Share

Resmi menjanda

Pukul tiga dini hari, Keira diantar Kemal ke pasar langganan yang sudah buka sejak tengah malam.

Berburu bahan masakan bukan hal susah bagi Keira. Ia hampiri kios-kios pedagang daging sapi, tawar menawar harga juga dilakukan.

"Kak, di sana sama ini beda lima ribu doang, ayo lah buruan!" keluh Kemal.

"Diem, deh, Mal! Buat pedangan kecil kayak gue, beda seribu juga gue kejar. Sabar!" geram Keira. Ia memilih buntut sapi, minta ke penjual supaya diberikan yang bagus. Bujuk rayu ala-ala ibu-ibu belanja dilakukan, bahkan kalimat memberikan angin segar jika ia pasti berlangganan kalau kualitas daging sapinya bagus dipercaya penjual.

"Berapa kilo, Kak?" bisik Kemal.

"Banyak." Keira buka tas slemlang kecil, meraih uang lalu membayar.

Lanjut ke kios sayuran. Ia butuh kentang, wortel, seledri, juga pelengkap lainnya.

"Kak, jangan ditawar lagi. Belum lo masak. Sop buntut kan lama prosesnya."

Kemal mengingatkan, benar juga. Keira tak bisa adu argumen beda harga seribu perak karena waktu mepet. Ia putuskan membeli tiga kilo kentang, dua kilo wortel dan seledri lima ribu, bisa buat stok jika sisa.

Bahan utama di dapat, kakak beradik itu segera ke parkiran motor. Angin dingin menjelang subuh tak menyurutkan semangat Keira, paling hanya Kemal yang harus menahan kantuk saat siang hari nanti.

Sampai di rumah Keira lepaskan tas selempang, ia lempar ke sofa ruang TV, lalu segera mengeluarkan panci presto besar. Ibu keluar dari kamar, ia akan membantu mengupas kulit kentang juga wortel.

"Mal! Tolong tatain wadah kotak bening di atas lantai, dong! Tapi lo alasin koran bekas dulu, ya! Ada di kamar gue koran bekasnya!" teriak Keira.

"Iyaaa!" Sahut Kemal dari kamar mandi. Keira mencuci buntut sapi dengan baskom besar, ia masukkan ke panci presto, tak lupa diberi garam, daun salam, daun jeruk, lada utuhan lantas menutup panci dengan rapat. Buntut sapi sudah dipastikan terendam air.

"Kei, airnya dibuang dulu, kan, nanti?" tukas ibu masih mengupas kentang.

"Iya, Bu. Air rebusan pertama kan kotor, berlemak banget. Kei mau kaldunya bening." Sambil menjelaskan, Keira memasak air kaldu pada panci besar lainnya. Punya ibu yang rajin membeli peralatan masak sejak dulu, bagi Keira seperti investasi jangka panjang. Jika panci presto memang dirinya yang beli sudah cukup lama, lagi ada diskon lima puluh persen kala itu karena baru launcing di pameran, ia beli tanpa berpikir lagi.

"Mbak! Udah semua, ya!" Kemal berdiri, Keira mengecek ke ruang TV.

"Oke, thank you, Mal." Keira kembali ke dapur. Sambil menunggu air mendidih, ia siapkan bumbu halus untuk kaldu lalu ditumis hingga harus.

Kemal mendekat seraya menguap menahan kantuk. "Mbak, lo bawanya gimana nanti?"

"Naik taksi."

"Boros. Nggak ada tebengan?"

"Nggak ada." Keira memblender bumbu halus, beralih ke bumbu iris.

"Yakin nggak boros?"

"Nggak, Mal. Duit untung bisa dipake buat ongkos, lagian buat berangkat doang. Pulang gue bisa naik MRT, lo jemput tapi di stasiun, ya," cengir Keira. Kemal menjawab dengan anggukan.

Ia duduk di atas lantai, membantu ibu mengupas wortel. Nantinya kentang dan wortel dikukus, supaya vitamin dan tektur tak kelembekan jika dimasak jadi satu dengan buntut sapinya.

"Mal, bersihin cabe rawit sama jeruk sambelnya, terus pake kompor portabel rebus cabe, buat sambel. Kalau jeruknya belah jadi dua tapi jangan putus. Kasihan kalau putus, sakit hati nanti." Keira memindahkan panci besar berisi air tadi, ia ganti dengan teflon untuk menumis bumbu.

"Lucu banget lo, Mbakkk, nyindir diri sendirinya hebat!" teriak Kemal. Keira diam, ia baru sadar dengan perkataannya tadi. Ah sudahlah, Keira fokus memasak lagi.

***

Hakim sudah memutuskan jika Bastian dan Keira resmi bercerai. Keira berdiri memberi hormat kepada ketua hakim dan jajarannya. Ia segera meraih tas yang diletakan di lantai. Tak mau menatap Bastian yang memanggil seraya mengulurkan tangan ke arahnya. 

"Tuh, kan, emang nggak sopan. Bagus Bude minta kalian--"

"Dasar perawan tua!" umpat Keira kesal. Ia berjalan keluar ruang sidang begitu saja setelah bicara seperti itu. Bude Ratih mengejar, ia menarik tangan Keira kasar, membawanya berjalan ke belakang gedung pengadilan. 

Satu tamparan mendarat diwajahnya. Keira diam, Bastian segera menarik mundur budenya. "Kurang ajar mulut kamu, ya, Kei! Udah melarat blagu kamu!" teriak bude Ratih. Keira mengeratkan genggamannya pada tas kerja yang ia tenteng. Lalu mengatur napas dan pergi berlalu dari sana. 

"Kei! Tunggu!" panggil Bastian. Keira menoleh. Bastian mendekat ke hadapannya. Kemudian mengeluarkan kartu ATM, ia sodorkan ke Keira. "Buat kamu, pinnya tanggal lahirku. Maaf selama ini aku belum bisa jadi suami yang baik. Ini hak kamu, Kei." 

Keira masih diam, menatap bergantian antara kartu ATM dan Bastian yang berharap Keira menerima. Tetapi suara bude Ratih membuat kedua mantan suami istri itu menatap ke arah bude Ratih. 

"Enak aja kamu kasih dia uang! Nggak ada!" Bude Ratih menyambar kartu ATM, lebih baik buat calon istrimu, Bas. Ayo pulang! Bude lega kamu pisah dari benalu ini. Dari dulu Bude sebel sama dia!" Bude Ratih menarik tangan Bastian yang menurut begitu saja. Keira tertawa miris, ia memegang pipi kirinya yang perih karena tamparan. Langkahnya perlahan menjauh dari sana, ia harus ke kantor untuk kembali bekerja. Tak tau saja, jika di dalam salah satu mobil yang terparkir di belakang gedung pengadilan, ada sosok laki-laki yang memperhatikan Keira dengan raut wajah sedih. 

Keira tiba di kantor disambut dengan buket bunga lily bertuliskan, Selamat menempuh kebebasan! Ulah siapa lagi kalau bukan Ambar dan Rima. Keira tak malu, justru tertawa. Ambar dan Rima memeluk Keira kompak, lalu duduk bersama di pantry. 

"Lega, ya, Kei," lirih Rima.  Keira mengangguk. 

"Bastian mau nikah sebentar lagi sama mantannya gue rasa."

"Biarin. Lo fokus sama tujuan ke depan, ya. Lo kuat, Kei." Ambar mengusap bahu Keira yang mengangguk. 

Pintu pantru terbuka, bu Tia masuk lalu ikut duduk bergabung. "Kei, bisa pesan nasi box untuk acara ulang tahun Pak Bos, nggak? Sabtu besok semua diminta lembur, padahal sebenernya mau rayain ultah beliau. Kalian bertiga diem-diem aja ya, karyawan lain belum tau. Pak Bos mau bagi-bagi angpau!" cicit bu Tia senang. 

"Boleh, Bu. Untuk berapa porsi?" tanya Keira. 

"Seratus. Isinya atur di kamu aja, perboxnya seharga lima puluh ribu, bisa, kan? Buat makan siang jam sebelasan. Nasi box itu bukan untuk kita-kita, tapi anak-anak yatim piatu yang diundang ke sini. Aku udah minta OB semua rapihin meja kerja, karena full acaranya di sini." 

Keira mengangguk paham. Ia tersenyum lebar. "Uangnya udah aku transfer ke rek kamu, cek aja, ya. Oke, deh, kalah gitu aku siap-siap kirim email resmi supaya semua orang sabtu besok lembur. Makasih, ya, Kei."

"Sama-sama, Bu, saya juga terima kasih," balas Keira begitu senang. Rima dan Ambar memekik senang. 

"Kei! Pesen stiker merek dagang lo, Kei!" usul Ambar. Rima juga setuju. Mendadak ide itu terpikirkan Keira juga. Oke, sepertinya ia memang harus mulai merintis sendiri untuk mencapai kemandiriannya. 

bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status