"Gak! Aku nggak mungkin bisa menceraikan Azizah, " ucap Heru sambil menggelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak bisa? " tanya Ratna dengan mata yang melotot. Azizah sudah mengorbankan dirinya hanya untuk menyelamatkan Heru dari jeratan hukum, jika saja bukan karena Azizah, Heru sudah lama mendekam di penjara. Melihat suaminya yang hanya diam, Ratna mendengus kesal, " Kenapa tidak bisa? " ulangnya sambil menggebrak meja, mukanya merah padam karena marah. Heru tersentak, mengusap keringat dingin yang mulai membasahi dahinya. Ia tidak mungkin menjelaskan apa yang sudah Azizah lakukan untuk dirinya, pada istri barunya itu. "Aku ... aku, " ucapan Heru terputus, lidahnya mendadak kelu. Hal itu membuat Ratna semakin murka, " Jangan bilang kalau kamu masih mencintai istrimu itu, Mas?" "Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja ... " "Hanya saja apa? " potong Ratna, " Jangan banyak alasan, Mas! Akui saja kalau kamu masih sangat mencintai istri pertamamu itu, makanya kamu tidak mau menceraikan dia. Iya, kan? " "Aku sudah tidak mencintainya lagi, Ratna. Aku mencintaimu, makanya aku menikahimu, " sahut Heru dengan nada lemah lembut. "Halah, mana mungkin aku bisa percaya kata-katamu itu. Jika kamu sudah tidak mencintainya lagi, kenapa kamu takut sekali menceraikan dia? " "Aku tahu kamu itu seorang ASN, dan butuh waktu proses yang cukup ribet untuk bisa mengajukan perceraian kalian. Dan jika kamu tidak memulai itu sekarang, kapan lagi? Nunggu Azizah keluar dari dalam penjara, iya? " Heru terdiam, ia masih bingung dan dilema dengan perasaannya sendiri. "Padahal ini waktu yang tepat bagi kamu untuk mengajukan perceraian kamu dengan wanita itu. Dia seorang narapidana, dan itu bisa kamu jadikan sebagai bukti tambahan di pengadilan. Dia itu penipu, pelaku kriminal dan itu artinya dia tidak bisa menjadi ibu yang baik. Dengan begitu hak asuh Nayla pasti akan jatuh di tanganmu." Heru mulai terpengaruh oleh ucapan istrinya itu, ia merasa yang dikatakan oleh Ratna ada benarnya juga. Jika ia dan Azizah sudah resmi cerai, itu artinya ia dan Ratna bisa menikah secara resmi. Heru mengedarkan pandangan ke sekeliling, 'Tinggal di rumah ini sangat nyaman, rumah ini besar, bagus dan semua furniture nya pun bukan barang murah. Apalagi, Ratna sangat menyayangi Nayla. Ratna wanita yang mandul, setelah dia tiada, pasti dia akan memberikan semua harta yang ia miliki pada putriku, 'gumam Heru dalam hati. "Baiklah, " ucap Heru yang segera bangkit dari tempat duduknya. " Kamu tenang saja, secepatnya aku akan mengurus perceraianku dengan Azizah. Sekarang aku mau berangkat sekolah dulu, aku sudah telat banyak nih." Mendengar itu, bibir Ratna mengulas senyuman manis. Ia lalu menggandeng tangan suaminya itu keluar, "Kamu yang semangat ngajarnya, " katanya sambil merapikan seragam sang suami. "Iya, Sayang. Aku pergi dulu, " ucap Heru sambil membubuhkan sebuah kecupan di ubun Ratna, kemudian masuk ke dalam mobil dan melaju pergi. "Yess! Sebentar lagi aku akan menjadi istri sah Mas Heru, " kata Ratna, girang. *** Dokter Rendra menghentikan langkah kakinya di depan ruangan Azizah, matanya terpaku pada sosok Azizah yang tengah bersiap untuk beribadah. Senyum tipis terukir di bibir Rendra, Ia mengalihkan pandangannya, melanjutkan langkah kembali ke ruangannya untuk beristirahat sejenak. Punggungnya bersandar pada kursi kerjanya yang empuk, matanya menerawang ke arah langit-langit. Sementara itu, bibirnya tak bisa menyembunyikan senyum kagum yang muncul tiada henti. Diam-diam, perasaannya mulai tumbuh mengagumi Azizah. Bukan hanya karena paras cantik yang mempesona, tapi juga kehangatan hatinya, kesabaran menghadapi sakit dan cemoohan yang diterimanya dari pasien lain, serta ketaatannya dalam beribadah. Bahkan hingga hari ketiga berada di rumah sakit, Azizah tidak pernah melewatkan waktu ibadahnya. "Dia benar-benar wanita yang berbeda," gumam dokter Rendra dalam hati, semakin terpikat dengan sosok Azizah yang luar biasa. "Beeep!" bunyi pesan masuk dari ponselnya menyadarkannya dari lamunan. "Bang Rendra," sapa Indri dalam pesan singkatnya sambil mengirimkan foto Azizah yang tampak sehat. "Dia udah gak sakit kepala lagi, udah gak sesak napas juga. Cepat kasih izin buat Azizah pulang hari ini!" Rendra refleks menjawab pesan itu, "Belum," dengan tangan yang sedikit bergetar. "Dia masih belum sepenuhnya pulih. Besok saja." Tak lama kemudian, pesan balasan dari Indri menghampiri ponselnya. Dalam pesan tersebut, Indri tersenyum geli dan menulis, "Jangan bohong, Bang. Sebenarnya, Azizah udah boleh pulang, kan? Hanya saja, Abang gak rela jauh dari dia. Hayoo, ngaku!" Lalu ia mengirimkan emoticon mata yang mengedip. Rendra menggigit bibir, perasaan tidak karuan memenuhi pikirannya saat membalas pesan adiknya. "Apa yang kamu bicarakan? Jangan asal ngomong!" Menanti balasan dari Indri, Rendra hanya bisa menghembuskan napas kasar. Namun, tak terduga pintu ruangannya tiba-tiba dibuka dengan kasar oleh Indri yang wajahnya menunjukkan senyuman nakal. "Indri?" gumam Rendra, terkejut. "Iya, ini aku. Apa abang berharap aku ini Azizah?" goda Indri dengan nada menggoda. Pipi merah Rendra membuat Indri semakin bersemangat untuk menggoda abangnya. "Oh tidak, aku bisa merasakan detak jantung abangku yang berdebar kencang itu," candanya sambil melangkah mendekati Rendra yang tampak sibuk dengan laptopnya. "Keluar sana, abang sedang sibuk!" tukas Rendra mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman. Indri semakin mendekat dan menemukan fakta lucu. "Saking groginya, sampe-sampe laptop aja belum dinyalain, ya?" ejeknya yang membuatnya tertawa. Rendra tak bisa menyembunyikan kesal, "Pergi kamu dari ruangan abang, sekarang!" ***Tapi bukannya keluar, Indri malah semakin bersemangat menggoda abangnya itu."Ciye ngamuk, kalau marah-marah gitu tandanya beneran. Abang beneran suka sama Azizah, hayo ngaku," kata Indri sembari mengedipkan matanya."Gak! Abang nggak akan mungkin suka sama seorang Narapidana! " tegas Rendra, meski ia seperti menusuk hatinya sendiri saat mengatakan itu."Oh, ya? Kalau gitu kenapa masih belum ngizinin Azizah keluar?""Em soal itu, dia ... ""Azizah sudah sembuh, dan dia sendiri yang memintaku untuk menyampaikan hal itu pada abang," ucap Indri.Rendra terdiam, napasnya tersengal-sengal akibat olokan adiknya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun mengangguk lesu. "Baiklah, dia sudah boleh pulang hari ini," kata Rendra, pasrah. Indri tersenyum puas. "Nah gitu dong, aku tinggal ngurus surat-suratnya," ucapnya sambil berlalu untuk mengurus dokumen kepulangan Azizah. Menghela napas panjang, Rendra mengusap wajahnya dengan kasar. Ada perasaan tidak rela yang muncul di hatinya dan ia sen
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
Melihat Heru yang hanya membeku, Azizah melangkah mendekat dan menaikkan nada bicaranya, "Dimana Nayla, Mas? Aku ingin bertemu dengannya!" Heru tersentak, lalu menyeringai kesal, "Kamu ini apa-apaan sih? Nayla tidak ada di sini, sebaiknya kamu segera pergi dari sini. Kita sudah bercerai, jangan ganggu aku lagi!" "Nggak, Mas. Aku nggak akan pergi sebelum bertemu dengan putriku," ucap Azizah tegas, matanya menunjukkan keberanian. "Nayla pasti ada di dalam, kan?" Ia ingin melangkah ke dalam rumah, namun Heru segera menghadangnya. "Nayla gak ada! Cepat pergi!" Heru membentak. Azizah tetap ngotot ingin bertemu dengan putri kecilnya yang sangat ia rindukan. Tangis di tenggorokannya tertahan saat ia berteriak, "Nayla! Ini Ibu, Nak. Ibu yakin kamu ada di dalam, keluar Nak. Ini Ibu," suaranya penuh kerinduan. Teriakan Azizah berhasil membuat Ratna keluar, wanita itu mendekat dengan kening berkerut dan wajah geram. "Apa-apaan ini?" tanyanya sambil menghunuskan tatapan tajam pada Azizah.
Kecemburuan yang dirasakan Mbak Dina semakin menjadi saja, terutama saat mereka tengah makan malam bersama. Suaminya, Rudi, semakin terang-terangan memperlihatkan perhatian berlebihan kepada Azizah."Kamu mau apa, Azizah? Biar Mas ambilkan," ucap Rudi dengan nada lembut, membuat jantung Mbak Dina berdegup kencang. "Apa kamu mau ikan goreng ini?" Azizah menggeleng cepat, seakan ingin menghindar dari kebaikan Rudi. "Tidak usah, Mas. Biar aku ambil sendiri saja," tolak Azizah. Namun, Rudi tetap bersikeras dan mengambilkan seekor ikan goreng dan meletakkannya di dalam piring Azizah."Nih, kamu makan yang banyak, ya," ucapnya dengan pandangan lembut yang semakin membuat emosi Mbak Dina terpancing. Mbak Dina tampak mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba mengendalikan rasa cemburunya. Terlebih Putranya, Nando, duduk di sampingnya dan ia tidak ingin membuat keributan di depan putranya yang masih kecil itu.Azizah pun merasa sangat canggung dan segera berinisiatif untuk mengakhiri sit
"Haduh, kalau aku cerita sama abang, takutnya abang gak akan percaya," keluh Indri. "Abang kan gitu, selalu saja menyebut Azizah itu orang jahat hanya karena statusnya yang narapidana." Rendra melirik adiknya, lalu mengambil kursi rias milik Indri dan membawanya ke samping adiknya agar mereka bisa duduk berhadapan. "Abang mohon, cerita sama abang. Memangnya apa yang dikatakan Sri padamu?" desak Rendra, wajahnya terlihat penasaran. "Nah, begini, Bang. Di hari kebebasan Azizah kemarin, semua tahanan satu sel Azizah nampak sedih. Terutama Sri, hingga saat jam makan siang, dia gak mau ikut makan." Indri mengecup bibirnya, mengingat keadaan tersebut. "Sri berdiam diri di dalam sel. Pas aku tanyain, dia pun menceritakan semuanya." Indri menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Azizah masuk penjara hanya demi melindungi suaminya, Bang. Azizah bukanlah penipu, tapi suaminya lah yang penipu. Azizah rela mengakui perbuatan yang dilakukan suaminya itu hanya karena ingin putrinya, Nay
Wiwin, rekan kerja Azizah mencoba mengingatkan Azizah. “ Jangan ngelamun, Zah. Kalau si Ina ngelihat kamu ngelamun, bisa panjang urusannya. Ayo cepat bekerja, ini hari pertama kamu. Si Ina itu suka mecat orang, kalau ada yang dia gak suka. Dia gak segan main pecat.”“Benarkah?” kata Azizah.“Iya, Azizah. Makanya kamu harus kerja yang rajin.”Azizah mengangguk. "Em, iya, " sahut Azizah. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, hingga jam makan siang pun datang. "Ayo Azizah, kita makan siang dulu, " ajak Wiwin. "Kamu duluan saja, Win. Aku ingin sholat dzuhur, " ujar Azizah. "Hm, ya sudah, " kata Wiwin. " Aku makan siang dulu, ya. "Azizah mengangguk, ia segera melangkah keluar, menghampiri motornya yang ada di parkiran. Ingin mengambil mukenah yang ia bawa dari rumah dan letakkan di dalam bagasi motor. Namun, ia malah tertegun menatap sebuah toko pakaian yang menjajakan berbagai macam pakaian anak-anak di seberang jalan, bibirnya mengulas senyuman tipis mendapati sebuah gaun cantik yang
"Maafkan aku, Mbak. Aku udah buat Mbak kecewa, tapi tadi ..." suara Azizah tercekat saat menceritakan bagaimana dia dipecat oleh manajer laundry karena membongkar tentang cincin emas pelanggan yang diambil sang manajer.Mbak Dina menghela napas dalam-dalam sambil melemparkan senyum penuh pengertian pada Azizah. "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Azizah. Mbak doakan semoga nanti, kamu bisa menemukan pekerjaan yang lebih layak ya.""Aamiin, Mbak."Keesokan paginya, dapur menjadi saksi betapa sibuknya Azizah membantu Mbak Dina. Sambil mencuci sayuran, tangannya serasa bertenaga, membasuh permukaan hijau tersebut.Sedangkan Mbak Dina sibuk mengiris bawang. "Jadi, nanti kamu ingin ke pasar dan membeli baju untuk Nayla?" tanya Mbak Dina.Azizah mengangguk antusias. "Iya, Mbak. Kemarin aku sempat melihat gaun yang cantik sekali. Aku ingin menggunakan uang hasil jerih payahku di penjara untuk membelikan pakaian Nayla. Apalagi minggu depan dia ulang tahun yang ke dua tahun, aku ingin member