Mas? Padahal aku berada di dalam penjara itu semua demi kamu. Kamu khianati aku dan sekarang kamu juga melarang Mbak Dina membawa anak kita kemari, kenapa?' Azizah menatap kosong, seraya membayangkan suaminya yang sudah tega mengkhianatinya.'Kamu bahkan tidak peduli lagi dengan keadaanku,' guma
Dokter Rendra tersenyum sinis, menggelengkan kepala pelan sambil bergumam, "Ada apa dengan adikku yang satu ini?"Ia melangkah cepat menyusul Indri, kakinya terhenti ketika melihat Indri berdiri tegak di depan pintu, telinganya mendekat ke celah pintu seolah sedang menguping."Kenapa kamu menguping di sini?" Pertanyaan mendadak Rendra sontak membuat Indri terperanjat."Sttt," Indri menempelkan telunjuknya di bibir, meminta Rendra untuk diam, dan mengisyaratkan agar ikut mendengar.Mereka berdua pun menguping, segera menangkap percakapan beberapa orang yang asyik membahas keburukan Azizah karena statusnya sebagai narapidana."Aduh, padahal cantik dan muda loh dia," seru salah seorang."Eh, siapa sangka sih jadi narapidana."Wajah Indri mulai memerah kesal, ia menoleh ke Rendra lalu berbisik dengan nada jengkel, "Mereka nggak bosan-bosannya ya ngomongin keburukan Azizah?"Tanpa menunggu jawaban Rendra, Indri membuka pintu ruangan dengan keras, membuat mereka yang tengah asyik membicarak
Indri menghempaskan dirinya di kursi dengan wajah kesal setelah tiba di rumah, seakan memendam kemarahan yang tak terucapkan.Rendra hanya tersenyum getir sambil mengikuti langkah adiknya masuk ke rumah. Di tangan kanannya, tergenggam tas hitam yang dibawanya."Assalamualaikum," sapanya ringan, terasa menenangkan di tengah kebekuan suasana.Seorang wanita berjilbab dan berwajah teduh tengah duduk di sofa ruang tengah tak jauh dari Indri."Waalaikumsalam," sahut wanita itu dengan suara lembut nan menyejukkan, senyumannya terukir di bibir seakan membawa ketenangan. Tangannya terulur pada Rendra. "Kamu sudah pulang, Nak?"Rendra mengangguk sambil menjabat uluran tangan itu, mencium punggung telapak tangan wanita yang tak lain adalah ibunya dengan lembut lalu duduk di sampingnya."Itu, adik kamu kenapa bete gitu wajahnya?" tanya ibunya penasaran, matanya melirik-lirik ke arah Indri."Ngambek dia, Ma," jawab Rendra sambil menghela napas berat."Ngambek kenapa? Jarang-jarang loh, adikmu itu
"Gak! Aku nggak mungkin bisa menceraikan Azizah, " ucap Heru sambil menggelengkan kepalanya. "Kenapa tidak bisa? " tanya Ratna dengan mata yang melotot. Azizah sudah mengorbankan dirinya hanya untuk menyelamatkan Heru dari jeratan hukum, jika saja bukan karena Azizah, Heru sudah lama mendekam di penjara. Melihat suaminya yang hanya diam, Ratna mendengus kesal, " Kenapa tidak bisa? " ulangnya sambil menggebrak meja, mukanya merah padam karena marah. Heru tersentak, mengusap keringat dingin yang mulai membasahi dahinya. Ia tidak mungkin menjelaskan apa yang sudah Azizah lakukan untuk dirinya, pada istri barunya itu. "Aku ... aku, " ucapan Heru terputus, lidahnya mendadak kelu. Hal itu membuat Ratna semakin murka, " Jangan bilang kalau kamu masih mencintai istrimu itu, Mas?""Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja ... ""Hanya saja apa? " potong Ratna, " Jangan banyak alasan, Mas! Akui saja kalau kamu masih sangat mencintai istri pertamamu itu, makanya kamu tidak mau menceraikan dia.
Tapi bukannya keluar, Indri malah semakin bersemangat menggoda abangnya itu."Ciye ngamuk, kalau marah-marah gitu tandanya beneran. Abang beneran suka sama Azizah, hayo ngaku," kata Indri sembari mengedipkan matanya."Gak! Abang nggak akan mungkin suka sama seorang Narapidana! " tegas Rendra, meski ia seperti menusuk hatinya sendiri saat mengatakan itu."Oh, ya? Kalau gitu kenapa masih belum ngizinin Azizah keluar?""Em soal itu, dia ... ""Azizah sudah sembuh, dan dia sendiri yang memintaku untuk menyampaikan hal itu pada abang," ucap Indri.Rendra terdiam, napasnya tersengal-sengal akibat olokan adiknya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun mengangguk lesu. "Baiklah, dia sudah boleh pulang hari ini," kata Rendra, pasrah. Indri tersenyum puas. "Nah gitu dong, aku tinggal ngurus surat-suratnya," ucapnya sambil berlalu untuk mengurus dokumen kepulangan Azizah. Menghela napas panjang, Rendra mengusap wajahnya dengan kasar. Ada perasaan tidak rela yang muncul di hatinya dan ia sen
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
Melihat Heru yang hanya membeku, Azizah melangkah mendekat dan menaikkan nada bicaranya, "Dimana Nayla, Mas? Aku ingin bertemu dengannya!" Heru tersentak, lalu menyeringai kesal, "Kamu ini apa-apaan sih? Nayla tidak ada di sini, sebaiknya kamu segera pergi dari sini. Kita sudah bercerai, jangan ganggu aku lagi!" "Nggak, Mas. Aku nggak akan pergi sebelum bertemu dengan putriku," ucap Azizah tegas, matanya menunjukkan keberanian. "Nayla pasti ada di dalam, kan?" Ia ingin melangkah ke dalam rumah, namun Heru segera menghadangnya. "Nayla gak ada! Cepat pergi!" Heru membentak. Azizah tetap ngotot ingin bertemu dengan putri kecilnya yang sangat ia rindukan. Tangis di tenggorokannya tertahan saat ia berteriak, "Nayla! Ini Ibu, Nak. Ibu yakin kamu ada di dalam, keluar Nak. Ini Ibu," suaranya penuh kerinduan. Teriakan Azizah berhasil membuat Ratna keluar, wanita itu mendekat dengan kening berkerut dan wajah geram. "Apa-apaan ini?" tanyanya sambil menghunuskan tatapan tajam pada Azizah.
Azizah menatap Rendra dengan lekat, setelah mendapatkan anggukan kepala dari pria itu, Azizah pun dengan ragu menjabat tangan Kevin. "Silahkan duduk," ujar Kevin dengan ramah. Rendra dan Azizah duduk bersebelahan, tak ingin membuang waktu lebih lama. Rendra mengarahkan pandangannya pada Azizah, "Ceritakan semuanya pada Kevin," ujarnya lembut. Azizah menarik napas dalam-dalam, mengatur detak jantung yang berdebar, kemudian dengan suara bergetar mulai menceritakan kisah pilu yang menimpanya selama ini pada Kevin. Air matanya jatuh, membasahi pipinya saat ia mengatakan, "Aku tidak menyalahkan takdir yang membuat aku harus dipenjara karena kesalahan yang tidak aku lakukan. Namun, yang tak sanggup ku lalui adalah dipisahkan dari putriku. Aku merindukannya, tolong pertemukan aku dengannya." Azizah melipat kedua tangannya memelas, menatap dalam-dalam ke mata Kevin. Kevin mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan, tatapan mata pengacara muda itu tak lepas dari wajah Azizah. Hal tersebut m
Heru terdiam sejenak, menatap ke luar jendela dengan mata nanar, mencoba meresapi perkataan Ratna, istrinya. "Apa kamu yakin, Rat? Aku bisa menang?" tanyanya ragu, seraya menggaruk kepalanya. "Aku kan gak punya pengalaman di dunia politik." Namun, Ratna menatap Heru tajam dan menganggukkan kepala dengan yakin. "Haduh, Mas. Jangan terlalu mikirin hal-hal seperti itu. Yang penting, kamu sekarang maju jadi calon anggota dewan. Kan lumayan gajinya jauh lebih besar daripada gaji guru," katanya sambil mengepalkan tangan, menunjukkan semangatnya. " Tenang aja, nanti ada tim sukses yang bakal bantu kamu menang. Sekarang kamu setuju dulu, terus nanti kamu urus pengunduran diri dari pekerjaan sekarang," lanjut Ratna sembari mengangkat jempolnya, memberi semangat pada Heru. "Tapi–" Heru sempat hendak berkata, namun Ratna segera menyela, "Udah deh, Mas. Gak usah banyak mikir. Ini kan kesempatan yang baik, masa kamu mau sia-siain gitu?" Heru masih mengerutkan kening sejenak, mencoba menimba
Bu Hana berdiri, menggigit bibirnya, lalu dengan suara gemetar ia memanggil, "Kemarilah, Azizah."Azizah melepaskan diri dari pelukan Indri, kemudian berdiri dengan linangan air mata. Tangisnya pun pecah saat Bu Hana menarik dirinya dan memeluknya erat."Allah mengujimu, karena Allah tau kamu wanita yang kuat. Kamu wanita terpilih, Nak. Kamu gak boleh nyerah, kamu masih muda, dan perjalanan kamu masih panjang. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu lagi," ucap Bu Hana, sambil mengusap punggung Azizah dengan lembut."Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya," tambahnya."Aku sudah gak punya siapa-siapa lagi, Bu. Bahkan satu-satunya keluarga yang aku miliki juga tidak mempercayaiku," ucap Azizah dengan suara parau.Bu Hana mengusap punggung Azizah dengan lembut, lirih berkata, "Percayalah Azizah, kamu manusia terpilih untuk melewati semua ujian berat ini. Ibu yakin kamu bisa melewati semuanya."Air mata Indri jatuh membasahi pipinya, ia menatap Rendra dengan mata berkaca-kaca.
"Astagfirullah," desah seorang pria, wajahnya nampak pucat, ketakutan.Matanya membelalak seiring dengan kakinya yang menekan rem kuat-kuat. Ia menghela napas lega saat mobilnya berhenti hanya sejengkal dari Azizah yang terdiam dengan mata terpejam di tengah jalan."Apa yang sedang dilakukan wanita ini?" gumamnya heran, menatap Azizah dengan alis berkerut.Pria itu mengintip lebih dekat, matanya terbelalak saat menyadari sosok yang hampir saja ia tabrak adalah Azizah."Azizah?" lirihnya terkejut. Dengan cepat, ia turun dari mobil sambil membawa payung, dan segera memayungi tubuh Azizah."Apa yang sedang kamu lakukan di tengah jalan seperti ini, Azizah?" teriaknya, tak mampu menutupi kekhawatirannya, karena hujan masih turun dengan deras.Azizah membuka matanya perlahan, tatapannya beralih dari payung di atasnya ke wajah pria yang mengenakan seragam dokter."Anda?" tanyanya lembut."Aku dokter Rendra, aku yang merawatmu selama kau berada di rumah sakit. Ayo cepat masuk ke mobil," ujar
Azizah mengepalkan tangannya ketat, matanya memerah akibat air mata yang tak bisa dibendung lagi."Semua yang Mas Rudi katakan itu fitnah, Mbak," ujarnya dengan suara serak. "Aku sama sekali gak ngerayu dia, dia sendiri yang tiba-tiba saja datang dan masuk ke dalam kamarku."Azizah menarik napas sejenak, menahan rasa terluka. "Dia ingin menodaiku, Mbak. Aku berteriak memanggilmu ...""Bohong!" pekik Rudi sambil mengacungkan jari telunjuknya pada wajah Azizah. "Kamu jangan memfitnahku seperti ini, Azizah.""Kamu sendiri yang datang menemuiku, karena kamu kesepian. Kamu memintaku untuk menemanimu, kamu memintaku untuk tidur denganmu, Azizah!" teriak Rudi dengan penuh emosi.Azizah melangkah mendekati Mbak Dina, kakak sepupunya itu, dan meraih tangannya dengan lembut."Demi Allah, Mbak. Aku mengatakan yang sebenarnya. Mas Rudi ingin melecehkan aku, Mbak. Mas Rudi ingin menodai aku!" teriaknya, mencoba mengungkapkan kebenaran. "Mbak harus percaya padaku, aku gak akan pernah ngekhianatin M
Azizah terlihat menemani Nando bermain di ruang tengah, sebelum akhirnya Mbak Dina datang dan meminta tolong padanya untuk membelikan penyedap."Bawa payung Azizah, sepertinya mau hujan, " ucap Mbak Dina, melihat langit di luar sudah gelap. Azizah mengangguk, meraih payung dan segera melangkahkan kakinya menuju sebuah warung. "Yah tutup, " gumam Azizah, mendapati warung yang tidak terlalu jauh dari rumah kakak sepupunya itu tutup. Menarik napas dalam-dalam, Azizah lalu menatap ke ujung jalan. Mau tidak mau, ia harus berbelanja di warung Sekar, warung terbesar yang ada di kampungnya itu. Di tengah perjalanan, mata Azizah terpaku pada seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan dua temannya di halaman rumah. Gadis itu mengenakan gaun cantik yang mengingatkannya pada gaun milik Nayla. Perasaan gusar dan kebingungan menerpa Azizah, membuat langkahnya menghampiri gadis kecil tersebut. "Apa ini gaun milik Nayla?" desis Azizah penuh emosi, menahan gadis kecil itu dengan pegangan ku
"Maafkan aku, Mbak. Aku udah buat Mbak kecewa, tapi tadi ..." suara Azizah tercekat saat menceritakan bagaimana dia dipecat oleh manajer laundry karena membongkar tentang cincin emas pelanggan yang diambil sang manajer.Mbak Dina menghela napas dalam-dalam sambil melemparkan senyum penuh pengertian pada Azizah. "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Azizah. Mbak doakan semoga nanti, kamu bisa menemukan pekerjaan yang lebih layak ya.""Aamiin, Mbak."Keesokan paginya, dapur menjadi saksi betapa sibuknya Azizah membantu Mbak Dina. Sambil mencuci sayuran, tangannya serasa bertenaga, membasuh permukaan hijau tersebut.Sedangkan Mbak Dina sibuk mengiris bawang. "Jadi, nanti kamu ingin ke pasar dan membeli baju untuk Nayla?" tanya Mbak Dina.Azizah mengangguk antusias. "Iya, Mbak. Kemarin aku sempat melihat gaun yang cantik sekali. Aku ingin menggunakan uang hasil jerih payahku di penjara untuk membelikan pakaian Nayla. Apalagi minggu depan dia ulang tahun yang ke dua tahun, aku ingin member
Wiwin, rekan kerja Azizah mencoba mengingatkan Azizah. “ Jangan ngelamun, Zah. Kalau si Ina ngelihat kamu ngelamun, bisa panjang urusannya. Ayo cepat bekerja, ini hari pertama kamu. Si Ina itu suka mecat orang, kalau ada yang dia gak suka. Dia gak segan main pecat.”“Benarkah?” kata Azizah.“Iya, Azizah. Makanya kamu harus kerja yang rajin.”Azizah mengangguk. "Em, iya, " sahut Azizah. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, hingga jam makan siang pun datang. "Ayo Azizah, kita makan siang dulu, " ajak Wiwin. "Kamu duluan saja, Win. Aku ingin sholat dzuhur, " ujar Azizah. "Hm, ya sudah, " kata Wiwin. " Aku makan siang dulu, ya. "Azizah mengangguk, ia segera melangkah keluar, menghampiri motornya yang ada di parkiran. Ingin mengambil mukenah yang ia bawa dari rumah dan letakkan di dalam bagasi motor. Namun, ia malah tertegun menatap sebuah toko pakaian yang menjajakan berbagai macam pakaian anak-anak di seberang jalan, bibirnya mengulas senyuman tipis mendapati sebuah gaun cantik yang
"Haduh, kalau aku cerita sama abang, takutnya abang gak akan percaya," keluh Indri. "Abang kan gitu, selalu saja menyebut Azizah itu orang jahat hanya karena statusnya yang narapidana." Rendra melirik adiknya, lalu mengambil kursi rias milik Indri dan membawanya ke samping adiknya agar mereka bisa duduk berhadapan. "Abang mohon, cerita sama abang. Memangnya apa yang dikatakan Sri padamu?" desak Rendra, wajahnya terlihat penasaran. "Nah, begini, Bang. Di hari kebebasan Azizah kemarin, semua tahanan satu sel Azizah nampak sedih. Terutama Sri, hingga saat jam makan siang, dia gak mau ikut makan." Indri mengecup bibirnya, mengingat keadaan tersebut. "Sri berdiam diri di dalam sel. Pas aku tanyain, dia pun menceritakan semuanya." Indri menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Azizah masuk penjara hanya demi melindungi suaminya, Bang. Azizah bukanlah penipu, tapi suaminya lah yang penipu. Azizah rela mengakui perbuatan yang dilakukan suaminya itu hanya karena ingin putrinya, Nay