Share

Niat lain

Renan bersiap bertandang ke rumah Keira atas ide teman-teman satu pekerjaannya, Donovan, Melvin dan Bagas. Ia mematut diri di depan cermin kamarnya, di bawah suara bunda sudah terdengar memanggil dirinya dengan kencang. Renan buru-buru turun, ia tampak rapi dan hal itu membuat bundanya tercengang. 

“Mau ke mana kamu malam minggu gini?” tegurnya ingin tau. 

“Pergi sebentar ya, Bun,” jawab Renan menyalim tangan bundanya.

“Iya mau ke mana? Bunda mau ajak kamu ke rumah Tante Mina, mau kenalin kamu ke anak gadisnya yang–"

“Renan pergi, bye, bun.” Ia bergegas ke arah garasi, membuka pintu mobil lalu melesak masuk. Buru-buru ia hidupkan mesin mobil lalu melaju keluar dari garasi rumah yang membuat bundanya melongo di teras depan rumah. 

Renan enggan bundanya ikut campur perihal siapa calon pasangannya. Ia sebenarnya tau, hal itu karena bunda merasa kasihan dengan putranya. Tetapi cara bunda salah karena Renan justru tersinggung, kesannya ia tak bisa mencari pengganti mantan tunangannya dulu yang lebih memilih menikah dengan pria lain. 

Bunda nggak mau kamu dapat yang salah, Nan. Bunda nggak mau dipermalukan lagi! 

Begitu komentar bunda yang terngiang di kepala Renan. Namun, pada akhirnya ia menemukan sosok yang membuat hatinya kembali bergetar, menghangat dan siap disiram dengan air supaya bibit bunga-bunga cinta tumbuh lebat di dalam hatinya. Masalahnya satu, apakah Keira mau menerima kehadirannya? 

Berbekal alamat yang dikirim Keira melalui pesan whatsapp–alasan Renan karena mau membayar pesanan makanan secara langsung–jadilah ia pergi ke rumah Keira dan tiba pukul delapan malam. 

“Permisi,” sapanya sesaat setelah berdiri di depan pagar rumah keluarga Keira. Di garasi ada motor satu, pasti punya Kemal. Pemuda itu berjalan ke arah pagar. 

“Cari Mbak Keira, ya?” ujar Kemal sambil membuka pagar. 

“Iya, ada, ‘kan?” 

“Ada. Masuk aja, Mas, tunggu di teras. Maaf rumahnya berantakan, tukang dagang gini keadaannya.” Kemal membuka lebar pagar lalu ia masuk memanggil kakaknya. 

Garasi rumah memang banyak dus-dus juga etalase dorong entah bekas jualan apa, oven besar dan sebagainya. Teras walaupun kecil, ada dua kursi dan satu meja kecil di tengahnya. Rumah yang cat temboknya juga sudah pudar tak lagi warna krem cerah, membuat Renan penasaran tentang keluarga Keira.

“Malam,” sapa Keira ramah. Wanita itu memakai celana training tidur warna abu-abu tua dan kaos longgar warna putih. Renan terpaku, ia benar-benar tak bisa tak kagum dengan Keira, berpakaian sederhana tanpa mekap saja sudah membuatnya begitu terlihat cantik. Hidung mancungnya semakin membuat proporsi wajah Keira sempurna, belum lali bibirnya yang sedikit tipis tapi terlihat manis. “Renan, woy,” tegur Keira seraya melambaikan tangan ke hadapan wajah lelaki itu. 

Renan mengerjap, “eh, iya, maaf-maaf, saya kira di depan saya bidadari,” tukasnya berkelakar. Keira hanya menatap heran hingga mengerutkan kening. Renan salah tingkah, ia senyam senyum sendiri. 

“Jadi pesan makanannya untuk lusa? Benar dua puluh porsi nasi gurih chicken steak?” Keira yang membuka obrolan. 

“Iya, benar. Bisa diantar ke kantor saya jam sebelas? Nanti saya lebihkan ongkosnya,” tukas Renan seraya duduk tegap menyandar pada kursi yang diduduki. 

“Nggak usah dilebihkan nggak apa-apa, udah ada uang ongkosnya dari harga jual, kok. Nanti Kemal yang antar, sekalian ke kampus. Nggak mau pakai tambahan lain? Puding almond atau puding coklat oreo?” Keira menawarkan pilihan tambahan kudapan, sebagai seorang penjual makanan, memang itu cara untuk memasarkan produk juga. 

“Boleh. Perporsi jadi berapa?”

“Tiga puluh ribu,” jawab Keira. 

“Oke, nggak apa-apa. Pokoknya saya terima beres aja nanti totalnya berapa terus saya transfer.” 

“Oke. ada lagi yang mau dibicarakan?” tanya Keira seraya tersenyum tipis. 

Ya ampun, cantik banget, batin Renan. 

Belum sempat menjawab, Kemal berteriak dari dalam, terdengar panik. Keira beranjak cepat, berjalan ke dalam rumah kemudian mendapati bapaknya terluka karena menginjak beling gelas yang jatuh ke lantai. 

“Ya ampun, Pak!” pekik Keira. Ia berdiri membantu bapak bangun sementara ibu dan Kemal membersihkan serpihan beling. Renan masuk begitu saja, tanpa izin karena  melihat ini urgent. Ia ikut memapah bapak, menduduki di sofa ruang TV.

“Kotak obat mana!” teriak Keira ke arah Kemal. 

“Nggak, ada, Kei. Beli dulu ke apotek, ya,” jawab ibu. 

“Aduh!” Keira panik, ia mengusak rambutnya sambil berkacak pinggang. Darah keluar banyak dari telapak kaki bapak. 

“Ke klinik aja, ayo saya antar,” usul Renan. “Takutnya harus dijahit,” lanjutnya lagi. Keira berlutur, melihat luka yang cukup dalam dan takut infeksi. Tak pikir panjang, Keira meraih dompet di kamarnya lalu membantu bapak berjalan dengan dipapah setelah Kemal membalut kaki bapak dengan handuk kecil. Renan menghidupkan mesin mobil, bapak duduk di tengah. “Hati-hati, Mas, Mbak!” ucap Kemal lalu menutup pagar rumah. Ibu berjalan ke depan, hendak membuang sampah belong di plastik. 

“Dia teman Mbakmu, Mal?” 

Kemal menoleh, “pelanggan, tapi kayaknya ada niatan lain ke Mbak Keira deh, Bu. Rapi banget dandanannya kayak orang mau ngapelin cewek.” 

“Eh? Serius? Aduh … Ibu takut, Mal. Keira janda, yakin mau dideketin? Ibu takut Mbakmu cuma dimanfaatkan, gimana, Mal,” cicit ibu. 

“Ya ampun Ibu. Mbak Keira bukan cewek gampangan, dia juga bisa jaga diri. Tenang, Bu. Kemal ke dalam, mau sapuin lantainya dulu, Ibu duduk aja, ya.” Kemal berjalan ke dalam rumah, ibu menghela napas sambil mengintip ke arah mobil yang sudah melaju jauh. 

Tiba di klinik, bapak segera di tangani. Syukur tidak perlu dijahit karena luka sobeknya tak begitu dalam, hanya saja selama belum kering bapak tidak boleh beraktivitas banyak, takut terbuka dan berdarah lagi yang nantinya infeksi. 

“Saya ke kasir dulu,” kata Keria. 

“Saya aja yang bayar,” usul Renan. 

Keira menolak. “Tanggung jawab saya, bukan kamu. Permisi,” ketus Keira. Renan hanya bisa diam, ia melihat bapak sudah selesai diobati, dengan cepat ia mendekat ke dalam ruangan lalu menuntun bapak berjalan. 

“Maaf ya, jadi merepotkan,” tutur bapak yang akhirnya dipinjami kursi roda oleh perawat klinik. 

“Sama sekali nggak repot, Pak. Oh iya, saya Renan.” Ia mengulurkan tangan hendak menyalim tangan bapak. 

“Saya Wijaya, Bapaknya Keira dan Kemal,” jawabnya. Mereka berjabat tangan. Renan tersenyum, ia lalu mendorong kursi roda hingga ke depan dekat loket pembayaran yang di sebelahnya loket farmasi. 

“Terima kasih, Mbak,” tukas Keira kemudian berbalik badan, di tangannya sudah menenteng plastik obat untuk diminum bapak. 

“Habis berapa, Kei?” tanya bapak.

“Ada, deh, rahasia,” cengir Keira. Bapak berdecak, ia tak enak hati karena keteledorannya jadi keluar uang untuk berobat. Mereka kembali pulang, setelah membantu bapak hingga masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang TV, Renan hendak pamit pulang, tetapi tak jadi karena perutnya lapar. Ia memang belum makan dan berniat mengajak Keira makan di luar juga tadi, tetapi karena ada kecelakaan kecil lagi lupa. Sekarang ia ingat dan dengan sedikit ragu ia pun bicara dengan Keira. 

“Bisa, temani saya makan di luar, nggak?” Terlihat Renan kaku juga malu-malu, Kemal yang mendengar cicitan itu langsung menoleh. 

“Makan di sini aja, Mas! Mbak Keira tadi masak soto betawi, cobain sekalian. Masih ada, kan, Bu?!” seru Kemal. Keira melotot ke adiknya. 

“Iya, Renan makan di sini aja, jangan jajan. Hitung-hitung ucapan terima kasih kami sudah direpotkan antar ke klinik.” Sambung bapak yang diangguki ibu. Keira mengusap pelipisnya, akhirnya ia mengangguk juga. 

“Boleh, kalau nggak merepotkan,” jawab Renan. 

“Ya sama sekali enggak, dong!” Kemal merapikan ruang tamu, bahkan menyalakan lampu supaya terang. Bantal sofa dengan motif sarung bunga-bunga. Keira segera ke dapur untuk menyiapkan hidangan. Bapak pamit mau ke kamar, ibu juga. 

“Mal,” panggil Keira. Kemal menghampiri ke dapur. Setelah mengintip dari balik dinding dapur memastikan Renan tidak memperhatikan. 

“Apaan, Mbak?” Kemal mendekat, berbisik di samping Keira. 

“Lo tuh apa-apan sih! Malah nyuruh di makan di siniu!” desis Keira berhati-hati saat berbisik dengan adiknya. 

“Mbak, makanan banyak, masakan Mbak juga enak. Apa salahnya, udah, lah, itung-itung balas kebaikan dia. Oke! Gue mau ke tempat Ervan, main bentar, bye!” pamitnya lalu menyambar kuncir motor, tak lupa Kemal pamit ke Renan yang dijawab anggukan kepala. 

Keira menatap makanan di atas nampan besar warna coklat, nasi dengan taburan bawang goreng diatasnya, lalu semangkuk soto betawi daging sapi super empuk, sambal, kecap manis, jeruk nipis yang terpisah di wadah kecil, membuat harum ruang tamu.  

“Maaf kalau kurang enak,” lirih Keira seraya meletakkan piring dan lainnya ke atas meja ruang tamu. Keira sadar ada yang terlupa, ia ke dapur lagi lalu kembali ke Renan. “Minyak saminnya lupa, ini yang bikin enak,” ujar Keira meletakkan ke atas mangkuk yang kuahnya masih mengebul asapnya. “Selamat makan. Mau minum apa? Air putih atau teh?” 

“Apa aja, makasih, ya,” jawab Renan yang sudah tak sabar mencicipi masakan Keira lainnya. 

Tak lama Keira kembali dengan segelas teh manis hangat, ia letakkan di atas meja tamu. Renan mengaduk makanannya, Keira hanya memperhatikan apakah Renan suka dengan masakannya. 

Renan melotot sesaat setelah mencicipi kuah, ia melirik ke Keira yang meringis takut-takut kurang enak. Renan tak bersuara apapun, ia langsung makan dengan lahap, Keira menunggu komentar lelaki itu, hingga sudah empat suapan, Renan menoleh. 

“Saya suka, enak banget. Terima kasih, ya.” 

“Sama-sama.” Keira bisa bernapas lega, ia menemani Renan makan dalam diam, sibuk memainkan ponsel pintarnya padahal Renan sesekali melirik Keira yang cantik jelita dan jago masak, sungguh idaman laki-laki yang mencari pasangan hidup, apalagi Renan, ia suka mencicipi makanan dan bundanya juga suka jajan, di dalam hati, ia berdoanya supaya niat lainnya terhadap Keira bisa berjalan mulus. 

bersambung, 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status