Melihat Heru yang hanya membeku, Azizah melangkah mendekat dan menaikkan nada bicaranya, "Dimana Nayla, Mas? Aku ingin bertemu dengannya!" Heru tersentak, lalu menyeringai kesal, "Kamu ini apa-apaan sih? Nayla tidak ada di sini, sebaiknya kamu segera pergi dari sini. Kita sudah bercerai, jangan ganggu aku lagi!" "Nggak, Mas. Aku nggak akan pergi sebelum bertemu dengan putriku," ucap Azizah tegas, matanya menunjukkan keberanian. "Nayla pasti ada di dalam, kan?" Ia ingin melangkah ke dalam rumah, namun Heru segera menghadangnya. "Nayla gak ada! Cepat pergi!" Heru membentak. Azizah tetap ngotot ingin bertemu dengan putri kecilnya yang sangat ia rindukan. Tangis di tenggorokannya tertahan saat ia berteriak, "Nayla! Ini Ibu, Nak. Ibu yakin kamu ada di dalam, keluar Nak. Ini Ibu," suaranya penuh kerinduan. Teriakan Azizah berhasil membuat Ratna keluar, wanita itu mendekat dengan kening berkerut dan wajah geram. "Apa-apaan ini?" tanyanya sambil menghunuskan tatapan tajam pada Azizah.
Kecemburuan yang dirasakan Mbak Dina semakin menjadi saja, terutama saat mereka tengah makan malam bersama. Suaminya, Rudi, semakin terang-terangan memperlihatkan perhatian berlebihan kepada Azizah."Kamu mau apa, Azizah? Biar Mas ambilkan," ucap Rudi dengan nada lembut, membuat jantung Mbak Dina berdegup kencang. "Apa kamu mau ikan goreng ini?" Azizah menggeleng cepat, seakan ingin menghindar dari kebaikan Rudi. "Tidak usah, Mas. Biar aku ambil sendiri saja," tolak Azizah. Namun, Rudi tetap bersikeras dan mengambilkan seekor ikan goreng dan meletakkannya di dalam piring Azizah."Nih, kamu makan yang banyak, ya," ucapnya dengan pandangan lembut yang semakin membuat emosi Mbak Dina terpancing. Mbak Dina tampak mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba mengendalikan rasa cemburunya. Terlebih Putranya, Nando, duduk di sampingnya dan ia tidak ingin membuat keributan di depan putranya yang masih kecil itu.Azizah pun merasa sangat canggung dan segera berinisiatif untuk mengakhiri sit
"Haduh, kalau aku cerita sama abang, takutnya abang gak akan percaya," keluh Indri. "Abang kan gitu, selalu saja menyebut Azizah itu orang jahat hanya karena statusnya yang narapidana." Rendra melirik adiknya, lalu mengambil kursi rias milik Indri dan membawanya ke samping adiknya agar mereka bisa duduk berhadapan. "Abang mohon, cerita sama abang. Memangnya apa yang dikatakan Sri padamu?" desak Rendra, wajahnya terlihat penasaran. "Nah, begini, Bang. Di hari kebebasan Azizah kemarin, semua tahanan satu sel Azizah nampak sedih. Terutama Sri, hingga saat jam makan siang, dia gak mau ikut makan." Indri mengecup bibirnya, mengingat keadaan tersebut. "Sri berdiam diri di dalam sel. Pas aku tanyain, dia pun menceritakan semuanya." Indri menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Azizah masuk penjara hanya demi melindungi suaminya, Bang. Azizah bukanlah penipu, tapi suaminya lah yang penipu. Azizah rela mengakui perbuatan yang dilakukan suaminya itu hanya karena ingin putrinya, Nay
Wiwin, rekan kerja Azizah mencoba mengingatkan Azizah. “ Jangan ngelamun, Zah. Kalau si Ina ngelihat kamu ngelamun, bisa panjang urusannya. Ayo cepat bekerja, ini hari pertama kamu. Si Ina itu suka mecat orang, kalau ada yang dia gak suka. Dia gak segan main pecat.”“Benarkah?” kata Azizah.“Iya, Azizah. Makanya kamu harus kerja yang rajin.”Azizah mengangguk. "Em, iya, " sahut Azizah. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, hingga jam makan siang pun datang. "Ayo Azizah, kita makan siang dulu, " ajak Wiwin. "Kamu duluan saja, Win. Aku ingin sholat dzuhur, " ujar Azizah. "Hm, ya sudah, " kata Wiwin. " Aku makan siang dulu, ya. "Azizah mengangguk, ia segera melangkah keluar, menghampiri motornya yang ada di parkiran. Ingin mengambil mukenah yang ia bawa dari rumah dan letakkan di dalam bagasi motor. Namun, ia malah tertegun menatap sebuah toko pakaian yang menjajakan berbagai macam pakaian anak-anak di seberang jalan, bibirnya mengulas senyuman tipis mendapati sebuah gaun cantik yang
"Maafkan aku, Mbak. Aku udah buat Mbak kecewa, tapi tadi ..." suara Azizah tercekat saat menceritakan bagaimana dia dipecat oleh manajer laundry karena membongkar tentang cincin emas pelanggan yang diambil sang manajer.Mbak Dina menghela napas dalam-dalam sambil melemparkan senyum penuh pengertian pada Azizah. "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Azizah. Mbak doakan semoga nanti, kamu bisa menemukan pekerjaan yang lebih layak ya.""Aamiin, Mbak."Keesokan paginya, dapur menjadi saksi betapa sibuknya Azizah membantu Mbak Dina. Sambil mencuci sayuran, tangannya serasa bertenaga, membasuh permukaan hijau tersebut.Sedangkan Mbak Dina sibuk mengiris bawang. "Jadi, nanti kamu ingin ke pasar dan membeli baju untuk Nayla?" tanya Mbak Dina.Azizah mengangguk antusias. "Iya, Mbak. Kemarin aku sempat melihat gaun yang cantik sekali. Aku ingin menggunakan uang hasil jerih payahku di penjara untuk membelikan pakaian Nayla. Apalagi minggu depan dia ulang tahun yang ke dua tahun, aku ingin member
Azizah terlihat menemani Nando bermain di ruang tengah, sebelum akhirnya Mbak Dina datang dan meminta tolong padanya untuk membelikan penyedap."Bawa payung Azizah, sepertinya mau hujan, " ucap Mbak Dina, melihat langit di luar sudah gelap. Azizah mengangguk, meraih payung dan segera melangkahkan kakinya menuju sebuah warung. "Yah tutup, " gumam Azizah, mendapati warung yang tidak terlalu jauh dari rumah kakak sepupunya itu tutup. Menarik napas dalam-dalam, Azizah lalu menatap ke ujung jalan. Mau tidak mau, ia harus berbelanja di warung Sekar, warung terbesar yang ada di kampungnya itu. Di tengah perjalanan, mata Azizah terpaku pada seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan dua temannya di halaman rumah. Gadis itu mengenakan gaun cantik yang mengingatkannya pada gaun milik Nayla. Perasaan gusar dan kebingungan menerpa Azizah, membuat langkahnya menghampiri gadis kecil tersebut. "Apa ini gaun milik Nayla?" desis Azizah penuh emosi, menahan gadis kecil itu dengan pegangan ku
Azizah mengepalkan tangannya ketat, matanya memerah akibat air mata yang tak bisa dibendung lagi."Semua yang Mas Rudi katakan itu fitnah, Mbak," ujarnya dengan suara serak. "Aku sama sekali gak ngerayu dia, dia sendiri yang tiba-tiba saja datang dan masuk ke dalam kamarku."Azizah menarik napas sejenak, menahan rasa terluka. "Dia ingin menodaiku, Mbak. Aku berteriak memanggilmu ...""Bohong!" pekik Rudi sambil mengacungkan jari telunjuknya pada wajah Azizah. "Kamu jangan memfitnahku seperti ini, Azizah.""Kamu sendiri yang datang menemuiku, karena kamu kesepian. Kamu memintaku untuk menemanimu, kamu memintaku untuk tidur denganmu, Azizah!" teriak Rudi dengan penuh emosi.Azizah melangkah mendekati Mbak Dina, kakak sepupunya itu, dan meraih tangannya dengan lembut."Demi Allah, Mbak. Aku mengatakan yang sebenarnya. Mas Rudi ingin melecehkan aku, Mbak. Mas Rudi ingin menodai aku!" teriaknya, mencoba mengungkapkan kebenaran. "Mbak harus percaya padaku, aku gak akan pernah ngekhianatin M
"Astagfirullah," desah seorang pria, wajahnya nampak pucat, ketakutan.Matanya membelalak seiring dengan kakinya yang menekan rem kuat-kuat. Ia menghela napas lega saat mobilnya berhenti hanya sejengkal dari Azizah yang terdiam dengan mata terpejam di tengah jalan."Apa yang sedang dilakukan wanita ini?" gumamnya heran, menatap Azizah dengan alis berkerut.Pria itu mengintip lebih dekat, matanya terbelalak saat menyadari sosok yang hampir saja ia tabrak adalah Azizah."Azizah?" lirihnya terkejut. Dengan cepat, ia turun dari mobil sambil membawa payung, dan segera memayungi tubuh Azizah."Apa yang sedang kamu lakukan di tengah jalan seperti ini, Azizah?" teriaknya, tak mampu menutupi kekhawatirannya, karena hujan masih turun dengan deras.Azizah membuka matanya perlahan, tatapannya beralih dari payung di atasnya ke wajah pria yang mengenakan seragam dokter."Anda?" tanyanya lembut."Aku dokter Rendra, aku yang merawatmu selama kau berada di rumah sakit. Ayo cepat masuk ke mobil," ujar