Indri menghempaskan dirinya di kursi dengan wajah kesal setelah tiba di rumah, seakan memendam kemarahan yang tak terucapkan.
Rendra hanya tersenyum getir sambil mengikuti langkah adiknya masuk ke rumah. Di tangan kanannya, tergenggam tas hitam yang dibawanya. "Assalamualaikum," sapanya ringan, terasa menenangkan di tengah kebekuan suasana. Seorang wanita berjilbab dan berwajah teduh tengah duduk di sofa ruang tengah tak jauh dari Indri. "Waalaikumsalam," sahut wanita itu dengan suara lembut nan menyejukkan, senyumannya terukir di bibir seakan membawa ketenangan. Tangannya terulur pada Rendra. "Kamu sudah pulang, Nak?" Rendra mengangguk sambil menjabat uluran tangan itu, mencium punggung telapak tangan wanita yang tak lain adalah ibunya dengan lembut lalu duduk di sampingnya. "Itu, adik kamu kenapa bete gitu wajahnya?" tanya ibunya penasaran, matanya melirik-lirik ke arah Indri. "Ngambek dia, Ma," jawab Rendra sambil menghela napas berat. "Ngambek kenapa? Jarang-jarang loh, adikmu itu ngambek. Kalau bukan karena kamu udah ngelakuin sesuatu yang udah bikin dia bete, hayo coba jujur sama Mama. Apa yang sudah kamu lakukan?" ucap ibunya lembut tapi tegas, menatap Rendra seolah bisa menyelami isi hatinya. "Bang Rendra itu gak punya hati, " celetuk Indri. " Pokoknya Indri gak mau ngomong sama bang Rendra lagi, " katanya yang segera bangkit dari tempat duduknya kemudian melangkah pergi dengan gusar. Melihat itu, Hana, ibunda Rendra menatap putranya itu dengan tatapan lembut. " Hayo, kamu masih belum mau jujur sama Mama. Apa yang anak Mama ini lakukan? " ucapnya sambil mencubit gemas hidung Rendra. " Hingga adik kamu sekesal itu." Rendra tersenyum geli, "Rendra juga gak ngerti, Ma. Dia marah hanya karena tadi aku ... " Rendra pun menceritakan apa yang ia katakan pada adiknya itu saat berada di dalam mobil. "Rendra gak salah kan, Ma? Habisnya, gak biasanya dia itu seperhatian itu sama seorang Narapidana, " lanjut Rendra. Bu Hana menggeleng, " Kamu tetap saja gak boleh begitu, Rendra. Pantesan saja adikmu itu marah, apalagi selama ini. Adikmu itu juga sering cerita ke Mama, kalau wanita yang bernama Azizah itu memang baik. Dia ramah, bahkan selama berada di dalam rutan adik kamu sering kali melihat Azizah mengajari teman-temannya mengaji." "Meski Mama belum bertemu dengan Azizah, tapi Mama ngerasa kalau dia memang wanita yang baik, " lanjut Bu Hana. Rendra tergelak sambil menggeleng, " Bahkan sekarang Mama pun ikut-ikutan membela seorang Narapidana. Aku yakin sekali, Ma, dia tidak sebaik itu." Rendra menghela napas dalam-dalam, lalu bangkit dari tempat duduknya. " Rendra ke kamar dulu, Ma. Rendra mau istirahat, " katanya. Setelah mendapatkan anggukan kepala dari ibunya itu, Rendra pun segera melangkahkan kakinya menuju kamar. *** Indri masih saja menampakkan wajah betenya pagi ini. Rendra mencoba menawarinya tumpangan agar bersama-sama pergi dengan mobilnya. "Ayo lah, abang juga mau ke rumah sakit. Ayo bareng," ajak Rendra, mengawasi ekspresi adiknya yang tidak berubah. "Gak mau," tolak Indri dengan suara dingin, matanya menatap lurus ke depan. "Aku udah pesan taksi online, lagian aku itu gak ke rumah sakit. Tapi mau ke rutan, karena hari ini bukan aku yang mendampingi Azizah di rumah sakit. Tapi temanku, udah dulu, ya." Indri melangkah keluar, berdiri tegak di luar pagar rumahnya sambil menunggu taksi yang dipesannya. Rendra, tak menyerah, menghampiri Indri dengan mengendarai mobilnya. Dengan nada memelas, ia mencoba membujuk, "Adikku yang cantik, adikku yang manis, ayo bareng abang." "Indri udah pesan taksi online, bang," jawab Indri datar. Namun senyum di bibirnya merekah saat taksi yang ia pesan mendekat, "Itu taksi-nya datang. Dadah." Dengan cepat, ia masuk ke dalam taksi dan melaju pergi. Melihat kepergian Indri, Rendra hanya bisa menggeleng, "Dia benar-benar keras kepala," gumamnya sambil menatap arah taksi yang semakin menjauh. Rendra menekan pedal gas mobilnya perlahan menuju rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, ia pun langsung melakukan tugasnya. Sebagai dokter umum, ia harus memeriksa pasien dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Hingga tibalah ia di ruangan Azizah, keningnya mengerut saat mendapati Azizah tengah bersama dengan seorang wanita. 'Siapa wanita yang bersamanya? Dan mengapa Azizah terlihat menangis?', gumam Dokter Rendra dalam hati. Namun, ia mencoba fokus pada pekerjaannya, memeriksa pasien di sebelah Azizah . "Wah, Ibu sudah bisa pulang, keadaan Ibu sudah membaik," ucap Rendra dengan nada ramah. "Alhamdulillah, Dok. Saya sudah tidak betah di sini, apalagi satu ruangan dengan seorang narapidana," ucap wanita itu dengan nada agak keras. Mbak Dina, wanita yang sedari tadi mendampingi Azizah, langsung berkata dengan nada kesal, "Apa maksud Anda berkata demikian?" Azizah menghela napas panjang lalu berbicara dengan lembut pada kakak sepupunya itu, "Sudah, Mbak. Jangan diladenin. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Wajah Azizah berusaha tersenyum seolah menghibur dirinya sendiri. "Ya, Azizah. Kamu itu terlalu baik, gak pernah ngatain orang. Jelek-jelekin orang, tapi kenapa orang suka sekali ngatain kamu?" seru Mbak Dina dengan nada sedikit meninggi. Mendengar perkataan tersebut, Azizah tersenyum lembut sambil memandang langit-langit, "Azizah udah gak peduli lagi dengan penilaian manusia, Mbak. Yang tahu baik buruknya kita bukan manusia, tapi Tuhan. Tuhan tahu segalanya." Dokter Rendra yang mendengar percakapan itu merasa ada rasa aneh yang tiba-tiba merasuki hatinya. Kata-kata Azizah begitu tenang dan lembut, tidak ada rasa dendam meski ia sudah dihina orang lain. *** Di waktu yang bersamaan ... Pertengkaran hebat terjadi antara Ratna dan Heru. Ketika Heru mengusulkan untuk membawa Nayla bertemu dengan Azizah, wajah Ratna bersemu merah. Emosinya mendidih dan tangan Ratna mengepal keras. Ratna bahkan memukul meja dengan keras, "Kamu sudah janji denganku, Mas! Kalau kamu gak akan menemui wanita itu lagi!" amuknya dengan pandangan tajam. "Dia sedang sakit, Ratna. Dan dia ingin bertemu dengan putri kami." "Aku nggak mau tahu, Mas! Jika kamu menemui wanita itu, lebih baik kamu angkat kaki dari rumah ini!" "Apa kamu mengusirku?" "Ya, aku tidak akan segan melakukan itu," sahut Ratna dengan tatapan tajam. Heru meneguk ludah, " Baiklah. Aku nggak akan menemuinya." "Bagus," kata Ratna dengan bibir yang mengulas senyum sinis. "Kalau perlu, segera ceraikan wanita itu! ""Gak! Aku nggak mungkin bisa menceraikan Azizah, " ucap Heru sambil menggelengkan kepalanya. "Kenapa tidak bisa? " tanya Ratna dengan mata yang melotot. Azizah sudah mengorbankan dirinya hanya untuk menyelamatkan Heru dari jeratan hukum, jika saja bukan karena Azizah, Heru sudah lama mendekam di penjara. Melihat suaminya yang hanya diam, Ratna mendengus kesal, " Kenapa tidak bisa? " ulangnya sambil menggebrak meja, mukanya merah padam karena marah. Heru tersentak, mengusap keringat dingin yang mulai membasahi dahinya. Ia tidak mungkin menjelaskan apa yang sudah Azizah lakukan untuk dirinya, pada istri barunya itu. "Aku ... aku, " ucapan Heru terputus, lidahnya mendadak kelu. Hal itu membuat Ratna semakin murka, " Jangan bilang kalau kamu masih mencintai istrimu itu, Mas?""Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja ... ""Hanya saja apa? " potong Ratna, " Jangan banyak alasan, Mas! Akui saja kalau kamu masih sangat mencintai istri pertamamu itu, makanya kamu tidak mau menceraikan dia.
Tapi bukannya keluar, Indri malah semakin bersemangat menggoda abangnya itu."Ciye ngamuk, kalau marah-marah gitu tandanya beneran. Abang beneran suka sama Azizah, hayo ngaku," kata Indri sembari mengedipkan matanya."Gak! Abang nggak akan mungkin suka sama seorang Narapidana! " tegas Rendra, meski ia seperti menusuk hatinya sendiri saat mengatakan itu."Oh, ya? Kalau gitu kenapa masih belum ngizinin Azizah keluar?""Em soal itu, dia ... ""Azizah sudah sembuh, dan dia sendiri yang memintaku untuk menyampaikan hal itu pada abang," ucap Indri.Rendra terdiam, napasnya tersengal-sengal akibat olokan adiknya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun mengangguk lesu. "Baiklah, dia sudah boleh pulang hari ini," kata Rendra, pasrah. Indri tersenyum puas. "Nah gitu dong, aku tinggal ngurus surat-suratnya," ucapnya sambil berlalu untuk mengurus dokumen kepulangan Azizah. Menghela napas panjang, Rendra mengusap wajahnya dengan kasar. Ada perasaan tidak rela yang muncul di hatinya dan ia sen
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
Melihat Heru yang hanya membeku, Azizah melangkah mendekat dan menaikkan nada bicaranya, "Dimana Nayla, Mas? Aku ingin bertemu dengannya!" Heru tersentak, lalu menyeringai kesal, "Kamu ini apa-apaan sih? Nayla tidak ada di sini, sebaiknya kamu segera pergi dari sini. Kita sudah bercerai, jangan ganggu aku lagi!" "Nggak, Mas. Aku nggak akan pergi sebelum bertemu dengan putriku," ucap Azizah tegas, matanya menunjukkan keberanian. "Nayla pasti ada di dalam, kan?" Ia ingin melangkah ke dalam rumah, namun Heru segera menghadangnya. "Nayla gak ada! Cepat pergi!" Heru membentak. Azizah tetap ngotot ingin bertemu dengan putri kecilnya yang sangat ia rindukan. Tangis di tenggorokannya tertahan saat ia berteriak, "Nayla! Ini Ibu, Nak. Ibu yakin kamu ada di dalam, keluar Nak. Ini Ibu," suaranya penuh kerinduan. Teriakan Azizah berhasil membuat Ratna keluar, wanita itu mendekat dengan kening berkerut dan wajah geram. "Apa-apaan ini?" tanyanya sambil menghunuskan tatapan tajam pada Azizah.
Kecemburuan yang dirasakan Mbak Dina semakin menjadi saja, terutama saat mereka tengah makan malam bersama. Suaminya, Rudi, semakin terang-terangan memperlihatkan perhatian berlebihan kepada Azizah."Kamu mau apa, Azizah? Biar Mas ambilkan," ucap Rudi dengan nada lembut, membuat jantung Mbak Dina berdegup kencang. "Apa kamu mau ikan goreng ini?" Azizah menggeleng cepat, seakan ingin menghindar dari kebaikan Rudi. "Tidak usah, Mas. Biar aku ambil sendiri saja," tolak Azizah. Namun, Rudi tetap bersikeras dan mengambilkan seekor ikan goreng dan meletakkannya di dalam piring Azizah."Nih, kamu makan yang banyak, ya," ucapnya dengan pandangan lembut yang semakin membuat emosi Mbak Dina terpancing. Mbak Dina tampak mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba mengendalikan rasa cemburunya. Terlebih Putranya, Nando, duduk di sampingnya dan ia tidak ingin membuat keributan di depan putranya yang masih kecil itu.Azizah pun merasa sangat canggung dan segera berinisiatif untuk mengakhiri sit
"Haduh, kalau aku cerita sama abang, takutnya abang gak akan percaya," keluh Indri. "Abang kan gitu, selalu saja menyebut Azizah itu orang jahat hanya karena statusnya yang narapidana." Rendra melirik adiknya, lalu mengambil kursi rias milik Indri dan membawanya ke samping adiknya agar mereka bisa duduk berhadapan. "Abang mohon, cerita sama abang. Memangnya apa yang dikatakan Sri padamu?" desak Rendra, wajahnya terlihat penasaran. "Nah, begini, Bang. Di hari kebebasan Azizah kemarin, semua tahanan satu sel Azizah nampak sedih. Terutama Sri, hingga saat jam makan siang, dia gak mau ikut makan." Indri mengecup bibirnya, mengingat keadaan tersebut. "Sri berdiam diri di dalam sel. Pas aku tanyain, dia pun menceritakan semuanya." Indri menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Azizah masuk penjara hanya demi melindungi suaminya, Bang. Azizah bukanlah penipu, tapi suaminya lah yang penipu. Azizah rela mengakui perbuatan yang dilakukan suaminya itu hanya karena ingin putrinya, Nay
Wiwin, rekan kerja Azizah mencoba mengingatkan Azizah. “ Jangan ngelamun, Zah. Kalau si Ina ngelihat kamu ngelamun, bisa panjang urusannya. Ayo cepat bekerja, ini hari pertama kamu. Si Ina itu suka mecat orang, kalau ada yang dia gak suka. Dia gak segan main pecat.”“Benarkah?” kata Azizah.“Iya, Azizah. Makanya kamu harus kerja yang rajin.”Azizah mengangguk. "Em, iya, " sahut Azizah. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, hingga jam makan siang pun datang. "Ayo Azizah, kita makan siang dulu, " ajak Wiwin. "Kamu duluan saja, Win. Aku ingin sholat dzuhur, " ujar Azizah. "Hm, ya sudah, " kata Wiwin. " Aku makan siang dulu, ya. "Azizah mengangguk, ia segera melangkah keluar, menghampiri motornya yang ada di parkiran. Ingin mengambil mukenah yang ia bawa dari rumah dan letakkan di dalam bagasi motor. Namun, ia malah tertegun menatap sebuah toko pakaian yang menjajakan berbagai macam pakaian anak-anak di seberang jalan, bibirnya mengulas senyuman tipis mendapati sebuah gaun cantik yang