Renan bersiap bertandang ke rumah Keira atas ide teman-teman satu pekerjaannya, Donovan, Melvin dan Bagas. Ia mematut diri di depan cermin kamarnya, di bawah suara bunda sudah terdengar memanggil dirinya dengan kencang. Renan buru-buru turun, ia tampak rapi dan hal itu membuat bundanya tercengang.
“Mau ke mana kamu malam minggu gini?” tegurnya ingin tau.
“Pergi sebentar ya, Bun,” jawab Renan menyalim tangan bundanya.
“Iya mau ke mana? Bunda mau ajak kamu ke rumah Tante Mina, mau kenalin kamu ke anak gadisnya yang–"
“Renan pergi, bye, bun.” Ia bergegas ke arah garasi, membuka pintu mobil lalu melesak masuk. Buru-buru ia hidupkan mesin mobil lalu melaju keluar dari garasi rumah yang membuat bundanya melongo di teras depan rumah.
Renan enggan bundanya ikut campur perihal siapa calon pasangannya. Ia sebenarnya tau, hal itu karena bunda merasa kasihan dengan putranya. Tetapi cara bunda salah karena Renan justru tersinggung, kesannya ia tak bisa mencari pengganti mantan tunangannya dulu yang lebih memilih menikah dengan pria lain.
Bunda nggak mau kamu dapat yang salah, Nan. Bunda nggak mau dipermalukan lagi!
Begitu komentar bunda yang terngiang di kepala Renan. Namun, pada akhirnya ia menemukan sosok yang membuat hatinya kembali bergetar, menghangat dan siap disiram dengan air supaya bibit bunga-bunga cinta tumbuh lebat di dalam hatinya. Masalahnya satu, apakah Keira mau menerima kehadirannya?
Berbekal alamat yang dikirim Keira melalui pesan whatsapp–alasan Renan karena mau membayar pesanan makanan secara langsung–jadilah ia pergi ke rumah Keira dan tiba pukul delapan malam.
“Permisi,” sapanya sesaat setelah berdiri di depan pagar rumah keluarga Keira. Di garasi ada motor satu, pasti punya Kemal. Pemuda itu berjalan ke arah pagar.
“Iya, ada, ‘kan?”
“Ada. Masuk aja, Mas, tunggu di teras. Maaf rumahnya berantakan, tukang dagang gini keadaannya.” Kemal membuka lebar pagar lalu ia masuk memanggil kakaknya.
Garasi rumah memang banyak dus-dus juga etalase dorong entah bekas jualan apa, oven besar dan sebagainya. Teras walaupun kecil, ada dua kursi dan satu meja kecil di tengahnya. Rumah yang cat temboknya juga sudah pudar tak lagi warna krem cerah, membuat Renan penasaran tentang keluarga Keira.
“Malam,” sapa Keira ramah. Wanita itu memakai celana training tidur warna abu-abu tua dan kaos longgar warna putih. Renan terpaku, ia benar-benar tak bisa tak kagum dengan Keira, berpakaian sederhana tanpa mekap saja sudah membuatnya begitu terlihat cantik. Hidung mancungnya semakin membuat proporsi wajah Keira sempurna, belum lali bibirnya yang sedikit tipis tapi terlihat manis. “Renan, woy,” tegur Keira seraya melambaikan tangan ke hadapan wajah lelaki itu.
Renan mengerjap, “eh, iya, maaf-maaf, saya kira di depan saya bidadari,” tukasnya berkelakar. Keira hanya menatap heran hingga mengerutkan kening. Renan salah tingkah, ia senyam senyum sendiri.
“Jadi pesan makanannya untuk lusa? Benar dua puluh porsi nasi gurih chicken steak?” Keira yang membuka obrolan.
“Iya, benar. Bisa diantar ke kantor saya jam sebelas? Nanti saya lebihkan ongkosnya,” tukas Renan seraya duduk tegap menyandar pada kursi yang diduduki.
“Nggak usah dilebihkan nggak apa-apa, udah ada uang ongkosnya dari harga jual, kok. Nanti Kemal yang antar, sekalian ke kampus. Nggak mau pakai tambahan lain? Puding almond atau puding coklat oreo?” Keira menawarkan pilihan tambahan kudapan, sebagai seorang penjual makanan, memang itu cara untuk memasarkan produk juga.
“Boleh. Perporsi jadi berapa?”
“Tiga puluh ribu,” jawab Keira.
“Oke, nggak apa-apa. Pokoknya saya terima beres aja nanti totalnya berapa terus saya transfer.”
“Oke. ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Keira seraya tersenyum tipis.
Ya ampun, cantik banget, batin Renan.
Belum sempat menjawab, Kemal berteriak dari dalam, terdengar panik. Keira beranjak cepat, berjalan ke dalam rumah kemudian mendapati bapaknya terluka karena menginjak beling gelas yang jatuh ke lantai.
“Ya ampun, Pak!” pekik Keira. Ia berdiri membantu bapak bangun sementara ibu dan Kemal membersihkan serpihan beling. Renan masuk begitu saja, tanpa izin karena melihat ini urgent. Ia ikut memapah bapak, menduduki di sofa ruang TV.
“Kotak obat mana!” teriak Keira ke arah Kemal.
“Nggak, ada, Kei. Beli dulu ke apotek, ya,” jawab ibu.
“Aduh!” Keira panik, ia mengusak rambutnya sambil berkacak pinggang. Darah keluar banyak dari telapak kaki bapak.
“Ke klinik aja, ayo saya antar,” usul Renan. “Takutnya harus dijahit,” lanjutnya lagi. Keira berlutur, melihat luka yang cukup dalam dan takut infeksi. Tak pikir panjang, Keira meraih dompet di kamarnya lalu membantu bapak berjalan dengan dipapah setelah Kemal membalut kaki bapak dengan handuk kecil. Renan menghidupkan mesin mobil, bapak duduk di tengah. “Hati-hati, Mas, Mbak!” ucap Kemal lalu menutup pagar rumah. Ibu berjalan ke depan, hendak membuang sampah belong di plastik.
“Dia teman Mbakmu, Mal?”
Kemal menoleh, “pelanggan, tapi kayaknya ada niatan lain ke Mbak Keira deh, Bu. Rapi banget dandanannya kayak orang mau ngapelin cewek.”
“Eh? Serius? Aduh … Ibu takut, Mal. Keira janda, yakin mau dideketin? Ibu takut Mbakmu cuma dimanfaatkan, gimana, Mal,” cicit ibu.
“Ya ampun Ibu. Mbak Keira bukan cewek gampangan, dia juga bisa jaga diri. Tenang, Bu. Kemal ke dalam, mau sapuin lantainya dulu, Ibu duduk aja, ya.” Kemal berjalan ke dalam rumah, ibu menghela napas sambil mengintip ke arah mobil yang sudah melaju jauh.
Tiba di klinik, bapak segera di tangani. Syukur tidak perlu dijahit karena luka sobeknya tak begitu dalam, hanya saja selama belum kering bapak tidak boleh beraktivitas banyak, takut terbuka dan berdarah lagi yang nantinya infeksi.
“Saya ke kasir dulu,” kata Keria.
“Saya aja yang bayar,” usul Renan.
Keira menolak. “Tanggung jawab saya, bukan kamu. Permisi,” ketus Keira. Renan hanya bisa diam, ia melihat bapak sudah selesai diobati, dengan cepat ia mendekat ke dalam ruangan lalu menuntun bapak berjalan.
“Maaf ya, jadi merepotkan,” tutur bapak yang akhirnya dipinjami kursi roda oleh perawat klinik.
“Sama sekali nggak repot, Pak. Oh iya, saya Renan.” Ia mengulurkan tangan hendak menyalim tangan bapak.
“Saya Wijaya, Bapaknya Keira dan Kemal,” jawabnya. Mereka berjabat tangan. Renan tersenyum, ia lalu mendorong kursi roda hingga ke depan dekat loket pembayaran yang di sebelahnya loket farmasi.
“Terima kasih, Mbak,” tukas Keira kemudian berbalik badan, di tangannya sudah menenteng plastik obat untuk diminum bapak.
“Habis berapa, Kei?” tanya bapak.
“Ada, deh, rahasia,” cengir Keira. Bapak berdecak, ia tak enak hati karena keteledorannya jadi keluar uang untuk berobat. Mereka kembali pulang, setelah membantu bapak hingga masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang TV, Renan hendak pamit pulang, tetapi tak jadi karena perutnya lapar. Ia memang belum makan dan berniat mengajak Keira makan di luar juga tadi, tetapi karena ada kecelakaan kecil lagi lupa. Sekarang ia ingat dan dengan sedikit ragu ia pun bicara dengan Keira.
“Bisa, temani saya makan di luar, nggak?” Terlihat Renan kaku juga malu-malu, Kemal yang mendengar cicitan itu langsung menoleh.
“Makan di sini aja, Mas! Mbak Keira tadi masak soto betawi, cobain sekalian. Masih ada, kan, Bu?!” seru Kemal. Keira melotot ke adiknya.
“Iya, Renan makan di sini aja, jangan jajan. Hitung-hitung ucapan terima kasih kami sudah direpotkan antar ke klinik.” Sambung bapak yang diangguki ibu. Keira mengusap pelipisnya, akhirnya ia mengangguk juga.
“Boleh, kalau nggak merepotkan,” jawab Renan.
“Ya sama sekali enggak, dong!” Kemal merapikan ruang tamu, bahkan menyalakan lampu supaya terang. Bantal sofa dengan motif sarung bunga-bunga. Keira segera ke dapur untuk menyiapkan hidangan. Bapak pamit mau ke kamar, ibu juga.
“Mal,” panggil Keira. Kemal menghampiri ke dapur. Setelah mengintip dari balik dinding dapur memastikan Renan tidak memperhatikan.
“Apaan, Mbak?” Kemal mendekat, berbisik di samping Keira.
“Lo tuh apa-apan sih! Malah nyuruh di makan di siniu!” desis Keira berhati-hati saat berbisik dengan adiknya.
“Mbak, makanan banyak, masakan Mbak juga enak. Apa salahnya, udah, lah, itung-itung balas kebaikan dia. Oke! Gue mau ke tempat Ervan, main bentar, bye!” pamitnya lalu menyambar kuncir motor, tak lupa Kemal pamit ke Renan yang dijawab anggukan kepala.
“Maaf kalau kurang enak,” lirih Keira seraya meletakkan piring dan lainnya ke atas meja ruang tamu. Keira sadar ada yang terlupa, ia ke dapur lagi lalu kembali ke Renan. “Minyak saminnya lupa, ini yang bikin enak,” ujar Keira meletakkan ke atas mangkuk yang kuahnya masih mengebul asapnya. “Selamat makan. Mau minum apa? Air putih atau teh?”
“Apa aja, makasih, ya,” jawab Renan yang sudah tak sabar mencicipi masakan Keira lainnya.
Renan melotot sesaat setelah mencicipi kuah, ia melirik ke Keira yang meringis takut-takut kurang enak. Renan tak bersuara apapun, ia langsung makan dengan lahap, Keira menunggu komentar lelaki itu, hingga sudah empat suapan, Renan menoleh.
bersambung,
"Enak makanannya?" tanya Keira sambil bertopang dagu dengan siku bertumpu pada pahanya. "Banget, kamu nggak pingin buka katering aja?" "Belum diseriusin, butuh waktu ekstra dan konsep jelas. Lagian di sini udah ada katering harian juga, nggak enak sama tetangga RT lain." "Namanya jualan atau bisnis pasti akan ada pesain dekat, yang penting punya cirikhas buat bedainnya." Renan meletakkan sendok dan garpu dengan posisi terbalik, tandanya ia sudah selesai makan. Teh hangat juga ia teguk hingga habis setengah gelas. "Terima kasih, boleh makan di sini," kata Renan yang betul-betul merasa puas menikmati makan malamnya. "Sama-sama, saya juga makasih banget tadi Bapak udah ditolongin." "Keira, Kei!" Suara seseorang di depan pagar membuat Keira menoleh. Jam dinding sudah menunjukkan angka sepuluh malam, bahkan lebih. Keira beranjak, berjalan ke arah pagar disusul Renan. "Lagi ngap-- o ... ow ... lagi diapelin, toh ...," goda Rima yang menggoda Keira dengan menaik turunkan alis matanya.
Hai ... jangan lupa love dan comment ya 🥰_______"Gol!!!!" teriak serempak teman satu tim yang berlari menghampiri. Renan berhasil mencetak gol ke gawang lawan. Olahraga futsal yang setiap jumat malam ia lakukan bersama teman-teman kerja juga teman masa kuliah, membuatnya tetap bugar. Renan memang begitu, tak bisa lepas dari olahraga walau hanya jogging saja. Napasnya ngosngosan, ia berkacak pinggang mengatur napas sambil berjalan menunggu operan bola dari temannya lain. Keringat yang membasahi wajah juga tubuhnya, ia biarkan keluar melalui pori-pori. Tawanya pecah saat melihat temannya terpeleset bola yang sedang di oper. Tawanya begitu lebar, rambut cepaknya sudah mulai tumbuh lebat lagi. Ia malas ke barbershop, nanti saja sampai waktunya ditegur HRD kantor. Kedua matanya menyipit, berlari ke ujung lapangan menerima umpan dari temannya. Gerakannya gesit, kakinya lincah menggocek bola bundar lalu .... "Gol!" teriak teman-temannya lagi. Permainan selesai, skor 5 - 2 berhasil men
"Kei, kenapa kamu kayaknya nolak Renan banget? Dia baik lho," pungkas ibu sambil membantu Keira mengemas peralatan setelah dagang di bazar. Ia menunggu Kemal datang sebagai bala bantuan mengangkut barang-barang."Kei nggak suka karena belum mau dekat sama siapapun dan juga rasanya usia dia lebih muda, Bu. Kei nggak mau kelihatan ngemong." Keira berkata jujur, ia menyukai laki-laki yang matang dan mapan."Kayak Bastian? Buktinya kamu diceraikan. Dia masih cinta sama mantannya. Kei, realita aja, kalau emang Renan baik, nggak salah. Nggak baik janda lama-lama."Ya ampun, ucapan ibu membuat hati Keira menjadi nyeri, tapi ia abaikan, tidak mau menanggapi komentar ibunya.Hari-hari Keira melelahkan. Ia bahkan mengorbankan jam tidurnya karena sepulang bekerja menyiapkan pesanan lainnya. Hal itu menjadikan Keira harus mengambil keputusan penting.Ia mengajukan resign dari pekerjaannya. Rima dan Ambar terkejut, tapi bisa aja. Pihak kantor juga memahami posisi Keira yang tampaknya harus serius
Dukung terus karya saya, ya ... terima kasih ❤________[Mbak, Kei, lagi apa?]Pesan pertama masuk yang dikirim Renan, Keira membaca saja tanpa mau membalas. Ia letakkan ponsel lalu kembali sibuk membuat desain banner dan spanduk terbaru. Keira harus membuat konsep usahanya yang baru, ia bahkan menyediakan papan tulis kecil, spidol dan penghapusnya juga.Lima belas menit berlalu, Keira mengabaikan ponselnya yang dipasang mode senyap. Namun, ketika membuka layar kunci, muncul notifikasi pesan masuk dari Renan.[Mbak Kei, balas dong WAnya. Sibuk banget, ya?][Mbak ... Kei ....]Dan belasan chat 'sampah' lainnya, menurut Keira. Jam menunjukan angka sebelas malam, ia memutuskan tidur tanpa membalas pesan singkat. Baru saja akan memejamkan mata, ponsel yang tadinya dalam mode senyap berbunyi.Tangannya meraba-raba ke posisi kanan. Ia raih ponsel. "Ya, halo," jawabnya tanpa melihat siapa yang menghubungi."Mbak Kei, udah tidur?" Keira melotot mendengar ia disapa seperti itu."Ya ampun, Nan,
"Jangan sok tau, Nan. Ada kok yang pesan," sanggah Keira menutupi."Bohong. Kata Kemal nggak ada. Sepi-sepi aja."Waduh, Kemal benar-benar sudah menjadi mata-mata Renan. Keira menghela napas, ia memijit pelipisnya."Ya wajar juga, namanya baru mulai usaha. Udah, lah ... bukan urusan penting. Aku balik duluan, ya." Keira melepaskan genggaman tangan Renan, tapi tak jua terlepas."Temenin beli jajanan, ya, Mbak." Dengan santainya, tangan Keira kembali digenggam Renan. Mau sekuat apapun Kei berontak, tetap saja tak bisa. Mau tak mau Keira menuruti Renan, dengan jalan lelaki itu yang pincang-pincang, Keira tak tega juga. "Sini aku bawain keranjangnya. Belanjaan apaan, sih. Cemilan kayak anak kecil semua gini," jeplak Keira seraya meraih keranjang belanjaan dari tangan Renan. "Buat iseng kalau di rumah. Ada kerjaan lain yang harus dipantau dan enaknya sambil ngemil," jawab Renan santai. "Mbak mau apa? Aku traktir," katanya lagi. "Nggak usah pake embel-embel 'mbak'." tegur Keira kesal. Wa
Dekat dengan seseorang yang punya link banyak tersebar di mana-mana, seharusnya bisa dimanfaatkan Keira tanpa ragu. Tetapi, ia justru tak mau. Gengsi karena ia janda yang dikejar berondong, membuat tembok batasan dibangun Keira sendiri.Dengan dua kali pengantaran ke rumah pemesan, Keira berboncengan dengan Kemal yang seharusnya sibuk ketik skripsi, tapi demi sang kakak ia tanggalkan urusan pribadinya."Udah beres nih, Mbak?" Kemal memberikan helm ke tangan Keira yang segera memakai."Iya. Nih, gocap buat lo, buat beli bensin." Keira memberikan lima puluh ribu ke Kemal yang diterima dengan suka hati.Keira dan Kemal tak langsung pulang, ia membeli es campur dulu untuk orang rumah. Saat mengantri, ponselnya bergetar. Siapa lagi jika bukan Renan yang rajin jarang absen hubungi Keira.[Mbak, lagi apa? Gimana pesanannya?]Keira hanya membaca. Ia kembali fokus melihat penjual es campur membuatkan pesanannya.[Mbak, bales dong. Aku telpon kalau nggak mau bales, ya.]Ya ampun ini bocah. bati
Hai, terima kasih yang sudah mendukung ya. ____Sudah dua hari Keira berkutat dengan pesanan yang sudah pasti dikerjakan. Walau lelah, ia coba tahan dan jalani bersama kedua orang tuanya juga Kemal."Mbak, ekspansi, lah ... katering kantoran. Lo bisa atur menunya, bagian pengantaran sementara gue nggak masalah."Keira sedang memperhatikan ayam panggang dalam oven besar di garasi. Sekali memanggang enam ekor ayam bisa masuk. Mempersingkat waktu."Bisa, sih, tapi wadahnya gue nggak mau yang cuci-cuci itu." Keira melepas cempal sarung tangan, lalu duduk di ubin teras bersama Kemal."Ya beli yang sekali buang. Jaman sekarang kan banyak. Lo tanya ke tempat langganan.""Gitu, ya?" toleh Keira ke adiknya yang berdecak heran, kadang kakaknya dongdong. Masak jago, soal pengaturan usaha atau konsepnya seperti apa butuh masukan dari orang lain."Lo bayangin kalau dalam satu bulan pegang empat kantor dengan total perhari 100 porsi. Dikali harganya dua puluh lima ribu. Auto kaya raya nggak lo." K
"Ngaco. Resek kamu ya main sosor aja!" omel Keira lalu membuka pintu mobil. Renan tidak menahan, ia justru tertawa sendiri. Ya, Renan punya taktik sendiri untuk membuat Keira memahami arti kehadiran dirinya. Maka dari itu, ia juga tidak mencecar Keira lagi.Mobil melaju pergi meninggalkan rumah Keira. Ia misuh-misuh, tampak kesal lantas berjalan ke kamarnya. Ia meletakkan sling bag dengan melempar ke atas kasur."Resek! Mentang-mentang gue janda jadi bisa seenaknya disosor! Haduh Keira ... harga diri lo tadi ke manaaa...!" pekik Keira kesal kepada dirinya sendiri.Keira ganti baju dan cuci muka, lalu mulai mengatur susunan menu catering minggu depan. List nama sudah di tangan, Keira hanya perlu merekap supaya lebih rapi lagi.Pulpen di tangannya ia mainkan memutar di sela-sela jari. Buku notes sudah ia siapkan, ia berpikir menu apa yang pas dengan harga satu porsi 25 ribu."Ayam bumbu rujak, daging tipis teriyaki paprika, nila bakar bumbu kecap, apalagi, ya ...." Ia mengetuk-ngetuk ke
Met baca 🌿__________"Keputusan ada di kamu, Mal," ucap Ines setelahnya ia berjalan ke arah kamar. Kemal mendesah, pasti Ines kecewa.Lagi-lagi tak bisa tidur baik Kemal maupun Ines. Menjelang pagi Ines mendengar suara gaduh. Buru-buru ia keluar kamar, Kemal tampak sibuk memakai sepatu kets sambil berdiri. Masih memakai kaos dan celana panjang training untuk tidur."Mau ke mana? Masih jam tiga, Mal?" Ines menghampiri."Rumah sakit, Tatiana nggak sadar lagi. Kamu nanti ke kantor bawa mobil aku yang satunya, ada di garasi apartemen blok A, sebelah kanan. Maaf ya aku buru-buru." Kemal mengecup kening Ines sebelum pergi dari sana.Ines hanya bisa menatap nanar, tak suka sebenarnya dengan kelakuan Kemal yang malah perhatian ke Tatiana walau berlandaskan rasa bersalah.Tak mau rencana yang ia dan Kemal susun berantakan, Ines memutuskan ke rumah sakit saat jam besuk siang hari.Ines menepati janji pada dirinya sendiri, diam-diam ia menemui Tatiana di rumah sakit tanpa sepengetahuan Kemal.
Met baca 🌿__________Ines duduk merenung di dalam taksi, ia kembali ke kantor sudah pukul dua siang. Tak ia dapati Kemal, staf lain mengadu jika Kemal buru-buru pergi. Saat ia mau bertanya ke Reynan, sepupunya itu terlihat sibuk bekerja. Akhirnya ia menelpon Kemal tapi tak dijawab.Pulang ke apartemen, ia melihat Kemal sudah di sana. "Kenapa nggak bilang pulang duluan?" tegur Ines sesaat setelah melepas sepatu kerja, ia letakkan di rak khusus. Kemal terlihat bingung.Ines mendekat, menangkup wajah Kemal mendongak ke arahnya. "Ada apa?""Tatiana mau coba bunuh diri."Sudah ditebak, bahkan tadi Tomy juga bilang jika Ines ada sifat nekat yang membahayakan dirinya sendiri."Terus?" Jemari Ines membelai pipi Kemal. Pria itu menggenggam jemari Ines yang masih menempel di wajahnya."Keluarganya minta gue tenangin Tatiana sampai ia paham kalau nggak mungkin gue nikahin dia. Tatiana tulus perasaannya ke gue, Nes, dia nikah sama Tomy karena bisnis juga menaikkan popularitas dia. Orang tuanya
Met bacaaa 🌿_______"Maksud kamu apa?" Tatiana menahan air mata supaya tak jatuh sedangkan kedua orang tuanya menahan kecewa dan marah terhadap Kemal."Saya tidak bermaksud mempermainkan atau menyakiti Tatiana, Om ... Tante, tapi saya benar-benar minta maaf karena harus ambil keputusan ini." Dengan berani Kemal membatalkan acara pertunangan yang sudah empat puluh persen siap."Siapa perempuan itu, Mal?" Air mata Tatiana jatuh juga, Kemal menunduk sejenak sebelum menjawab."Ines," jawab Kemal jujur. Tatiana membungkam mulutnya, ia patah hati seketika itu juga. Namun, Kemal dan Ines sudah sepakat. Lagi pula ini menjadi cara mereka bersatu."Kurang ajar," geram Tatiana."Saya yang salah karena terlalu jauh bertindak saat kami di Surabaya, saya dan Ines--""STOP!" Tatiana mengangkat telapak tangan, ia tak mau mendengar apa-apa lagi. Ia beranjak pergi menangis berlari menuju ke kamarnya. Kedua orang tua Tatiana mengusir Kemal, ah ... yasudah lah, kesempatan baginya pergi juga.Di rumah R
Met baca 🌿__________Ada keterangan sedikit, ya ; - Alta punya kakak sambung 3, namanya : Cakra (17th), Biru dan Bumi (15 th). Usia Alta sendiri 14 th di kisah ini, ya. Nanti saya edit di awal bab supaya nggak rancu.Markijut, mari kita lanjut!_______"Ayah mau sampai kapan duduk di situ! Ayo ke rumah sakit!" Bhumi sudah bersiap, ia terlihat kesal karena Tomy masih duduk seperti sedang berpikir keras."Berapa usia Alta?" tanya ke Ines yang sudah berdiri di dekat pintu."Empat belas tahun. Mau sampai kapan anda duduk. Anak anda menunggu di sana!" kesal Ines. Tomy mendongak, segera ia menyambar kunci mobil lalu meminta Ines pergi duluan.Saat Ines sudah berlalu dengan mengemudikan mobil Reynan, Tomy menarik tangan Bhumi yang hendak menuju ke posisi penumpang bagian kiri depan mobil SUV mewah itu."Kamu jangan cerita ke Kakakmu," pintanya.Bhumi menyeringai, "Ayah masih ingat sama Kak Cakra? Dia udah pergi dari rumah tiga bulan, Yah! Kita cari nggak ketemu sampai Biru celaka karena n
Met baca 🌿____________Kemal terus merangkul Ines saat mereka di bandara, bahkan menggenggam jemari tangan Ines seolah tak mau melewatkan momen apapun saat di dalam pesawat.Ines menyandarkan kepala di bahu kiri Kemal, ia hanya diam menyiapkan hati saat tiba di Jakarta semua akan berubah seperti semula.Benar saja, mereka melihat Tatiana datang menjemput tanpa janji terlebih dahulu. Bagus keduanya tau jauh-jauh waktu sebelum Ines melihat Kemal menggandeng jemari Ines sambil berjalan."Here we go," lirih Ines. Ia memberi jarak saat berjalan menuju luar lobi bandara. "Gue beli greentea latte dulu, lo kalau mau duluan, duluan aja, Mal. Its okey," tutur Ines saat sudah dekat beberapa langkah lagi ke arah Tatiana yang tersenyum sumringah melihat calon suaminya di depan mata."Iya." Kemal menjawab singkat, karena ia memakai kacamata hitam, sorot mata kesedihannya tidak bisa terbaca Tatiana."Hai!" pekik tertahan Tatiana. Ia memeluk Kemal singkat yang tidak dibalas Kemal karena tangan kana
Met baca 🌿_____________Alunan musik berdentum keras di dalam club mewah yang ada di kota itu. Ines dan Kemal duduk sambil menatap manusia melantai meliukkan tubuh."Minum nggak?" tawar Kemal."Sinting," ketus Ines melirik Kemal yang bahkan sejak tiba beberapa menit lalu belum memesan apapun."Kenapa ke sini, sih, Mal." Ines menyenggol bahu Kemal dengan bahunya."Gue pikir lo suka ke tempat kayak gini. Biasanya orang lagi galau ya ke sini.""Gila. Mendingan gue lo ajak makan rawon tiga mangkok sama es krim." Ines masih sewot."Tadi kan udah makan sebelum ke sini, rawon juga. Masih kurang?" Kemal tak kalah ngegas."Gue nggak suka di sini. Gue nggak mau." Wajah Ines memberengut, Kemal beranjak, menggandeng tangan Ines berjalan keluar dari club malam itu."Tempat ini padahal mahal dan mewah, bukan sembarangan, lo nggak mau." Kemal masih menggandeng tangan Ines sambil berjalan keluar. Sekuriti terkejut karena Kemal tak lama di sana."Kenapa pulang, Boss? Belum ketemu Gilbert," tanya sek
Met baca 🌿_____________Ines bergerak cepat, ia mencari tau kantor lelaki yang pantas dipanggil papa oleh Alta karena ayah kandungnya. Di kantor, ia menggali informasi hingga rinci.Tujuannya, memastikan jika Alta tidak boleh tau fakta sebenarnya karena usia belum cukup matang. Sesuai rencana Keira, ia akan jujur saat Alta sudah cukup umur."Bu Ines, ada surat nih, tapi kok dari pengadilan Surabaya," tukas resepsionis seraya menyerahkan amplop coklat."Oh, iya, makasih, ya." Ines menerima amplop, ia buka dan membaca. Surat panggilan sidang kasusnya, ia harus ke Surabaya dalam waktu dekat.Segera Ines menghubungi om Wisnu yang ternyata sudah tau dan memang mau Ines hadir. Ines sedang serius bicara dengan om Wisnu di telepon saat Kemal berdiri di depan meja kerja, merebut surat yang tergeletak di atas meja kerja Ines.Ia baca dengan seksama, lalu memperhatikan Ines hingga selesai menelpon omnya."Berangkat sama gue," putus Kemal. Ines menggeleng. "Gue temenin lo, Nes," lirih Kemal kar
Met baca 🌿_____________Makan siang bersama Tatiana juga di kediaman Keira sengaja diadakan. Kali itu Kei tak masak, ia memesan makanan khas arab juga makanan penutup dari toko kue langganannya.Ines membantu menata piring, gelas, serta peralatan makan lainnya di meja panjang tertutup taplak meja warna emas di halaman belakang."Gue bantu," tukas Kemal lantas mengambil alih nampan besar berisi sendok juga garpu dari tangan Ines."Udah, nggak usah. Temenin sana calon istri," celetuk Ines. "Luar biasa lo, Mal, baru sekali dikenalin langsung sat set," lanjut Ines lagi.Kemal menunduk sejenak, lalu mengangkat kepala menatap Ines yang lanjut menata peralatan makan."Ibu yang nyeplos begitu. Gue sama sekali belum kepikiran ke arah sana."Ines tersenyum, "ya bagus, dong. Tandanya lo emang harus menyegerakan." Ia menatap Kemal yang berdiri sambil memegang pinggiran meja, wajahnya tampak kebingungan. "Mal, turuti maunya Ibu."Kemal hanya bisa diam mematung, kedua matanya mengikuti gerak Ines
Met baca 🌿_________Ines memasukan dress dan sepatu yang ia beli ke dalam kotak lalu meletakkan di dalam lemari pakaian. Segera ia beranjak untuk istirahat karena hari sudah malam. Dexter juga tidak menghubungi karena berada di pesawat menuju Madrid.Janjinya pria itu akan menghubungi Ines jika sudah tiba atau tidak terlalu sibuk karena pekerjaan di sana sudah menunggu dirinya.Jemari Ines mengusap layar ponsel, melihat-lihat aplikasi belanja online sekedar cuci mata. Awalnya, hingga ia justru belanja beberapa barang kebutuhan pribadi."Yah, kok udah sejuta aja. Aduhhh ...," keluh Ines setelah sadar melakukan pembayaran. Saldo di rekeningnya tersisa dua juta hasil pinjam dari Keira. "Gimana gue idup. Mulai besok nggak mau berangkat dan pulang bareng Kemal."Pusing memikirkan keteledorannya, ia putusnya menerima fakta harus irit. Pintu kamarnya di ketuk, Ines beranjak cepat. Kaget seketika saat Kemal sudah pulang dari acara bersama Tatiana."Udah.""Oh, yaudah." Kemal memutar tubuh,