Share

Bab 3

Petugas bergegas masuk ke ruangan sel. Satu di antara mereka, seorang polwan, berjongkok di samping Azizah yang terkulai lemas dan berusaha menyadarkannya dengan mengipaskan minyak kayu putih di dekat hidungnya.

Sri serta rekan-rekannya mengawasi dengan penuh harap, dan bersama-sama melepaskan napas lega saat Azizah perlahan membuka matanya.

Namun, kondisi Azizah masih tampak mengkhawatirkan. Napasnya tersengal-sengal dan terlihat ia kesulitan untuk bernapas.

"Apa yang kamu rasakan, Azizah?" tanya Sri, wajahnya dipenuhi rasa prihatin.

"Dadaku ... dadaku sesak," sahut Azizah seraya mengusap dadanya, berusaha menarik napas sedalam-dalamnya.

Sri menatap petugas polisi dengan pandangan memelas. "Azizah memiliki riwayat asam lambung. Tolong bawa dia ke rumah sakit. Tolong!" pintanya dengan nada memelas.

Mengangguk mengerti, petugas saling bertukar pandang, lalu segera membawa Azizah keluar dari sel. Mereka bergegas menuju Rumah Sakit Bhayangkara dengan sebuah ambulans.

Begitu tiba, Azizah langsung mendapatkan penanganan dari petugas yang berjaga. Selang oksigen segera dipasangkan di hidungnya, membantu mengembalikan pernapasan Azizah yang tersengal.

Azizah terbaring lemah di tempat tidur, menatap selang infus yang terhubung ke tangannya. Setelah menjalani pemeriksaan, ia akhirnya dimasukkan ke ruang rawat inap.

Azizah menoleh ke arah polwan yang berdiri di sampingnya, kemudian berkata dengan suara parau, "Tenang saja, Bu. Aku nggak akan kabur."

Polwan itu tersenyum lembut, memegang tangan Azizah. "Aku hanya menjalankan tugas, Azizah. Temanku sudah menghubungi suamimu," ujarnya mencoba memberi semangat.

Azizah mendesah, "Jangan menghubunginya, dia nggak akan datang," sahutnya dengan suara serak.

Tiba-tiba, dua suster masuk ke ruangan dengan membawa obat berupa sirup dan alat suntik. Suster yang satu menyuntikkan obat ke botol infus, sementara yang lain meletakkan sirup dan obat pil di atas nakas.

"Ini obat yang harus ibu minum, ibu harus isi perut, ya," katanya lembut sambil menjelaskan aturan pemakaian obat sebelum meninggalkan ruangan.

Azizah terbaring lemah di ruangan yang juga menampung pasien lain. Terdapat seorang polwan yang berdiri di sisinya, membuat Azizah menjadi pusat perhatian dan cibiran sinis.

"Kamu mau makan apa, Azizah?" tanya sang polwan dengan perhatian.

Azizah menggeleng lemah, matanya layu. "Lidahku rasanya pahit sekali. Aku hanya ingin masa hukumanku cepat habis," keluhnya.

Polwan tersebut tersenyum, menepuk bahu Azizah dengan lembut. "Bersabarlah," ujarnya penuh kasih sayang. "Hanya tinggal tiga bulan lagi, setelah itu kamu akan menghirup udara bebas."

Azizah menelan ludah, perasaan cemas dan haru bercampur menjadi satu. Tiga bulan terasa begitu lama, namun ia sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan putrinya, Nayla, dan merangkulnya erat dalam dekapannya.

***

"Apa? Azizah dilarikan ke rumah sakit?" Heru mengejapkan mata tak percaya, detak jantungnya mulai berdebar kencang.

"Ok, Pak. Terima kasih informasinya," ujarnya, lalu mematikan panggilan yang baru saja diterimanya.

Istrinya, Ratna, mendekat dengan tatapan tajam dan sinis. "Ada apa, Mas?" tanyanya dengan nada ketus.

Heru menelan ludah, kemudian menjelaskan pada istrinya bahwa Azizah dilarikan ke rumah sakit.

"Kamu gak boleh besuk wanita itu! Aku gak suka!" tegas Ratna, mengepalkan tangannya, wajahnya semakin memerah.

"Iya, Ratna. Tapi seenggaknya, aku harus memberitahukan hal ini pada Mbak Dina. Biar Mbak Dina yang nemenin Azizah di rumah sakit." Heru berusaha tenang menjawab.

"Ini sudah malam," potong Ratna dengan suara dingin. "Kamu bisa memberitahukannya besok pagi, sekarang sebaiknya kita tidur. Ayo!"

Heru mengangguk, menghela napas panjang, kemudian beranjak dari kursi untuk melangkah menuju kamar.

Keesokan paginya, dengan diiringi istrinya yang tetap bersikap dingin, Heru mendatangi rumah Mbak Dina. Ia memberitahu satu-satunya kerabat yang dimiliki oleh Azizah tentang keadaan Azizah saat ini, berharap agar ada yang bisa menemani dan membantu istrinya itu selama berada di rumah sakit.

"Kalau begitu, ayo kita ke rumah sakit sekarang," ajak Mbak Dina.

"Enak saja, kalau mau ke rumah sakit. Ke rumah sakit saja sendiri, jangan ajak suamiku!" sindir Ratna dengan tangan yang melintir sejenak di pinggangnya.

Mbak Dina menatap Ratna tajam, kedua alisnya berkerut menyatu, "Heh, Ratna! Kamu jangan keterlaluan, ya. Azizah itu masih istri sah Heru," katanya dengan nada tegas. "Sedangkan kamu itu hanya istri sirih!"

Ratna mempertahankan sikap angkuhnya, "Lalu apa masalahnya? Setidaknya aku ini bukan penjahat seperti wanita itu!" ucapnya sambil menarik napas dengan keras.

Mbak Dina terdiam, napasnya tersengal. Ia masih belum tahu bahwa selama ini Azizah tidak bersalah karena Azizah menyembunyikan semua kebenaran itu darinya.

"Kalau begitu, izinkan aku untuk membawa Nayla bersamaku. Azizah sangat merindukan Nayla, dia pasti akan senang jika aku membawa Nayla ke rumah sakit," pintanya dengan nada lembut.

Saat Heru hendak menjawab, Ratna segera menyela, "Nggak bisa! Rumah sakit itu bukanlah tempat yang aman untuk Nayla, dia bisa saja sakit kalau sampai masuk ke dalam rumah sakit." ujarnya sambil mengepal tinju di samping tubuhnya.

Ratna menggandeng tangan suaminya, "Ayo, Mas! Kita pulang."

Sementara itu, Mbak Dina menatap punggung Heru yang menjauh, mengusap wajahnya dengan gerakan kasar, kemudian kembali masuk ke dalam rumah.

"Ada apa, Bu?" tanya suaminya, mencium ketidaknyamanan yang terpancar dari wajah istrinya.

"Ibu harus ke rumah sakit, Pak. Azizah dirawat di sana," sahutnya seraya menghela napas.

Suaminya mencibir, "Kamu masih saja peduli padanya. Dia sudah membuat malu keluarga kita, seluruh warga membencinya, Bu!"

"Tapi aku ini satu-satunya keluarga yang dimiliki Azizah. Bahkan hingga saat ini, aku masih yakin kalau adik sepupuku itu tidak bersalah!" tegas Mbak Dina, raut mukanya menunjukkan kepercayaan yang tak goyah.

Suaminya kembali menyerang, "Kalau dia tidak bersalah, dia gak akan dihukum! Tapi apa? Sudah setahun dia mendekam di penjara."

Mbak Dina berusaha menenangkan diri, "Cukup, Pak. Aku tidak ingin berdebat denganmu, aku harus pergi," katanya.

Ia masuk ke dalam dapur, memasukkan beberapa menu ke dalam rantang, mencoba mengabaikan ocehan dari suaminya. Ia segera mengambil helm dan meninggalkan rumah dengan langkah tegap, mengendarai motor menuju rumah sakit, yakin akan kebenaran hatinya sendiri.

Sesampainya di rumah sakit, ia bergegas menemui petugas untuk menanyakan keberadaan ruangan Azizah. Setelah memperoleh informasi yang dibutuhkan, langkah kakinya terasa ringan menuju ruangan tersebut.

"Azizah?" seru Mbak Dina begitu melihat sosok yang dicarinya.

Azizah menoleh, matanya memancarkan kelegaan, "Mbak Dina, Mbak datang?"

Dalam sekejap, Mbak Dina sudah berada di samping ranjang Azizah, meletakkan rantang yang dibawanya di atas nakas.

"Azizah, aku keluar dulu, ya," ujar sang polwan sebelum meninggalkan mereka berdua.

"Bagaimana Mbak tahu aku di sini?" tanya Azizah penasaran.

Mbak Dina tersenyum pahit sambil duduk di sisi Azizah, lalu memijit lengan gadis itu dengan lembut, "Heru datang memberitahu kalau kamu dirawat di sini." 

Azizah menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata, "Kenapa Mbak nggak bawa Nayla?" Wajahnya sedih seketika.

"Tadinya Mbak ingin membawanya, tapi mereka tidak mengizinkan. Katanya Nayla bisa saja sakit jika mbak ajak ke sini."

Air mata Azizah pun tak mampu tertahan lagi, "Aku merindukan putriku itu, Mbak. Aku ingin memeluknya." 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status