Met baca 🌿_______Di bawah guyuran hujan, Kemal terus meminta Ines pulang bersamanya. Ines yang berdiri di hadapannya terus menolak. Ines tak terkena air hujan karena berdiri di bawah atap kedai sederhana itu.Tanpa peduli tubuhnya semakin basah, Kemal membujuk. "Pulang, Nes." Kali ini suaranya bergetar pelan. Ines tetap menolak, bahkan ia meninggalkan Kemal begitu saja, Kemal tak bisa apa-apa selain pergi kembali ke hotel.Kemal berendam air hangat di bath up kamar hotel, ia merenungi kebodohannya. Kedua matanya terasa panas, ia sadar jika sedetik lagi air matanya jatuh.Benar saja, ia menangis, membungkam mulutnya dengan telapak tangan kanan. Sesakit ini melihat Ines menjadi menjauh darinya. Semenyengsarakan ini rasanya ditolak Ines yang bertahun-tahun memahami dirinya seperti apa.Apakah kali ini ia menyerah? Membiarkan dirinya menjadi bujangan tanpa mau memikirkan berumah tangga?Menjelang tengah malam, Kemal masih terjaga, ia mengusap tengkuknya saat berkutat dengan pekerjaan
Met baca 🌿__________"Pisah!" tegas Keira saat kedua insan itu sudah kembali ke Jakarta dan langsung menghadap Keira, Reynan dan om Wisnu."Mbakkk," rengek Kemal lemas."Apa! Mau gue tabok lo! Nggak pantes udah tua!" Sambung Keira sambil berkacak pinggang. Vinka dan Alta yang duduk di anak tangga ke lima sambil Alta memangku Daksa hanya bisa cekikikan melihat om kesayangannya diomelin mama mereka."Lo aja belum dapat restu Bapaknya Ines, masih mau minta Ines tetep tinggal sama lo!" Keira ngamuk. Reynan hanya bisa menyerahkan kuasa sidang itu ke istrinya."Gue udah suruh Bibi dan Pak Darmo beresin barang-barang Ines dari tempat lo barusan. Mereka udah jalan. Ines balik tinggal di sini. Elo ...," tunjuk Keira. "Lo datengin Bapak, lo kejar restu Bapak. Jangan pulang sebelum lo dapat restu!"Om Wisnu tak yakin hal itu terjadi. "Om temani, Mal. Om yang tau Kakak Om itu seperti apa. Kapan mau ke sana?""Sekarang, Om." Kemal tegas menjawab."Oke. Om pesan tiket pesawatnya." Segera Wisnu me
Met baca 🌿_____________Tamu kerabat dekat dan teman kerja sudah pulang sejak beberapa waktu lalu. Tak sampai lima puluh orang yang hadir. Kemal duduk sambil menikmati kopi sore yang dibuat Keira, diam menatap lurus ke tatanan taman bunga yang cantik atas tangan diri Keira."Gue tau perjuangan lo baru dimulai, tapi jangan lihatin ke Ines, kasihan dia." Keira duduk tepat di sebelah Kemal."Salah nggak sih, Mbak? Kalau jadinya begini?""Nggak ada yang salah atau benar, Mal. Udah jalannya dan yang penting lo bisa ubah pelan-pelan. Kapan berangkat bulan madunya?""Tiga hari lagi. Nyamain jadwal terbang Mas Katon, Ines mintanya gitu."Keira merangkul bahu sang adik, lalu ia bersandar pada pundak tegap Kemal. "Ibu bahagia banget. Dari tadi senyum, ketawa dan kelihatan bangga lo nikah juga, Mal. Nggak jadi perjaka tua," kekeh Keira. Kemal pun sama, kedua bahunya bergetar pelan lalu meraih jemari tangan kanan Keira."Mbak, makasih selalu marahin gue kalau gue salah langkah. Maaf lo jadi die
"Kapan kita mau ke rumah Bapak Ibu, Mal?" Ines baru selesai menyiram tanaman di depan rumah saat Kemal memakai sepatu bersiap kerja."Mau kamu kapan?" Kemal masih menunduk."Terserah kamu. Aku hopeless.""Nggak boleh gitu. Aku cek jadwalku ke Raja, kalau kerjaan aman jumat ini kita ke sana, mau naik apa? Kereta atau pesawat?""Terserah."Kemal mendongak, menatap istrinya yang berdiri menggulung selang."Jangan terserah, Nes." Ia lantas berjalan mendekat. Merapikan rambut Ines yang sedikit acak-acakkan karena angin. "Kita harus kompak."Ines memeluk manja Kemal, ia memang tak yakin jika bapak mau melihat usaha mereka meminta restu. Kemal mengusap pelan punggung Ines, ia tau galaunya Ines karena sudah sebulan menikah tapi bapak sama sekali tidak berkabar. Anak perempuan mana yang tidak sedih."Aku kerja, ya, kamu mau di rumah aja apa jadi ke tempat Mbak Keira? Ervan bilang mereka butuh orang buat auditing keuangan, kamu bisa, kan?"Ines melepaskan pelukan, berjalan ke arah teras meraih
Met baca 🌿_________Kemal begitu bahagia saat ulang tahunnya dirayakan bersama keluarga di rumahnya. Tak lepas ia tersenyum sambil sesekali menunjukkan kemesraannya dengan Ines yang justru terlihat sedikit sendu.Seharian ia kepikiran bapak dan ibu, ia coba kirim pesan singkat ke bapak tapi tidak dibaca. Saat ke ibu, ibu hanya bilang kalau bapak tidak mau tau urusan juga apa yang terjadi dengan Ines.Ia anak perempuan, hubungan dekat dengan bapaknya sudah erat dari kecil. Perlahan pudar semenjak Ines ngotot merantau ke Jakarta dan kota besar lainnya hingga tersangkut kasus besar.Katon menghampiri Ines di dapur saat adiknya sedang merapikan piring dan gelas yang sudah kering, ia masukkan ke lemari dapur dengan rapi."Besok kalau Mas sempat, Mas ke rumah Bapak. Coba bicara lagi, ya."Ines diam, dengan wajah sendu menunjukkan balasan pesan singkat yang dikirim ibu. Setelah Katon baca ia hanya bisa menghela napas panjang."Maafin Bapak ya, Nes," tukas Katon."Ada juga aku, Mas, yang ha
Met baca 🌿______Kemal tak henti tersenyum semenjak tiba di rumahnya. Ines langsung lanjut nonton drakor di kamar setelah mandi dan memakai daster."Kamu mau ke mana?" tegur Ines walau matanya menatap ke layar tablet di atas pangkuannya. Ines merebahkan diri di atas ranjang, terlihat sangat malas beranjak."Mau beli buah. Kamu harus banyak makan buah, Nes," jawab Kemal masih mematut diri di depan cermin. Ia meraih sisir di atas meja rias, merapikan rambutnya yang basah setelah mandi."Ngapain sisiran, rambut kamu rapi sendiri. Lurus banget gitu." Kalimat yang diucapkan Ines terdengar seperti dumelan, lagi-lagi bicara tanpa menatap suaminya."Biar rapi aja," sahut Kemal lagi."Biar dilihatin cewek lain barang kali."Kemal diam. Ia meletakkan sisir kembali ke tempatnya lalu melihat istrinya dari pantulan cermin. "Cemburu?" gumam Kemal tapi menahan senyuman saat bicara."Sorry, ya, nggak tuh!" Ines menyelimuti diri setengah badan kembali fokus nonton."Masa, sih, hormon ibu hamil bikin
Met baca 🌿__________Kemal segera membantu Ines berkemas, ia sendiri sudah sejak tadi merapikan pakaiannya ke dalam tas koper."Ayo, sayang," ajak Kemal bicara dengan begitu lembut. Ines duduk mendongak, menatap suaminya nanar. "Ayo, kita pulang." Kemal tersenyum. Ines berdiri pelan, menggandeng tangan Kemal.Kemal meminta pak Darmo segera berangkat bersama putranya untuk menemani selama perjalanan darat karena Kemal dan Ines naik pesawat. Mereka akan lama di sana sehingga pak Darmo diajak setelah izin dengan Reynan meminjam sopir anak-anaknya."Mas Kemal nanti di sana siapa yang jemput?" Pak Darmo harus memastikan."Ada keluarga Ines, kalian hati-hati ya. Saya sudah transfer untuk bensin, tol dan jajan Bapak sama Ado." Kemal membuka pintu taksi. Ado membantu membawakan tas kecil milih Ines yang isinya beberapa barang penting."Hati-hati, Mbak, Mas," tukas Ado."Makasih, Do," jawab Ines pelan.Perjalanan mereka tembuh sambil terus diam namun kedua tangan mereka tak lepas saling meng
Met baca 🌿__________Kemal dan Ines berada di kampung halaman hampir satu minggu. Semua berubah semenjak bapak pergi untuk selamanya. Apalagi setelah tau bapak ternyata merestui juga membagi-bagi warisan.Diam-diam juga bapak merupakan pewaris tunggal keluarganya yang merupakan juragan tanah di sana. Semua diceritakan ibu di depan keluarga.Kemal sendiri tak bangga mendapat warisan, toh ia sudah kaya raya. Warisan dari bapak justru ia serahkan ke Ines, terserah mau diapakan. Untuknya Ines lah warisan berharga dari bapak untuknya. Itu sudah lebih dari cukup."Nes, jadi pulang siang ini?" Suara ibu terdengar sedih. Ines menoleh, ia sedang berdiri menatap foto keluarganya saat ia masih remaja dulu terpasang di dinding ruang keluarga."Iya, Bu. Kemal udah lama nggak kerja. Ibu mau ikut ke Jakarta?" ajaknya. Ibu berjalan mendekat, menggeleng pelan."Ibu ke Jakarta kalau kamu melahirkan, ya." Tangan ibu mengusap perut putrinya. "Ibu senang kamu bisa hamil diusiamu yang nggak muda tapi Ibu
Met baca 🌿__________Kemal dan Ines berada di kampung halaman hampir satu minggu. Semua berubah semenjak bapak pergi untuk selamanya. Apalagi setelah tau bapak ternyata merestui juga membagi-bagi warisan.Diam-diam juga bapak merupakan pewaris tunggal keluarganya yang merupakan juragan tanah di sana. Semua diceritakan ibu di depan keluarga.Kemal sendiri tak bangga mendapat warisan, toh ia sudah kaya raya. Warisan dari bapak justru ia serahkan ke Ines, terserah mau diapakan. Untuknya Ines lah warisan berharga dari bapak untuknya. Itu sudah lebih dari cukup."Nes, jadi pulang siang ini?" Suara ibu terdengar sedih. Ines menoleh, ia sedang berdiri menatap foto keluarganya saat ia masih remaja dulu terpasang di dinding ruang keluarga."Iya, Bu. Kemal udah lama nggak kerja. Ibu mau ikut ke Jakarta?" ajaknya. Ibu berjalan mendekat, menggeleng pelan."Ibu ke Jakarta kalau kamu melahirkan, ya." Tangan ibu mengusap perut putrinya. "Ibu senang kamu bisa hamil diusiamu yang nggak muda tapi Ibu
Met baca 🌿__________Kemal segera membantu Ines berkemas, ia sendiri sudah sejak tadi merapikan pakaiannya ke dalam tas koper."Ayo, sayang," ajak Kemal bicara dengan begitu lembut. Ines duduk mendongak, menatap suaminya nanar. "Ayo, kita pulang." Kemal tersenyum. Ines berdiri pelan, menggandeng tangan Kemal.Kemal meminta pak Darmo segera berangkat bersama putranya untuk menemani selama perjalanan darat karena Kemal dan Ines naik pesawat. Mereka akan lama di sana sehingga pak Darmo diajak setelah izin dengan Reynan meminjam sopir anak-anaknya."Mas Kemal nanti di sana siapa yang jemput?" Pak Darmo harus memastikan."Ada keluarga Ines, kalian hati-hati ya. Saya sudah transfer untuk bensin, tol dan jajan Bapak sama Ado." Kemal membuka pintu taksi. Ado membantu membawakan tas kecil milih Ines yang isinya beberapa barang penting."Hati-hati, Mbak, Mas," tukas Ado."Makasih, Do," jawab Ines pelan.Perjalanan mereka tembuh sambil terus diam namun kedua tangan mereka tak lepas saling meng
Met baca 🌿______Kemal tak henti tersenyum semenjak tiba di rumahnya. Ines langsung lanjut nonton drakor di kamar setelah mandi dan memakai daster."Kamu mau ke mana?" tegur Ines walau matanya menatap ke layar tablet di atas pangkuannya. Ines merebahkan diri di atas ranjang, terlihat sangat malas beranjak."Mau beli buah. Kamu harus banyak makan buah, Nes," jawab Kemal masih mematut diri di depan cermin. Ia meraih sisir di atas meja rias, merapikan rambutnya yang basah setelah mandi."Ngapain sisiran, rambut kamu rapi sendiri. Lurus banget gitu." Kalimat yang diucapkan Ines terdengar seperti dumelan, lagi-lagi bicara tanpa menatap suaminya."Biar rapi aja," sahut Kemal lagi."Biar dilihatin cewek lain barang kali."Kemal diam. Ia meletakkan sisir kembali ke tempatnya lalu melihat istrinya dari pantulan cermin. "Cemburu?" gumam Kemal tapi menahan senyuman saat bicara."Sorry, ya, nggak tuh!" Ines menyelimuti diri setengah badan kembali fokus nonton."Masa, sih, hormon ibu hamil bikin
Met baca 🌿_________Kemal begitu bahagia saat ulang tahunnya dirayakan bersama keluarga di rumahnya. Tak lepas ia tersenyum sambil sesekali menunjukkan kemesraannya dengan Ines yang justru terlihat sedikit sendu.Seharian ia kepikiran bapak dan ibu, ia coba kirim pesan singkat ke bapak tapi tidak dibaca. Saat ke ibu, ibu hanya bilang kalau bapak tidak mau tau urusan juga apa yang terjadi dengan Ines.Ia anak perempuan, hubungan dekat dengan bapaknya sudah erat dari kecil. Perlahan pudar semenjak Ines ngotot merantau ke Jakarta dan kota besar lainnya hingga tersangkut kasus besar.Katon menghampiri Ines di dapur saat adiknya sedang merapikan piring dan gelas yang sudah kering, ia masukkan ke lemari dapur dengan rapi."Besok kalau Mas sempat, Mas ke rumah Bapak. Coba bicara lagi, ya."Ines diam, dengan wajah sendu menunjukkan balasan pesan singkat yang dikirim ibu. Setelah Katon baca ia hanya bisa menghela napas panjang."Maafin Bapak ya, Nes," tukas Katon."Ada juga aku, Mas, yang ha
"Kapan kita mau ke rumah Bapak Ibu, Mal?" Ines baru selesai menyiram tanaman di depan rumah saat Kemal memakai sepatu bersiap kerja."Mau kamu kapan?" Kemal masih menunduk."Terserah kamu. Aku hopeless.""Nggak boleh gitu. Aku cek jadwalku ke Raja, kalau kerjaan aman jumat ini kita ke sana, mau naik apa? Kereta atau pesawat?""Terserah."Kemal mendongak, menatap istrinya yang berdiri menggulung selang."Jangan terserah, Nes." Ia lantas berjalan mendekat. Merapikan rambut Ines yang sedikit acak-acakkan karena angin. "Kita harus kompak."Ines memeluk manja Kemal, ia memang tak yakin jika bapak mau melihat usaha mereka meminta restu. Kemal mengusap pelan punggung Ines, ia tau galaunya Ines karena sudah sebulan menikah tapi bapak sama sekali tidak berkabar. Anak perempuan mana yang tidak sedih."Aku kerja, ya, kamu mau di rumah aja apa jadi ke tempat Mbak Keira? Ervan bilang mereka butuh orang buat auditing keuangan, kamu bisa, kan?"Ines melepaskan pelukan, berjalan ke arah teras meraih
Met baca 🌿_____________Tamu kerabat dekat dan teman kerja sudah pulang sejak beberapa waktu lalu. Tak sampai lima puluh orang yang hadir. Kemal duduk sambil menikmati kopi sore yang dibuat Keira, diam menatap lurus ke tatanan taman bunga yang cantik atas tangan diri Keira."Gue tau perjuangan lo baru dimulai, tapi jangan lihatin ke Ines, kasihan dia." Keira duduk tepat di sebelah Kemal."Salah nggak sih, Mbak? Kalau jadinya begini?""Nggak ada yang salah atau benar, Mal. Udah jalannya dan yang penting lo bisa ubah pelan-pelan. Kapan berangkat bulan madunya?""Tiga hari lagi. Nyamain jadwal terbang Mas Katon, Ines mintanya gitu."Keira merangkul bahu sang adik, lalu ia bersandar pada pundak tegap Kemal. "Ibu bahagia banget. Dari tadi senyum, ketawa dan kelihatan bangga lo nikah juga, Mal. Nggak jadi perjaka tua," kekeh Keira. Kemal pun sama, kedua bahunya bergetar pelan lalu meraih jemari tangan kanan Keira."Mbak, makasih selalu marahin gue kalau gue salah langkah. Maaf lo jadi die
Met baca 🌿__________"Pisah!" tegas Keira saat kedua insan itu sudah kembali ke Jakarta dan langsung menghadap Keira, Reynan dan om Wisnu."Mbakkk," rengek Kemal lemas."Apa! Mau gue tabok lo! Nggak pantes udah tua!" Sambung Keira sambil berkacak pinggang. Vinka dan Alta yang duduk di anak tangga ke lima sambil Alta memangku Daksa hanya bisa cekikikan melihat om kesayangannya diomelin mama mereka."Lo aja belum dapat restu Bapaknya Ines, masih mau minta Ines tetep tinggal sama lo!" Keira ngamuk. Reynan hanya bisa menyerahkan kuasa sidang itu ke istrinya."Gue udah suruh Bibi dan Pak Darmo beresin barang-barang Ines dari tempat lo barusan. Mereka udah jalan. Ines balik tinggal di sini. Elo ...," tunjuk Keira. "Lo datengin Bapak, lo kejar restu Bapak. Jangan pulang sebelum lo dapat restu!"Om Wisnu tak yakin hal itu terjadi. "Om temani, Mal. Om yang tau Kakak Om itu seperti apa. Kapan mau ke sana?""Sekarang, Om." Kemal tegas menjawab."Oke. Om pesan tiket pesawatnya." Segera Wisnu me
Met baca 🌿_______Di bawah guyuran hujan, Kemal terus meminta Ines pulang bersamanya. Ines yang berdiri di hadapannya terus menolak. Ines tak terkena air hujan karena berdiri di bawah atap kedai sederhana itu.Tanpa peduli tubuhnya semakin basah, Kemal membujuk. "Pulang, Nes." Kali ini suaranya bergetar pelan. Ines tetap menolak, bahkan ia meninggalkan Kemal begitu saja, Kemal tak bisa apa-apa selain pergi kembali ke hotel.Kemal berendam air hangat di bath up kamar hotel, ia merenungi kebodohannya. Kedua matanya terasa panas, ia sadar jika sedetik lagi air matanya jatuh.Benar saja, ia menangis, membungkam mulutnya dengan telapak tangan kanan. Sesakit ini melihat Ines menjadi menjauh darinya. Semenyengsarakan ini rasanya ditolak Ines yang bertahun-tahun memahami dirinya seperti apa.Apakah kali ini ia menyerah? Membiarkan dirinya menjadi bujangan tanpa mau memikirkan berumah tangga?Menjelang tengah malam, Kemal masih terjaga, ia mengusap tengkuknya saat berkutat dengan pekerjaan
Met baca 🌿___________Suara wajan di atas api yang menyala besar juga kesibukan lain di dapur membuat Ines ingat bagaimana Keira dulu memulai usaha catering yang dirintis dari nol hingga sukses seperti sekarang.Begitu pula ingatan Ines bagaimana awal mula pertemuan dengan Kemal yang ia anggap sombong kini justru menempati ruang hati terdalamnya.Ia berdiri, menunggu pesanan pelanggan siap sambil memeluk nampan coklat. Tiga juru masak berlomba-lomba menyelesaikan masakan untuk dihidangkan, Ines melirik ke sudut dapur, terdapat meja bahan baku yang siap diolah.Hela napas panjangnya membuat salah satu rekannya mendekat. "Ada apa?" tanyanya dengan logat melayu."Tidak ada apa-apa," jawab Ines diakhiri dengan senyuman. Satu juru masak memindahkan makanan dari wajan ke mangkok besar, Ines mendekat seraya meraih selembar tisu dapur. Dirapihkan makanan itu dari noda yang berceceran disekeliling mangkok karena juru masak buru-buru menuangkan.Ines siap membawa pesanan makanan ke meja pelan