"Apa yang terjadi denganmu, Azizah? "
Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Azizah bergegas menyeka air matanya, memaksakan bibirnya untuk tetap tersenyum dan menyapa teman dekatnya dengan lembut. "Sri, kamu kok bangun? " suara Azizah bergetar hebat, namun ia mencoba untuk tetap kuat, menyembunyikan semua rasa sakit yang menusuk hatinya dari teman terbaiknya itu. Sri menarik napas dalam-dalam, lalu bangkit dan duduk di sisi Azizah, " Aku mendengar semuanya, Azizah. Aku terbangun sejak tadi dan mendengarmu yang terus saja menangis." "Bukankah kita sudah menjadi teman baik? Lalu, kenapa kamu sembunyikan kesedihanmu ini pada temanmu ini? " tanya Sri dengan suara pelan, agar tidak membangunkan rekannya yang lain. Azizah menggeleng, " Kamu salah dengar, aku baik-baik saja, Sri. Aku ... aku hanya merindukan putriku. Pasti saat ini dia udah bisa jalan, pasti dia udah bisa makan sendiri. " Bibirnya bergetar dan air matanya pun kembali mengalir. "Aku sangat merindukan Nayla, aku merindukannya," ujar Azizah, kembali ia menangis terisak sambil memeluk lututnya. Sri menghela napas berat, ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan teman dekatnya itu. Terlebih sudah enam bulan, suami Azizah tidak pernah datang membawa Nayla yang dulu sering datang ke rutan menemui Azizah. "Katakan padaku, apa yang sudah suamimu lakukan? Kenapa kamu mengatainya pria yang jahat? Jika kamu menganggap aku ini teman dekatmu, kamu bisa berbagi sedikit saja kesedihan yang kamu rasakan padaku. Selama ini aku sudah berbagi semua kisahku padamu, Azizah. Sekarang, bagi sedikit saja kisahmu padaku, " pinta Sri, matanya berkaca-kaca. "Sri, suamiku ... suamiku ... " suara Azizah terputus-putus, tak kuasa rasanya ia melanjutkan ucapan yang seolah akan menusuk hatinya lebih dalam. "Ya, ada apa dengan suamimu? " "Mas Heru, tadi siang. Mbak Dina datang, dia memberitahukan padaku jika Mas Heru. Mas Heru ... " diiringi dengan lelehan air mata yang mengalir semakin deras membasahi pipinya, Azizah pun menceritakan semuanya pada teman dekatnya itu. "Mas Heru menikah lagi, Sri. Dia menikah di saat aku masih berada di dalam penjara, dia tega mengkhianatiku! Padahal aku di dalam penjara ini demi melindungi dia, demi melindungi dia! " Sri menatap Azizah dengan mata yang membulat, " Apa maksudmu, Azizah? " Ya, selama ini Azizah tidak pernah menceritakan kalau ia berada di dalam penjara demi melindungi suaminya. Semua rekan-rekannya hanya tahu ia dipenjara karena kasus penipuan, dan selama ini Azizah juga selalu menceritakan hal baik tentang suaminya. Semua itu ia lakukan hanya demi menjaga aib dari pria yang begitu ia cintai. Tak pernah sedikitpun ia menceritakan keburukan dari suaminya itu. "Sebenarnya aku bukanlah wanita yang suka mengumbar aib orang lain, apalagi ini aib suamiku sendiri, " ucap Azizah di sela isak tangisnya. "Aku sama sekali gak bersalah, dan aku sama sekali gak melakukan penipuan yang dituduhkan padaku." "Jika kamu gak ngelakuin penipuan, kenapa kamu bisa berada di dalam sini, Azizah? Kenapa? " tanya Sri dengan tatapan heran. Azizah menarik napas dalam-dalam, ia mengedar pandangan ke sekitar. "Kamu tenang saja, Azizah. Mereka semua tidak akan bangun jika kita berbicara pelan, " ucap Sri. Ia lalu menunjuk ke jeruji besi, mengajak Azizah untuk mengobrol di sana Azizah mengangguk, mereka berdua melangkah dengan hati-hati di sela teman-teman mereka yang tengah tertidur pulas. Lalu keduanya duduk dibalik jeruji. "Sekarang kamu bisa cerita semuanya padaku, Azizah. Aku janji, aku gak akan cerita ke siapa-siapa, " ucap Sri. Azizah mengangguk, ia genggam tangan Sri dengan erat. " Aku percaya padamu, Sri. Kamu teman terbaikku." Sri terdiam, tangannya terkepal kuat, hatinya seperti teriris saat Azizah menceritakan semua yang menimpa dirinya selama ini. Semuanya Azizah ceritakan, tanpa ada yang ia tutupi lagi. "Kejam! Suamimu benar-benar pria yang kejam, " ucap Sri dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu sudah berkorban sejauh ini, kamu sudah berkorban sebesar ini hanya demi dia. Tapi semua itu tidak ada artinya di mata suamimu itu, " lanjut Sri. Air matanya pun terjatuh, ia tatap Azizah dengan lekat. Tangan Sri menggenggam tangan Azizah lebih erat, seolah ingin memberikan kekuatan tersendiri pada Azizah. "Kenapa, Azizah? Kenapa kamu berkorban sebesar ini hanya untuk pria yang bahkan tidak pantas kamu sebut sebagai seorang suami. Pria itu pantasnya kamu sebut sebagai seorang penjahat! " ucap Sri, menahan rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya. "Aku terpaksa, Sri. Aku melakukan semua ini, aku menggantikan dia, hanya demi putriku, Nayla. Mas Heru berjanji padaku, kalau dia akan merawat putri kami, dia akan membesarkan Nayla dengan baik. Tapi sudah enam bulan ini, Mas Heru dan putriku gak pernah datang ke sini. Ternyata ini alasannya, " ucap Azizah yang kembali menangis terisak. Sri menggigit bibirnya, ia saja bisa merasa sesakit ini setelah mendengar cerita dari Azizah. Lalu bagaimana dengan perasaan Azizah? Azizah pasti lebih sakit dari apa yang Sri rasakan. Sri mengusap punggung Azizah dengan lembut, " Kamu yang sabar, Azizah. Hukumanmu hanya tinggal beberapa bulan lagi, kamu akan segera bertemu dengan putrimu." Azizah mengangguk, " Ya. Aku sangat merindukan putriku, aku merindukan Nayla." *** Siang ini, setelah makan siang dan beristirahat sejenak. Azizah, Sri dan beberapa tahanan yang tidak mendapatkan kunjungan dari keluarga terlihat sibuk merajut. Sebuah kegiatan keterampilan yang mereka ikuti selama berada di dalam rutan, mereka juga sudah menghasilkan tas dan dompet hasil rajutan tangan mereka. Sri, berkali-kali menatap Azizah yang tampak lesu, tidak seperti biasanya. Terlebih wajah Azizah tampak pucat, apalagi saat makan siang Azizah makan sedikit. "Apa kamu baik-baik saja, Azizah? " tanya Sri. Azizah mengangguk, ia pun tersenyum tipis dan berkata dengan lembut. " Aku baik, jangan cemaskan aku, " katanya. Sri terus saja menatap Azizah, wajah Azizah pun terlihat semakin pucat. Hingga pada malam hari, Sri dan rekan-rekannya panik karena Azizah yang terus saja muntah dan keluar masuk toilet. "Apa yang kamu rasakan, Azizah? " tanya Sri, sambil memandang wajah Azizah yang pucat pasi. "Kepalaku sakit sekali, perutku juga sakit dan aku mual, " kata Azizah yang kembali berlari menuju toilet. Sri pun menunggu Azizah di depan pintu toilet, ia bisa mendengar suara Azizah yang terus saja muntah. "Azizah, apa kamu baik-baik saja? " "Sepertinya, asam lambungku naik, " sahut Azizah dari dalam sana. Kepalanya berdenyut hebat, keringat dingin mengalir deras dari wajahnya yang semakin pucat pasi. Dengan langkah gontai, Azizah membuka pintu toilet. "Sri aku ... " ucapan Azizah terputus bersamaan dengan tubuhnya yang ambruk, tak sadarkan diri. Beruntung Sri dengan sigap menopang tubuhnya, ia berteriak meminta bantuan rekannya yang segera datang dan membantunya memapah tubuh Azizah. "Cepat panggil petugas! " perintah Sri, lalu kembali menatap Azizah dengan tatapan iba. "Azizah, kamu harus kuat. Kamu harus kuat, " ucap Sri, dengan suara bergetar. ***Petugas bergegas masuk ke ruangan sel. Satu di antara mereka, seorang polwan, berjongkok di samping Azizah yang terkulai lemas dan berusaha menyadarkannya dengan mengipaskan minyak kayu putih di dekat hidungnya.Sri serta rekan-rekannya mengawasi dengan penuh harap, dan bersama-sama melepaskan napas lega saat Azizah perlahan membuka matanya.Namun, kondisi Azizah masih tampak mengkhawatirkan. Napasnya tersengal-sengal dan terlihat ia kesulitan untuk bernapas."Apa yang kamu rasakan, Azizah?" tanya Sri, wajahnya dipenuhi rasa prihatin."Dadaku ... dadaku sesak," sahut Azizah seraya mengusap dadanya, berusaha menarik napas sedalam-dalamnya.Sri menatap petugas polisi dengan pandangan memelas. "Azizah memiliki riwayat asam lambung. Tolong bawa dia ke rumah sakit. Tolong!" pintanya dengan nada memelas.Mengangguk mengerti, petugas saling bertukar pandang, lalu segera membawa Azizah keluar dari sel. Mereka bergegas menuju Rumah Sakit Bhayangkara dengan sebuah ambulans.Begitu tiba, Azizah
"Sudah enam bulan, Mbak. Sudah enam bulan aku tidak bertemu dengan putriku, aku sangat merindukan dia Mbak," ujar Azizah sambil menitikkan air mata yang terus saja meleleh. Mbak Dina merasakan rasa sesak yang mulai memenuhi dadanya, tangannya bergetar sebelum segera menyeka air mata di pipi Azizah. "Kamu jangan nangis, Azizah. Hati Mbak sakit tiap kali lihat kamu nangis kayak gini. Sebentar lagi kamu akan keluar dari penjara, kamu akan segera bertemu dengan putrimu. Yang penting sekarang, kamu harus sembuh dulu agar kamu bisa keluar dari rumah sakit ini." Azizah menghela napas dalam-dalam, kemudian menatap air infus yang menetes dengan perlahan. Hatinya berbisik, 'Kenapa kamu begitu jahat, Mas? Padahal aku berada di dalam penjara itu semua demi kamu. Kamu khianati aku dan sekarang kamu juga melarang Mbak Dina membawa anak kita kemari, kenapa?' Azizah menatap kosong, seraya membayangkan suaminya yang sudah tega mengkhianatinya.'Kamu bahkan tidak peduli lagi dengan keadaanku,' guma
Dokter Rendra tersenyum sinis, menggelengkan kepala pelan sambil bergumam, "Ada apa dengan adikku yang satu ini?"Ia melangkah cepat menyusul Indri, kakinya terhenti ketika melihat Indri berdiri tegak di depan pintu, telinganya mendekat ke celah pintu seolah sedang menguping."Kenapa kamu menguping di sini?" Pertanyaan mendadak Rendra sontak membuat Indri terperanjat."Sttt," Indri menempelkan telunjuknya di bibir, meminta Rendra untuk diam, dan mengisyaratkan agar ikut mendengar.Mereka berdua pun menguping, segera menangkap percakapan beberapa orang yang asyik membahas keburukan Azizah karena statusnya sebagai narapidana."Aduh, padahal cantik dan muda loh dia," seru salah seorang."Eh, siapa sangka sih jadi narapidana."Wajah Indri mulai memerah kesal, ia menoleh ke Rendra lalu berbisik dengan nada jengkel, "Mereka nggak bosan-bosannya ya ngomongin keburukan Azizah?"Tanpa menunggu jawaban Rendra, Indri membuka pintu ruangan dengan keras, membuat mereka yang tengah asyik membicarak
Indri menghempaskan dirinya di kursi dengan wajah kesal setelah tiba di rumah, seakan memendam kemarahan yang tak terucapkan.Rendra hanya tersenyum getir sambil mengikuti langkah adiknya masuk ke rumah. Di tangan kanannya, tergenggam tas hitam yang dibawanya."Assalamualaikum," sapanya ringan, terasa menenangkan di tengah kebekuan suasana.Seorang wanita berjilbab dan berwajah teduh tengah duduk di sofa ruang tengah tak jauh dari Indri."Waalaikumsalam," sahut wanita itu dengan suara lembut nan menyejukkan, senyumannya terukir di bibir seakan membawa ketenangan. Tangannya terulur pada Rendra. "Kamu sudah pulang, Nak?"Rendra mengangguk sambil menjabat uluran tangan itu, mencium punggung telapak tangan wanita yang tak lain adalah ibunya dengan lembut lalu duduk di sampingnya."Itu, adik kamu kenapa bete gitu wajahnya?" tanya ibunya penasaran, matanya melirik-lirik ke arah Indri."Ngambek dia, Ma," jawab Rendra sambil menghela napas berat."Ngambek kenapa? Jarang-jarang loh, adikmu itu
"Gak! Aku nggak mungkin bisa menceraikan Azizah, " ucap Heru sambil menggelengkan kepalanya. "Kenapa tidak bisa? " tanya Ratna dengan mata yang melotot. Azizah sudah mengorbankan dirinya hanya untuk menyelamatkan Heru dari jeratan hukum, jika saja bukan karena Azizah, Heru sudah lama mendekam di penjara. Melihat suaminya yang hanya diam, Ratna mendengus kesal, " Kenapa tidak bisa? " ulangnya sambil menggebrak meja, mukanya merah padam karena marah. Heru tersentak, mengusap keringat dingin yang mulai membasahi dahinya. Ia tidak mungkin menjelaskan apa yang sudah Azizah lakukan untuk dirinya, pada istri barunya itu. "Aku ... aku, " ucapan Heru terputus, lidahnya mendadak kelu. Hal itu membuat Ratna semakin murka, " Jangan bilang kalau kamu masih mencintai istrimu itu, Mas?""Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja ... ""Hanya saja apa? " potong Ratna, " Jangan banyak alasan, Mas! Akui saja kalau kamu masih sangat mencintai istri pertamamu itu, makanya kamu tidak mau menceraikan dia.
Tapi bukannya keluar, Indri malah semakin bersemangat menggoda abangnya itu."Ciye ngamuk, kalau marah-marah gitu tandanya beneran. Abang beneran suka sama Azizah, hayo ngaku," kata Indri sembari mengedipkan matanya."Gak! Abang nggak akan mungkin suka sama seorang Narapidana! " tegas Rendra, meski ia seperti menusuk hatinya sendiri saat mengatakan itu."Oh, ya? Kalau gitu kenapa masih belum ngizinin Azizah keluar?""Em soal itu, dia ... ""Azizah sudah sembuh, dan dia sendiri yang memintaku untuk menyampaikan hal itu pada abang," ucap Indri.Rendra terdiam, napasnya tersengal-sengal akibat olokan adiknya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun mengangguk lesu. "Baiklah, dia sudah boleh pulang hari ini," kata Rendra, pasrah. Indri tersenyum puas. "Nah gitu dong, aku tinggal ngurus surat-suratnya," ucapnya sambil berlalu untuk mengurus dokumen kepulangan Azizah. Menghela napas panjang, Rendra mengusap wajahnya dengan kasar. Ada perasaan tidak rela yang muncul di hatinya dan ia sen
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena
"Hak asuh Nayla jatuh ke tanganku," ulang Heru dengan nada dingin. "Dan aku minta, kamu jangan temui Nayla lagi." Azizah mendesak ke depan dengan mata berkaca-kaca, merasakan sakit hati yang mendalam. "Gak, Mas! Kamu nggak bisa melarang aku menemui Nayla, dia itu putriku. Aku yang sudah melahirkan dia, aku, Mas!" serunya sambil menepuk dadanya penuh emosi. "Aku yang mengandungnya selama 9 bulan, aku yang menyusui setiap malam, dan aku yang menahan rasa sakit, aku yang sudah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan dia. Kamu tidak punya hak untuk melarangku menemui putriku!" teriak Azizah dengan suara tercekat. Heru tersenyum sinis, memandang Azizah dengan tatapan menyakitkan. "Itu sudah kodratmu menjadi seorang ibu. Dan jangan lupa, sejak kamu berada di dalam penjara. Aku lah yang sudah mengurus Nayla, dan saat ini Nayla sudah hidup bahagia. Dia memiliki ibu sambung yang sangat mencintai dia, dia sudah melupakan kamu. Jadi, jangan pernah temui Nayla lagi!" Azizah ingin mena